Sabtu, 30 Juni 2018

MatchAmore - Invitation



"Pokoknya nanti kalian datang saja. Pasti seru," jamin Jane pada lawan bicara yang tersambung melalui ponselnya. "Jangan lupa ingatkan yang lain untuk datang."

Bibir Jane yang dipoles lipstik merah muda tersenyum pada bayangan yang ada dalam benaknya. Ia yakin semua akan berjalan sesuai rencana. Pengalamannya bekerja sebagai organisator acara orang lain banyak membantu dalam persiapan mendadak kali ini.

Jemari lentik Jane kembali bermain di layar ponsel, mencari kontak lain untuk dihubungi. Begitu tersambung, ia langsung menyampaikan maksudnya tanpa basa-basi.

"Saya sudah mentransfer sisa pembayaran untuk acara Sabtu malam ini."

"Mohon maaf, atas nama siapa?" sahut penjawab telepon setelah sempat diam beberapa detik.

"Atas nama Jane."

Tidak ada suara selama tiga detik. "Janeta Hutama?"

"Iya, benar." Jane mengangguk walaupun tahu lawan bicaranya tidak bisa melihat gerakan itu.

"Baik. Sudah diterima." Suara sopran lawan bicaranya tetap menjaga nada formalnya.

"Oke." Jane tersenyum. "Terima kasih."

Begitu panggilan terputus, Jane segera menekan nomor lain. Telepon dalam genggamannya benar-benar sibuk hari ini. Benda itu bertugas menghubungkan pemiliknya dengan banyak orang. Kali ini, Jane segera mendapat jawaban setelah tiga nada panggil berdengung.

"Ya, Jane?"

"Jangan lupa. Nanti kamu tahan dia selama mungkin di sana, ya. Kalau perlu sampai malam."

"Aku tidak bisa janji." Lawan bicaranya terdengar ragu. "Kamu tahu, kan, Ibel yang sekarang berbeda dengan Ibel yang kita kenal dulu."

"Ibel, ya tetap Ibel." Jane bersikukuh.

"Dari mana kamu tahu? Kalian, kan, sudah lama pu─"

"Pokoknya, aku percayakan ini padamu," potong Jane cepat. "Atau sekalian saja suruh dia minum soporifik. Minta tolong saja sama Indra. Ibel paling percaya sama dia."

"Ya, ya. Oke, Bos." Suara lelaki yang tersambung dengannya terdengar pasrah. "Tapi kalau Ibel marah, kamu─"

"Iya, iya. Aku yang tanggung jawab," sela Jane tidak sabar. "Pokoknya tahan dia di sana selama yang kalian bisa."

Senyum masih menari-nari di bibir Jane. Semua sudah siap. Ia berharap rencananya berjalan lancar.

Sekarang ia hanya perlu menyusun kalimat undangan yang memastikan bintang utamanya bersedia datang.
***

Irna sedang menuliskan label pada kardus-kardus yang berisi koleksi bukunya. Ia tidak mau ada kardus yang tersasar ke dapur di tempat tinggalnya yang baru nanti.

Senyum Irna menyembul tipis saat teringat bahwa sebentar lagi ia akan pindah dari sini. Bukan karena tidak betah melainkan karena ia akan menikah. Rasanya masih sulit percaya pada kenyataan itu. Lebih mengejutkan lagi, calon suaminya ternyata diam-diam sudah menyiapkan rumah untuk mereka. Tempat tinggal yang akan mereka tempati bersama anak-anak mereka nanti. Juga bersama kucing peliharaannya─yang punya andil dalam hubungan mereka.

Irna tersipu pada khayalannya sendiri. Ia sudah bepikir terlalu jauh.

Dering telepon genggam menghapus total khayalan Irna. Mungkin saja itu Ibel. Tetapi bukankah ini terlalu cepat? Terakhir kali calon suaminya itu menelepon sekitar satu jam yang lalu untuk mengatakan bahwa acara bersama teman-temannya akan berlangsung sampai sore. Demi menjawab pertanyaan dari benaknya, Irna meletakkan spidol yang dipegangnya lalu berganti menggengam alat komunikasi itu.

Ternyata bukan dari Ibel. Pengirim pesan itu mengaku bernama Jane dan mengundangnya datang ke Cakewalkers jam delapan malam nanti.

Sebenarnya, Irna ingin mengabaikan pesan itu. Seperti yang sering dikatakan Ibunya bahwa selalu ada saja godaan menjelang pernikahan. Kalau tidak pintar menjaga hati, hal buruk seperti batalnya pernikahan bisa saja terjadi. Tetapi, entah mengapa, kalimat penutup pesan itu mengusik keingintahuan Irna.

Aku mantan pacar Ibel.

Irna tahu benar, ia bukanlah perempuan pertama yang menjadi kekasih calon suaminya itu. Mengorek masa lalu Ibel mungkin adalah sesuatu yang salah. Apalagi menjelang hari pernikahan mereka. Tetapi seperti Pandora yang tidak bisa menahan rasa penasarannya, Irna memilih untuk membuka kotak itu.
***

Irna turun dari taksi yang mengantarnya sambil memerhatikan sekitar.

Bangunan dihadapannya didominasi warna yang mengingatkannya pada salju atau krim pada kue. Tetapi cahaya yang memancar dari dalam melalui jendela-jendela bening besar di dinding, justru memberikan kesan hangat di Sabtu malam yang dingin ini.

Untuk sesaat, Irna merasakan langkahnya meragu. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk datang ke sini tanpa pertimbangan lebih dalam. Ia bahkan tidak tahu seperti apa wajah Jane yang mengundangnya datang itu. Tadi ia memang sudah mengirim pesan pada Ibel. Tetapi karena lelaki itu tidak kunjung membalas, maka ia memilih untuk datang sendiri.

Sekarang ia sudah terlanjur ada di sini. Kalau Jane ternyata tidak muncul, setidaknya ia bisa memakan sepotong-dua potong kue yang ditampilkan cake display.

Tepat ketika Irna hendak mendorong pintu, tiba-tiba ada sesuatu menutupi lensa kacamata yang dipakainya.
***

Ibel terbangun karena tenggorokannya sekering padang pasir. Ia membuka mata dan menemukan kegelapan. Dengan kepala yang terasa pening, ia berjalan terhuyung menuju tombol sakelar di dinding. Matanya memicing saat sinar lampu membanjiri kamarnya.

Sudah berapa jam ia tertidur? Sampai ia tidak sadar matahari sudah terbenam. Sekarang ia hanya bisa merasakan sekujur tubuhnya yang terasa kaku.

Sambil meregangkan otot punggung dan lehernya, Ibel berjalan ke dapur untuk meneguk segelas air. Setelah air membasahi tenggorokannya, seluruh tubuhnya langsung kembali pada tugas masing-masing. Terutama pandangannya yang sempat mengabur, sekarang bisa dengan jelas melihat angka pada jam tangan yang masih melingkari pergelangannya selama ia tidur.

Pukul delapan malam. Lebih sepuluh menit. Astaga. Irna pasti mengkhawatirkannya karena ia tidak memberi kabar selama lebih dari empat jam.

Bergegas, Ibel kembali ke kamarnya. Ia menyambar ponselnya dari atas nakas dan berdecak saat mendapati benda itu dalam keadaan padam total kehabisan baterai. Syukurlah, calon istrinya itu bukan tipikal gadis posesif yang akan merongrongnya setiap detik. Jadi, ia yakin Irna tidak akan keberatan menunggu sebentar lagi.

Ibel membiarkan ponselnya mendapatkan suntikan daya. Sementara ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Teman-temannya memang keterlaluan.  Tadi mereka berkali-kali menyebutnya sebagai 'playboy tobat', mengoleskan krim kue ke wajahnya, bahkan menyiramkan minuman manis ke pakaiannya. Semua perlakuan tidak menyenangkan itu dilakukan karena mulai minggu depan Ibel resmi melepas masa lajangnya.

Rasanya benar-benar menyesal ia mengundang para begundal itu ke acara pernikahannya. Awas saja kalau mereka mengacau!

Beruntung, ada Indra yang masih cukup waras untuk bertindak sebagaimana mestinya seorang teman. Bahkan berbaik hati untuk mengantarnya pulang dengan selamat.

Sekarang Ibel merasa jauh lebih baik setelah tubuhnya bersentuhan dengan air. Sambil mengusap-usap rambut basahnya dengan handuk, ia menyalakan ponselnya. Beberapa pesan masuk secara bersamaan. Ibel mengabaikan yang lain dan hanya fokus pada dua pesan terbaru yang dikirim Irna.



Ibel tersentak bangun dari tepi tempat tidur yang didudukinya. Handuk basahnya jatuh ke lantai. Ia langsung mengenakan jaket dan celana panjang yang pertama kali dilihatnya, tanpa peduli pakaian itu kotor atau bersih.

Setengah berlari, Ibel keluar dari kamar. Tetapi begitu mendapati kunci mobilnya tidak berada di tempat biasa, ia langsung mengumpat kesal. Tergesa, jemarinya bergerak meraih ponsel untuk menghubungkannya pada Indra.

"Di mana kunci mobilku?" ucap Ibel tanpa menunggu Indra mengucapkan kalimat sapaan.

Sejak bersama Irna, Ibel rela mengganti motor kerennya dengan sebuah mobil sederhana. Hanya untuk memastikan gadis itu tidak akan kehujanan dan kepanasan setiap kali mereka kencan.

"Tadi aku taruh di tempat bia─maaf, terbawa di sakuku."

"Sial," umpat Ibel sambil membuka pintu setelah mengenakan sepatunya.

"Tunggu, ya. Aku akan mengantar kunci mobilmu."

"Tidak perlu. Aku buru-buru." Ia terus memacu langkahnya menuju jalan raya.

"Kenapa kamu terdengar panik, Kawan?"

"Irna pergi menemui Jane."
***

Indra terdiam mendengar kalimat yang diucapkan Ibel melalui sambungan telepon. "Ya. Lalu?"

"Aku takut Jane melakukan sesuatu yang buruk kepada Irna," jawab Ibel dengan napas terengah. "Taksi!"

"Kurasa kamu terlalu berlebihan. Kecuali Jane memegang rahasia terburukmu."

Ibel tidak langsung menjawab. Terdengar bunyi pintu mobil yang dibuka kemudian ditutup. "Kamu kurang mengerti perempuan, Kawan. Mereka bisa saja berubah kejam kepada sesamanya." Ibel memberitahukan tujuannya pada sopir taksi. "Sudah, ya."

Dan sambungan terputus.

Indra memandang ponselnya yang terasa sedikit hangat. Lalu detik berikutnya, jemarinya sudah bergulir di layar gawai, mencari satu nama.

Tidak perlu menunggu lama, panggilan dijawab. Suara dengung obrolan langsung membelai telinga Indra.

"Jane, Ibel menuju lokasimu sekarang."
***

Ini bukan pertama kalinya Cakewalkers menjadi tempat perayaan. Entah itu pesta sweet seventeen atau makan malam untuk merayakan anniversary. Tetapi acara seperti malam ini baru pertama kali terjadi.

Seorang gadis bernama Jane menyewa seluruh teras belakang Cakewalkers.  Bahkan meminta toko itu untuk buka sampai jam sepuluh malam. Para pramuniaga dan kasir yang bertugas hari itu hendak mengajukan protes, tetapi begitu mendengar kata 'bonus' dari Manajer, mereka semua dengan senang hati lembur dan pulang satu jam lebih lama dari biasanya.

Pelanggan yang menyewa tempat hanya dua hari sebelum acara itu juga meminta bahwa hanya perempuan yang boleh masuk ke area pestanya. Entah itu pramuniaga atau pun cleaning service, semua harus berjenis kelamin perempuan. Begitu juga dengan tamu-tamu yang diundangnya, semua perempuan.

'Pokoknya, laki-laki dilarang masuk,' tegas Jane sebelum acaranya tadi dimulai.
***

Ibel tidak berhenti menghubungi ponsel Irna. Tetapi nomor gadis itu tidak aktif. Begitu juga dengan nomor Jane yang terus menerus mengalihkan panggilannya.

Setelah sedikit berputar-putar, taksi itu akhirnya mengantarkan Ibel ke tempat yang benar. Ia langsung melompat turun tanpa merasa perlu meminta kembalian uangnya.

Pasangan seusia ayah dan ibunya keluar dari toko kue itu. Keduanya menatap heran pada wajah panik Ibel. Apalagi ketika ia melesak masuk melewati pintu kaca itu dengan kasar, membuat pasangan itu menggeleng-geleng. Bingung dengan tata krama yang seolah semakin tidak diindahkan.

"Irna!" seru Ibel begitu pintu kaca berayun menutup di belakangnya.

Seluruh panca indranya bekerja sama. Mulutnya terus memanggil nama Irna. Jemarinya terus menghubungi nomor Irna melalui ponselnya. Matanya beredar cepat mencari sosok calon istrinya itu.

Tetapi yang ada hanya seorang mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya, seorang Ayah bersama anaknya, tiga orang pegawai kantoran yang tampak santai menikmati kopi mereka, serta para pramuniaga yang bertugas malam ini. Semuanya menatap pada Ibel yang mirip seperti tarzan lepas dari hutan.

Hingga akhirnya tiba-tiba ia melihat jendela dan pintu kaca yang mengarah ke teras belakang ditutupi kain berwarna hijau. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik itu.

Astaga. Apa itu tempat pembantaian calon istrinya?

"Irna!" Ibel ingin menerjang masuk tetapi dua orang lelaki yang berdiri di sana bagaikan penjaga langsung menghalanginya.

"Mohon maaf. Area ini sedang disewa untuk acara."

"Minggir! Aku mau masuk!"

"Laki-laki dilarang masuk. Silakan Anda tunggu sampai acara selesai."

"Kalian mau aku tuntut karena terlibat kriminal?" ancam Ibel.

"Silakan tuntut saja."

Suara itu bukan berasal dari dua lelaki yang menghadang Ibel. Tentu saja karena itu merupakan suara perempuan.

Ibel menoleh dan mendapati seorang gadis seusia dirinya sedang berdiri di samping salah satu meja. Gadis itu mengenakan blus hijau pupus yang dipadukan dengan jeans kurus yang membalut kakinya. Berbeda dengan seragam warna batu bata yang dikenakan para pramuniaga dan dua orang yang menghalanginya. Ia menatap tajam Ibel dengan kedua mata cokelat di bawah lengkungan alisnya yang terukir rapi.

"Saya juga bisa tuntut Anda karena membuat kegaduhan, mengatakan fitnah, dan melakukan pengancaman."

"Di dalam sana, mungkin saja calon istriku sedang disiksa oleh mantan pacarku."

"Mungkin?" Alis gadis itu terangkat skeptis. "Anda punya buktinya?"

Ibel terdiam. Ia tidak bisa menunjukkan bukti untuk mendukung tuduhannya.

"Kalau sudah tidak ada, silakan keluar." Gadis itu melirik jam tangannya. "Sudah jam sembilan. Saatnya tutup. Pegawai Cakewalkers butuh istirahat."
***

Ini adalah enam puluh menit terlama dalam hidup Ibel.

Ia menunggu dengan gelisah di pelataran parkir Cakewalkers. Beberapa kendaraan masih terparkir di sana. Salah satunya ia kenali sebagai mobil Jane. Itu yang membuat ia yakin untuk tetap menunggu di sini.

Ibel menghabiskan masa penantiannya dengan duduk di atas beton pemisah, berjalan mondar-mandir, hingga mencabuti ujung-ujung rumput tidak bersalah yang dibiarkan tumbuh di pekarangan Cakewalkers.

Penantiannya berakhir ketika ia melihat segerombolan perempuan keluar melalui pintu depan Cakewalkers. Sekitar dua puluh orang─bisa kurang atau lebih, Ibel tidak tahu pasti. Mereka semua mengenakan kaus berwarna hijau bertuliskan 'PMI'. Ibel sempat berpikir sedang ada rapat untuk acara donor darah. Sampai kemudian ia mengenali wajah para gadis yang saling mengobrol akrab itu.

Ibel bergeming. Tidak mau siapa pun menyadari kehadirannya. Ia akan menunggu sedikit lebih lama sampai Irna muncul.

Sayangnya, salah satu dari mereka mengedarkan pandangan dan langsung menangkap sosok Ibel yang berdiri di samping pohon.

"Ibeeeelll!" seru gadis berambut sepinggang itu sambil berlari ke arah Ibel.

Itu salah seorang dari mantan Ibel saat kuliah. Mereka hanya pacaran selama dua bulan. Gadis itu yang memutuskan sambil meminta maaf. Katanya, ia merasa bersalah karena sudah menyelingkuhi Ibel selama satu bulan terakhir.

"Hei, dia itu calon suami orang." Terdengar suara yang mengingatkan.

Yang itu mantan Ibel saat SMA. Si juara kelas. Gadis itu memutuskan hubungan mereka karena Ibel menggesernya dari peringkat satu. Itu benar-benar suatu ketidaksengajaan. Selama kencan, gadis itu lebih suka membicarakan pelajaran daripada membahas hobi atau makanan favorit masing-masing. Dan Ibel hanya menyimak dengan sabar. Siapa sangka obrolan itu justru mempermudah ia memahami pelajaran di kelas.

"Ah, benar juga." Gadis berambut sepinggang berhenti beberapa langkah di depan Ibel. Itu membuat Ibel bisa melihat tulisan di kaus itu dengan lebih jelas. Tertulis frasa 'Para Mantan Ibel' di bawah 'PMI'.

Kedua mata Ibel membeliak. Sejak kapan ada perkumpulan sesat seperti itu?

"Maaf, ya, Irna."

Masih suara yang sama. Tetapi mendengar nama calon istrinya disebut, Ibel langsung mengalihkan perhatiannya.

Dan di sana ia melihat bidadari sedang tersenyum padanya. Tanpa sayap lebar maupun cahaya yang berpendar, tetapi membuat matanya enggan berkedip.

Irna berdiri di sana. Senyum untuk Ibel menghiasi wajahnya. Gadis itu mengenakan gaun warna dadu berbahan sifon. Rambutnya yang terbiasa diurai dan sedikit berantakan, kali ini digelung rapi berhiaskan bunga-bunga.

Ibel menyerbu maju dan langsung menarik bidadari itu ke dalam dekapannya. Lantas disambut sorak-sorai di sekelilingnya.

"Kamu baik-baik saja?"

Irna mengangguk di dada Ibel. "Seperti yang kamu lihat."

Ibel melepas pelukannya lalu memandangi penampilan Irna lebih saksama. "Kenapa kamu repot-repot berdandan secantik ini?"

Pipi Irna tersipu. "Tadi Jane yang menyiapkan ini. Teman-temanmu─" Irna memandang sekeliling. "─yang mendandaniku."

Ibel mengembuskan napas lega.

"Ini ada sisa sepotong MatchAmore untukmu," ucap Irna sambil menyerahkan kantung yang sejak tadi dipegangnya. "Kuenya sangat enak. Tanpa sadar, aku memikirkanmu saat memakannya."

"Terima kasih."

Irna menggeleng. "Tidak. Terima kasih."

Kening Ibel berkerut. "Untuk?"

"Tadi Jane bilang, 'kalau nanti Ibel tetap menunggumu, jangan ragu untuk menikahinya. Tapi kalau dia tidak datang, batalkan saja. Aku punya banyak kenalan laki-laki yang jauh lebih baik. Akan aku kenalkan salah satunya padamu'," ucap Irna menirukan kata-kata Jane. "Jadi, terima kasih sudah datang."
***

"Terima kasih, ya, La," ucap Jane pada gadis bermata cokelat di sampingnya.

"Sama-sama. Maaf aku tidak bisa banyak membantu."

"Kamu sudah berhasil mengusirnya tadi. Itu sudah sangat membantu."

Jane tersenyum puas. Semua sesuai rencananya. Ia bersyukur bersahabat dengan Pamela yang bekerja sebagai Manajer di Cakewalkers.

"Aku baru tahu kamu suka pakai kaus norak begitu."

Jane tergelak. "Ini hanya bagian dari properti acara."

"Dua tahun berpacaran dan malam ini kamu mengatur pesta lajang untuk calon istri mantan pacarmu. Ini jenis kegilaan macam apa?" tanya Pamela sarkartis.

"Ibel lebih dari mantan pacar, kamu tahu? Dia sudah seperti saudara bagiku. Selama ini juga dia sering membantuku meskipun kami sudah putus. Kurasa tidak ada salahnya aku berbuat baik sedikit." Jane melempar pandangan kembali ke kerumunan di depan Cakewalkers. "Lagi pula, ternyata bukan cuma aku yang berpikir begitu."

Selama beberapa detik, keheningan hadir di antara dua gadis itu. Hanya angin malam yang berembus lembut.

"Oh, ya, ini ada MatchAmore sebagai bonus," ucap Pamela memecah keheningan. Gadis itu menunjuk kotak warna putih di atas salah satu meja di teras Cakewalkers.

"Meskipun itu kue favoritku, tapi kali ini aku rela kamu memberikan itu pada pasangan yang sedang berbahagia di sana." Jane mengangkat dagunya ke arah Ibel dan Irna yang masih berpelukan di pelataran parkir.

Pamela tersenyum miring. "Kuharap kamu juga segera bertemu pasanganmu."

"Ucapkan itu pada dirimu sendiri." Jane  menyinggung bahu Pamela, lalu kembali mengurai tawa. "Sekali lagi, terima kasih, ya, La. Maaf sudah membuat kehebohan di Cakewalkers."


"Ini Sabtu." Pamela mengangkat bahu. "Kami sudah terbiasa."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar