Minggu, 25 Agustus 2019

Paper Bridge


"Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LifeinCampus 2019
yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku."

Judul: Paper Bridge
Author: Anggi Ermona
Jadwal update: sudah selesai di Storial 
Jenis: Novel
Genreyoung adult


Blurb:

Hati manusia layaknya kertas putih.
Entah tinta benci atau kasih, semua memiliki peluang yang sama untuk menorehkan warna. Goresan yang indah belum tentu berakhir menjadi gambar yang bahagia.
Sama seperti cinta.
Perasaan hangat itu sering kali mengundang hal buruk di belakangnya. Egoisme, khianat, dan dusta. Semua seolah sah atas nama cinta. Tanpa peduli pada banyak hati yang terluka.
Seperti cinta yang satu itu. Yang tidak mungkin bersatu. Hanya bisa membalik lembar demi lembar mencari kebahagiaan yang mereka tunggu.

Daftar isi:

Minggu, 21 April 2019

Balui


"Cerita ini ditulis untuk mengikuti event menulis cerita mini #MikroBumi
yang diadakan oleh Sweek Indonesia."


Judul: Balui
Author: Anggi Ermona
Jadwal Update: sebelum 22 April 2019 di Sweek
Jenis: Cerita mini/Flash fiction
Genregemeral fiction


Blurb:
Mereka merindukan Kakek. Untuk itu, mereka mengantarkan teman untuk menemani Kakek terlelap damai di dasar samudra. Agar kehidupan berlangsung seimbang.

Daftar isi:
Balui

Senin, 18 Maret 2019

Kambeli


"Cerita ini ditulis untuk mengikuti event menulis cerita mini #MikroBumi
yang diadakan oleh Sweek Indonesia."


Judul: Kambeli
Author: Anggi Ermona
Jadwal Update: sebelum 22 Maret 2019 di Sweek
Jenis: Cerita mini/Flash fiction
Genregemeral fiction


Blurb:
Mereka harus menaklukkan Bumi.
Karena belum tentu ada 'besok' bagi mereka.


Daftar isi:
Kambeli

Kamis, 15 November 2018

Kaleidoskop


#GrasindoStoryInc

Judul: Kaleidoskop
Author: Anggi Ermona
Jadwal Update: Kamis di Wattpad
Jenis: Novel
Genre: teen fiction, romance


Blurb:
Orang bilang, tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Lalu, bagaimana cara dunia mendeskripsikan sosok itu dalam satu kata? Ia terlalu sempurna. Tidak bercela. Seperti khayalan yang menjadi nyata. Seperti kenyataan yang terdengar seperti dusta. Layaknya kaleidoskop yang penuh harmonisasi potongan cahaya dan warna.

Cerita tentang dua manusia yang berjalan di atas garis kehidupan. Hingga garis itu bersinggungan dan mempertemukan mereka di persimpangan.

Tetapi mereka sama-sama saling mengerti.


Bahwa nyaris semua garis pertemuan akan berujung pada perpisahan. Sekuat apa pun mereka bertahan. Hingga yang tersisa hanyalah kepingan kenangan.


Daftar isi:
Prolog

Rabu, 31 Oktober 2018

ephemeral


“Novel ini ditulis untuk mengikuti proyek Bulan Nulis Novel Storial #BNNS2018 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku.”


Judul: ephemeral
Author: Anggi Ermona
Jadwal update: (diusahakan) Setiap hari selama bulan November 2018 di Storial
Jenis: Novel
Genre: action-romance


Blurb:
Tidak ada yang kekal di dunia ini.

Semua memiliki masanya masing-masing. Air mata akan digantikan gelak tawa. Senja akan berakhir saat malam menjelang. Musim dingin akan menjelma musim semi. Burung akan hinggap saat sayapnya lelah terbang.

Begitu juga rindu yang akan berujung temu.

Mungkin, seharusnya pertemuan itu tidak perlu terjadi. Kalau akhirnya harus ada perpisahan. Yang menyisakan sejuta penyesalan karena tidak sanggup mempertahankan kebersamaan untuk tetap di sini.

Kini, hanya waktu yang bisa menjawab akankah kisah ini berakhir bahagia.


Daftar isi:

Sabtu, 08 September 2018

Red VeLovet - Memories


Perceraian selalu dijadikan jalan pintas bagi pasangan yang bermasalah dalam rumah tangga mereka. Seakan-akan lupa mengapa dahulu mereka memutuskan menikah. Seakan-akan cinta yang sejak lama dipupuk layu begitu saja. Seakan-akan hati mereka menyempit hingga tidak ada ruang untuk saling memahami.

Bahkan untuk pengacara sekelas Tantri, perceraian adalah kasus yang paling dihindarinya. Tetapi untuk kali ini, Bosnya yang meminta langsung padanya untuk menangani ini. 'Demi menaikkan nama firma hukum kita', kata Bosnya dan Tantri tahu itu karena klien mereka berasal dari kalangan selebriti.

Tantri memang terkenal sebagai pengacara bermulut tajam yang sanggup memangkas sulur pernyataan yang penuh dusta. Kemenangannya di pengadilan nyaris mencapai sembilan puluh delapan persen. Itulah yang diharapkan Bosnya. Kemenangan mutlak. Ia sudah mengatakan bahwa masih banyak cara lain untuk menaikkan nama firma hukum mereka, tetapi Bosnya menolak saran itu.

Apa pun yang berhubungan dengan dunia selebriti selalu tidak jauh dari drama. Saling lempar pernyataan di media, perebutan hak asuh anak, sampai pembagian harta gono-gini. Tidak seorang pun dari calon mantan pasangan itu yang bersedia menekan ego dan mengalah. Seolah sengaja membuat masalah perceraian ini semakin berlarut-larut sehingga nama mereka sering muncul di media.

Sementara itu, di sinilah Tantri sekarang. Pulang lebih malam dari biasanya. Padahal ini hari Jumat yang dinantikan banyak orang. Rekapitulasi data kasus tidak pernah membuat ia selejar ini. Untuk semua kepenatan itu, ia membutuhkan penawar terbaik.

Secangkir kopi kental.

Sayangnya, ia terlalu capai untuk membuat kopi untuk dirinya sendiri. Maka, ia memutuskan mampir ke sebuah toko kue bernama Cakewalkers yang terletak tidak jauh dari apartemennya.

Tantri mendorong pintu kaca itu dengan satu tangan. Obrolan pramuniaga yang sedang membersihkan meja-meja kosong menyapa telinganya. Jam tutup toko kue itu memang kurang dari dua belas menit lagi. Hanya tersisa tiga orang pelanggan duduk di dalam. Ia beharap masih ada sesuatu yang bisa dihidangkan untuknya.

"Kira-kira besok bakal terjadi kehebohan apa, ya?"

"Benar juga. Besok, kan, Sabtu yang terkenal itu."

"Aku jadi tidak sabar."

Degung obrolan itu perlahan memudar seiring langkah Tantri ke meja pemesanan. Seorang pramuniaga menyapanya dengan senyum ramah walaupun kedua matanya mengisyaratkan letih. Batinnya pasti menggerutu pada pelanggan yang datang di jam terakhir seperti Tantri.

"Selamat datang. Mau pesan apa?"

Tantri melirik naik pada papan menu yang membentang sambil mengucapkan pesanannya. "Espresso. Dibawa pulang," ujarnya sambil menyerahkan selembar uang.

Pramuniaga itu mengulang pesanan Tantri, memberinya setruk pembayaran dan uang kembalian, lalu meminta sang pelanggan untuk menunggu.

Tantri mengangguk dan mengalihkan perhatian ke arah etalase kaca yang sudah nyaris kosong. Hanya tersisa beberapa roti isi dan seiris kue yang langsung membuat Tantri tertegun.

Seolah terhipnotis, gadis itu menunjuk kue itu dari luar kaca. "Tolong tambah ini sekalian."

"Satu Red VeLovet. Untuk dibawa pulang?"

Tantri mengangguk. Pramuniaga memindahkan kue itu ke dalam wadah karton berbentuk segitiga yang sesuai dengan potongan Red VeLovet.

Sepertinya kasus yang Tantri tangani kali ini benar-benar menguras kewarasannya.
***

Merah.

Tantri tidak mengerti mengapa ia memilih kue berwarna merah ini. Padahal warna merah selalu mengingatkannya pada lelaki itu. Atau ia memang membeli kue ini karena teringat pada lelaki itu?

Sudah lewat tengah malam dan Tantri masih terjaga. Padahal kopinya sama sekali belum tersentuh satu teguk pun. Minuman itu mendingin di dalam gelas kertas di atas meja dapur.

Tantri menatap potongan kue di hadapannya seolah itu obyek penelitian di laboratorium. Lalu setelah puluhan menit berlalu, ia memberanikan diri meraih garpu plastik bening yang diikutsertakan di dalam kemasan kue. Ia menarik napas sambil membulatkan tekad. Biasanya, ia selalu menghindari makanan manis yang tidak cocok dengan lidahnya. Tetapi kali ini, ia tidak mau menjadi tidak bertanggung jawab dengan tidak menghabiskan makanan. Suatu kontradiksi dengan kopinya yang mulai berubah menjadi air mata barista.

Satu suapan kecil mendarat ke dalam mulut Tantri. Kedua matanya melebar.

"Hem... enak," gumam Tantri sambil mengambil potongan lebih banyak. Ternyata rasanya tidak seperti menelan satu sendok penuh gula seperti yang selama ini ia kira.

Tidak sampai lima menit, seiris Red VeLovet itu tandas. Hanya tersisa krim yang menempel di bagian dalam karton. Tantri membuang kemasan itu ke tempat sampah lalu minum segelas air.

Tantri tidur nyenyak malam itu. Bersama seberkas kenangan yang menjelma mimpi.
***

'Astaga, kamu masih menungguku?' Napas Tantri terengah-engah dan raut wajahnya tampak khawatir. Lelaki itu tahu pasti Tantri setengah berlari untuk datang ke sini.

Setengah berlari dan setengahnya lagi merasa bersalah karena membiarkan lelaki itu menunggu di bawah hujan selama satu jam.

'Tentu saja,' jawab lelaki itu lirih dengan bibir berubah pucat. 'Karena kamu bilang mau datang.'

Perasaan bersalah membanjiri wajah cantik Tantri. Tanpa mengucapkan lebih banyak kalimat, ia langsung menghela lelaki bermata biru itu untuk memasuki kafe terdekat.

Begitu teh hangat terhidang di hadapan mereka, lelaki itu segera mengulurkan kedua tangannya untuk menggenggam cangkir. Kehangatan langsung menjalar melalui kulit telapak tangannya.

'Kenapa tidak berteduh?' tanya Tantri penuh sesal.

Lelaki kaukasoid itu menyesap tehnya. 'Tadi di telepon aku sudah bilang akan menunggumu di depan boks telepon yang merah itu.'

'Tapi, kan, kamu bisa berteduh sebentar,'  ucap Tantri dengan nada frustrasi. 'Setelah hujan reda, kita pergi beli ponsel untukmu. Supaya aku bisa lebih mudah memberimu kabar. Tadi ada sedikit masalah di kantor—'

'Aku mengerti. Tidak apa-apa,' sela pacarnya itu sambil menggenggam tangan kiri Tantri di atas meja. 'Lagi pula kamu pernah bilang hujan di sini tidak ada apa-apanya dibanding hujan di negara asalmu.'

Tantri menangkupkan tangan kanannya ke atas punggung tangan lelaki itu. 'Lihat, tanganmu sampai dingin begini.'

Alih-alih menghiraukan kekhawatiran Tantri, lelaki itu malah melemparkan pandangannya ke luar jendela. Rintik hujan masih mengguyur di luar sana.

'Tidak terasa, ya. Satu tahun sudah berlalu.'

Tantri mengikuti arah pandangan lelaki itu. Benar juga. Mereka sudah bertemu kembali dengan September. Dan selama itu pula mereka sudah bersama.

Selama beberapa menit mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tantri memerhatikan lelaki di sampingnya yang masih merenung pada hujan yang turun. Entah apa yang dipikirkannya.

Tantri baru menyadari bahwa lelaki itu hanya mengenakan mantel basah di atas pakaiannya. Padahal cuaca hari ini lebih dingin dari biasanya. Beruntung, kehangatan kafe ini melingkupi mereka dari udara dingin yang menggigit.

Secara impulsif Tantri menarik tangannya untuk melepas syal merahnya. Lalu ia melingkarkan benda rajutan itu ke leher lelaki yang ia cintai itu.

Tersadar, lelaki itu melirik sambil menyentuh syal di lehernya. Kehangatan mengisi hatinya dan mengukir senyuman di wajahnya. 'Terima kasih. Kamu benar-benar baik hati.' Tiba-tiba binar kesedihan terpantul di sepasang mata biru itu. Ia menggeleng sambil melepas syal milik Tantri. 'Tapi sebaiknya jangan. Nanti syalmu basah.'

Tantri menahan gerakan lelaki itu. 'Tidak apa-apa. Kamu tadi kehujanan karena menungguku.'

Lelaki itu tersenyum seraya mengalungkan kembali syal ke leher pemiliknya. 'Aku tidak mau membuat syalmu basah. Tapi aku lebih tidak mau menjadi penyebab pipimu basah karena air mata.'

Tantri berdeham ringan untuk mengalihkan perhatian dari pipinya yang terasa hangat. Mungkin penghangat ruangan di kafe ini bekerja terlalu keras. 'Kalau begitu, biarkan aku memelukmu.'

Tanpa menunggu persetujuan lelaki itu, Tantri sudah beringsut maju untuk melaksanakan maksudnya. Tidak peduli walaupun syal dan mantelnya ikut basah karena menempel pada pakaian lelaki itu yang kuyup karena hujan.

Untuk sesaat tubuh lelaki itu seperti menegang dalam pelukan Tantri. Namun perlahan tubuhnya menjadi lebih rileks. Dan akhirnya membalas pelukan yang diterimanya. Ia juga sempat bergumam di antara rambut Tantri. 'Andai saja aku bisa menghentikan waktu.'

Tiga bulan kemudian Tantri baru mengerti mengapa suara lelaki itu terdengar sedih.
***

Tantri terbangun dengan kedua pipi yang basah. Setengah basah karena air mata, setengah lagi basah karena iler yang menitik di sudut bibirnya. Kebiasannya kalau tidur dalam keadaan terlalu lelah.

Alih-alih langsung mengambil tisu untuk menyeka wajahnya, Tantri malah terpekur di atas kasur. Kenangan yang sudah terkubur dalam peti perasaannya mendadak muncul kembali.

Tantri meremas rambutnya yang kusut. Mengapa lelaki yang tidak ingin lagi Tantri sebut namanya itu hadir kembali dalam mimpinya?

Selama mereka bersama, lelaki Inggris itu memang tidak pernah menjanjikan apa-apa. Begitu juga Tantri yang tidak berniat menuntut apa-apa dari hubungan mereka.

Hingga suatu hari, lelaki itu datang ke flat Tantri di tengah cuaca dingin kota London. Bukan untuk mengajak Tantri makan malam seperti biasa, melainkan untuk meruntuhkan kuncup harapan di hati gadis itu.

'Ayahku seorang Earl.'

Tantri meraih gelar magister dari salah satu universitas di London, jadi otaknya tidak terlalu bebal untuk memahami ke mana arah pembicaraan saat itu. Ia langsung menyadari bahwa lelaki itu merupakan bangsawan sementara dirinya hanya rakyat jelata. Dan cinta di antara mereka merupakan khayalan semata.

Lelaki itu bercerita bahwa selama satu setengah tahun ini ia sedang dihukum. Itu semua karena ia mabuk dan mengacau di tempat umum. Ayahnya menyuruh ia hidup sendiri di tempat tinggal sederhana. Tanpa fasilitas yang selama ini ia dapatkan, termasuk ponsel. Ia juga wajib menuliskan perbuatan baiknya di buku yang disediakan Ayahnya. Bahkan pertemuan pertamanya dengan Tantri menjadi bagian dari laporan itu. Ia menuliskan 'membantu seorang perempuan yang ujung hak sepatunya tersangkut di konblok'.

'Meskipun Ayahku selalu mengajarkan untuk bersikap sopan pada semua orang tanpa memandang status sosial mereka, tapi untuk urusan pernikahan dalam keluargaku adalah hal yang berbeda. Pasanganku sudah ditentukan sejak lama.' Lelaki itu memasang ekspresi yang memancing rasa iba. 'Dan mimpi buruk itu akhirnya tiba.'

Padahal Tantri hampir lupa semua kejadian itu. Ia beruntung belum sempat memperpanjang kontrak dengan firma hukum tempatnya magang. Pulang ke Indonesia adalah pilihan terbaik. Sedikit lagi ia akan benar-benar melepas beban itu.

Apa semua ini karena Red VeLovet yang ia makan semalam?

Sinting! Hanya karena sepotong kue, hancurlah tiga tahun perjuangannya untuk melupakan.
***

Tantri tidak tahu apa yang ia pikirkan. Tetapi begitu sadar, ia mendapati dirinya sedang mendorong pintu kaca Cakewalkers. Berbeda dengan kemarin malam saat ia memasuki toko kue ini dengan setelan formal dan tas kerjanya. Sabtu ini ia mengenakan jaket satin dan sweat pants. Penampilannya tampak lima tahun lebih muda.

Tidak ada waktu untuk berdandan. Semua serba mendadak karena pikiran sintingnya.

Kalau memang benar kue yang kemarin itu bisa membawanya menjelajah masa lalu, Tantri rela melakukan apa saja. Ia ingin melihat kembali kenangan itu.

Saat mereka berada di dalam London Eye. Saat lelaki itu menggenggam tangannya di tepi sungai Thames. Saat mereka duduk berdua di dalam bus. Saat semuanya terasa indah dan baik-baik saja

"Aku mau kue yang ini."

"Tolong Red VeLovet-nya satu."

Tantri menoleh saat mendengar suara maskulin yang menyaingi suaranya. Seorang lelaki langsung membalas sengit tatapannya. Jari telunjuk lelaki itu juga menekan kaca etalase ke arah sepotong kue yang diinginkan Tantri.
***

Siang ini tidak terlalu terik. Padahal jarum jam sudah bergerak mendekati angka satu. Simon memasuki Cakewalkers dan langsung menuju tempat pemesanan. Langkahnya santai seolah tempat itu adalah rumahnya sendiri. Ia menunjuk kue di etalase bersamaan dengan seorang gadis yang juga menginginkan kue yang sama.

"Maaf, tapi itu Red VeLovet terakhir," ucap pramuniaga dari bagian belakang etalase.

Tantri memaksa senyum manisnya muncul agar pramuniaga itu berpihak padanya. "Aku datang lebih dulu, jadi kue ini milikku."

"Sebenarnya kita datang nyaris bersamaan, Nona." Simon bergerak maju lebih dekat pada etalase.

"Silakan pilih kue yang lain, Tuan," balas Tantri gigih.

"Tolong Red VeLovet-nya satu," ulang Simon pada pramuniaga yang mulai bingung. Ia berusaha tidak meladeni gadis keras kepala di sebelahnya.

"Mana ada laki-laki makan kue berwarna merah." Kesintingan Tantri mengundang bibirnya untuk mengaitkan masalah gender yang tidak ada hubungannya dengan makanan. "Kurasa, yang berwarna cokelat lebih cocok denganmu."

Simon menoleh dengan tatapan tajam. "Apa itu masalah buatmu?"

"Mengalah sedikit sama perempuan."

"Mengalah sedikit sama anak kecil."

Lagi-lagi Simon dan Tantri bersuara berbarengan. Para pengunjung yang mengantri di belakang mereka menahan tawa masing-masing. Begitu juga para pramuniaga yang memang sudah menunggu kehebohan sejak toko dibuka hari ini. Perdebatan di depan etalase ini lebih mirip opera sabun.

"Fisikmu memang selayaknya laki-laki dewasa, tapi kelakuanmu seperti anak kecil." Tantri mengangguk. Lalu detik berikutnya mengeryit bingung. "Anak kecil?"

Kepala Tantri bergerak lebih rendah dan mendapati seorang gadis kecil yang tingginya belum mencapai satu meter. Gadis itu mendongak pada Tantri dengan wajah bingung, sementara kedua tanganya berpegangan pada Simon.

Tantri berjongkok untuk menyejajarkan pandangan dengan gadis berkucir dua itu. "Kamu sangat ingin makan kue itu, ya?" tanya Tantri dengan lembut.

Gadis itu melirik naik pada Simon. Setelah lelaki itu mengangguk, ia baru bersuara. "Iya, Tante."

"Tidak mau kue yang lain saja?"

Anak itu menggeleng.

"Kalau begitu, kita sama," ucap Tantri tetap lembut walaupun sedikit kesal dengan cara anak itu memanggilnya. Ia kembali berdiri dan bertanya pada pramuniaga. "Memangnya tidak ada stok lagi?"

"Kokinya sedang istirahat. Red VeLovet selanjutnya baru keluar lagi jam tiga."

Tantri mengangguk-angguk. Masih dua jam lagi. Ia tidak mau menunggu selama itu. "Apa aku bisa memesan satu Red VeLovet utuh?" tanya Tantri sambil membentuk lingkaran dengan lengkungan jemarinya.

"Bisa."

"Untuk jam tiga nanti?"

"Ya."

Simon tersenyum lega. Akhirnya gadis itu mau mengalah. "Terima ka—"

"Tolong bungkus potongan terakhir ini untukku. Dan juga pesananku tadi berapa totalnya?"

"Hei, hei." Simon berusaha menyela gadis yang terus berbicara tanpa perasaan itu.

Sambil sedikit mengangkat dagu, Tantri menggenggam kantung kuenya. "Aku sudah membayar lunas. Jadi ini milikku." Lalu ia menunduk untuk mengelus kepala anak kecil itu. "Kamu mau Red VeLovet satu lingkaran utuh?"

"Mau, Tante," jawabnya sambil mengangguk berkali-kali.

"Kalau begitu tunggu dengan sabar sampai jam tiga, ya," ujar Tantri sambil menegakkan tubuh.

"Hei, tidak bisa begitu—"

"Tentu saja bisa," sela Tantri sambil berlalu. "Selamat menunggu."

"Terima kasih, Tante!"

Teriakan itu mengantarkan langkah kaki Tantri keluar dari toko kue itu. Ia bergegas pulang agar bisa kembali menjelajah kenangan. Cepat-cepat ia menghabiskan Red VeLovet itu dan mencoba tidur.

Sayangnya, tidak ada mimpi apa pun yang hadir. Selain ingatan tentang sepasang netra yang menatapnya sengit di Cakewalkers siang ini. Hanya itu yang membayang di balik kelopak matanya.
***

Tantri malas melihat begitu banyak kios memajang tabloid-tabloid yang memberitakan perceraian selebriti sebagai bagian sampul depannya. Seolah-olah pekerjaannya mengekorinya pulang. Hampir tiga bulan berlalu dan masalah perceraian itu belum juga selesai. Proses mediasi hanya berisi kentalnya ego masing-masing. Belum lagi media massa yang seolah sengaja menambah panas kasus itu dengan mencampurkan berbagai asumsi ke dalam berita yang mereka tulis. Dan Bosnya bersorak senang karena nama firma hukum mereka semakin sering disebut. 'Promosi gratis.' Begitu kata Bosnya. Tetapi Tantri bersyukur kesibukannya cukup membantu ia melupakan beberapa hal yang memang seharusnya tidak diingat lagi.

Malam ini, Tantri tidak langsung pulang. Ia mampir ke supermarket untuk membeli isi kulkasnya.

Sambil mendorong troli yang sudah dipenuhi belanjaan utama, ia mulai menyusuri area camilan kering. Dan hatinya langsung bersorak saat melihat keripik kentang kesukaannya ada di rak. Satu bungkus terakhir! Lucky!

Tantri melanjutkan kegiatan belanjanya hingga tiba di depan rak yang memajang produk kopi dan teh. Ia memilih kopi kesukaannya lalu perhatiannya tertarik pada salah satu varian teh—minuman yang sudah ia hindari selama ini. Biasanya, teh dicampur dengan lemon. Tetapi yang satu ini dicampur stroberi. Tidak ada salahnya mencoba. Jadi ia mengulurkan tangan untuk meraih satu kotak.

Tepat saat itu, ada tangan lain yang juga memegang kotak teh yang sama. Tantri langsung memasang ekspresi garang yang langsung berubah kaget saat melihat si pemilik tangan.

Begitu juga lelaki itu yang tidak menyangka akan memegang kotak yang sama. Cepat-cepat, ia menarik mundur tangannya. "Silakan. Aku tidak akan berdebat denganmu kali ini," ucap Simon sambil meraih kotak teh stroberi yang lain.

Tantri menelan ludah. Kedua mata lelaki itu menatapnya lebih ramah kali ini. Tidak lagi sengit seperti yang diingatnya. Penampilannya juga tampak berbeda dengan celana kain dan kemeja. Sepertinya lelaki itu juga mampir dalam perjalanan pulang dari kantor. Sama seperti Tantri. "Terima kasih," cicitnya gugup.

"Oh, tidak. Aku yang harusnya berterimakasih." Simon melengkungkan senyum bersahabat. "Anakku sangat senang karena Red VeLovet yang kamu belikan waktu itu. Aku tetap tidak mengizinkannya makan lebih dari satu potong tapi dia tidak marah. Dia tetap senang karena teman-temannya bersedia memenuhi undangan mendadak itu dan makan kue bersamanya."

Anak? Kening Tantri mengernyit. "Syukurlah kalau begitu," ujarnya tulus.

Simon mengangguk. "Karena itu aku jadi menyadari bahwa sebenarnya anakku merasa kesepian setelah aku dan Ibunya bercerai. Dan untuk itu aku ingin menraktirmu makan malam—kalau kamu tidak keberatan."

Cerai? Kernyitan di kening Tantri semakin dalam. "Tidak perlu begitu—"

"Kamu boleh pilih tempatnya."

Tantri tertawa kecil. "Tapi aku tidak biasa makan malam dengan seseorang yang bahkan aku tidak tahu namanya."

Seolah baru tersadar, Simon mengangkat alis sambil mengulum senyum. Ia mengulurkan tangan. "Aku Simon."

Tantri mengerjap. Lalu detik berikutnya ia mendapati dirinya menjabat hangat uluran tangan itu sambil menyebut namanya sendiri.


Sabtu, 30 Juni 2018

MatchAmore - Invitation



"Pokoknya nanti kalian datang saja. Pasti seru," jamin Jane pada lawan bicara yang tersambung melalui ponselnya. "Jangan lupa ingatkan yang lain untuk datang."

Bibir Jane yang dipoles lipstik merah muda tersenyum pada bayangan yang ada dalam benaknya. Ia yakin semua akan berjalan sesuai rencana. Pengalamannya bekerja sebagai organisator acara orang lain banyak membantu dalam persiapan mendadak kali ini.

Jemari lentik Jane kembali bermain di layar ponsel, mencari kontak lain untuk dihubungi. Begitu tersambung, ia langsung menyampaikan maksudnya tanpa basa-basi.

"Saya sudah mentransfer sisa pembayaran untuk acara Sabtu malam ini."

"Mohon maaf, atas nama siapa?" sahut penjawab telepon setelah sempat diam beberapa detik.

"Atas nama Jane."

Tidak ada suara selama tiga detik. "Janeta Hutama?"

"Iya, benar." Jane mengangguk walaupun tahu lawan bicaranya tidak bisa melihat gerakan itu.

"Baik. Sudah diterima." Suara sopran lawan bicaranya tetap menjaga nada formalnya.

"Oke." Jane tersenyum. "Terima kasih."

Begitu panggilan terputus, Jane segera menekan nomor lain. Telepon dalam genggamannya benar-benar sibuk hari ini. Benda itu bertugas menghubungkan pemiliknya dengan banyak orang. Kali ini, Jane segera mendapat jawaban setelah tiga nada panggil berdengung.

"Ya, Jane?"

"Jangan lupa. Nanti kamu tahan dia selama mungkin di sana, ya. Kalau perlu sampai malam."

"Aku tidak bisa janji." Lawan bicaranya terdengar ragu. "Kamu tahu, kan, Ibel yang sekarang berbeda dengan Ibel yang kita kenal dulu."

"Ibel, ya tetap Ibel." Jane bersikukuh.

"Dari mana kamu tahu? Kalian, kan, sudah lama pu─"

"Pokoknya, aku percayakan ini padamu," potong Jane cepat. "Atau sekalian saja suruh dia minum soporifik. Minta tolong saja sama Indra. Ibel paling percaya sama dia."

"Ya, ya. Oke, Bos." Suara lelaki yang tersambung dengannya terdengar pasrah. "Tapi kalau Ibel marah, kamu─"

"Iya, iya. Aku yang tanggung jawab," sela Jane tidak sabar. "Pokoknya tahan dia di sana selama yang kalian bisa."

Senyum masih menari-nari di bibir Jane. Semua sudah siap. Ia berharap rencananya berjalan lancar.

Sekarang ia hanya perlu menyusun kalimat undangan yang memastikan bintang utamanya bersedia datang.
***

Irna sedang menuliskan label pada kardus-kardus yang berisi koleksi bukunya. Ia tidak mau ada kardus yang tersasar ke dapur di tempat tinggalnya yang baru nanti.

Senyum Irna menyembul tipis saat teringat bahwa sebentar lagi ia akan pindah dari sini. Bukan karena tidak betah melainkan karena ia akan menikah. Rasanya masih sulit percaya pada kenyataan itu. Lebih mengejutkan lagi, calon suaminya ternyata diam-diam sudah menyiapkan rumah untuk mereka. Tempat tinggal yang akan mereka tempati bersama anak-anak mereka nanti. Juga bersama kucing peliharaannya─yang punya andil dalam hubungan mereka.

Irna tersipu pada khayalannya sendiri. Ia sudah bepikir terlalu jauh.

Dering telepon genggam menghapus total khayalan Irna. Mungkin saja itu Ibel. Tetapi bukankah ini terlalu cepat? Terakhir kali calon suaminya itu menelepon sekitar satu jam yang lalu untuk mengatakan bahwa acara bersama teman-temannya akan berlangsung sampai sore. Demi menjawab pertanyaan dari benaknya, Irna meletakkan spidol yang dipegangnya lalu berganti menggengam alat komunikasi itu.

Ternyata bukan dari Ibel. Pengirim pesan itu mengaku bernama Jane dan mengundangnya datang ke Cakewalkers jam delapan malam nanti.

Sebenarnya, Irna ingin mengabaikan pesan itu. Seperti yang sering dikatakan Ibunya bahwa selalu ada saja godaan menjelang pernikahan. Kalau tidak pintar menjaga hati, hal buruk seperti batalnya pernikahan bisa saja terjadi. Tetapi, entah mengapa, kalimat penutup pesan itu mengusik keingintahuan Irna.

Aku mantan pacar Ibel.

Irna tahu benar, ia bukanlah perempuan pertama yang menjadi kekasih calon suaminya itu. Mengorek masa lalu Ibel mungkin adalah sesuatu yang salah. Apalagi menjelang hari pernikahan mereka. Tetapi seperti Pandora yang tidak bisa menahan rasa penasarannya, Irna memilih untuk membuka kotak itu.
***

Irna turun dari taksi yang mengantarnya sambil memerhatikan sekitar.

Bangunan dihadapannya didominasi warna yang mengingatkannya pada salju atau krim pada kue. Tetapi cahaya yang memancar dari dalam melalui jendela-jendela bening besar di dinding, justru memberikan kesan hangat di Sabtu malam yang dingin ini.

Untuk sesaat, Irna merasakan langkahnya meragu. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk datang ke sini tanpa pertimbangan lebih dalam. Ia bahkan tidak tahu seperti apa wajah Jane yang mengundangnya datang itu. Tadi ia memang sudah mengirim pesan pada Ibel. Tetapi karena lelaki itu tidak kunjung membalas, maka ia memilih untuk datang sendiri.

Sekarang ia sudah terlanjur ada di sini. Kalau Jane ternyata tidak muncul, setidaknya ia bisa memakan sepotong-dua potong kue yang ditampilkan cake display.

Tepat ketika Irna hendak mendorong pintu, tiba-tiba ada sesuatu menutupi lensa kacamata yang dipakainya.
***

Ibel terbangun karena tenggorokannya sekering padang pasir. Ia membuka mata dan menemukan kegelapan. Dengan kepala yang terasa pening, ia berjalan terhuyung menuju tombol sakelar di dinding. Matanya memicing saat sinar lampu membanjiri kamarnya.

Sudah berapa jam ia tertidur? Sampai ia tidak sadar matahari sudah terbenam. Sekarang ia hanya bisa merasakan sekujur tubuhnya yang terasa kaku.

Sambil meregangkan otot punggung dan lehernya, Ibel berjalan ke dapur untuk meneguk segelas air. Setelah air membasahi tenggorokannya, seluruh tubuhnya langsung kembali pada tugas masing-masing. Terutama pandangannya yang sempat mengabur, sekarang bisa dengan jelas melihat angka pada jam tangan yang masih melingkari pergelangannya selama ia tidur.

Pukul delapan malam. Lebih sepuluh menit. Astaga. Irna pasti mengkhawatirkannya karena ia tidak memberi kabar selama lebih dari empat jam.

Bergegas, Ibel kembali ke kamarnya. Ia menyambar ponselnya dari atas nakas dan berdecak saat mendapati benda itu dalam keadaan padam total kehabisan baterai. Syukurlah, calon istrinya itu bukan tipikal gadis posesif yang akan merongrongnya setiap detik. Jadi, ia yakin Irna tidak akan keberatan menunggu sebentar lagi.

Ibel membiarkan ponselnya mendapatkan suntikan daya. Sementara ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Teman-temannya memang keterlaluan.  Tadi mereka berkali-kali menyebutnya sebagai 'playboy tobat', mengoleskan krim kue ke wajahnya, bahkan menyiramkan minuman manis ke pakaiannya. Semua perlakuan tidak menyenangkan itu dilakukan karena mulai minggu depan Ibel resmi melepas masa lajangnya.

Rasanya benar-benar menyesal ia mengundang para begundal itu ke acara pernikahannya. Awas saja kalau mereka mengacau!

Beruntung, ada Indra yang masih cukup waras untuk bertindak sebagaimana mestinya seorang teman. Bahkan berbaik hati untuk mengantarnya pulang dengan selamat.

Sekarang Ibel merasa jauh lebih baik setelah tubuhnya bersentuhan dengan air. Sambil mengusap-usap rambut basahnya dengan handuk, ia menyalakan ponselnya. Beberapa pesan masuk secara bersamaan. Ibel mengabaikan yang lain dan hanya fokus pada dua pesan terbaru yang dikirim Irna.



Ibel tersentak bangun dari tepi tempat tidur yang didudukinya. Handuk basahnya jatuh ke lantai. Ia langsung mengenakan jaket dan celana panjang yang pertama kali dilihatnya, tanpa peduli pakaian itu kotor atau bersih.

Setengah berlari, Ibel keluar dari kamar. Tetapi begitu mendapati kunci mobilnya tidak berada di tempat biasa, ia langsung mengumpat kesal. Tergesa, jemarinya bergerak meraih ponsel untuk menghubungkannya pada Indra.

"Di mana kunci mobilku?" ucap Ibel tanpa menunggu Indra mengucapkan kalimat sapaan.

Sejak bersama Irna, Ibel rela mengganti motor kerennya dengan sebuah mobil sederhana. Hanya untuk memastikan gadis itu tidak akan kehujanan dan kepanasan setiap kali mereka kencan.

"Tadi aku taruh di tempat bia─maaf, terbawa di sakuku."

"Sial," umpat Ibel sambil membuka pintu setelah mengenakan sepatunya.

"Tunggu, ya. Aku akan mengantar kunci mobilmu."

"Tidak perlu. Aku buru-buru." Ia terus memacu langkahnya menuju jalan raya.

"Kenapa kamu terdengar panik, Kawan?"

"Irna pergi menemui Jane."
***

Indra terdiam mendengar kalimat yang diucapkan Ibel melalui sambungan telepon. "Ya. Lalu?"

"Aku takut Jane melakukan sesuatu yang buruk kepada Irna," jawab Ibel dengan napas terengah. "Taksi!"

"Kurasa kamu terlalu berlebihan. Kecuali Jane memegang rahasia terburukmu."

Ibel tidak langsung menjawab. Terdengar bunyi pintu mobil yang dibuka kemudian ditutup. "Kamu kurang mengerti perempuan, Kawan. Mereka bisa saja berubah kejam kepada sesamanya." Ibel memberitahukan tujuannya pada sopir taksi. "Sudah, ya."

Dan sambungan terputus.

Indra memandang ponselnya yang terasa sedikit hangat. Lalu detik berikutnya, jemarinya sudah bergulir di layar gawai, mencari satu nama.

Tidak perlu menunggu lama, panggilan dijawab. Suara dengung obrolan langsung membelai telinga Indra.

"Jane, Ibel menuju lokasimu sekarang."
***

Ini bukan pertama kalinya Cakewalkers menjadi tempat perayaan. Entah itu pesta sweet seventeen atau makan malam untuk merayakan anniversary. Tetapi acara seperti malam ini baru pertama kali terjadi.

Seorang gadis bernama Jane menyewa seluruh teras belakang Cakewalkers.  Bahkan meminta toko itu untuk buka sampai jam sepuluh malam. Para pramuniaga dan kasir yang bertugas hari itu hendak mengajukan protes, tetapi begitu mendengar kata 'bonus' dari Manajer, mereka semua dengan senang hati lembur dan pulang satu jam lebih lama dari biasanya.

Pelanggan yang menyewa tempat hanya dua hari sebelum acara itu juga meminta bahwa hanya perempuan yang boleh masuk ke area pestanya. Entah itu pramuniaga atau pun cleaning service, semua harus berjenis kelamin perempuan. Begitu juga dengan tamu-tamu yang diundangnya, semua perempuan.

'Pokoknya, laki-laki dilarang masuk,' tegas Jane sebelum acaranya tadi dimulai.
***

Ibel tidak berhenti menghubungi ponsel Irna. Tetapi nomor gadis itu tidak aktif. Begitu juga dengan nomor Jane yang terus menerus mengalihkan panggilannya.

Setelah sedikit berputar-putar, taksi itu akhirnya mengantarkan Ibel ke tempat yang benar. Ia langsung melompat turun tanpa merasa perlu meminta kembalian uangnya.

Pasangan seusia ayah dan ibunya keluar dari toko kue itu. Keduanya menatap heran pada wajah panik Ibel. Apalagi ketika ia melesak masuk melewati pintu kaca itu dengan kasar, membuat pasangan itu menggeleng-geleng. Bingung dengan tata krama yang seolah semakin tidak diindahkan.

"Irna!" seru Ibel begitu pintu kaca berayun menutup di belakangnya.

Seluruh panca indranya bekerja sama. Mulutnya terus memanggil nama Irna. Jemarinya terus menghubungi nomor Irna melalui ponselnya. Matanya beredar cepat mencari sosok calon istrinya itu.

Tetapi yang ada hanya seorang mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya, seorang Ayah bersama anaknya, tiga orang pegawai kantoran yang tampak santai menikmati kopi mereka, serta para pramuniaga yang bertugas malam ini. Semuanya menatap pada Ibel yang mirip seperti tarzan lepas dari hutan.

Hingga akhirnya tiba-tiba ia melihat jendela dan pintu kaca yang mengarah ke teras belakang ditutupi kain berwarna hijau. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik itu.

Astaga. Apa itu tempat pembantaian calon istrinya?

"Irna!" Ibel ingin menerjang masuk tetapi dua orang lelaki yang berdiri di sana bagaikan penjaga langsung menghalanginya.

"Mohon maaf. Area ini sedang disewa untuk acara."

"Minggir! Aku mau masuk!"

"Laki-laki dilarang masuk. Silakan Anda tunggu sampai acara selesai."

"Kalian mau aku tuntut karena terlibat kriminal?" ancam Ibel.

"Silakan tuntut saja."

Suara itu bukan berasal dari dua lelaki yang menghadang Ibel. Tentu saja karena itu merupakan suara perempuan.

Ibel menoleh dan mendapati seorang gadis seusia dirinya sedang berdiri di samping salah satu meja. Gadis itu mengenakan blus hijau pupus yang dipadukan dengan jeans kurus yang membalut kakinya. Berbeda dengan seragam warna batu bata yang dikenakan para pramuniaga dan dua orang yang menghalanginya. Ia menatap tajam Ibel dengan kedua mata cokelat di bawah lengkungan alisnya yang terukir rapi.

"Saya juga bisa tuntut Anda karena membuat kegaduhan, mengatakan fitnah, dan melakukan pengancaman."

"Di dalam sana, mungkin saja calon istriku sedang disiksa oleh mantan pacarku."

"Mungkin?" Alis gadis itu terangkat skeptis. "Anda punya buktinya?"

Ibel terdiam. Ia tidak bisa menunjukkan bukti untuk mendukung tuduhannya.

"Kalau sudah tidak ada, silakan keluar." Gadis itu melirik jam tangannya. "Sudah jam sembilan. Saatnya tutup. Pegawai Cakewalkers butuh istirahat."
***

Ini adalah enam puluh menit terlama dalam hidup Ibel.

Ia menunggu dengan gelisah di pelataran parkir Cakewalkers. Beberapa kendaraan masih terparkir di sana. Salah satunya ia kenali sebagai mobil Jane. Itu yang membuat ia yakin untuk tetap menunggu di sini.

Ibel menghabiskan masa penantiannya dengan duduk di atas beton pemisah, berjalan mondar-mandir, hingga mencabuti ujung-ujung rumput tidak bersalah yang dibiarkan tumbuh di pekarangan Cakewalkers.

Penantiannya berakhir ketika ia melihat segerombolan perempuan keluar melalui pintu depan Cakewalkers. Sekitar dua puluh orang─bisa kurang atau lebih, Ibel tidak tahu pasti. Mereka semua mengenakan kaus berwarna hijau bertuliskan 'PMI'. Ibel sempat berpikir sedang ada rapat untuk acara donor darah. Sampai kemudian ia mengenali wajah para gadis yang saling mengobrol akrab itu.

Ibel bergeming. Tidak mau siapa pun menyadari kehadirannya. Ia akan menunggu sedikit lebih lama sampai Irna muncul.

Sayangnya, salah satu dari mereka mengedarkan pandangan dan langsung menangkap sosok Ibel yang berdiri di samping pohon.

"Ibeeeelll!" seru gadis berambut sepinggang itu sambil berlari ke arah Ibel.

Itu salah seorang dari mantan Ibel saat kuliah. Mereka hanya pacaran selama dua bulan. Gadis itu yang memutuskan sambil meminta maaf. Katanya, ia merasa bersalah karena sudah menyelingkuhi Ibel selama satu bulan terakhir.

"Hei, dia itu calon suami orang." Terdengar suara yang mengingatkan.

Yang itu mantan Ibel saat SMA. Si juara kelas. Gadis itu memutuskan hubungan mereka karena Ibel menggesernya dari peringkat satu. Itu benar-benar suatu ketidaksengajaan. Selama kencan, gadis itu lebih suka membicarakan pelajaran daripada membahas hobi atau makanan favorit masing-masing. Dan Ibel hanya menyimak dengan sabar. Siapa sangka obrolan itu justru mempermudah ia memahami pelajaran di kelas.

"Ah, benar juga." Gadis berambut sepinggang berhenti beberapa langkah di depan Ibel. Itu membuat Ibel bisa melihat tulisan di kaus itu dengan lebih jelas. Tertulis frasa 'Para Mantan Ibel' di bawah 'PMI'.

Kedua mata Ibel membeliak. Sejak kapan ada perkumpulan sesat seperti itu?

"Maaf, ya, Irna."

Masih suara yang sama. Tetapi mendengar nama calon istrinya disebut, Ibel langsung mengalihkan perhatiannya.

Dan di sana ia melihat bidadari sedang tersenyum padanya. Tanpa sayap lebar maupun cahaya yang berpendar, tetapi membuat matanya enggan berkedip.

Irna berdiri di sana. Senyum untuk Ibel menghiasi wajahnya. Gadis itu mengenakan gaun warna dadu berbahan sifon. Rambutnya yang terbiasa diurai dan sedikit berantakan, kali ini digelung rapi berhiaskan bunga-bunga.

Ibel menyerbu maju dan langsung menarik bidadari itu ke dalam dekapannya. Lantas disambut sorak-sorai di sekelilingnya.

"Kamu baik-baik saja?"

Irna mengangguk di dada Ibel. "Seperti yang kamu lihat."

Ibel melepas pelukannya lalu memandangi penampilan Irna lebih saksama. "Kenapa kamu repot-repot berdandan secantik ini?"

Pipi Irna tersipu. "Tadi Jane yang menyiapkan ini. Teman-temanmu─" Irna memandang sekeliling. "─yang mendandaniku."

Ibel mengembuskan napas lega.

"Ini ada sisa sepotong MatchAmore untukmu," ucap Irna sambil menyerahkan kantung yang sejak tadi dipegangnya. "Kuenya sangat enak. Tanpa sadar, aku memikirkanmu saat memakannya."

"Terima kasih."

Irna menggeleng. "Tidak. Terima kasih."

Kening Ibel berkerut. "Untuk?"

"Tadi Jane bilang, 'kalau nanti Ibel tetap menunggumu, jangan ragu untuk menikahinya. Tapi kalau dia tidak datang, batalkan saja. Aku punya banyak kenalan laki-laki yang jauh lebih baik. Akan aku kenalkan salah satunya padamu'," ucap Irna menirukan kata-kata Jane. "Jadi, terima kasih sudah datang."
***

"Terima kasih, ya, La," ucap Jane pada gadis bermata cokelat di sampingnya.

"Sama-sama. Maaf aku tidak bisa banyak membantu."

"Kamu sudah berhasil mengusirnya tadi. Itu sudah sangat membantu."

Jane tersenyum puas. Semua sesuai rencananya. Ia bersyukur bersahabat dengan Pamela yang bekerja sebagai Manajer di Cakewalkers.

"Aku baru tahu kamu suka pakai kaus norak begitu."

Jane tergelak. "Ini hanya bagian dari properti acara."

"Dua tahun berpacaran dan malam ini kamu mengatur pesta lajang untuk calon istri mantan pacarmu. Ini jenis kegilaan macam apa?" tanya Pamela sarkartis.

"Ibel lebih dari mantan pacar, kamu tahu? Dia sudah seperti saudara bagiku. Selama ini juga dia sering membantuku meskipun kami sudah putus. Kurasa tidak ada salahnya aku berbuat baik sedikit." Jane melempar pandangan kembali ke kerumunan di depan Cakewalkers. "Lagi pula, ternyata bukan cuma aku yang berpikir begitu."

Selama beberapa detik, keheningan hadir di antara dua gadis itu. Hanya angin malam yang berembus lembut.

"Oh, ya, ini ada MatchAmore sebagai bonus," ucap Pamela memecah keheningan. Gadis itu menunjuk kotak warna putih di atas salah satu meja di teras Cakewalkers.

"Meskipun itu kue favoritku, tapi kali ini aku rela kamu memberikan itu pada pasangan yang sedang berbahagia di sana." Jane mengangkat dagunya ke arah Ibel dan Irna yang masih berpelukan di pelataran parkir.

Pamela tersenyum miring. "Kuharap kamu juga segera bertemu pasanganmu."

"Ucapkan itu pada dirimu sendiri." Jane  menyinggung bahu Pamela, lalu kembali mengurai tawa. "Sekali lagi, terima kasih, ya, La. Maaf sudah membuat kehebohan di Cakewalkers."


"Ini Sabtu." Pamela mengangkat bahu. "Kami sudah terbiasa."