Sabtu, 30 Juni 2018

MatchAmore - Invitation



"Pokoknya nanti kalian datang saja. Pasti seru," jamin Jane pada lawan bicara yang tersambung melalui ponselnya. "Jangan lupa ingatkan yang lain untuk datang."

Bibir Jane yang dipoles lipstik merah muda tersenyum pada bayangan yang ada dalam benaknya. Ia yakin semua akan berjalan sesuai rencana. Pengalamannya bekerja sebagai organisator acara orang lain banyak membantu dalam persiapan mendadak kali ini.

Jemari lentik Jane kembali bermain di layar ponsel, mencari kontak lain untuk dihubungi. Begitu tersambung, ia langsung menyampaikan maksudnya tanpa basa-basi.

"Saya sudah mentransfer sisa pembayaran untuk acara Sabtu malam ini."

"Mohon maaf, atas nama siapa?" sahut penjawab telepon setelah sempat diam beberapa detik.

"Atas nama Jane."

Tidak ada suara selama tiga detik. "Janeta Hutama?"

"Iya, benar." Jane mengangguk walaupun tahu lawan bicaranya tidak bisa melihat gerakan itu.

"Baik. Sudah diterima." Suara sopran lawan bicaranya tetap menjaga nada formalnya.

"Oke." Jane tersenyum. "Terima kasih."

Begitu panggilan terputus, Jane segera menekan nomor lain. Telepon dalam genggamannya benar-benar sibuk hari ini. Benda itu bertugas menghubungkan pemiliknya dengan banyak orang. Kali ini, Jane segera mendapat jawaban setelah tiga nada panggil berdengung.

"Ya, Jane?"

"Jangan lupa. Nanti kamu tahan dia selama mungkin di sana, ya. Kalau perlu sampai malam."

"Aku tidak bisa janji." Lawan bicaranya terdengar ragu. "Kamu tahu, kan, Ibel yang sekarang berbeda dengan Ibel yang kita kenal dulu."

"Ibel, ya tetap Ibel." Jane bersikukuh.

"Dari mana kamu tahu? Kalian, kan, sudah lama pu─"

"Pokoknya, aku percayakan ini padamu," potong Jane cepat. "Atau sekalian saja suruh dia minum soporifik. Minta tolong saja sama Indra. Ibel paling percaya sama dia."

"Ya, ya. Oke, Bos." Suara lelaki yang tersambung dengannya terdengar pasrah. "Tapi kalau Ibel marah, kamu─"

"Iya, iya. Aku yang tanggung jawab," sela Jane tidak sabar. "Pokoknya tahan dia di sana selama yang kalian bisa."

Senyum masih menari-nari di bibir Jane. Semua sudah siap. Ia berharap rencananya berjalan lancar.

Sekarang ia hanya perlu menyusun kalimat undangan yang memastikan bintang utamanya bersedia datang.
***

Irna sedang menuliskan label pada kardus-kardus yang berisi koleksi bukunya. Ia tidak mau ada kardus yang tersasar ke dapur di tempat tinggalnya yang baru nanti.

Senyum Irna menyembul tipis saat teringat bahwa sebentar lagi ia akan pindah dari sini. Bukan karena tidak betah melainkan karena ia akan menikah. Rasanya masih sulit percaya pada kenyataan itu. Lebih mengejutkan lagi, calon suaminya ternyata diam-diam sudah menyiapkan rumah untuk mereka. Tempat tinggal yang akan mereka tempati bersama anak-anak mereka nanti. Juga bersama kucing peliharaannya─yang punya andil dalam hubungan mereka.

Irna tersipu pada khayalannya sendiri. Ia sudah bepikir terlalu jauh.

Dering telepon genggam menghapus total khayalan Irna. Mungkin saja itu Ibel. Tetapi bukankah ini terlalu cepat? Terakhir kali calon suaminya itu menelepon sekitar satu jam yang lalu untuk mengatakan bahwa acara bersama teman-temannya akan berlangsung sampai sore. Demi menjawab pertanyaan dari benaknya, Irna meletakkan spidol yang dipegangnya lalu berganti menggengam alat komunikasi itu.

Ternyata bukan dari Ibel. Pengirim pesan itu mengaku bernama Jane dan mengundangnya datang ke Cakewalkers jam delapan malam nanti.

Sebenarnya, Irna ingin mengabaikan pesan itu. Seperti yang sering dikatakan Ibunya bahwa selalu ada saja godaan menjelang pernikahan. Kalau tidak pintar menjaga hati, hal buruk seperti batalnya pernikahan bisa saja terjadi. Tetapi, entah mengapa, kalimat penutup pesan itu mengusik keingintahuan Irna.

Aku mantan pacar Ibel.

Irna tahu benar, ia bukanlah perempuan pertama yang menjadi kekasih calon suaminya itu. Mengorek masa lalu Ibel mungkin adalah sesuatu yang salah. Apalagi menjelang hari pernikahan mereka. Tetapi seperti Pandora yang tidak bisa menahan rasa penasarannya, Irna memilih untuk membuka kotak itu.
***

Irna turun dari taksi yang mengantarnya sambil memerhatikan sekitar.

Bangunan dihadapannya didominasi warna yang mengingatkannya pada salju atau krim pada kue. Tetapi cahaya yang memancar dari dalam melalui jendela-jendela bening besar di dinding, justru memberikan kesan hangat di Sabtu malam yang dingin ini.

Untuk sesaat, Irna merasakan langkahnya meragu. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk datang ke sini tanpa pertimbangan lebih dalam. Ia bahkan tidak tahu seperti apa wajah Jane yang mengundangnya datang itu. Tadi ia memang sudah mengirim pesan pada Ibel. Tetapi karena lelaki itu tidak kunjung membalas, maka ia memilih untuk datang sendiri.

Sekarang ia sudah terlanjur ada di sini. Kalau Jane ternyata tidak muncul, setidaknya ia bisa memakan sepotong-dua potong kue yang ditampilkan cake display.

Tepat ketika Irna hendak mendorong pintu, tiba-tiba ada sesuatu menutupi lensa kacamata yang dipakainya.
***

Ibel terbangun karena tenggorokannya sekering padang pasir. Ia membuka mata dan menemukan kegelapan. Dengan kepala yang terasa pening, ia berjalan terhuyung menuju tombol sakelar di dinding. Matanya memicing saat sinar lampu membanjiri kamarnya.

Sudah berapa jam ia tertidur? Sampai ia tidak sadar matahari sudah terbenam. Sekarang ia hanya bisa merasakan sekujur tubuhnya yang terasa kaku.

Sambil meregangkan otot punggung dan lehernya, Ibel berjalan ke dapur untuk meneguk segelas air. Setelah air membasahi tenggorokannya, seluruh tubuhnya langsung kembali pada tugas masing-masing. Terutama pandangannya yang sempat mengabur, sekarang bisa dengan jelas melihat angka pada jam tangan yang masih melingkari pergelangannya selama ia tidur.

Pukul delapan malam. Lebih sepuluh menit. Astaga. Irna pasti mengkhawatirkannya karena ia tidak memberi kabar selama lebih dari empat jam.

Bergegas, Ibel kembali ke kamarnya. Ia menyambar ponselnya dari atas nakas dan berdecak saat mendapati benda itu dalam keadaan padam total kehabisan baterai. Syukurlah, calon istrinya itu bukan tipikal gadis posesif yang akan merongrongnya setiap detik. Jadi, ia yakin Irna tidak akan keberatan menunggu sebentar lagi.

Ibel membiarkan ponselnya mendapatkan suntikan daya. Sementara ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Teman-temannya memang keterlaluan.  Tadi mereka berkali-kali menyebutnya sebagai 'playboy tobat', mengoleskan krim kue ke wajahnya, bahkan menyiramkan minuman manis ke pakaiannya. Semua perlakuan tidak menyenangkan itu dilakukan karena mulai minggu depan Ibel resmi melepas masa lajangnya.

Rasanya benar-benar menyesal ia mengundang para begundal itu ke acara pernikahannya. Awas saja kalau mereka mengacau!

Beruntung, ada Indra yang masih cukup waras untuk bertindak sebagaimana mestinya seorang teman. Bahkan berbaik hati untuk mengantarnya pulang dengan selamat.

Sekarang Ibel merasa jauh lebih baik setelah tubuhnya bersentuhan dengan air. Sambil mengusap-usap rambut basahnya dengan handuk, ia menyalakan ponselnya. Beberapa pesan masuk secara bersamaan. Ibel mengabaikan yang lain dan hanya fokus pada dua pesan terbaru yang dikirim Irna.



Ibel tersentak bangun dari tepi tempat tidur yang didudukinya. Handuk basahnya jatuh ke lantai. Ia langsung mengenakan jaket dan celana panjang yang pertama kali dilihatnya, tanpa peduli pakaian itu kotor atau bersih.

Setengah berlari, Ibel keluar dari kamar. Tetapi begitu mendapati kunci mobilnya tidak berada di tempat biasa, ia langsung mengumpat kesal. Tergesa, jemarinya bergerak meraih ponsel untuk menghubungkannya pada Indra.

"Di mana kunci mobilku?" ucap Ibel tanpa menunggu Indra mengucapkan kalimat sapaan.

Sejak bersama Irna, Ibel rela mengganti motor kerennya dengan sebuah mobil sederhana. Hanya untuk memastikan gadis itu tidak akan kehujanan dan kepanasan setiap kali mereka kencan.

"Tadi aku taruh di tempat bia─maaf, terbawa di sakuku."

"Sial," umpat Ibel sambil membuka pintu setelah mengenakan sepatunya.

"Tunggu, ya. Aku akan mengantar kunci mobilmu."

"Tidak perlu. Aku buru-buru." Ia terus memacu langkahnya menuju jalan raya.

"Kenapa kamu terdengar panik, Kawan?"

"Irna pergi menemui Jane."
***

Indra terdiam mendengar kalimat yang diucapkan Ibel melalui sambungan telepon. "Ya. Lalu?"

"Aku takut Jane melakukan sesuatu yang buruk kepada Irna," jawab Ibel dengan napas terengah. "Taksi!"

"Kurasa kamu terlalu berlebihan. Kecuali Jane memegang rahasia terburukmu."

Ibel tidak langsung menjawab. Terdengar bunyi pintu mobil yang dibuka kemudian ditutup. "Kamu kurang mengerti perempuan, Kawan. Mereka bisa saja berubah kejam kepada sesamanya." Ibel memberitahukan tujuannya pada sopir taksi. "Sudah, ya."

Dan sambungan terputus.

Indra memandang ponselnya yang terasa sedikit hangat. Lalu detik berikutnya, jemarinya sudah bergulir di layar gawai, mencari satu nama.

Tidak perlu menunggu lama, panggilan dijawab. Suara dengung obrolan langsung membelai telinga Indra.

"Jane, Ibel menuju lokasimu sekarang."
***

Ini bukan pertama kalinya Cakewalkers menjadi tempat perayaan. Entah itu pesta sweet seventeen atau makan malam untuk merayakan anniversary. Tetapi acara seperti malam ini baru pertama kali terjadi.

Seorang gadis bernama Jane menyewa seluruh teras belakang Cakewalkers.  Bahkan meminta toko itu untuk buka sampai jam sepuluh malam. Para pramuniaga dan kasir yang bertugas hari itu hendak mengajukan protes, tetapi begitu mendengar kata 'bonus' dari Manajer, mereka semua dengan senang hati lembur dan pulang satu jam lebih lama dari biasanya.

Pelanggan yang menyewa tempat hanya dua hari sebelum acara itu juga meminta bahwa hanya perempuan yang boleh masuk ke area pestanya. Entah itu pramuniaga atau pun cleaning service, semua harus berjenis kelamin perempuan. Begitu juga dengan tamu-tamu yang diundangnya, semua perempuan.

'Pokoknya, laki-laki dilarang masuk,' tegas Jane sebelum acaranya tadi dimulai.
***

Ibel tidak berhenti menghubungi ponsel Irna. Tetapi nomor gadis itu tidak aktif. Begitu juga dengan nomor Jane yang terus menerus mengalihkan panggilannya.

Setelah sedikit berputar-putar, taksi itu akhirnya mengantarkan Ibel ke tempat yang benar. Ia langsung melompat turun tanpa merasa perlu meminta kembalian uangnya.

Pasangan seusia ayah dan ibunya keluar dari toko kue itu. Keduanya menatap heran pada wajah panik Ibel. Apalagi ketika ia melesak masuk melewati pintu kaca itu dengan kasar, membuat pasangan itu menggeleng-geleng. Bingung dengan tata krama yang seolah semakin tidak diindahkan.

"Irna!" seru Ibel begitu pintu kaca berayun menutup di belakangnya.

Seluruh panca indranya bekerja sama. Mulutnya terus memanggil nama Irna. Jemarinya terus menghubungi nomor Irna melalui ponselnya. Matanya beredar cepat mencari sosok calon istrinya itu.

Tetapi yang ada hanya seorang mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya, seorang Ayah bersama anaknya, tiga orang pegawai kantoran yang tampak santai menikmati kopi mereka, serta para pramuniaga yang bertugas malam ini. Semuanya menatap pada Ibel yang mirip seperti tarzan lepas dari hutan.

Hingga akhirnya tiba-tiba ia melihat jendela dan pintu kaca yang mengarah ke teras belakang ditutupi kain berwarna hijau. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik itu.

Astaga. Apa itu tempat pembantaian calon istrinya?

"Irna!" Ibel ingin menerjang masuk tetapi dua orang lelaki yang berdiri di sana bagaikan penjaga langsung menghalanginya.

"Mohon maaf. Area ini sedang disewa untuk acara."

"Minggir! Aku mau masuk!"

"Laki-laki dilarang masuk. Silakan Anda tunggu sampai acara selesai."

"Kalian mau aku tuntut karena terlibat kriminal?" ancam Ibel.

"Silakan tuntut saja."

Suara itu bukan berasal dari dua lelaki yang menghadang Ibel. Tentu saja karena itu merupakan suara perempuan.

Ibel menoleh dan mendapati seorang gadis seusia dirinya sedang berdiri di samping salah satu meja. Gadis itu mengenakan blus hijau pupus yang dipadukan dengan jeans kurus yang membalut kakinya. Berbeda dengan seragam warna batu bata yang dikenakan para pramuniaga dan dua orang yang menghalanginya. Ia menatap tajam Ibel dengan kedua mata cokelat di bawah lengkungan alisnya yang terukir rapi.

"Saya juga bisa tuntut Anda karena membuat kegaduhan, mengatakan fitnah, dan melakukan pengancaman."

"Di dalam sana, mungkin saja calon istriku sedang disiksa oleh mantan pacarku."

"Mungkin?" Alis gadis itu terangkat skeptis. "Anda punya buktinya?"

Ibel terdiam. Ia tidak bisa menunjukkan bukti untuk mendukung tuduhannya.

"Kalau sudah tidak ada, silakan keluar." Gadis itu melirik jam tangannya. "Sudah jam sembilan. Saatnya tutup. Pegawai Cakewalkers butuh istirahat."
***

Ini adalah enam puluh menit terlama dalam hidup Ibel.

Ia menunggu dengan gelisah di pelataran parkir Cakewalkers. Beberapa kendaraan masih terparkir di sana. Salah satunya ia kenali sebagai mobil Jane. Itu yang membuat ia yakin untuk tetap menunggu di sini.

Ibel menghabiskan masa penantiannya dengan duduk di atas beton pemisah, berjalan mondar-mandir, hingga mencabuti ujung-ujung rumput tidak bersalah yang dibiarkan tumbuh di pekarangan Cakewalkers.

Penantiannya berakhir ketika ia melihat segerombolan perempuan keluar melalui pintu depan Cakewalkers. Sekitar dua puluh orang─bisa kurang atau lebih, Ibel tidak tahu pasti. Mereka semua mengenakan kaus berwarna hijau bertuliskan 'PMI'. Ibel sempat berpikir sedang ada rapat untuk acara donor darah. Sampai kemudian ia mengenali wajah para gadis yang saling mengobrol akrab itu.

Ibel bergeming. Tidak mau siapa pun menyadari kehadirannya. Ia akan menunggu sedikit lebih lama sampai Irna muncul.

Sayangnya, salah satu dari mereka mengedarkan pandangan dan langsung menangkap sosok Ibel yang berdiri di samping pohon.

"Ibeeeelll!" seru gadis berambut sepinggang itu sambil berlari ke arah Ibel.

Itu salah seorang dari mantan Ibel saat kuliah. Mereka hanya pacaran selama dua bulan. Gadis itu yang memutuskan sambil meminta maaf. Katanya, ia merasa bersalah karena sudah menyelingkuhi Ibel selama satu bulan terakhir.

"Hei, dia itu calon suami orang." Terdengar suara yang mengingatkan.

Yang itu mantan Ibel saat SMA. Si juara kelas. Gadis itu memutuskan hubungan mereka karena Ibel menggesernya dari peringkat satu. Itu benar-benar suatu ketidaksengajaan. Selama kencan, gadis itu lebih suka membicarakan pelajaran daripada membahas hobi atau makanan favorit masing-masing. Dan Ibel hanya menyimak dengan sabar. Siapa sangka obrolan itu justru mempermudah ia memahami pelajaran di kelas.

"Ah, benar juga." Gadis berambut sepinggang berhenti beberapa langkah di depan Ibel. Itu membuat Ibel bisa melihat tulisan di kaus itu dengan lebih jelas. Tertulis frasa 'Para Mantan Ibel' di bawah 'PMI'.

Kedua mata Ibel membeliak. Sejak kapan ada perkumpulan sesat seperti itu?

"Maaf, ya, Irna."

Masih suara yang sama. Tetapi mendengar nama calon istrinya disebut, Ibel langsung mengalihkan perhatiannya.

Dan di sana ia melihat bidadari sedang tersenyum padanya. Tanpa sayap lebar maupun cahaya yang berpendar, tetapi membuat matanya enggan berkedip.

Irna berdiri di sana. Senyum untuk Ibel menghiasi wajahnya. Gadis itu mengenakan gaun warna dadu berbahan sifon. Rambutnya yang terbiasa diurai dan sedikit berantakan, kali ini digelung rapi berhiaskan bunga-bunga.

Ibel menyerbu maju dan langsung menarik bidadari itu ke dalam dekapannya. Lantas disambut sorak-sorai di sekelilingnya.

"Kamu baik-baik saja?"

Irna mengangguk di dada Ibel. "Seperti yang kamu lihat."

Ibel melepas pelukannya lalu memandangi penampilan Irna lebih saksama. "Kenapa kamu repot-repot berdandan secantik ini?"

Pipi Irna tersipu. "Tadi Jane yang menyiapkan ini. Teman-temanmu─" Irna memandang sekeliling. "─yang mendandaniku."

Ibel mengembuskan napas lega.

"Ini ada sisa sepotong MatchAmore untukmu," ucap Irna sambil menyerahkan kantung yang sejak tadi dipegangnya. "Kuenya sangat enak. Tanpa sadar, aku memikirkanmu saat memakannya."

"Terima kasih."

Irna menggeleng. "Tidak. Terima kasih."

Kening Ibel berkerut. "Untuk?"

"Tadi Jane bilang, 'kalau nanti Ibel tetap menunggumu, jangan ragu untuk menikahinya. Tapi kalau dia tidak datang, batalkan saja. Aku punya banyak kenalan laki-laki yang jauh lebih baik. Akan aku kenalkan salah satunya padamu'," ucap Irna menirukan kata-kata Jane. "Jadi, terima kasih sudah datang."
***

"Terima kasih, ya, La," ucap Jane pada gadis bermata cokelat di sampingnya.

"Sama-sama. Maaf aku tidak bisa banyak membantu."

"Kamu sudah berhasil mengusirnya tadi. Itu sudah sangat membantu."

Jane tersenyum puas. Semua sesuai rencananya. Ia bersyukur bersahabat dengan Pamela yang bekerja sebagai Manajer di Cakewalkers.

"Aku baru tahu kamu suka pakai kaus norak begitu."

Jane tergelak. "Ini hanya bagian dari properti acara."

"Dua tahun berpacaran dan malam ini kamu mengatur pesta lajang untuk calon istri mantan pacarmu. Ini jenis kegilaan macam apa?" tanya Pamela sarkartis.

"Ibel lebih dari mantan pacar, kamu tahu? Dia sudah seperti saudara bagiku. Selama ini juga dia sering membantuku meskipun kami sudah putus. Kurasa tidak ada salahnya aku berbuat baik sedikit." Jane melempar pandangan kembali ke kerumunan di depan Cakewalkers. "Lagi pula, ternyata bukan cuma aku yang berpikir begitu."

Selama beberapa detik, keheningan hadir di antara dua gadis itu. Hanya angin malam yang berembus lembut.

"Oh, ya, ini ada MatchAmore sebagai bonus," ucap Pamela memecah keheningan. Gadis itu menunjuk kotak warna putih di atas salah satu meja di teras Cakewalkers.

"Meskipun itu kue favoritku, tapi kali ini aku rela kamu memberikan itu pada pasangan yang sedang berbahagia di sana." Jane mengangkat dagunya ke arah Ibel dan Irna yang masih berpelukan di pelataran parkir.

Pamela tersenyum miring. "Kuharap kamu juga segera bertemu pasanganmu."

"Ucapkan itu pada dirimu sendiri." Jane  menyinggung bahu Pamela, lalu kembali mengurai tawa. "Sekali lagi, terima kasih, ya, La. Maaf sudah membuat kehebohan di Cakewalkers."


"Ini Sabtu." Pamela mengangkat bahu. "Kami sudah terbiasa."


Sabtu, 23 Juni 2018

Red VeLovet - Photograph


Farrel membidik kue berwarna merah di atas mejanya. Dalam sekejap, Red VeLovet yang tampak cantik dan lezat itu tertangkap lensa kameranya. Ia hendak memotret dari sisi lain, tetapi pintu Cakewalkers yang bergerak terbuka mengalihkan perhatiannya.

Seorang wanita melangkah masuk dan langsung membuat pesanan yang sudah dihafal para pramuniaga. Lalu ia menempati kursi dan meja di sudut ruangan. Wanita itu duduk menghadap dinding, seolah sengaja membelakangi pintu masuk.

Alis Farrel terangkat kecewa. Ia melirik ponsel di atas meja. Berbeda dengan ponsel utamanya yang terus sibuk menerima pesan dan mengingatkannya tentang janji temu dengan klien, ponselnya yang satu ini tampak hening dalam tiga jam terakhir. Hanya satu nomor yang tersimpan di sana. Nomor ponsel pacarnya.

Tangan Farrel gatal hendak menelepon atau sekadar mengirim pesan. Tetapi ia menahan diri. Tidak semudah itu mereka bisa saling bertukar kabar. Mereka terjerat dalam hubungan terlarang walaupun sama-sama yakin bahwa cinta mereka murni dari dalam hati.

Tepat saat itu, pintu Cakewalkers kembali terbuka. Sekali lagi, Farrel mengangkat kepala. Sepasang muda-mudi masuk dengan senyum kasmaran di wajah masing-masing. Mereka menuju tempat pemesanan lalu pergi setelah kue yang mereka inginkan ada dalam genggaman.

Tatapan Farrel beralih pada benda terbungkus kertas cokelat yang ia sandarkan pada kursi di sebelahnya. Lalu ia menatap Red VeLovet di hadapannya.

Sampai kapan ia harus menunggu tanpa kepastian? Padahal tadi ia sangat antusias menjelang pertemuan ini. Ia sengaja memilih tempat ini karena di sini menyediakan kue Red VeLovet yang lezat. Kue kesukaan pacarnya. Sepasang calon pengantin yang menggunakan jasanya untuk sesi foto pre-wedding menceritakan tentang Cakewalkers padanya.

'Kapan kita bisa bertemu?' Farrel teringat saat pacarnya akhirnya menelepon setelah sekian lama ia menumpuk rindu.

'Hem... bagaimana kalau Sabtu?'

'Boleh.' Farrel mengulum senyum. 'Aku akan menunggu di Cakewalkers. Kudengar mereka menjual Red Velvet terenak sedunia.'

'Benarkah?' Pacarnya terdengar antusias.

'Ya. Nanti kukirimkan alamat lengkapnya.'

'Oke. Sabtu di Cakewalkers kita bertemu.'

Angan-angannya tentang ekspresi bahagia pacarnya saat menerima hadiah dan mencicipi Red VeLovet perlahan mulai memudar. Matanya melirik pada jam di ponselnya. Lima belas menit. Ia akan menunggu lima belas menit lagi sebelum membawa pergi campuran kecewa dan rindu dari toko kue ini.

Pintu toko kembali terbuka. Dengan harapan yang menipis Farrel menolehkan kepalanya. Seketika itu jantungnya berdebar lebih kencang. Susah payah, ia mencoba kembali fokus pada objek fotonya.

Seorang lelaki perlente melangkah masuk ke toko kue. Ia tampak terlalu formal bersanding dengan suasana Cakewalkers yang santai. Dagunya licin sehabis cukuran. Rambutnya disisir rapi. Begitu juga setelan jasnya yang seolah baru saja selesai diseterika.

Sempurna.

Andai saja rautnya yang karut tidak mendistorsi penampilannya yang tanpa cela. Dan Farrel sepertinya bisa menduga mengapa wajah tampan itu seolah tidak bertemu bantal dalam waktu yang lama.

Farrel mencuri lirik. Si dendi itu mengedarkan tatapan seperti sedang mencari. Lalu beralih menatap ponsel yang sejak tadi digenggamnya.

Dering ponsel menyentak perhatian Farrel ke atas meja. Tangannya terulur untuk meraih benda pipih itu saat tiba-tiba panggilan yang ditunggunya terputus.

"Farrel?"

Mendengar namanya dipanggil, Farrel mengangkat wajah dan mendapati lelaki dendi itu sudah berdiri di hadapannya.
***

Glenn menatap turun dan memandang penuh penilaian. Rambut sepundak yang kurang akrab dengan sisir. Dagu yang dipenuhi bakal-bakal janggut yang malas berurusan dengan pisau cukur.

"Boleh aku duduk?" tanya Glenn lagi karena lelaki di hadapannya hanya balas menatapnya tanpa memberi tanggapan. Tetapi ia yakin ini adalah orang yang harus ia temui.

Farrel berdeham. "Ya. Silakan. Toko kue ini memang selalu ramai di jam seperti ini."

"Aku tidak sedang menunggu tempat kosong." Glenn menarik kursi untuk duduk. "Aku ke sini untuk menemuimu."

Kedua lelaki itu duduk berhadapan sebagai sebuah kontradiksi. Seperti dua sosok berbeda yang ditampilkan brosur sabun kecantikan. Farrel melambangkan keadaan sebelum penggunaan produk dan Glenn sebagai sosok yang memukau setelah penggunaan produk.

Farrel menyadari kesenjangan itu. Dan dalam sekejap hatinya terasa nyeri. Hidup terasa tidak adil. Lelaki ini memiliki fisik yang sempurna, karier yang bagus, dan masa depan yang cemerlang. Seolah belum cukup, ia juga memiliki sesuatu yang sangat diinginkan oleh Farrel.

"Kenapa kamu ingin menemuiku?" Farrel mencoba bersuara sambil menimba kepercayaandirinya agar kembali ke permukaan.

Glenn menyeringai miring. "Kamu pasti tahu kenapa—"

"Tidak. Aku tidak tahu," potong Farrel cepat sambil menggelengkan kepala. "Kalau ingin melakukan pemotretan, harus ada pemesanan sebelumnya. Bisa melalui asistenku—"

"Ini tentang Hanna." Giliran Glenn yang memotong ucapan Farrel.

Satu nama itu terucap. Dan keheningan menghimpit udara di sekitar mereka.

"Jadi... apa yang bisa kubantu tentang... Hanna?"

Napasnya tercekat, tetapi Farrel berusaha menyembunyikan itu sekuat tenaga di balik ekspresi datarnya. Lelaki ini tidak mungkin tahu. Ia sangat mengenal Hanna. Gadis itu akan berusaha menutupi hubungan mereka. Terutama dari calon suaminya ini.

Hati Farrel tercubit nyeri. Hanna adalah milik Glenn. Bukan miliknya.

"Tidak perlu berbelit-belit. Aku sudah tahu semuanya."

Keheningan kembali merayap di antara mereka. Tatapan Glenn yang penuh intimidasi membuat tangan Farrel bergerak mengusap-usap lensa kameranya untuk mengusir perasaan gugup.

"Sejak kapan kalian memulai ini?"

Farrel menelan ludah. "Memulai apa?"

Tanpa merasa perlu berkata-kata, Glenn merogoh saku jas mahalnya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel yang tadi digunakannya untuk membunyikan ponsel Farrel. Alat komunikasi itu diletakkan di atas meja. Tepat di tengah. Di samping sepiring kue berwarna merah. Red Velvet. Glenn tersenyum miris. Kue kesukaan Hanna.

Farrel melirik ragu-ragu. Sebenarnya, tanpa harus memerhatikan lebih dekat, dengan mudah ia mengenali benda itu. Ponsel milik Hanna.

"Aku baru tahu kalau Hanna memiliki ponsel lain yang dia sembunyikan." Suara Glenn lebih terdengar seperti gumaman yang menerawang. "Dan ponsel ini cuma menyimpan satu nomor yang tersambung ke ponselmu."

Farrel terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Hubungannya dan Hanna sudah ketahuan. Mungkin setelah ini, calon suami Hanna akan meminta ia untuk menjauhi gadis itu. Selamanya.

Dan apa Farrel sanggup melanjutkan hidup tanpa cinta dari gadis bersenyum hangat itu?

"Apa kalian saling mencintai?" tanya Glenn sambil melipat tangan di depan dada. Matanya memandang lawan bicaranya dengan teliti. "Atau hubungan kalian hanya didasari rasa iba dan keterpaksaan?"

Farrel memilih tetap bungkam. Benaknya memutar ulang beberapa kenangan. Saat-saat gadis itu mengatakan cinta.

'Aku mencintaimu, Near-rel.'

Hanna memang selalu memanggilnya begitu. Near-rel.

'Supaya kita selalu merasa dekat, meskipun terpisah jauh.'

Untuk saat ini, entah mengapa Farrel merasa keberadaan Glenn di hadapannya memberi sinyal kuat bahwa ia dan Hanna akan terpisah jauh. Dan ia tidak mau itu terjadi.

"Kue ini. Red Velvet—"

"Red VeLovet," ralat Farrel. "Di sini mereka menyebutnya begitu."

Glenn mendengus kesal karena Farrel malah bersuara untuk pembicaraan yang tidak penting. "Ya, terserah apa pun namanya. Tapi aku tahu kue ini kesukaan Hanna. Dan kamu memesan ini karena menunggu dia datang."

"Tidak," sanggah Farrel tetap pada pendiriannya. "Aku memesan ini untukku sendiri."

Sepasang netra Glenn menghujam tepat di titik dusta Farrel. Tadi lelaki itu berkata bahwa ia sudah tahu semuanya. Apakah itu berarti 'semuanya'?

"Kalau begitu, jawab pertanyaanku," desis Glenn tidak sabar.

"Aku tidak yakin kamu mau mendengar jawaban. Hanna selalu berusaha agar perasaanmu tidak tersakiti."

"Aku berhak tahu tentang pengkhianatan yang terjadi di belakangku!"

"Tadi katamu, kamu sudah tahu semuanya."

Untuk beberapa saat Glenn terdiam. "Aku sudah membaca semua pesan mesra kalian di sini," ujarnya kemudian sambil menusuk-nusuk ponsel itu dengan telunjuknya. "Termasuk humor-humor receh yang tidak pernah dilontarkan Hanna saat bersamaku."

Farrel mengangkat bahu. "Mungkin karena dia memandangmu sebagai laki-laki serius dan pekerja keras."

"Aku memang tidak suka membicarakan hal yang hanya membuang-buang waktu."

Farrel mendebas keras. "Tapi kamu ada di sini sekarang."

Keheningan kembali membentang di antara mereka. Tetapi kali ini tidak lama. Glenn benar. Sebaiknya Farrel tidak membuang-buang waktu.

"Aku mencintainya."

Kedua mata Glenn membeliak pada pengakuan mendadak yang terang-terangan itu. "Tidakkah kamu tahu dia sudah bertunangan denganku? Demi Tuhan! Seharusnya kami menikah bulan dep—"

"Ya. Aku tahu. Hanna tidak pernah menutupi statusnya," sela Farrel tanpa tahu malu. "Tapi kami tidak pernah berencana untuk saling jatuh cinta."

"Tapi kalian dianugerahi akal pikiran untuk mengendalikan hal semacam ini," balas Glenn tidak habis pikir. "Bagaimana mungkin kamu rela merendahkan dirimu dengan memacari tunangan orang lain?"

Farrel tersenyum getir. "Demi Hanna. Aku rela melakukan apa pun. Dia perempuan yang layak untuk dicintai sepenuhnya."

Dalam hati Glenn menyetujui itu. Hanna memang gadis yang sempurna. Kalau tidak, mana mungkin ia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama gadis itu.

"Pantas saja. Setelah kami resmi bertunangan, dia sering tampak murung dan ragu. Seolah-olah pikirannya berkelana dan meninggalkan raganya dalam pelukanku. Seharusnya aku bisa lebih cepat menyadari itu." Glenn menautkan jemarinya dan menumpukannya di atas meja. "Aku tidak menyangka dia ternyata perempuan serakah yang tidak tahu cara bersyukur."

Sepasang mata Farrel memicing tajam. "Kalau kamu ke sini hanya untuk menjelek-jelekkan Hanna, lebih baik pergi saja!" geram Farrel dengan rahang yang mengeras.

Glenn menggeleng. "Aku ke sini hanya ingin tahu laki-laki seperti apa yang sanggup membuat Hanna membagi hatinya."

"Dan kamu sudah tahu sekarang."

Kali ini, Glenn mengangguk. Ia meraih ponsel Hanna dan menyimpan kembali benda itu ke saku jasnya. "Besok adalah kali terakhir kamu bisa melihatnya."

"Tidak!" tolak Farrel sambil menggebrak meja. "Kalau memang harus begitu, aku mau Hanna yang datang dan mengatakannya langsung padaku."

Glenn berdiri sambil merapikan jasnya. Ia mengembuskan napas berat. "Dia tidak akan bisa melakukannya." Wajah tampan yang karut itu semakin tampak muram. "Kamu akan menemuinya di pemakaman."
***

Apa maksudnya? Pemakaman? Siapa yang meninggal? Oh, apakah—? Tidak mungkin!

"Kamu membunuhnya?" seru Farrel sambil bangkit mendadak dari duduknya. Lupa pada kedua kaki yang kehilangan kapabilitas untuk menopang tubuhnya. Seketika itu juga ia terperosok menghantam meja yang langsung rubuh. Diikuti bunyi piring pecah dan sepotong Red VeLovet yang hancur.

Beberapa pramuniaga dan pengunjung di sekitar mereka bergegas membantu Farrel kembali duduk ke atas kursi rodanya.

Glenn mempertahankan sikap dinginnya. Ia hanya menatap kekacauan itu dengan pandangan kosong. "Seharusnya begitu. Kalau saja aku mengetahui pengkhianatan ini lebih cepat. Sayangnya, tidak. Tadi Hanna menolak diantar salah satu sopirku. Dia memaksa untuk menyetir sendiri dan mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke sini." Ia memapas gumpalan tajam yang menyangkut di tenggorokannya. "Untuk menemuimu."

Farrel terduduk lemas. Ia menumpukan seluruh beban tubuhnya pada kursi rodanya. Lelaki itu pasti berbohong. Hanna tidak mungkin meninggalkannya.

Glenn memahami itu. Kosong. Itulah yang ia rasakan tadi saat mendengar kabar duka itu. Hanna pergi sambil membawa cintanya. Dan ia berharap apa yang didengarnya hanyalah dusta. Glenn bahkan sempat membayangkan Hanna datang menghampirinya, lalu gadis itu memeluknya sambil berbisik bahwa pengkhianatan dan kepergiannya itu hanya cerita bohong. Bagian dari rencana usilnya.

Tetapi malah kenyataan yang datang menghampirinya. Glenn harus menghadapi itu. Seperti tamparan keras di wajahnya. Begitu juga dengan Farrel. Bagaimanapun, mereka mencintai perempuan yang sama. Hanna yang sama.

"Kuharap kamu datang besok. Salah satu sopirku akan menjemputmu. Kurasa kamu akan kesulitan karena itu," ucap Glenn sambil melirik kursi roda yang diduduki lawan bicaranya. Ia berbalik memunggungi Farrel, bersiap meninggalkan Cakewalkers. "Lagi pula, Hanna pasti mengharapkan kedatanganmu."

Sepeninggal Glenn, Farrel masih terpekur di tempat duduknya. Detik berikutnya, ia sudah terisak sambil membenamkan wajahnya pada lengannya yang terlipat di atas meja.

Dan sekarang Farrel akhirnya tahu mengapa wajah Glenn tampak karut. Itu juga yang ia rasakan sekarang. Bahkan wajahnya pasti tampak jauh lebih buruk.

Farrel menggapai bungkusan di sampingnya. Ia merobek kertas yang mengemas benda itu. Hadiah yang seharusnya ia berikan kepada Hanna.

Sebuah potret.

Foto hitam putih dalam pigura kayu itu menampilkan wajah Hanna yang sedang tertidur pulas. Rambut ikalnya jatuh ke sisi kepalanya seperti helaian sutra hitam. Kelopak matanya tertutup dengan bulu mata lentik membelai kulit pipinya yang halus.

Farrel memotret pemandangan itu bebarapa hari yang lalu. Saat itu Hanna datang ke rumahnya dan langsung meminta izin untuk tidur. Dalam sekejap gadis itu terlelap di sofa. Hanna hanya sempat bercerita bahwa ia kelelahan setelah berkeliling untuk menemukan gaun pernikahan yang sesuai keinginan calon mertuanya.

Saat itu, Farrel sudah merasa damai hanya karena Hanna pulas di dekatnya. Dan sekarang ia hanya bisa tersedu sambil mendekap pigura kayu. Sosok dalam potret itu sudah menutup mata untuk selamanya.


Sabtu, 09 Juni 2018

AmOrange - Confession



Audrey membaca ulang pesan yang diterimanya kemarin malam. Ia ingin memastikan bahwa ia menunggu di waktu dan tempat yang tepat. Sehingga penantiannya tidak akan berakhir sia-sia.



Ia melirik ke arah angka di jam tangannya. Sudah hampir lima belas menit berlalu dan bocah itu masih belum datang juga. Sambil mendebas kesal, Audrey meraih garpu dari tas piring. Ia menusuk potongan AmOrange-nya seolah sedang menghunuskan pedang.

Ini tidak biasa terjadi. Cake berwarna jingga dengan rasa jeruk yang khas itu selalu mampu menyelamatkan Audrey dari suasana hati yang buruk. Tetapi tidak untuk kali ini. Ia mengunyah potongan kue itu tanpa repot-repot menikmati perpaduan rasa krim yang manis dan segarnya jeruk. Kekesalan yang mengumpul di kepalanya sukses membuat bibirnya mengerucut muram. Ia kembali melirik jam tangannya dan memerhatikan setiap gerakan jarum yang paling tipis dalam lingkaran. Di dalam hati ia bertekad akan meminta Brandon menraktirnya AmOrange selama seminggu penuh. Itu hukuman yang pantas karena sudah membuat seorang gadis menunggu tanpa kejelasan seperti ini.

"Hai," sapa suara yang dikenalnya, bersamaan dengan bunyi derit kursi yang bergesekan dengan lantai.

Lelaki yang sejak tadi ia tunggu, kini sudah duduk di hadapannya. Tetapi Audrey tetap tidak mengalihkan tatapan dari jam tangannya.

"Sudah menunggu lama, ya?"

"Lammmaa banget," gerutu Audrey sambil memutar bola mata dengan sikap dramatis. Perasaan kesalnya ia lampiaskan dengan menghujamkan garpu ke potongan terakhir AmOrange di piringnya.

Lelaki itu malah nyengir kuda alih-alih memasang ekspresi menyesal. "Maaf. Tadi aku butuh waktu lebih untuk persiapan."

Audrey menelan kuenya sambil mendongakkan kepala. "Persiapan apa?"

"Persiapan ini," jawab Brandon yang langsung diikuti gerombolan teman-teman hebohnya.

Kumpulan remaja itu tampak sibuk dengan benda di tangan masing-masing. Ada yang membawa balon, buket bunga, boneka beruang, dan cokelat batangan yang dihiasi pita. Dan sepasang mata Audrey nyaris melompat keluar saat melihat dua remaja yang berdiri paling depan membentangkan selembar kain bertuliskan 'I love you'.

"Apa-apaan, nih?" Serta-merta, Audrey langsung bangkit dari duduknya. Gerakannya terlalu mendadak, sehingga meja di hadapannya berguncang. Diikuti bunyi denting memekakkan telinga, tercipta dari garpu yang terpelanting dan jatuh kembali ke atas piring.

Bunyi itu seolah memiliki fungsi tombol pause. Toko kue itu hening seketika. Dengung obrolan menghilang. Senyum lebar gerombolan remaja itu membeku di wajah mereka. Gerakan tangan pramuniaga—yang hendak meletakkan pesanan ke atas meja—membeku di udara. Seekor cecak menunda tujuannya untuk menyelinap ke balik bingkai foto di dinding. Serentak, seisi toko kue menoleh ke arah Audrey. Kecuali seorang pelanggan yang duduk di sudut ruangan dekat jendela. Ia tetap menyesap tehnya dengan tenang. Tampak tidak terpengaruh. Bahkan tidak melirik sedikit pun.

Audrey memasang senyum maaf yang terkesan canggung. Perlahan-lahan, ia kembali duduk sambil melemparkan tatapan menyalahkan ke arah Brandon.

"Ini apa-apaan, sih?" desis Audrey, setelah di sekitarnya kembali bergerak seperti seharusnya.

"Aku mau membuat pengakuan cinta," jawab Brandon dengan tenang.

"Kamu gila, ya?"

Brandon mengangkat satu alisnya, lantas menggedikkan bahu.

Audrey berdecak kesal. Ia kembali bangkit dari kursinya. Kali ini lebih berhati-hati agar tidak kembali menyenggol meja. "Ikut aku!" Tangannya menyambar pergelangan tangan Brandon dan setengah menyeret lelaki yang lebih muda satu tahun tetapi lebih tinggi sebelas senti darinya itu keluar. Tidak boleh ada kegaduhan lagi.

Setelah cukup dekat dengan barisan kendaraan yang terparkir rapi, Audrey baru melepas genggamannya. Ia berbalik menghadap Brandon sambil melipat lengan di depan dada.

"Ini sudah keberapa kalinya kamu melakukan hal konyol seperti ini? Empat? Lima?" omel Audrey dengan tampang bosan. "Dan sudah berapa kali juga aku bilang bahwa kita ini cuma teman. T-E-M-A-N."

Brandon mengalihkan pandangan ke ujung sepatunya.

Audrey menggigit bibir saat menyadari kata-katanya mungkin keterlaluan. Tetapi ia harus menegaskan hubungan mereka. "Oke, mungkin lebih dari sekadar teman," ralat gadis itu dengan suara yang lebih lembut. Brandon kembali menegakkan kepala, menatap langsung sepasang mata Audrey. "Aku sudah menganggapmu seperti keluarga. Adik laki-laki yang sangat kusayangi—"

"Tapi—"

"Lagi pula aku ini lebih tua darimu. Kamu mau namamu berubah dari Brandon menjadi Brondong?"

"Dengarkan dulu—"

"—Demi kebun jeruk di Florida! Kita sudah saling mengenal sejak belum bisa mengayuh sepeda roda dua!"

"Audrey," panggil Brandon sambil merangkum kedua pipi gadis itu dengan tangannya. Tetapi ia salah jika mengira itu akan menghentikan ocehan Audrey.

"Hei, mana sopan santunmu? Mulai sekarang, kamu panggil aku Kak Audrey," protes Audrey sambil menarik mundur kepalanya. Gerakan itu membuat rambut panjangnya berkibar seperti bintang iklan sampo.

Brandon tidak lagi mencoba dengan kata-kata. Percuma kalau tidak didengar. Maka, ia menggenggam pergelangan tangan Audrey dan menariknya kembali ke dalam toko. Seperti yang tadi gadis itu lakukan padanya.

Tidak seperti Brandon yang tadi pasrah, Audrey meronta dan memberatkan langkahnya. "Lepaskan! Aku tidak mau kembali ke sana! Tadi mereka semua menatapku seolah-olah alisku botak."

Brandon mengulum tawa sambil tetap memanfaatkan kekuatannya sebagai lelaki. Ia mendorong pintu kaca dengan satu tangan. Sementara gadis di belakangnya sibuk menunduk sambil menutupi wajah dengan rambut.

Mereka kembali ke rombongan yang dibawa Brandon. Sepuluh orang itu masih berdiri di tengah ruangan, di samping meja yang tadi diduduki Audrey. Masing-masih wajah remaja itu masih menampilkan senyum bingung yang mulai garing.

"Bersiap, guys. Dia sudah datang," ucap Brandon yang langsung dipatuhi teman-temannya.

Dia siapa? Kening Audrey mengernyit. Ia mengerling pada Brandon, meminta penjelasan. Tetapi sepasang netra lelaki itu tampak fokus ke arah pintu masuk Cakewalkers. Maka, Audrey segera mengikuti arah pandang Brandon.

Tepat saat itulah seorang gadis berambut sebahu melangkah masuk ke Cakewalkers.

Dengan langkah mantap, Brandon meninggalkan tempatnya di sisi Audrey. Ia mengambil buket bunga yang dipegang salah seorang temannya. Dalam sekejap, ia sudah tiba di hadapan gadis yang menatapnya dengan raut bingung.

"Cynthia, kamu mau jadi pacarku?"

Gadis bernama Cynthia itu melebarkan mata, menatap bergantian antara wajah Brandon dan buket bunga di tangan lelaki itu. Detik berikutnya, ia sudah mengangguk tersipu. Dengan senang hati menerima buket bunga yang disodorkan ke arahnya.

Serentak, nyaris seluruh pengunjung Cakewalkers siang itu bersorak senang. Bahkan ada yang berdiri untuk memberi ucapan selamat langsung pada Brandon. Padahal mereka tidak saling mengenal.

Audrey menyaksikan semua itu dengan sepasang pandangan kosong yang menerawang. Lalu tanpa merasa perlu berpamitan, ia sudah berbalik dan meninggalkan toko kue itu dengan langkah-langkah lebar.
***

Secara otomatis, tubuh Brandon bergegas hendak mengejar kepergian Audrey. Tetapi cekalan di pergelangan tangannya berhasil membuat langkahnya terhenti. Ia menggerakkan leher untuk mendapati Cynthia menggeleng kepadanya.

"Jangan dikejar."

"Tapi dia—"

"Beri dia waktu," potong Cynthia tanpa peduli apa pun alasan Brandon.

Ia mengernyit ragu. Matanya menatap nanar pada pintu yang tadi dilewati Audrey. Brandon ingin menatap langsung wajah Audrey, gadis yang sudah membuat ia jatuh cinta sejak sepuluh tahun yang lalu.

"Biarkan dia memahami perasaannya sendiri. Itu, kan, tujuan rencana ini?" Cynthia mempererat genggamannya saat merasakan hati Brandon mulai goyah. "Kamu mau dia menyadari seperti apa perasaannya padamu. Jangan sia-siakan perjuangan kami, Pacar Pura-puraku."

Brandon menatap sekali lagi lantai marmer Cakewalkers yang tadi dipijak Audrey. Cynthia benar. Rencana yang sudah ia susun matang ini harus membuahkan hasil. Umpan sudah dilempar. Sekarang ia hanya perlu menunggu apakah Audrey merasa cemburu dan akhirnya mengajak ia melangkah keluar dari zona pertemanan yang mereka huni selama lebih dari sepuluh tahun. Atau... malah tidak peduli sama sekali.

"Sekarang lebih baik kamu menraktir kami semua sesuai janji," tagih Cynthia sambil mengedipkan satu mata. "Ada banyak kue enak yang menunggu."

Brandon mendenguskan tawa lalu mengizinkan rombongannya untuk memesan. Sorak sorai langsung terdengar. Dasar pemburu gratisan!

"Omong-omong, aktingmu bagus juga," ujar Cynthia sambil menyinggung bahu Brandon. "Kamu yakin tidak mau bergabung dengan klub drama?"
***

Audrey duduk bersila di atas tempat tidurnya. Tatapannya berkeliling pada setiap lembar foto yang tertempel di dinding kamar. Selain wajahnya dan kedua orang tuanya, ada wajah lain yang hampir tidak pernah absen dari setiap potret momen dalam hidupnya.

Brandon.

Ia memandang foto sepasang bocah. Wajah mereka cemong karena lumpur, pakaian kuyup, tetapi bibir mereka tersenyum lebar menampilkan gigi ompong. Saat itu bahkan tinggi Brandon tidak lebih dari bahu Audrey.

Ada foto saat mereka pergi ke Taman Ria. Foto lainnya menampilkan kebanggaan saat Brandon memenangkan lomba lari. Juga Audrey yang mengangkat piala lomba pidato bahasa Inggris. Hingga yang terbaru adalah foto Audrey saat lulus dari SMA.

Mereka berdua selalu saling mendukung dalam setiap momen penting dalam hidup. Audrey menggelengkan kepalanya. Seharusnya tadi ia tidak pergi begitu saja. Sebagai teman sejati, seharusnya ia mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen itu untuk ditempel di dinding kamarnya.

Tetapi tadi saat melihat Brandon mengakui cinta pada seorang gadis, entah mengapa membuat Audrey merasa kehilangan. Mungkin karena ia tidak mengenal gadis bernama Cyntia itu. Atau karena ia akhirnya menyadari bahwa Brandon bukan lagi bocah lelaki yang mengikutinya seperti anak itik.

Lamunannya buyar saat pintu kamarnya diketuk. Suara ibunya menyusul kemudian.
***

Sebenarnya, Cynthia menyarankan agar Brandon menunggu sampai besok. Tetapi ia tidak bisa menunggu selama itu. Ia ingin memastikan keadaan Audrey malam ini juga. Maka, pukul delapan malam ia sudah duduk di kursi teras rumah Audrey. Bersama sekotak kue AmOrange kesukaan gadis itu.

"Ada apa?" tanya Audrey begitu muncul di ambang pintu. Tampak santai dengan piama bermotif polkadot yang dikenakannya. Lengan gadis itu dilipat di depan dada. "Tumben tidak langsung masuk? Seperti tamu saja."

Brandon berdiri dari duduknya. Ia meringis lebar. "Ini untukmu," ucapnya sambil menyerahkan kantung plastik yang dibawanya.

Alis Audrey terangkat. Hanya dengan melihat bungkusnya, ia langsung tahu itu berasal dari Cakewalkers. "Pajak jadian?"

Brandon terkekeh. "Anggap saja begitu."

"Jadi, ada apa?" Audrey mengulang pertanyaannya tadi.

"Apa kamu tidak mau menemaniku duduk?" Brandon memiringkan kepala ke arah kursi kosong di sampingnya. Biasanya, ia duduk di sini bersama Ayah atau Ibu Audrey. Berbincang tentang olahraga atau buah yang sedang musim bulan ini. Mereka sudah seperti orang tuanya sendiri.

Audrey menolehkan kepala ke kiri lalu ke kanan. Seolah sedang mencari sesuatu. Kemudian pencariannya berakhir di kedua mata Brandon. "Kamu yakin tidak apa-apa duduk di sini? Berdua? Denganku?" tanya Audrey penuh penekanan.

Kening Brandon mengernyit bingung. "Kenapa tidak?"

"Sekarang kamu, kan, sudah punya pacar."

Kerutan di kening Brandon memudar dan berganti tawa dari mulutnya. "Hubungan kami tidak seposesif itu, kok."

"Oke." Audrey duduk dan meletakkan oleh-oleh dari Brandon ke atas pangkuannya. "Kalau sampai pacarmu cemburu, jangan libatkan aku, ya."

Otot-otot wajah Brandon terasa kaku. "Apa bukan kamu yang cemburu?"

"Kenapa aku harus cemburu?"

"Memangnya, kedekatan kita selama ini tidak berarti apa pun untukmu?"

Tidak ada jawaban langsung untuk pertanyaan itu. Suara jangkrik bersahut-sahutan dari balik rerumputan di pekarangan. Gemerisik angin menemani Brandon dalam penantiannya. Hingga akhirnya, terdengar suara Audrey mendebas keras.

"Kalau boleh jujur, sebenarnya tadi aku memang merasa sedikit cemburu."

Leher Brandon menegak pada pengakuan itu. Ia mengabaikan kata 'sedikit' yang disematkan Audrey dalam ucapannya. Ada setitik harapan timbul di hati lelaki itu mendengar kata terakhir Audrey.

"Aku juga merasa kehilangan," lanjut Audrey, sementara Brandon menahan napasnya tanpa sadar. "Kita, kan, terbiasa bersama sejak kecil. Tadi aku sempat berpikir bahwa mungkin hubungan kita tidak akan sama seperti sepuluh tahun terakhir. Tapi akhirnya aku sadar kalau Adikku ini sedang beranjak dewasa." Audrey tersenyum lantas mengulurkan tangan untuk mengusap-usap kepala Brandon dengan kasih sayang. Ia sama sekali tidak menyadari tubuh lelaki itu yang membeku. Bukan karena udara malam yang dingin melainkan karena harapan menguap tanpa sisa dari hatinya.

"Ya, sudah. Pulanglah. Besok kamu harus sekolah, kan," ucap Audrey sambil bangkit dari kursi. Secara otomatis, Brandon ikut berdiri ke hadapannya. "Besok tidak usah lagi menjemputku, ya."

Brandon langsung medongakkan kepala yang sejak tadi tertunduk. "Kenapa? Kamu marah?"

Sinar lampu teras menyinari wajah tersenyum Audrey. "Sebagai sesama perempuan, aku tidak mau pacarmu khawatir."

"Tapi hubungan kita baik-baik saja, kan? Maksudku, kamu tidak akan menjauh?"

Audrey tertawa kecil. "Tentu saja. Tapi sekarang ada perasaan pacarmu yang harus kamu jaga. Jangan pernah menyakiti hati perempuan."

Brandon hanya menyunggingkan senyum kaku.

"Omong-omong, terima kasih banyak sudah membawakan AmOrange." Audrey melirik sekilas pada kotak kue dalam kantung yang dipegangnya. "Setelah sikap norak yang kuperbuat hari ini, sepertinya aku harus menjauh sementara dari Cakewalkers," ujar Audrey lantas tergelak.

Mau tidak mau, Brandon ikut tertawa. Sejak dahulu, tawa gadis itu selalu dengan mudah menular padanya. "Aku bersedia membelikannya setiap hari."

"Tidak usah. Nanti aku bisa mengajak pacarku ke Cakewalkers."

"Kamu punya pacar?" Entah mengapa, Brandon merasa sesak.

"Belum. Mungkin secepatnya. Supaya kita bisa pergi double date lain kali. Aku, pacarku, kamu, dan—siapa tadi nama pacarmu? Sinta?"

"Cynthia," ralat Brandon lirih. Kepalanya tertunduk.

"Nah, betul. Cynthia. Pastikan kamu memperlakukannya dengan baik."

Tiba-tiba saja Brandon tidak bisa menahan dorongan hatinya untuk memeluk Audrey. Ia mengabaikan rontaan dan pertanyaan gadis itu. Ia hanya ingin seperti ini sebentar saja. Karena ia sadar, cinta pertama yang dijaganya selama lebih dari satu dekade ini harus berakhir dengan kekecewaan. Pagar listrik mengunci erat dirinya dan Audrey dalam zona pertemanan. Tidak ada celah untuk membebaskan diri.

Setelah ia melepas pelukan ini, Brandon tahu ia harus menyerah.