Sabtu, 08 September 2018

Red VeLovet - Memories


Perceraian selalu dijadikan jalan pintas bagi pasangan yang bermasalah dalam rumah tangga mereka. Seakan-akan lupa mengapa dahulu mereka memutuskan menikah. Seakan-akan cinta yang sejak lama dipupuk layu begitu saja. Seakan-akan hati mereka menyempit hingga tidak ada ruang untuk saling memahami.

Bahkan untuk pengacara sekelas Tantri, perceraian adalah kasus yang paling dihindarinya. Tetapi untuk kali ini, Bosnya yang meminta langsung padanya untuk menangani ini. 'Demi menaikkan nama firma hukum kita', kata Bosnya dan Tantri tahu itu karena klien mereka berasal dari kalangan selebriti.

Tantri memang terkenal sebagai pengacara bermulut tajam yang sanggup memangkas sulur pernyataan yang penuh dusta. Kemenangannya di pengadilan nyaris mencapai sembilan puluh delapan persen. Itulah yang diharapkan Bosnya. Kemenangan mutlak. Ia sudah mengatakan bahwa masih banyak cara lain untuk menaikkan nama firma hukum mereka, tetapi Bosnya menolak saran itu.

Apa pun yang berhubungan dengan dunia selebriti selalu tidak jauh dari drama. Saling lempar pernyataan di media, perebutan hak asuh anak, sampai pembagian harta gono-gini. Tidak seorang pun dari calon mantan pasangan itu yang bersedia menekan ego dan mengalah. Seolah sengaja membuat masalah perceraian ini semakin berlarut-larut sehingga nama mereka sering muncul di media.

Sementara itu, di sinilah Tantri sekarang. Pulang lebih malam dari biasanya. Padahal ini hari Jumat yang dinantikan banyak orang. Rekapitulasi data kasus tidak pernah membuat ia selejar ini. Untuk semua kepenatan itu, ia membutuhkan penawar terbaik.

Secangkir kopi kental.

Sayangnya, ia terlalu capai untuk membuat kopi untuk dirinya sendiri. Maka, ia memutuskan mampir ke sebuah toko kue bernama Cakewalkers yang terletak tidak jauh dari apartemennya.

Tantri mendorong pintu kaca itu dengan satu tangan. Obrolan pramuniaga yang sedang membersihkan meja-meja kosong menyapa telinganya. Jam tutup toko kue itu memang kurang dari dua belas menit lagi. Hanya tersisa tiga orang pelanggan duduk di dalam. Ia beharap masih ada sesuatu yang bisa dihidangkan untuknya.

"Kira-kira besok bakal terjadi kehebohan apa, ya?"

"Benar juga. Besok, kan, Sabtu yang terkenal itu."

"Aku jadi tidak sabar."

Degung obrolan itu perlahan memudar seiring langkah Tantri ke meja pemesanan. Seorang pramuniaga menyapanya dengan senyum ramah walaupun kedua matanya mengisyaratkan letih. Batinnya pasti menggerutu pada pelanggan yang datang di jam terakhir seperti Tantri.

"Selamat datang. Mau pesan apa?"

Tantri melirik naik pada papan menu yang membentang sambil mengucapkan pesanannya. "Espresso. Dibawa pulang," ujarnya sambil menyerahkan selembar uang.

Pramuniaga itu mengulang pesanan Tantri, memberinya setruk pembayaran dan uang kembalian, lalu meminta sang pelanggan untuk menunggu.

Tantri mengangguk dan mengalihkan perhatian ke arah etalase kaca yang sudah nyaris kosong. Hanya tersisa beberapa roti isi dan seiris kue yang langsung membuat Tantri tertegun.

Seolah terhipnotis, gadis itu menunjuk kue itu dari luar kaca. "Tolong tambah ini sekalian."

"Satu Red VeLovet. Untuk dibawa pulang?"

Tantri mengangguk. Pramuniaga memindahkan kue itu ke dalam wadah karton berbentuk segitiga yang sesuai dengan potongan Red VeLovet.

Sepertinya kasus yang Tantri tangani kali ini benar-benar menguras kewarasannya.
***

Merah.

Tantri tidak mengerti mengapa ia memilih kue berwarna merah ini. Padahal warna merah selalu mengingatkannya pada lelaki itu. Atau ia memang membeli kue ini karena teringat pada lelaki itu?

Sudah lewat tengah malam dan Tantri masih terjaga. Padahal kopinya sama sekali belum tersentuh satu teguk pun. Minuman itu mendingin di dalam gelas kertas di atas meja dapur.

Tantri menatap potongan kue di hadapannya seolah itu obyek penelitian di laboratorium. Lalu setelah puluhan menit berlalu, ia memberanikan diri meraih garpu plastik bening yang diikutsertakan di dalam kemasan kue. Ia menarik napas sambil membulatkan tekad. Biasanya, ia selalu menghindari makanan manis yang tidak cocok dengan lidahnya. Tetapi kali ini, ia tidak mau menjadi tidak bertanggung jawab dengan tidak menghabiskan makanan. Suatu kontradiksi dengan kopinya yang mulai berubah menjadi air mata barista.

Satu suapan kecil mendarat ke dalam mulut Tantri. Kedua matanya melebar.

"Hem... enak," gumam Tantri sambil mengambil potongan lebih banyak. Ternyata rasanya tidak seperti menelan satu sendok penuh gula seperti yang selama ini ia kira.

Tidak sampai lima menit, seiris Red VeLovet itu tandas. Hanya tersisa krim yang menempel di bagian dalam karton. Tantri membuang kemasan itu ke tempat sampah lalu minum segelas air.

Tantri tidur nyenyak malam itu. Bersama seberkas kenangan yang menjelma mimpi.
***

'Astaga, kamu masih menungguku?' Napas Tantri terengah-engah dan raut wajahnya tampak khawatir. Lelaki itu tahu pasti Tantri setengah berlari untuk datang ke sini.

Setengah berlari dan setengahnya lagi merasa bersalah karena membiarkan lelaki itu menunggu di bawah hujan selama satu jam.

'Tentu saja,' jawab lelaki itu lirih dengan bibir berubah pucat. 'Karena kamu bilang mau datang.'

Perasaan bersalah membanjiri wajah cantik Tantri. Tanpa mengucapkan lebih banyak kalimat, ia langsung menghela lelaki bermata biru itu untuk memasuki kafe terdekat.

Begitu teh hangat terhidang di hadapan mereka, lelaki itu segera mengulurkan kedua tangannya untuk menggenggam cangkir. Kehangatan langsung menjalar melalui kulit telapak tangannya.

'Kenapa tidak berteduh?' tanya Tantri penuh sesal.

Lelaki kaukasoid itu menyesap tehnya. 'Tadi di telepon aku sudah bilang akan menunggumu di depan boks telepon yang merah itu.'

'Tapi, kan, kamu bisa berteduh sebentar,'  ucap Tantri dengan nada frustrasi. 'Setelah hujan reda, kita pergi beli ponsel untukmu. Supaya aku bisa lebih mudah memberimu kabar. Tadi ada sedikit masalah di kantor—'

'Aku mengerti. Tidak apa-apa,' sela pacarnya itu sambil menggenggam tangan kiri Tantri di atas meja. 'Lagi pula kamu pernah bilang hujan di sini tidak ada apa-apanya dibanding hujan di negara asalmu.'

Tantri menangkupkan tangan kanannya ke atas punggung tangan lelaki itu. 'Lihat, tanganmu sampai dingin begini.'

Alih-alih menghiraukan kekhawatiran Tantri, lelaki itu malah melemparkan pandangannya ke luar jendela. Rintik hujan masih mengguyur di luar sana.

'Tidak terasa, ya. Satu tahun sudah berlalu.'

Tantri mengikuti arah pandangan lelaki itu. Benar juga. Mereka sudah bertemu kembali dengan September. Dan selama itu pula mereka sudah bersama.

Selama beberapa menit mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tantri memerhatikan lelaki di sampingnya yang masih merenung pada hujan yang turun. Entah apa yang dipikirkannya.

Tantri baru menyadari bahwa lelaki itu hanya mengenakan mantel basah di atas pakaiannya. Padahal cuaca hari ini lebih dingin dari biasanya. Beruntung, kehangatan kafe ini melingkupi mereka dari udara dingin yang menggigit.

Secara impulsif Tantri menarik tangannya untuk melepas syal merahnya. Lalu ia melingkarkan benda rajutan itu ke leher lelaki yang ia cintai itu.

Tersadar, lelaki itu melirik sambil menyentuh syal di lehernya. Kehangatan mengisi hatinya dan mengukir senyuman di wajahnya. 'Terima kasih. Kamu benar-benar baik hati.' Tiba-tiba binar kesedihan terpantul di sepasang mata biru itu. Ia menggeleng sambil melepas syal milik Tantri. 'Tapi sebaiknya jangan. Nanti syalmu basah.'

Tantri menahan gerakan lelaki itu. 'Tidak apa-apa. Kamu tadi kehujanan karena menungguku.'

Lelaki itu tersenyum seraya mengalungkan kembali syal ke leher pemiliknya. 'Aku tidak mau membuat syalmu basah. Tapi aku lebih tidak mau menjadi penyebab pipimu basah karena air mata.'

Tantri berdeham ringan untuk mengalihkan perhatian dari pipinya yang terasa hangat. Mungkin penghangat ruangan di kafe ini bekerja terlalu keras. 'Kalau begitu, biarkan aku memelukmu.'

Tanpa menunggu persetujuan lelaki itu, Tantri sudah beringsut maju untuk melaksanakan maksudnya. Tidak peduli walaupun syal dan mantelnya ikut basah karena menempel pada pakaian lelaki itu yang kuyup karena hujan.

Untuk sesaat tubuh lelaki itu seperti menegang dalam pelukan Tantri. Namun perlahan tubuhnya menjadi lebih rileks. Dan akhirnya membalas pelukan yang diterimanya. Ia juga sempat bergumam di antara rambut Tantri. 'Andai saja aku bisa menghentikan waktu.'

Tiga bulan kemudian Tantri baru mengerti mengapa suara lelaki itu terdengar sedih.
***

Tantri terbangun dengan kedua pipi yang basah. Setengah basah karena air mata, setengah lagi basah karena iler yang menitik di sudut bibirnya. Kebiasannya kalau tidur dalam keadaan terlalu lelah.

Alih-alih langsung mengambil tisu untuk menyeka wajahnya, Tantri malah terpekur di atas kasur. Kenangan yang sudah terkubur dalam peti perasaannya mendadak muncul kembali.

Tantri meremas rambutnya yang kusut. Mengapa lelaki yang tidak ingin lagi Tantri sebut namanya itu hadir kembali dalam mimpinya?

Selama mereka bersama, lelaki Inggris itu memang tidak pernah menjanjikan apa-apa. Begitu juga Tantri yang tidak berniat menuntut apa-apa dari hubungan mereka.

Hingga suatu hari, lelaki itu datang ke flat Tantri di tengah cuaca dingin kota London. Bukan untuk mengajak Tantri makan malam seperti biasa, melainkan untuk meruntuhkan kuncup harapan di hati gadis itu.

'Ayahku seorang Earl.'

Tantri meraih gelar magister dari salah satu universitas di London, jadi otaknya tidak terlalu bebal untuk memahami ke mana arah pembicaraan saat itu. Ia langsung menyadari bahwa lelaki itu merupakan bangsawan sementara dirinya hanya rakyat jelata. Dan cinta di antara mereka merupakan khayalan semata.

Lelaki itu bercerita bahwa selama satu setengah tahun ini ia sedang dihukum. Itu semua karena ia mabuk dan mengacau di tempat umum. Ayahnya menyuruh ia hidup sendiri di tempat tinggal sederhana. Tanpa fasilitas yang selama ini ia dapatkan, termasuk ponsel. Ia juga wajib menuliskan perbuatan baiknya di buku yang disediakan Ayahnya. Bahkan pertemuan pertamanya dengan Tantri menjadi bagian dari laporan itu. Ia menuliskan 'membantu seorang perempuan yang ujung hak sepatunya tersangkut di konblok'.

'Meskipun Ayahku selalu mengajarkan untuk bersikap sopan pada semua orang tanpa memandang status sosial mereka, tapi untuk urusan pernikahan dalam keluargaku adalah hal yang berbeda. Pasanganku sudah ditentukan sejak lama.' Lelaki itu memasang ekspresi yang memancing rasa iba. 'Dan mimpi buruk itu akhirnya tiba.'

Padahal Tantri hampir lupa semua kejadian itu. Ia beruntung belum sempat memperpanjang kontrak dengan firma hukum tempatnya magang. Pulang ke Indonesia adalah pilihan terbaik. Sedikit lagi ia akan benar-benar melepas beban itu.

Apa semua ini karena Red VeLovet yang ia makan semalam?

Sinting! Hanya karena sepotong kue, hancurlah tiga tahun perjuangannya untuk melupakan.
***

Tantri tidak tahu apa yang ia pikirkan. Tetapi begitu sadar, ia mendapati dirinya sedang mendorong pintu kaca Cakewalkers. Berbeda dengan kemarin malam saat ia memasuki toko kue ini dengan setelan formal dan tas kerjanya. Sabtu ini ia mengenakan jaket satin dan sweat pants. Penampilannya tampak lima tahun lebih muda.

Tidak ada waktu untuk berdandan. Semua serba mendadak karena pikiran sintingnya.

Kalau memang benar kue yang kemarin itu bisa membawanya menjelajah masa lalu, Tantri rela melakukan apa saja. Ia ingin melihat kembali kenangan itu.

Saat mereka berada di dalam London Eye. Saat lelaki itu menggenggam tangannya di tepi sungai Thames. Saat mereka duduk berdua di dalam bus. Saat semuanya terasa indah dan baik-baik saja

"Aku mau kue yang ini."

"Tolong Red VeLovet-nya satu."

Tantri menoleh saat mendengar suara maskulin yang menyaingi suaranya. Seorang lelaki langsung membalas sengit tatapannya. Jari telunjuk lelaki itu juga menekan kaca etalase ke arah sepotong kue yang diinginkan Tantri.
***

Siang ini tidak terlalu terik. Padahal jarum jam sudah bergerak mendekati angka satu. Simon memasuki Cakewalkers dan langsung menuju tempat pemesanan. Langkahnya santai seolah tempat itu adalah rumahnya sendiri. Ia menunjuk kue di etalase bersamaan dengan seorang gadis yang juga menginginkan kue yang sama.

"Maaf, tapi itu Red VeLovet terakhir," ucap pramuniaga dari bagian belakang etalase.

Tantri memaksa senyum manisnya muncul agar pramuniaga itu berpihak padanya. "Aku datang lebih dulu, jadi kue ini milikku."

"Sebenarnya kita datang nyaris bersamaan, Nona." Simon bergerak maju lebih dekat pada etalase.

"Silakan pilih kue yang lain, Tuan," balas Tantri gigih.

"Tolong Red VeLovet-nya satu," ulang Simon pada pramuniaga yang mulai bingung. Ia berusaha tidak meladeni gadis keras kepala di sebelahnya.

"Mana ada laki-laki makan kue berwarna merah." Kesintingan Tantri mengundang bibirnya untuk mengaitkan masalah gender yang tidak ada hubungannya dengan makanan. "Kurasa, yang berwarna cokelat lebih cocok denganmu."

Simon menoleh dengan tatapan tajam. "Apa itu masalah buatmu?"

"Mengalah sedikit sama perempuan."

"Mengalah sedikit sama anak kecil."

Lagi-lagi Simon dan Tantri bersuara berbarengan. Para pengunjung yang mengantri di belakang mereka menahan tawa masing-masing. Begitu juga para pramuniaga yang memang sudah menunggu kehebohan sejak toko dibuka hari ini. Perdebatan di depan etalase ini lebih mirip opera sabun.

"Fisikmu memang selayaknya laki-laki dewasa, tapi kelakuanmu seperti anak kecil." Tantri mengangguk. Lalu detik berikutnya mengeryit bingung. "Anak kecil?"

Kepala Tantri bergerak lebih rendah dan mendapati seorang gadis kecil yang tingginya belum mencapai satu meter. Gadis itu mendongak pada Tantri dengan wajah bingung, sementara kedua tanganya berpegangan pada Simon.

Tantri berjongkok untuk menyejajarkan pandangan dengan gadis berkucir dua itu. "Kamu sangat ingin makan kue itu, ya?" tanya Tantri dengan lembut.

Gadis itu melirik naik pada Simon. Setelah lelaki itu mengangguk, ia baru bersuara. "Iya, Tante."

"Tidak mau kue yang lain saja?"

Anak itu menggeleng.

"Kalau begitu, kita sama," ucap Tantri tetap lembut walaupun sedikit kesal dengan cara anak itu memanggilnya. Ia kembali berdiri dan bertanya pada pramuniaga. "Memangnya tidak ada stok lagi?"

"Kokinya sedang istirahat. Red VeLovet selanjutnya baru keluar lagi jam tiga."

Tantri mengangguk-angguk. Masih dua jam lagi. Ia tidak mau menunggu selama itu. "Apa aku bisa memesan satu Red VeLovet utuh?" tanya Tantri sambil membentuk lingkaran dengan lengkungan jemarinya.

"Bisa."

"Untuk jam tiga nanti?"

"Ya."

Simon tersenyum lega. Akhirnya gadis itu mau mengalah. "Terima ka—"

"Tolong bungkus potongan terakhir ini untukku. Dan juga pesananku tadi berapa totalnya?"

"Hei, hei." Simon berusaha menyela gadis yang terus berbicara tanpa perasaan itu.

Sambil sedikit mengangkat dagu, Tantri menggenggam kantung kuenya. "Aku sudah membayar lunas. Jadi ini milikku." Lalu ia menunduk untuk mengelus kepala anak kecil itu. "Kamu mau Red VeLovet satu lingkaran utuh?"

"Mau, Tante," jawabnya sambil mengangguk berkali-kali.

"Kalau begitu tunggu dengan sabar sampai jam tiga, ya," ujar Tantri sambil menegakkan tubuh.

"Hei, tidak bisa begitu—"

"Tentu saja bisa," sela Tantri sambil berlalu. "Selamat menunggu."

"Terima kasih, Tante!"

Teriakan itu mengantarkan langkah kaki Tantri keluar dari toko kue itu. Ia bergegas pulang agar bisa kembali menjelajah kenangan. Cepat-cepat ia menghabiskan Red VeLovet itu dan mencoba tidur.

Sayangnya, tidak ada mimpi apa pun yang hadir. Selain ingatan tentang sepasang netra yang menatapnya sengit di Cakewalkers siang ini. Hanya itu yang membayang di balik kelopak matanya.
***

Tantri malas melihat begitu banyak kios memajang tabloid-tabloid yang memberitakan perceraian selebriti sebagai bagian sampul depannya. Seolah-olah pekerjaannya mengekorinya pulang. Hampir tiga bulan berlalu dan masalah perceraian itu belum juga selesai. Proses mediasi hanya berisi kentalnya ego masing-masing. Belum lagi media massa yang seolah sengaja menambah panas kasus itu dengan mencampurkan berbagai asumsi ke dalam berita yang mereka tulis. Dan Bosnya bersorak senang karena nama firma hukum mereka semakin sering disebut. 'Promosi gratis.' Begitu kata Bosnya. Tetapi Tantri bersyukur kesibukannya cukup membantu ia melupakan beberapa hal yang memang seharusnya tidak diingat lagi.

Malam ini, Tantri tidak langsung pulang. Ia mampir ke supermarket untuk membeli isi kulkasnya.

Sambil mendorong troli yang sudah dipenuhi belanjaan utama, ia mulai menyusuri area camilan kering. Dan hatinya langsung bersorak saat melihat keripik kentang kesukaannya ada di rak. Satu bungkus terakhir! Lucky!

Tantri melanjutkan kegiatan belanjanya hingga tiba di depan rak yang memajang produk kopi dan teh. Ia memilih kopi kesukaannya lalu perhatiannya tertarik pada salah satu varian teh—minuman yang sudah ia hindari selama ini. Biasanya, teh dicampur dengan lemon. Tetapi yang satu ini dicampur stroberi. Tidak ada salahnya mencoba. Jadi ia mengulurkan tangan untuk meraih satu kotak.

Tepat saat itu, ada tangan lain yang juga memegang kotak teh yang sama. Tantri langsung memasang ekspresi garang yang langsung berubah kaget saat melihat si pemilik tangan.

Begitu juga lelaki itu yang tidak menyangka akan memegang kotak yang sama. Cepat-cepat, ia menarik mundur tangannya. "Silakan. Aku tidak akan berdebat denganmu kali ini," ucap Simon sambil meraih kotak teh stroberi yang lain.

Tantri menelan ludah. Kedua mata lelaki itu menatapnya lebih ramah kali ini. Tidak lagi sengit seperti yang diingatnya. Penampilannya juga tampak berbeda dengan celana kain dan kemeja. Sepertinya lelaki itu juga mampir dalam perjalanan pulang dari kantor. Sama seperti Tantri. "Terima kasih," cicitnya gugup.

"Oh, tidak. Aku yang harusnya berterimakasih." Simon melengkungkan senyum bersahabat. "Anakku sangat senang karena Red VeLovet yang kamu belikan waktu itu. Aku tetap tidak mengizinkannya makan lebih dari satu potong tapi dia tidak marah. Dia tetap senang karena teman-temannya bersedia memenuhi undangan mendadak itu dan makan kue bersamanya."

Anak? Kening Tantri mengernyit. "Syukurlah kalau begitu," ujarnya tulus.

Simon mengangguk. "Karena itu aku jadi menyadari bahwa sebenarnya anakku merasa kesepian setelah aku dan Ibunya bercerai. Dan untuk itu aku ingin menraktirmu makan malam—kalau kamu tidak keberatan."

Cerai? Kernyitan di kening Tantri semakin dalam. "Tidak perlu begitu—"

"Kamu boleh pilih tempatnya."

Tantri tertawa kecil. "Tapi aku tidak biasa makan malam dengan seseorang yang bahkan aku tidak tahu namanya."

Seolah baru tersadar, Simon mengangkat alis sambil mengulum senyum. Ia mengulurkan tangan. "Aku Simon."

Tantri mengerjap. Lalu detik berikutnya ia mendapati dirinya menjabat hangat uluran tangan itu sambil menyebut namanya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar