Perceraian
selalu dijadikan jalan pintas bagi pasangan yang bermasalah dalam rumah tangga
mereka. Seakan-akan lupa mengapa dahulu mereka memutuskan menikah. Seakan-akan
cinta yang sejak lama dipupuk layu begitu saja. Seakan-akan hati mereka menyempit
hingga tidak ada ruang untuk saling memahami.
Bahkan
untuk pengacara sekelas Tantri, perceraian adalah kasus yang paling
dihindarinya. Tetapi untuk kali ini, Bosnya yang meminta langsung padanya untuk
menangani ini. 'Demi menaikkan nama firma hukum kita', kata Bosnya dan Tantri
tahu itu karena klien mereka berasal dari kalangan selebriti.
Tantri
memang terkenal sebagai pengacara bermulut tajam yang sanggup memangkas sulur pernyataan
yang penuh dusta. Kemenangannya di pengadilan nyaris mencapai sembilan puluh
delapan persen. Itulah yang diharapkan Bosnya. Kemenangan mutlak. Ia sudah
mengatakan bahwa masih banyak cara lain untuk menaikkan nama firma hukum
mereka, tetapi Bosnya menolak saran itu.
Apa
pun yang berhubungan dengan dunia selebriti selalu tidak jauh dari drama.
Saling lempar pernyataan di media, perebutan hak asuh anak, sampai pembagian
harta gono-gini. Tidak seorang pun dari calon mantan pasangan itu yang bersedia
menekan ego dan mengalah. Seolah sengaja membuat masalah perceraian ini semakin
berlarut-larut sehingga nama mereka sering muncul di media.
Sementara
itu, di sinilah Tantri sekarang. Pulang lebih malam dari biasanya. Padahal ini
hari Jumat yang dinantikan banyak orang. Rekapitulasi data kasus tidak pernah
membuat ia selejar ini. Untuk semua kepenatan itu, ia membutuhkan penawar terbaik.
Secangkir
kopi kental.
Sayangnya,
ia terlalu capai untuk membuat kopi untuk dirinya sendiri. Maka, ia memutuskan
mampir ke sebuah toko kue bernama Cakewalkers yang terletak tidak jauh dari
apartemennya.
Tantri
mendorong pintu kaca itu dengan satu tangan. Obrolan pramuniaga yang sedang
membersihkan meja-meja kosong menyapa telinganya. Jam tutup toko kue itu memang
kurang dari dua belas menit lagi. Hanya tersisa tiga orang pelanggan duduk di
dalam. Ia beharap masih ada sesuatu yang bisa dihidangkan untuknya.
"Kira-kira
besok bakal terjadi kehebohan apa, ya?"
"Benar
juga. Besok, kan, Sabtu yang terkenal itu."
"Aku
jadi tidak sabar."
Degung
obrolan itu perlahan memudar seiring langkah Tantri ke meja pemesanan. Seorang pramuniaga
menyapanya dengan senyum ramah walaupun kedua matanya mengisyaratkan letih.
Batinnya pasti menggerutu pada pelanggan yang datang di jam terakhir seperti Tantri.
"Selamat
datang. Mau pesan apa?"
Tantri
melirik naik pada papan menu yang membentang sambil mengucapkan pesanannya.
"Espresso. Dibawa pulang," ujarnya sambil menyerahkan selembar uang.
Pramuniaga
itu mengulang pesanan Tantri, memberinya setruk pembayaran dan uang kembalian,
lalu meminta sang pelanggan untuk menunggu.
Tantri
mengangguk dan mengalihkan perhatian ke arah etalase kaca yang sudah nyaris kosong.
Hanya tersisa beberapa roti isi dan seiris kue yang langsung membuat Tantri tertegun.
Seolah
terhipnotis, gadis itu menunjuk kue itu dari luar kaca. "Tolong tambah ini
sekalian."
"Satu
Red VeLovet. Untuk dibawa pulang?"
Tantri
mengangguk. Pramuniaga memindahkan kue itu ke dalam wadah karton berbentuk
segitiga yang sesuai dengan potongan Red VeLovet.
Sepertinya
kasus yang Tantri tangani kali ini benar-benar menguras kewarasannya.
***
Merah.
Tantri
tidak mengerti mengapa ia memilih kue berwarna merah ini. Padahal warna merah selalu
mengingatkannya pada lelaki itu. Atau ia memang membeli kue ini karena teringat
pada lelaki itu?
Sudah
lewat tengah malam dan Tantri masih terjaga. Padahal kopinya sama sekali belum
tersentuh satu teguk pun. Minuman itu mendingin di dalam gelas kertas di atas
meja dapur.
Tantri
menatap potongan kue di hadapannya seolah itu obyek penelitian di laboratorium.
Lalu setelah puluhan menit berlalu, ia memberanikan diri meraih garpu plastik
bening yang diikutsertakan di dalam kemasan kue. Ia menarik napas sambil
membulatkan tekad. Biasanya, ia selalu menghindari makanan manis yang tidak cocok
dengan lidahnya. Tetapi kali ini, ia tidak mau menjadi tidak bertanggung jawab
dengan tidak menghabiskan makanan. Suatu kontradiksi dengan kopinya yang mulai
berubah menjadi air mata barista.
Satu
suapan kecil mendarat ke dalam mulut Tantri. Kedua matanya melebar.
"Hem... enak," gumam Tantri sambil
mengambil potongan lebih banyak. Ternyata rasanya tidak seperti menelan satu sendok
penuh gula seperti yang selama ini ia kira.
Tidak
sampai lima menit, seiris Red VeLovet itu tandas. Hanya tersisa krim yang
menempel di bagian dalam karton. Tantri membuang kemasan itu ke tempat sampah
lalu minum segelas air.
Tantri
tidur nyenyak malam itu. Bersama seberkas kenangan yang menjelma mimpi.
***
'Astaga,
kamu masih menungguku?' Napas Tantri terengah-engah dan raut wajahnya tampak
khawatir. Lelaki itu tahu pasti Tantri setengah berlari untuk datang ke sini.
Setengah
berlari dan setengahnya lagi merasa bersalah karena membiarkan lelaki itu menunggu
di bawah hujan selama satu jam.
'Tentu
saja,' jawab lelaki itu lirih dengan bibir berubah pucat. 'Karena kamu bilang mau
datang.'
Perasaan
bersalah membanjiri wajah cantik Tantri. Tanpa mengucapkan lebih banyak kalimat,
ia langsung menghela lelaki bermata biru itu untuk memasuki kafe terdekat.
Begitu
teh hangat terhidang di hadapan mereka, lelaki itu segera mengulurkan kedua tangannya
untuk menggenggam cangkir. Kehangatan langsung menjalar melalui kulit telapak
tangannya.
'Kenapa
tidak berteduh?' tanya Tantri penuh sesal.
Lelaki
kaukasoid itu menyesap tehnya. 'Tadi di telepon aku sudah bilang akan
menunggumu di depan boks telepon yang merah itu.'
'Tapi,
kan, kamu bisa berteduh sebentar,' ucap Tantri
dengan nada frustrasi. 'Setelah hujan reda, kita pergi beli ponsel untukmu. Supaya
aku bisa lebih mudah memberimu kabar. Tadi ada sedikit masalah di kantor—'
'Aku
mengerti. Tidak apa-apa,' sela pacarnya itu sambil menggenggam tangan kiri Tantri
di atas meja. 'Lagi pula kamu pernah bilang hujan di sini tidak ada apa-apanya dibanding
hujan di negara asalmu.'
Tantri
menangkupkan tangan kanannya ke atas punggung tangan lelaki itu. 'Lihat, tanganmu
sampai dingin begini.'
Alih-alih
menghiraukan kekhawatiran Tantri, lelaki itu malah melemparkan pandangannya ke
luar jendela. Rintik hujan masih mengguyur di luar sana.
'Tidak
terasa, ya. Satu tahun sudah berlalu.'
Tantri
mengikuti arah pandangan lelaki itu. Benar juga. Mereka sudah bertemu kembali
dengan September. Dan selama itu pula mereka sudah bersama.
Selama
beberapa menit mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tantri memerhatikan
lelaki di sampingnya yang masih merenung pada hujan yang turun. Entah apa yang
dipikirkannya.
Tantri
baru menyadari bahwa lelaki itu hanya mengenakan mantel basah di atas pakaiannya.
Padahal cuaca hari ini lebih dingin dari biasanya. Beruntung, kehangatan kafe
ini melingkupi mereka dari udara dingin yang menggigit.
Secara
impulsif Tantri menarik tangannya untuk melepas syal merahnya. Lalu ia
melingkarkan benda rajutan itu ke leher lelaki yang ia cintai itu.
Tersadar,
lelaki itu melirik sambil menyentuh syal di lehernya. Kehangatan mengisi
hatinya dan mengukir senyuman di wajahnya. 'Terima kasih. Kamu benar-benar baik
hati.' Tiba-tiba binar kesedihan terpantul di sepasang mata biru itu. Ia
menggeleng sambil melepas syal milik Tantri. 'Tapi sebaiknya jangan. Nanti
syalmu basah.'
Tantri
menahan gerakan lelaki itu. 'Tidak apa-apa. Kamu tadi kehujanan karena menungguku.'
Lelaki
itu tersenyum seraya mengalungkan kembali syal ke leher pemiliknya. 'Aku tidak
mau membuat syalmu basah. Tapi aku lebih tidak mau menjadi penyebab pipimu
basah karena air mata.'
Tantri
berdeham ringan untuk mengalihkan perhatian dari pipinya yang terasa hangat.
Mungkin penghangat ruangan di kafe ini bekerja terlalu keras. 'Kalau begitu,
biarkan aku memelukmu.'
Tanpa
menunggu persetujuan lelaki itu, Tantri sudah beringsut maju untuk melaksanakan
maksudnya. Tidak peduli walaupun syal dan mantelnya ikut basah karena menempel
pada pakaian lelaki itu yang kuyup karena hujan.
Untuk
sesaat tubuh lelaki itu seperti menegang dalam pelukan Tantri. Namun perlahan
tubuhnya menjadi lebih rileks. Dan akhirnya membalas pelukan yang diterimanya.
Ia juga sempat bergumam di antara rambut Tantri. 'Andai saja aku bisa
menghentikan waktu.'
Tiga
bulan kemudian Tantri baru mengerti mengapa suara lelaki itu terdengar sedih.
***
Tantri
terbangun dengan kedua pipi yang basah. Setengah basah karena air mata,
setengah lagi basah karena iler yang menitik di sudut bibirnya. Kebiasannya
kalau tidur dalam keadaan terlalu lelah.
Alih-alih
langsung mengambil tisu untuk menyeka wajahnya, Tantri malah terpekur di atas
kasur. Kenangan yang sudah terkubur dalam peti perasaannya mendadak muncul kembali.
Tantri
meremas rambutnya yang kusut. Mengapa lelaki yang tidak ingin lagi Tantri sebut
namanya itu hadir kembali dalam mimpinya?
Selama
mereka bersama, lelaki Inggris itu memang tidak pernah menjanjikan apa-apa.
Begitu juga Tantri yang tidak berniat menuntut apa-apa dari hubungan mereka.
Hingga
suatu hari, lelaki itu datang ke flat Tantri di tengah cuaca dingin kota London.
Bukan untuk mengajak Tantri makan malam seperti biasa, melainkan untuk meruntuhkan
kuncup harapan di hati gadis itu.
'Ayahku
seorang Earl.'
Tantri
meraih gelar magister dari salah satu universitas di London, jadi otaknya tidak
terlalu bebal untuk memahami ke mana arah pembicaraan saat itu. Ia langsung
menyadari bahwa lelaki itu merupakan bangsawan sementara dirinya hanya rakyat
jelata. Dan cinta di antara mereka merupakan khayalan semata.
Lelaki
itu bercerita bahwa selama satu setengah tahun ini ia sedang dihukum. Itu semua
karena ia mabuk dan mengacau di tempat umum. Ayahnya menyuruh ia hidup sendiri di
tempat tinggal sederhana. Tanpa fasilitas yang selama ini ia dapatkan, termasuk
ponsel. Ia juga wajib menuliskan perbuatan baiknya di buku yang disediakan Ayahnya.
Bahkan pertemuan pertamanya dengan Tantri menjadi bagian dari laporan itu. Ia
menuliskan 'membantu seorang perempuan yang ujung hak sepatunya tersangkut di
konblok'.
'Meskipun
Ayahku selalu mengajarkan untuk bersikap sopan pada semua orang tanpa memandang
status sosial mereka, tapi untuk urusan pernikahan dalam keluargaku adalah hal
yang berbeda. Pasanganku sudah ditentukan sejak lama.' Lelaki itu memasang ekspresi
yang memancing rasa iba. 'Dan mimpi buruk itu akhirnya tiba.'
Padahal
Tantri hampir lupa semua kejadian itu. Ia beruntung belum sempat memperpanjang
kontrak dengan firma hukum tempatnya magang. Pulang ke Indonesia adalah pilihan
terbaik. Sedikit lagi ia akan benar-benar melepas beban itu.
Apa
semua ini karena Red VeLovet yang ia makan semalam?
Sinting!
Hanya karena sepotong kue, hancurlah tiga tahun perjuangannya untuk melupakan.
***
Tantri
tidak tahu apa yang ia pikirkan. Tetapi begitu sadar, ia mendapati dirinya
sedang mendorong pintu kaca Cakewalkers. Berbeda dengan kemarin malam saat ia
memasuki toko kue ini dengan setelan formal dan tas kerjanya. Sabtu ini ia
mengenakan jaket satin dan sweat pants. Penampilannya tampak lima tahun lebih
muda.
Tidak
ada waktu untuk berdandan. Semua serba mendadak karena pikiran sintingnya.
Kalau
memang benar kue yang kemarin itu bisa membawanya menjelajah masa lalu, Tantri
rela melakukan apa saja. Ia ingin melihat kembali kenangan itu.
Saat
mereka berada di dalam London Eye. Saat lelaki itu menggenggam tangannya di
tepi sungai Thames. Saat mereka duduk berdua di dalam bus. Saat semuanya terasa
indah dan baik-baik saja
"Aku
mau kue yang ini."
"Tolong
Red VeLovet-nya satu."
Tantri
menoleh saat mendengar suara maskulin yang menyaingi suaranya. Seorang lelaki langsung
membalas sengit tatapannya. Jari telunjuk lelaki itu juga menekan kaca etalase
ke arah sepotong kue yang diinginkan Tantri.
***
Siang
ini tidak terlalu terik. Padahal jarum jam sudah bergerak mendekati angka satu.
Simon memasuki Cakewalkers dan langsung menuju tempat pemesanan. Langkahnya
santai seolah tempat itu adalah rumahnya sendiri. Ia menunjuk kue di etalase
bersamaan dengan seorang gadis yang juga menginginkan kue yang sama.
"Maaf,
tapi itu Red VeLovet terakhir," ucap pramuniaga dari bagian belakang etalase.
Tantri
memaksa senyum manisnya muncul agar pramuniaga itu berpihak padanya. "Aku datang
lebih dulu, jadi kue ini milikku."
"Sebenarnya
kita datang nyaris bersamaan, Nona." Simon bergerak maju lebih dekat pada etalase.
"Silakan
pilih kue yang lain, Tuan," balas Tantri gigih.
"Tolong
Red VeLovet-nya satu," ulang Simon pada pramuniaga yang mulai bingung. Ia
berusaha tidak meladeni gadis keras kepala di sebelahnya.
"Mana
ada laki-laki makan kue berwarna merah." Kesintingan Tantri mengundang
bibirnya untuk mengaitkan masalah gender yang tidak ada hubungannya dengan
makanan. "Kurasa, yang berwarna cokelat lebih cocok denganmu."
Simon
menoleh dengan tatapan tajam. "Apa itu masalah buatmu?"
"Mengalah
sedikit sama perempuan."
"Mengalah
sedikit sama anak kecil."
Lagi-lagi
Simon dan Tantri bersuara berbarengan. Para pengunjung yang mengantri di
belakang mereka menahan tawa masing-masing. Begitu juga para pramuniaga yang
memang sudah menunggu kehebohan sejak toko dibuka hari ini. Perdebatan di depan
etalase ini lebih mirip opera sabun.
"Fisikmu
memang selayaknya laki-laki dewasa, tapi kelakuanmu seperti anak kecil."
Tantri mengangguk. Lalu detik berikutnya mengeryit bingung. "Anak
kecil?"
Kepala
Tantri bergerak lebih rendah dan mendapati seorang gadis kecil yang tingginya
belum mencapai satu meter. Gadis itu mendongak pada Tantri dengan wajah bingung,
sementara kedua tanganya berpegangan pada Simon.
Tantri
berjongkok untuk menyejajarkan pandangan dengan gadis berkucir dua itu.
"Kamu sangat ingin makan kue itu, ya?" tanya Tantri dengan lembut.
Gadis
itu melirik naik pada Simon. Setelah lelaki itu mengangguk, ia baru bersuara.
"Iya, Tante."
"Tidak
mau kue yang lain saja?"
Anak
itu menggeleng.
"Kalau
begitu, kita sama," ucap Tantri tetap lembut walaupun sedikit kesal dengan
cara anak itu memanggilnya. Ia kembali berdiri dan bertanya pada pramuniaga.
"Memangnya tidak ada stok lagi?"
"Kokinya
sedang istirahat. Red VeLovet selanjutnya baru keluar lagi jam tiga."
Tantri
mengangguk-angguk. Masih dua jam lagi. Ia tidak mau menunggu selama itu.
"Apa aku bisa memesan satu Red VeLovet utuh?" tanya Tantri sambil
membentuk lingkaran dengan lengkungan jemarinya.
"Bisa."
"Untuk
jam tiga nanti?"
"Ya."
Simon
tersenyum lega. Akhirnya gadis itu mau mengalah. "Terima ka—"
"Tolong
bungkus potongan terakhir ini untukku. Dan juga pesananku tadi berapa
totalnya?"
"Hei,
hei." Simon berusaha menyela gadis yang terus berbicara tanpa perasaan
itu.
Sambil
sedikit mengangkat dagu, Tantri menggenggam kantung kuenya. "Aku sudah
membayar lunas. Jadi ini milikku." Lalu ia menunduk untuk mengelus kepala
anak kecil itu. "Kamu mau Red VeLovet satu lingkaran utuh?"
"Mau,
Tante," jawabnya sambil mengangguk berkali-kali.
"Kalau
begitu tunggu dengan sabar sampai jam tiga, ya," ujar Tantri sambil
menegakkan tubuh.
"Hei,
tidak bisa begitu—"
"Tentu
saja bisa," sela Tantri sambil berlalu. "Selamat menunggu."
"Terima
kasih, Tante!"
Teriakan
itu mengantarkan langkah kaki Tantri keluar dari toko kue itu. Ia bergegas
pulang agar bisa kembali menjelajah kenangan. Cepat-cepat ia menghabiskan Red
VeLovet itu dan mencoba tidur.
Sayangnya,
tidak ada mimpi apa pun yang hadir. Selain ingatan tentang sepasang netra yang
menatapnya sengit di Cakewalkers siang ini. Hanya itu yang membayang di balik
kelopak matanya.
***
Tantri
malas melihat begitu banyak kios memajang tabloid-tabloid yang memberitakan
perceraian selebriti sebagai bagian sampul depannya. Seolah-olah pekerjaannya
mengekorinya pulang. Hampir tiga bulan berlalu dan masalah perceraian itu belum
juga selesai. Proses mediasi hanya berisi kentalnya ego masing-masing. Belum
lagi media massa yang seolah sengaja menambah panas kasus itu dengan mencampurkan
berbagai asumsi ke dalam berita yang mereka tulis. Dan Bosnya bersorak senang
karena nama firma hukum mereka semakin sering disebut. 'Promosi gratis.' Begitu
kata Bosnya. Tetapi Tantri bersyukur kesibukannya cukup membantu ia melupakan beberapa
hal yang memang seharusnya tidak diingat lagi.
Malam
ini, Tantri tidak langsung pulang. Ia mampir ke supermarket untuk membeli isi
kulkasnya.
Sambil
mendorong troli yang sudah dipenuhi belanjaan utama, ia mulai menyusuri area camilan
kering. Dan hatinya langsung bersorak saat melihat keripik kentang kesukaannya
ada di rak. Satu bungkus terakhir! Lucky!
Tantri
melanjutkan kegiatan belanjanya hingga tiba di depan rak yang memajang produk kopi
dan teh. Ia memilih kopi kesukaannya lalu perhatiannya tertarik pada salah satu
varian teh—minuman yang sudah ia hindari selama ini. Biasanya, teh dicampur
dengan lemon. Tetapi yang satu ini dicampur stroberi. Tidak ada salahnya
mencoba. Jadi ia mengulurkan tangan untuk meraih satu kotak.
Tepat
saat itu, ada tangan lain yang juga memegang kotak teh yang sama. Tantri
langsung memasang ekspresi garang yang langsung berubah kaget saat melihat si pemilik
tangan.
Begitu
juga lelaki itu yang tidak menyangka akan memegang kotak yang sama.
Cepat-cepat, ia menarik mundur tangannya. "Silakan. Aku tidak akan
berdebat denganmu kali ini," ucap Simon sambil meraih kotak teh stroberi
yang lain.
Tantri
menelan ludah. Kedua mata lelaki itu menatapnya lebih ramah kali ini. Tidak
lagi sengit seperti yang diingatnya. Penampilannya juga tampak berbeda dengan
celana kain dan kemeja. Sepertinya lelaki itu juga mampir dalam perjalanan
pulang dari kantor. Sama seperti Tantri. "Terima kasih," cicitnya
gugup.
"Oh,
tidak. Aku yang harusnya berterimakasih." Simon melengkungkan senyum
bersahabat. "Anakku sangat senang karena Red VeLovet yang kamu belikan
waktu itu. Aku tetap tidak mengizinkannya makan lebih dari satu potong tapi dia
tidak marah. Dia tetap senang karena teman-temannya bersedia memenuhi undangan
mendadak itu dan makan kue bersamanya."
Anak? Kening Tantri mengernyit. "Syukurlah
kalau begitu," ujarnya tulus.
Simon
mengangguk. "Karena itu aku jadi menyadari bahwa sebenarnya anakku merasa
kesepian setelah aku dan Ibunya bercerai. Dan untuk itu aku ingin menraktirmu
makan malam—kalau kamu tidak keberatan."
Cerai? Kernyitan di kening Tantri
semakin dalam. "Tidak perlu begitu—"
"Kamu
boleh pilih tempatnya."
Tantri
tertawa kecil. "Tapi aku tidak biasa makan malam dengan seseorang yang
bahkan aku tidak tahu namanya."
Seolah
baru tersadar, Simon mengangkat alis sambil mengulum senyum. Ia mengulurkan
tangan. "Aku Simon."
Tantri
mengerjap. Lalu detik berikutnya ia mendapati dirinya menjabat hangat uluran
tangan itu sambil menyebut namanya sendiri.