"Pokoknya
nanti kalian datang saja. Pasti seru," jamin Jane pada lawan bicara yang
tersambung melalui ponselnya. "Jangan lupa ingatkan yang lain untuk datang."
Bibir
Jane yang dipoles lipstik merah muda tersenyum pada bayangan yang ada dalam benaknya.
Ia yakin semua akan berjalan sesuai rencana. Pengalamannya bekerja sebagai organisator
acara orang lain banyak membantu dalam persiapan mendadak kali ini.
Jemari
lentik Jane kembali bermain di layar ponsel, mencari kontak lain untuk
dihubungi. Begitu tersambung, ia langsung menyampaikan maksudnya tanpa basa-basi.
"Saya
sudah mentransfer sisa pembayaran untuk acara Sabtu malam ini."
"Mohon
maaf, atas nama siapa?" sahut penjawab telepon setelah sempat diam
beberapa detik.
"Atas
nama Jane."
Tidak
ada suara selama tiga detik. "Janeta Hutama?"
"Iya,
benar." Jane mengangguk walaupun tahu lawan bicaranya tidak bisa melihat gerakan
itu.
"Baik.
Sudah diterima." Suara sopran lawan bicaranya tetap menjaga nada
formalnya.
"Oke."
Jane tersenyum. "Terima kasih."
Begitu
panggilan terputus, Jane segera menekan nomor lain. Telepon dalam genggamannya
benar-benar sibuk hari ini. Benda itu bertugas menghubungkan pemiliknya dengan
banyak orang. Kali ini, Jane segera mendapat jawaban setelah tiga nada panggil
berdengung.
"Ya,
Jane?"
"Jangan
lupa. Nanti kamu tahan dia selama mungkin di sana, ya. Kalau perlu sampai
malam."
"Aku
tidak bisa janji." Lawan bicaranya terdengar ragu. "Kamu tahu,
kan, Ibel yang sekarang berbeda dengan Ibel yang kita kenal dulu."
"Ibel,
ya tetap Ibel." Jane bersikukuh.
"Dari
mana kamu tahu? Kalian, kan, sudah lama pu─"
"Pokoknya,
aku percayakan ini padamu," potong Jane cepat. "Atau sekalian saja
suruh dia minum soporifik. Minta tolong saja sama Indra. Ibel paling percaya sama
dia."
"Ya,
ya. Oke, Bos." Suara lelaki yang tersambung dengannya terdengar pasrah.
"Tapi kalau Ibel marah, kamu─"
"Iya,
iya. Aku yang tanggung jawab," sela Jane tidak sabar. "Pokoknya tahan
dia di sana selama yang kalian bisa."
Senyum
masih menari-nari di bibir Jane. Semua sudah siap. Ia berharap rencananya berjalan
lancar.
Sekarang
ia hanya perlu menyusun kalimat undangan yang memastikan bintang utamanya bersedia
datang.
***
Irna
sedang menuliskan label pada kardus-kardus yang berisi koleksi bukunya. Ia
tidak mau ada kardus yang tersasar ke dapur di tempat tinggalnya yang baru
nanti.
Senyum
Irna menyembul tipis saat teringat bahwa sebentar lagi ia akan pindah dari
sini. Bukan karena tidak betah melainkan karena ia akan menikah. Rasanya masih
sulit percaya pada kenyataan itu. Lebih mengejutkan lagi, calon suaminya
ternyata diam-diam sudah menyiapkan rumah untuk mereka. Tempat tinggal yang
akan mereka tempati bersama anak-anak mereka nanti. Juga bersama kucing
peliharaannya─yang punya andil dalam hubungan mereka.
Irna
tersipu pada khayalannya sendiri. Ia sudah bepikir terlalu jauh.
Dering
telepon genggam menghapus total khayalan Irna. Mungkin saja itu Ibel. Tetapi
bukankah ini terlalu cepat? Terakhir kali calon suaminya itu menelepon sekitar
satu jam yang lalu untuk mengatakan bahwa acara bersama teman-temannya akan
berlangsung sampai sore. Demi menjawab pertanyaan dari benaknya, Irna meletakkan
spidol yang dipegangnya lalu berganti menggengam alat komunikasi itu.
Ternyata
bukan dari Ibel. Pengirim pesan itu mengaku bernama Jane dan mengundangnya
datang ke Cakewalkers jam delapan malam nanti.
Sebenarnya,
Irna ingin mengabaikan pesan itu. Seperti yang sering dikatakan Ibunya bahwa selalu
ada saja godaan menjelang pernikahan. Kalau tidak pintar menjaga hati, hal
buruk seperti batalnya pernikahan bisa saja terjadi. Tetapi, entah mengapa,
kalimat penutup pesan itu mengusik keingintahuan Irna.
Aku
mantan pacar Ibel.
Irna
tahu benar, ia bukanlah perempuan pertama yang menjadi kekasih calon suaminya
itu. Mengorek masa lalu Ibel mungkin adalah sesuatu yang salah. Apalagi
menjelang hari pernikahan mereka. Tetapi seperti Pandora yang tidak bisa
menahan rasa penasarannya, Irna memilih untuk membuka kotak itu.
***
Irna
turun dari taksi yang mengantarnya sambil memerhatikan sekitar.
Bangunan
dihadapannya didominasi warna yang mengingatkannya pada salju atau krim pada
kue. Tetapi cahaya yang memancar dari dalam melalui jendela-jendela bening besar
di dinding, justru memberikan kesan hangat di Sabtu malam yang dingin ini.
Untuk
sesaat, Irna merasakan langkahnya meragu. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk
datang ke sini tanpa pertimbangan lebih dalam. Ia bahkan tidak tahu seperti apa
wajah Jane yang mengundangnya datang itu. Tadi ia memang sudah mengirim pesan
pada Ibel. Tetapi karena lelaki itu tidak kunjung membalas, maka ia memilih untuk
datang sendiri.
Sekarang
ia sudah terlanjur ada di sini. Kalau Jane ternyata tidak muncul, setidaknya ia
bisa memakan sepotong-dua potong kue yang ditampilkan cake display.
Tepat
ketika Irna hendak mendorong pintu, tiba-tiba ada sesuatu menutupi lensa
kacamata yang dipakainya.
***
Ibel
terbangun karena tenggorokannya sekering padang pasir. Ia membuka mata dan menemukan
kegelapan. Dengan kepala yang terasa pening, ia berjalan terhuyung menuju tombol
sakelar di dinding. Matanya memicing saat sinar lampu membanjiri kamarnya.
Sudah
berapa jam ia tertidur? Sampai ia tidak sadar matahari sudah terbenam. Sekarang
ia hanya bisa merasakan sekujur tubuhnya yang terasa kaku.
Sambil
meregangkan otot punggung dan lehernya, Ibel berjalan ke dapur untuk meneguk
segelas air. Setelah air membasahi tenggorokannya, seluruh tubuhnya langsung
kembali pada tugas masing-masing. Terutama pandangannya yang sempat mengabur,
sekarang bisa dengan jelas melihat angka pada jam tangan yang masih melingkari pergelangannya
selama ia tidur.
Pukul
delapan malam. Lebih sepuluh menit. Astaga. Irna pasti mengkhawatirkannya
karena ia tidak memberi kabar selama lebih dari empat jam.
Bergegas,
Ibel kembali ke kamarnya. Ia menyambar ponselnya dari atas nakas dan berdecak saat
mendapati benda itu dalam keadaan padam total kehabisan baterai. Syukurlah,
calon istrinya itu bukan tipikal gadis posesif yang akan merongrongnya setiap
detik. Jadi, ia yakin Irna tidak akan keberatan menunggu sebentar lagi.
Ibel
membiarkan ponselnya mendapatkan suntikan daya. Sementara ia segera menuju
kamar mandi untuk membersihkan diri.
Teman-temannya
memang keterlaluan. Tadi mereka
berkali-kali menyebutnya sebagai 'playboy tobat', mengoleskan krim kue
ke wajahnya, bahkan menyiramkan minuman manis ke pakaiannya. Semua perlakuan
tidak menyenangkan itu dilakukan karena mulai minggu depan Ibel resmi melepas
masa lajangnya.
Rasanya
benar-benar menyesal ia mengundang para begundal itu ke acara pernikahannya. Awas
saja kalau mereka mengacau!
Beruntung,
ada Indra yang masih cukup waras untuk bertindak sebagaimana mestinya seorang
teman. Bahkan berbaik hati untuk mengantarnya pulang dengan selamat.
Sekarang
Ibel merasa jauh lebih baik setelah tubuhnya bersentuhan dengan air. Sambil mengusap-usap
rambut basahnya dengan handuk, ia menyalakan ponselnya. Beberapa pesan masuk
secara bersamaan. Ibel mengabaikan yang lain dan hanya fokus pada dua pesan terbaru
yang dikirim Irna.
Ibel
tersentak bangun dari tepi tempat tidur yang didudukinya. Handuk basahnya jatuh
ke lantai. Ia langsung mengenakan jaket dan celana panjang yang pertama kali dilihatnya,
tanpa peduli pakaian itu kotor atau bersih.
Setengah
berlari, Ibel keluar dari kamar. Tetapi begitu mendapati kunci mobilnya tidak
berada di tempat biasa, ia langsung mengumpat kesal. Tergesa, jemarinya bergerak
meraih ponsel untuk menghubungkannya pada Indra.
"Di
mana kunci mobilku?" ucap Ibel tanpa menunggu Indra mengucapkan kalimat
sapaan.
Sejak
bersama Irna, Ibel rela mengganti motor kerennya dengan sebuah mobil sederhana.
Hanya untuk memastikan gadis itu tidak akan kehujanan dan kepanasan setiap kali
mereka kencan.
"Tadi
aku taruh di tempat bia─maaf, terbawa di sakuku."
"Sial,"
umpat Ibel sambil membuka pintu setelah mengenakan sepatunya.
"Tunggu,
ya. Aku akan mengantar kunci mobilmu."
"Tidak
perlu. Aku buru-buru." Ia terus memacu langkahnya menuju jalan raya.
"Kenapa
kamu terdengar panik, Kawan?"
"Irna
pergi menemui Jane."
***
Indra
terdiam mendengar kalimat yang diucapkan Ibel melalui sambungan telepon. "Ya.
Lalu?"
"Aku
takut Jane melakukan sesuatu yang buruk kepada Irna," jawab Ibel dengan
napas terengah. "Taksi!"
"Kurasa
kamu terlalu berlebihan. Kecuali Jane memegang rahasia terburukmu."
Ibel
tidak langsung menjawab. Terdengar bunyi pintu mobil yang dibuka kemudian ditutup.
"Kamu kurang mengerti perempuan, Kawan. Mereka bisa saja berubah kejam
kepada sesamanya." Ibel memberitahukan tujuannya pada sopir taksi. "Sudah,
ya."
Dan sambungan
terputus.
Indra
memandang ponselnya yang terasa sedikit hangat. Lalu detik berikutnya, jemarinya
sudah bergulir di layar gawai, mencari satu nama.
Tidak
perlu menunggu lama, panggilan dijawab. Suara dengung obrolan langsung membelai
telinga Indra.
"Jane,
Ibel menuju lokasimu sekarang."
***
Ini
bukan pertama kalinya Cakewalkers menjadi tempat perayaan. Entah itu pesta sweet
seventeen atau makan malam untuk merayakan anniversary. Tetapi acara
seperti malam ini baru pertama kali terjadi.
Seorang
gadis bernama Jane menyewa seluruh teras belakang Cakewalkers. Bahkan meminta toko itu untuk buka sampai jam sepuluh
malam. Para pramuniaga dan kasir yang bertugas hari itu hendak mengajukan protes,
tetapi begitu mendengar kata 'bonus' dari Manajer, mereka semua dengan senang hati
lembur dan pulang satu jam lebih lama dari biasanya.
Pelanggan
yang menyewa tempat hanya dua hari sebelum acara itu juga meminta bahwa hanya
perempuan yang boleh masuk ke area pestanya. Entah itu pramuniaga atau pun cleaning
service, semua harus berjenis kelamin perempuan. Begitu juga dengan tamu-tamu
yang diundangnya, semua perempuan.
'Pokoknya,
laki-laki dilarang masuk,' tegas Jane sebelum acaranya tadi dimulai.
***
Ibel
tidak berhenti menghubungi ponsel Irna. Tetapi nomor gadis itu tidak aktif.
Begitu juga dengan nomor Jane yang terus menerus mengalihkan panggilannya.
Setelah
sedikit berputar-putar, taksi itu akhirnya mengantarkan Ibel ke tempat yang
benar. Ia langsung melompat turun tanpa merasa perlu meminta kembalian uangnya.
Pasangan
seusia ayah dan ibunya keluar dari toko kue itu. Keduanya menatap heran pada wajah
panik Ibel. Apalagi ketika ia melesak masuk melewati pintu kaca itu dengan
kasar, membuat pasangan itu menggeleng-geleng. Bingung dengan tata krama yang
seolah semakin tidak diindahkan.
"Irna!"
seru Ibel begitu pintu kaca berayun menutup di belakangnya.
Seluruh
panca indranya bekerja sama. Mulutnya terus memanggil nama Irna. Jemarinya
terus menghubungi nomor Irna melalui ponselnya. Matanya beredar cepat mencari sosok
calon istrinya itu.
Tetapi
yang ada hanya seorang mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya, seorang Ayah
bersama anaknya, tiga orang pegawai kantoran yang tampak santai menikmati kopi
mereka, serta para pramuniaga yang bertugas malam ini. Semuanya menatap pada Ibel
yang mirip seperti tarzan lepas dari hutan.
Hingga
akhirnya tiba-tiba ia melihat jendela dan pintu kaca yang mengarah ke teras belakang
ditutupi kain berwarna hijau. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik
itu.
Astaga.
Apa itu tempat pembantaian calon istrinya?
"Irna!"
Ibel ingin menerjang masuk tetapi dua orang lelaki yang berdiri di sana bagaikan
penjaga langsung menghalanginya.
"Mohon
maaf. Area ini sedang disewa untuk acara."
"Minggir!
Aku mau masuk!"
"Laki-laki
dilarang masuk. Silakan Anda tunggu sampai acara selesai."
"Kalian
mau aku tuntut karena terlibat kriminal?" ancam Ibel.
"Silakan
tuntut saja."
Suara
itu bukan berasal dari dua lelaki yang menghadang Ibel. Tentu saja karena itu
merupakan suara perempuan.
Ibel
menoleh dan mendapati seorang gadis seusia dirinya sedang berdiri di samping
salah satu meja. Gadis itu mengenakan blus hijau pupus yang dipadukan dengan jeans
kurus yang membalut kakinya. Berbeda dengan seragam warna batu bata yang
dikenakan para pramuniaga dan dua orang yang menghalanginya. Ia menatap tajam Ibel
dengan kedua mata cokelat di bawah lengkungan alisnya yang terukir rapi.
"Saya
juga bisa tuntut Anda karena membuat kegaduhan, mengatakan fitnah, dan
melakukan pengancaman."
"Di
dalam sana, mungkin saja calon istriku sedang disiksa oleh mantan pacarku."
"Mungkin?"
Alis gadis itu terangkat skeptis. "Anda punya buktinya?"
Ibel
terdiam. Ia tidak bisa menunjukkan bukti untuk mendukung tuduhannya.
"Kalau
sudah tidak ada, silakan keluar." Gadis itu melirik jam tangannya.
"Sudah jam sembilan. Saatnya tutup. Pegawai Cakewalkers butuh istirahat."
***
Ini
adalah enam puluh menit terlama dalam hidup Ibel.
Ia
menunggu dengan gelisah di pelataran parkir Cakewalkers. Beberapa kendaraan
masih terparkir di sana. Salah satunya ia kenali sebagai mobil Jane. Itu yang
membuat ia yakin untuk tetap menunggu di sini.
Ibel
menghabiskan masa penantiannya dengan duduk di atas beton pemisah, berjalan
mondar-mandir, hingga mencabuti ujung-ujung rumput tidak bersalah yang dibiarkan
tumbuh di pekarangan Cakewalkers.
Penantiannya
berakhir ketika ia melihat segerombolan perempuan keluar melalui pintu depan
Cakewalkers. Sekitar dua puluh orang─bisa kurang atau lebih, Ibel tidak tahu pasti.
Mereka semua mengenakan kaus berwarna hijau bertuliskan 'PMI'. Ibel sempat
berpikir sedang ada rapat untuk acara donor darah. Sampai kemudian ia mengenali
wajah para gadis yang saling mengobrol akrab itu.
Ibel
bergeming. Tidak mau siapa pun menyadari kehadirannya. Ia akan menunggu sedikit
lebih lama sampai Irna muncul.
Sayangnya,
salah satu dari mereka mengedarkan pandangan dan langsung menangkap sosok Ibel
yang berdiri di samping pohon.
"Ibeeeelll!"
seru gadis berambut sepinggang itu sambil berlari ke arah Ibel.
Itu salah
seorang dari mantan Ibel saat kuliah. Mereka hanya pacaran selama dua bulan.
Gadis itu yang memutuskan sambil meminta maaf. Katanya, ia merasa bersalah
karena sudah menyelingkuhi Ibel selama satu bulan terakhir.
"Hei,
dia itu calon suami orang." Terdengar suara yang mengingatkan.
Yang
itu mantan Ibel saat SMA. Si juara kelas. Gadis itu memutuskan hubungan mereka karena
Ibel menggesernya dari peringkat satu. Itu benar-benar suatu ketidaksengajaan.
Selama kencan, gadis itu lebih suka membicarakan pelajaran daripada membahas
hobi atau makanan favorit masing-masing. Dan Ibel hanya menyimak dengan sabar. Siapa
sangka obrolan itu justru mempermudah ia memahami pelajaran di kelas.
"Ah,
benar juga." Gadis berambut sepinggang berhenti beberapa langkah di depan
Ibel. Itu membuat Ibel bisa melihat tulisan di kaus itu dengan lebih jelas. Tertulis
frasa 'Para Mantan Ibel' di bawah 'PMI'.
Kedua
mata Ibel membeliak. Sejak kapan ada perkumpulan sesat seperti itu?
"Maaf,
ya, Irna."
Masih
suara yang sama. Tetapi mendengar nama calon istrinya disebut, Ibel langsung mengalihkan
perhatiannya.
Dan
di sana ia melihat bidadari sedang tersenyum padanya. Tanpa sayap lebar maupun
cahaya yang berpendar, tetapi membuat matanya enggan berkedip.
Irna
berdiri di sana. Senyum untuk Ibel menghiasi wajahnya. Gadis itu mengenakan
gaun warna dadu berbahan sifon. Rambutnya yang terbiasa diurai dan sedikit berantakan,
kali ini digelung rapi berhiaskan bunga-bunga.
Ibel
menyerbu maju dan langsung menarik bidadari itu ke dalam dekapannya. Lantas disambut
sorak-sorai di sekelilingnya.
"Kamu
baik-baik saja?"
Irna
mengangguk di dada Ibel. "Seperti yang kamu lihat."
Ibel
melepas pelukannya lalu memandangi penampilan Irna lebih saksama. "Kenapa
kamu repot-repot berdandan secantik ini?"
Pipi
Irna tersipu. "Tadi Jane yang menyiapkan ini. Teman-temanmu─" Irna
memandang sekeliling. "─yang mendandaniku."
Ibel
mengembuskan napas lega.
"Ini
ada sisa sepotong MatchAmore untukmu," ucap Irna sambil menyerahkan
kantung yang sejak tadi dipegangnya. "Kuenya sangat enak. Tanpa sadar, aku
memikirkanmu saat memakannya."
"Terima
kasih."
Irna
menggeleng. "Tidak. Terima kasih."
Kening
Ibel berkerut. "Untuk?"
"Tadi
Jane bilang, 'kalau nanti Ibel tetap menunggumu, jangan ragu untuk menikahinya.
Tapi kalau dia tidak datang, batalkan saja. Aku punya banyak kenalan laki-laki
yang jauh lebih baik. Akan aku kenalkan salah satunya padamu'," ucap Irna
menirukan kata-kata Jane. "Jadi, terima kasih sudah datang."
***
"Terima
kasih, ya, La," ucap Jane pada gadis bermata cokelat di sampingnya.
"Sama-sama.
Maaf aku tidak bisa banyak membantu."
"Kamu
sudah berhasil mengusirnya tadi. Itu sudah sangat membantu."
Jane
tersenyum puas. Semua sesuai rencananya. Ia bersyukur bersahabat dengan Pamela
yang bekerja sebagai Manajer di Cakewalkers.
"Aku
baru tahu kamu suka pakai kaus norak begitu."
Jane
tergelak. "Ini hanya bagian dari properti acara."
"Dua
tahun berpacaran dan malam ini kamu mengatur pesta lajang untuk calon istri
mantan pacarmu. Ini jenis kegilaan macam apa?" tanya Pamela sarkartis.
"Ibel
lebih dari mantan pacar, kamu tahu? Dia sudah seperti saudara bagiku. Selama ini
juga dia sering membantuku meskipun kami sudah putus. Kurasa tidak ada salahnya
aku berbuat baik sedikit." Jane melempar pandangan kembali ke kerumunan di
depan Cakewalkers. "Lagi pula, ternyata bukan cuma aku yang berpikir begitu."
Selama
beberapa detik, keheningan hadir di antara dua gadis itu. Hanya angin malam
yang berembus lembut.
"Oh,
ya, ini ada MatchAmore sebagai bonus," ucap Pamela memecah keheningan.
Gadis itu menunjuk kotak warna putih di atas salah satu meja di teras Cakewalkers.
"Meskipun
itu kue favoritku, tapi kali ini aku rela kamu memberikan itu pada pasangan
yang sedang berbahagia di sana." Jane mengangkat dagunya ke arah Ibel dan
Irna yang masih berpelukan di pelataran parkir.
Pamela
tersenyum miring. "Kuharap kamu juga segera bertemu pasanganmu."
"Ucapkan
itu pada dirimu sendiri." Jane menyinggung bahu Pamela, lalu kembali mengurai
tawa. "Sekali lagi, terima kasih, ya, La. Maaf sudah membuat kehebohan di
Cakewalkers."
"Ini
Sabtu." Pamela mengangkat bahu. "Kami sudah terbiasa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar