Farrel membidik kue berwarna merah di atas mejanya. Dalam
sekejap, Red VeLovet yang tampak cantik dan lezat itu tertangkap lensa
kameranya. Ia hendak memotret dari sisi lain, tetapi pintu Cakewalkers yang
bergerak terbuka mengalihkan perhatiannya.
Seorang wanita melangkah masuk dan langsung membuat pesanan
yang sudah dihafal para pramuniaga. Lalu ia menempati kursi dan meja di sudut
ruangan. Wanita itu duduk menghadap dinding, seolah sengaja membelakangi pintu
masuk.
Alis Farrel terangkat kecewa. Ia melirik ponsel di atas
meja. Berbeda dengan ponsel utamanya yang terus sibuk menerima pesan dan
mengingatkannya tentang janji temu dengan klien, ponselnya yang satu ini tampak
hening dalam tiga jam terakhir. Hanya satu nomor yang tersimpan di sana. Nomor
ponsel pacarnya.
Tangan Farrel gatal hendak menelepon atau sekadar mengirim pesan.
Tetapi ia menahan diri. Tidak semudah itu mereka bisa saling bertukar kabar.
Mereka terjerat dalam hubungan terlarang walaupun sama-sama yakin bahwa cinta
mereka murni dari dalam hati.
Tepat saat itu, pintu Cakewalkers kembali terbuka. Sekali
lagi, Farrel mengangkat kepala. Sepasang muda-mudi masuk dengan senyum kasmaran
di wajah masing-masing. Mereka menuju tempat pemesanan lalu pergi setelah kue
yang mereka inginkan ada dalam genggaman.
Tatapan Farrel beralih pada benda terbungkus kertas cokelat
yang ia sandarkan pada kursi di sebelahnya. Lalu ia menatap Red VeLovet di hadapannya.
Sampai kapan ia harus menunggu tanpa kepastian? Padahal tadi
ia sangat antusias menjelang pertemuan ini. Ia sengaja memilih tempat ini
karena di sini menyediakan kue Red VeLovet yang lezat. Kue kesukaan pacarnya.
Sepasang calon pengantin yang menggunakan jasanya untuk sesi foto pre-wedding menceritakan tentang
Cakewalkers padanya.
'Kapan kita bisa bertemu?' Farrel teringat saat pacarnya
akhirnya menelepon setelah sekian lama ia menumpuk rindu.
'Hem... bagaimana kalau Sabtu?'
'Boleh.' Farrel mengulum senyum. 'Aku akan menunggu di
Cakewalkers. Kudengar mereka menjual Red Velvet terenak sedunia.'
'Benarkah?' Pacarnya
terdengar antusias.
'Ya. Nanti kukirimkan alamat lengkapnya.'
'Oke. Sabtu di
Cakewalkers kita bertemu.'
Angan-angannya tentang ekspresi bahagia pacarnya saat
menerima hadiah dan mencicipi Red VeLovet perlahan mulai memudar. Matanya
melirik pada jam di ponselnya. Lima belas menit. Ia akan menunggu lima belas
menit lagi sebelum membawa pergi campuran kecewa dan rindu dari toko kue ini.
Pintu toko kembali terbuka. Dengan harapan yang menipis
Farrel menolehkan kepalanya. Seketika itu jantungnya berdebar lebih kencang. Susah
payah, ia mencoba kembali fokus pada objek fotonya.
Seorang lelaki perlente melangkah masuk ke toko kue. Ia
tampak terlalu formal bersanding dengan suasana Cakewalkers yang santai.
Dagunya licin sehabis cukuran. Rambutnya disisir rapi. Begitu juga setelan
jasnya yang seolah baru saja selesai diseterika.
Sempurna.
Andai saja rautnya yang karut tidak mendistorsi penampilannya
yang tanpa cela. Dan Farrel sepertinya bisa menduga mengapa wajah tampan itu seolah
tidak bertemu bantal dalam waktu yang lama.
Farrel mencuri lirik. Si dendi itu mengedarkan tatapan
seperti sedang mencari. Lalu beralih menatap ponsel yang sejak tadi digenggamnya.
Dering ponsel menyentak perhatian Farrel ke atas meja.
Tangannya terulur untuk meraih benda pipih itu saat tiba-tiba panggilan yang ditunggunya
terputus.
"Farrel?"
Mendengar namanya dipanggil, Farrel mengangkat wajah dan
mendapati lelaki dendi itu sudah berdiri di hadapannya.
***
Glenn menatap turun dan memandang penuh penilaian. Rambut
sepundak yang kurang akrab dengan sisir. Dagu yang dipenuhi bakal-bakal janggut
yang malas berurusan dengan pisau cukur.
"Boleh aku duduk?" tanya Glenn lagi karena lelaki
di hadapannya hanya balas menatapnya tanpa memberi tanggapan. Tetapi ia yakin
ini adalah orang yang harus ia temui.
Farrel berdeham. "Ya. Silakan. Toko kue ini memang
selalu ramai di jam seperti ini."
"Aku tidak sedang menunggu tempat kosong." Glenn
menarik kursi untuk duduk. "Aku ke sini untuk menemuimu."
Kedua lelaki itu duduk berhadapan sebagai sebuah kontradiksi.
Seperti dua sosok berbeda yang ditampilkan brosur sabun kecantikan. Farrel
melambangkan keadaan sebelum penggunaan produk dan Glenn sebagai sosok yang
memukau setelah penggunaan produk.
Farrel menyadari kesenjangan itu. Dan dalam sekejap hatinya terasa
nyeri. Hidup terasa tidak adil. Lelaki ini memiliki fisik yang sempurna, karier
yang bagus, dan masa depan yang cemerlang. Seolah belum cukup, ia juga memiliki
sesuatu yang sangat diinginkan oleh Farrel.
"Kenapa kamu ingin menemuiku?" Farrel mencoba bersuara
sambil menimba kepercayaandirinya agar kembali ke permukaan.
Glenn menyeringai miring. "Kamu pasti tahu kenapa—"
"Tidak. Aku tidak tahu," potong Farrel cepat
sambil menggelengkan kepala. "Kalau ingin melakukan pemotretan, harus ada
pemesanan sebelumnya. Bisa melalui asistenku—"
"Ini tentang Hanna." Giliran Glenn yang memotong
ucapan Farrel.
Satu nama itu terucap. Dan keheningan menghimpit udara di sekitar
mereka.
"Jadi... apa yang bisa kubantu tentang... Hanna?"
Napasnya tercekat, tetapi Farrel berusaha menyembunyikan itu
sekuat tenaga di balik ekspresi datarnya. Lelaki ini tidak mungkin tahu. Ia
sangat mengenal Hanna. Gadis itu akan berusaha menutupi hubungan mereka.
Terutama dari calon suaminya ini.
Hati Farrel tercubit nyeri. Hanna adalah milik Glenn. Bukan miliknya.
"Tidak perlu berbelit-belit. Aku sudah tahu
semuanya."
Keheningan kembali merayap di antara mereka. Tatapan Glenn
yang penuh intimidasi membuat tangan Farrel bergerak mengusap-usap lensa kameranya
untuk mengusir perasaan gugup.
"Sejak kapan kalian memulai ini?"
Farrel menelan ludah. "Memulai apa?"
Tanpa merasa perlu berkata-kata, Glenn merogoh saku jas
mahalnya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel yang tadi digunakannya untuk membunyikan
ponsel Farrel. Alat komunikasi itu diletakkan di atas meja. Tepat di tengah. Di
samping sepiring kue berwarna merah. Red Velvet. Glenn tersenyum miris. Kue
kesukaan Hanna.
Farrel melirik ragu-ragu. Sebenarnya, tanpa harus
memerhatikan lebih dekat, dengan mudah ia mengenali benda itu. Ponsel milik
Hanna.
"Aku baru tahu kalau Hanna memiliki ponsel lain yang
dia sembunyikan." Suara Glenn lebih terdengar seperti gumaman yang
menerawang. "Dan ponsel ini cuma menyimpan satu nomor yang tersambung ke
ponselmu."
Farrel terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Hubungannya
dan Hanna sudah ketahuan. Mungkin setelah ini, calon suami Hanna akan meminta ia
untuk menjauhi gadis itu. Selamanya.
Dan apa Farrel sanggup melanjutkan hidup tanpa cinta dari
gadis bersenyum hangat itu?
"Apa kalian saling mencintai?" tanya Glenn sambil
melipat tangan di depan dada. Matanya memandang lawan bicaranya dengan teliti.
"Atau hubungan kalian hanya didasari rasa iba dan keterpaksaan?"
Farrel memilih tetap bungkam. Benaknya memutar ulang
beberapa kenangan. Saat-saat gadis itu mengatakan cinta.
'Aku mencintaimu, Near-rel.'
Hanna memang selalu memanggilnya begitu. Near-rel.
'Supaya kita selalu merasa dekat, meskipun terpisah jauh.'
Untuk saat ini, entah mengapa Farrel merasa keberadaan Glenn
di hadapannya memberi sinyal kuat bahwa ia dan Hanna akan terpisah jauh. Dan ia
tidak mau itu terjadi.
"Kue ini. Red Velvet—"
"Red VeLovet," ralat Farrel. "Di sini mereka
menyebutnya begitu."
Glenn mendengus kesal karena Farrel malah bersuara untuk
pembicaraan yang tidak penting. "Ya, terserah apa pun namanya. Tapi aku
tahu kue ini kesukaan Hanna. Dan kamu memesan ini karena menunggu dia
datang."
"Tidak," sanggah Farrel tetap pada pendiriannya.
"Aku memesan ini untukku sendiri."
Sepasang netra Glenn menghujam tepat di titik dusta Farrel.
Tadi lelaki itu berkata bahwa ia sudah tahu semuanya. Apakah itu berarti
'semuanya'?
"Kalau begitu, jawab pertanyaanku," desis Glenn tidak
sabar.
"Aku tidak yakin kamu mau mendengar jawaban. Hanna
selalu berusaha agar perasaanmu tidak tersakiti."
"Aku berhak tahu tentang pengkhianatan yang terjadi di
belakangku!"
"Tadi katamu, kamu sudah tahu semuanya."
Untuk beberapa saat Glenn terdiam. "Aku sudah membaca
semua pesan mesra kalian di sini," ujarnya kemudian sambil menusuk-nusuk
ponsel itu dengan telunjuknya. "Termasuk humor-humor receh yang tidak
pernah dilontarkan Hanna saat bersamaku."
Farrel mengangkat bahu. "Mungkin karena dia memandangmu
sebagai laki-laki serius dan pekerja keras."
"Aku memang tidak suka membicarakan hal yang hanya
membuang-buang waktu."
Farrel mendebas keras. "Tapi kamu ada di sini
sekarang."
Keheningan kembali membentang di antara mereka. Tetapi kali
ini tidak lama. Glenn benar. Sebaiknya Farrel tidak membuang-buang waktu.
"Aku mencintainya."
Kedua mata Glenn membeliak pada pengakuan mendadak yang terang-terangan
itu. "Tidakkah kamu tahu dia sudah bertunangan denganku? Demi Tuhan!
Seharusnya kami menikah bulan dep—"
"Ya. Aku tahu. Hanna tidak pernah menutupi statusnya,"
sela Farrel tanpa tahu malu. "Tapi kami tidak pernah berencana untuk
saling jatuh cinta."
"Tapi kalian dianugerahi akal pikiran untuk mengendalikan
hal semacam ini," balas Glenn tidak habis pikir. "Bagaimana mungkin
kamu rela merendahkan dirimu dengan memacari tunangan orang lain?"
Farrel tersenyum getir. "Demi Hanna. Aku rela melakukan
apa pun. Dia perempuan yang layak untuk dicintai sepenuhnya."
Dalam hati Glenn menyetujui itu. Hanna memang gadis yang sempurna.
Kalau tidak, mana mungkin ia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama
gadis itu.
"Pantas saja. Setelah kami resmi bertunangan, dia
sering tampak murung dan ragu. Seolah-olah pikirannya berkelana dan meninggalkan
raganya dalam pelukanku. Seharusnya aku bisa lebih cepat menyadari itu."
Glenn menautkan jemarinya dan menumpukannya di atas meja. "Aku tidak
menyangka dia ternyata perempuan serakah yang tidak tahu cara bersyukur."
Sepasang mata Farrel memicing tajam. "Kalau kamu ke
sini hanya untuk menjelek-jelekkan Hanna, lebih baik pergi saja!" geram
Farrel dengan rahang yang mengeras.
Glenn menggeleng. "Aku ke sini hanya ingin tahu laki-laki
seperti apa yang sanggup membuat Hanna membagi hatinya."
"Dan kamu sudah tahu sekarang."
Kali ini, Glenn mengangguk. Ia meraih ponsel Hanna dan
menyimpan kembali benda itu ke saku jasnya. "Besok adalah kali terakhir
kamu bisa melihatnya."
"Tidak!" tolak Farrel sambil menggebrak meja.
"Kalau memang harus begitu, aku mau Hanna yang datang dan mengatakannya
langsung padaku."
Glenn berdiri sambil merapikan jasnya. Ia mengembuskan napas
berat. "Dia tidak akan bisa melakukannya." Wajah tampan yang karut itu
semakin tampak muram. "Kamu akan menemuinya di pemakaman."
***
Apa maksudnya? Pemakaman? Siapa yang meninggal? Oh, apakah—?
Tidak mungkin!
"Kamu membunuhnya?" seru Farrel sambil bangkit
mendadak dari duduknya. Lupa pada kedua kaki yang kehilangan kapabilitas untuk
menopang tubuhnya. Seketika itu juga ia terperosok menghantam meja yang langsung
rubuh. Diikuti bunyi piring pecah dan sepotong Red VeLovet yang hancur.
Beberapa pramuniaga dan pengunjung di sekitar mereka bergegas
membantu Farrel kembali duduk ke atas kursi rodanya.
Glenn mempertahankan sikap dinginnya. Ia hanya menatap
kekacauan itu dengan pandangan kosong. "Seharusnya begitu. Kalau saja aku
mengetahui pengkhianatan ini lebih cepat. Sayangnya, tidak. Tadi Hanna menolak
diantar salah satu sopirku. Dia memaksa untuk menyetir sendiri dan mengalami kecelakaan
dalam perjalanan ke sini." Ia memapas gumpalan tajam yang menyangkut di
tenggorokannya. "Untuk menemuimu."
Farrel terduduk lemas. Ia menumpukan seluruh beban tubuhnya pada
kursi rodanya. Lelaki itu pasti berbohong. Hanna tidak mungkin meninggalkannya.
Glenn memahami itu. Kosong. Itulah yang ia rasakan tadi saat
mendengar kabar duka itu. Hanna pergi sambil membawa cintanya. Dan ia berharap
apa yang didengarnya hanyalah dusta. Glenn bahkan sempat membayangkan Hanna
datang menghampirinya, lalu gadis itu memeluknya sambil berbisik bahwa pengkhianatan
dan kepergiannya itu hanya cerita bohong. Bagian dari rencana usilnya.
Tetapi malah kenyataan yang datang menghampirinya. Glenn
harus menghadapi itu. Seperti tamparan keras di wajahnya. Begitu juga dengan
Farrel. Bagaimanapun, mereka mencintai perempuan yang sama. Hanna yang sama.
"Kuharap kamu datang besok. Salah satu sopirku akan
menjemputmu. Kurasa kamu akan kesulitan karena itu," ucap Glenn sambil melirik kursi roda yang diduduki lawan
bicaranya. Ia berbalik memunggungi Farrel, bersiap meninggalkan Cakewalkers. "Lagi
pula, Hanna pasti mengharapkan kedatanganmu."
Sepeninggal Glenn, Farrel masih terpekur di tempat duduknya.
Detik berikutnya, ia sudah terisak sambil membenamkan wajahnya pada lengannya
yang terlipat di atas meja.
Dan sekarang Farrel akhirnya tahu mengapa wajah Glenn tampak
karut. Itu juga yang ia rasakan sekarang. Bahkan wajahnya pasti tampak jauh
lebih buruk.
Farrel menggapai bungkusan di sampingnya. Ia merobek kertas
yang mengemas benda itu. Hadiah yang seharusnya ia berikan kepada Hanna.
Sebuah potret.
Foto hitam putih dalam pigura kayu itu menampilkan wajah
Hanna yang sedang tertidur pulas. Rambut ikalnya jatuh ke sisi kepalanya seperti
helaian sutra hitam. Kelopak matanya tertutup dengan bulu mata lentik membelai kulit
pipinya yang halus.
Farrel memotret pemandangan itu bebarapa hari yang lalu.
Saat itu Hanna datang ke rumahnya dan langsung meminta izin untuk tidur. Dalam
sekejap gadis itu terlelap di sofa. Hanna hanya sempat bercerita bahwa ia
kelelahan setelah berkeliling untuk menemukan gaun pernikahan yang sesuai
keinginan calon mertuanya.
Saat itu, Farrel sudah merasa damai hanya karena Hanna pulas
di dekatnya. Dan sekarang ia hanya bisa tersedu sambil mendekap pigura kayu.
Sosok dalam potret itu sudah menutup mata untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar