Sabtu, 23 Juni 2018

Red VeLovet - Photograph


Farrel membidik kue berwarna merah di atas mejanya. Dalam sekejap, Red VeLovet yang tampak cantik dan lezat itu tertangkap lensa kameranya. Ia hendak memotret dari sisi lain, tetapi pintu Cakewalkers yang bergerak terbuka mengalihkan perhatiannya.

Seorang wanita melangkah masuk dan langsung membuat pesanan yang sudah dihafal para pramuniaga. Lalu ia menempati kursi dan meja di sudut ruangan. Wanita itu duduk menghadap dinding, seolah sengaja membelakangi pintu masuk.

Alis Farrel terangkat kecewa. Ia melirik ponsel di atas meja. Berbeda dengan ponsel utamanya yang terus sibuk menerima pesan dan mengingatkannya tentang janji temu dengan klien, ponselnya yang satu ini tampak hening dalam tiga jam terakhir. Hanya satu nomor yang tersimpan di sana. Nomor ponsel pacarnya.

Tangan Farrel gatal hendak menelepon atau sekadar mengirim pesan. Tetapi ia menahan diri. Tidak semudah itu mereka bisa saling bertukar kabar. Mereka terjerat dalam hubungan terlarang walaupun sama-sama yakin bahwa cinta mereka murni dari dalam hati.

Tepat saat itu, pintu Cakewalkers kembali terbuka. Sekali lagi, Farrel mengangkat kepala. Sepasang muda-mudi masuk dengan senyum kasmaran di wajah masing-masing. Mereka menuju tempat pemesanan lalu pergi setelah kue yang mereka inginkan ada dalam genggaman.

Tatapan Farrel beralih pada benda terbungkus kertas cokelat yang ia sandarkan pada kursi di sebelahnya. Lalu ia menatap Red VeLovet di hadapannya.

Sampai kapan ia harus menunggu tanpa kepastian? Padahal tadi ia sangat antusias menjelang pertemuan ini. Ia sengaja memilih tempat ini karena di sini menyediakan kue Red VeLovet yang lezat. Kue kesukaan pacarnya. Sepasang calon pengantin yang menggunakan jasanya untuk sesi foto pre-wedding menceritakan tentang Cakewalkers padanya.

'Kapan kita bisa bertemu?' Farrel teringat saat pacarnya akhirnya menelepon setelah sekian lama ia menumpuk rindu.

'Hem... bagaimana kalau Sabtu?'

'Boleh.' Farrel mengulum senyum. 'Aku akan menunggu di Cakewalkers. Kudengar mereka menjual Red Velvet terenak sedunia.'

'Benarkah?' Pacarnya terdengar antusias.

'Ya. Nanti kukirimkan alamat lengkapnya.'

'Oke. Sabtu di Cakewalkers kita bertemu.'

Angan-angannya tentang ekspresi bahagia pacarnya saat menerima hadiah dan mencicipi Red VeLovet perlahan mulai memudar. Matanya melirik pada jam di ponselnya. Lima belas menit. Ia akan menunggu lima belas menit lagi sebelum membawa pergi campuran kecewa dan rindu dari toko kue ini.

Pintu toko kembali terbuka. Dengan harapan yang menipis Farrel menolehkan kepalanya. Seketika itu jantungnya berdebar lebih kencang. Susah payah, ia mencoba kembali fokus pada objek fotonya.

Seorang lelaki perlente melangkah masuk ke toko kue. Ia tampak terlalu formal bersanding dengan suasana Cakewalkers yang santai. Dagunya licin sehabis cukuran. Rambutnya disisir rapi. Begitu juga setelan jasnya yang seolah baru saja selesai diseterika.

Sempurna.

Andai saja rautnya yang karut tidak mendistorsi penampilannya yang tanpa cela. Dan Farrel sepertinya bisa menduga mengapa wajah tampan itu seolah tidak bertemu bantal dalam waktu yang lama.

Farrel mencuri lirik. Si dendi itu mengedarkan tatapan seperti sedang mencari. Lalu beralih menatap ponsel yang sejak tadi digenggamnya.

Dering ponsel menyentak perhatian Farrel ke atas meja. Tangannya terulur untuk meraih benda pipih itu saat tiba-tiba panggilan yang ditunggunya terputus.

"Farrel?"

Mendengar namanya dipanggil, Farrel mengangkat wajah dan mendapati lelaki dendi itu sudah berdiri di hadapannya.
***

Glenn menatap turun dan memandang penuh penilaian. Rambut sepundak yang kurang akrab dengan sisir. Dagu yang dipenuhi bakal-bakal janggut yang malas berurusan dengan pisau cukur.

"Boleh aku duduk?" tanya Glenn lagi karena lelaki di hadapannya hanya balas menatapnya tanpa memberi tanggapan. Tetapi ia yakin ini adalah orang yang harus ia temui.

Farrel berdeham. "Ya. Silakan. Toko kue ini memang selalu ramai di jam seperti ini."

"Aku tidak sedang menunggu tempat kosong." Glenn menarik kursi untuk duduk. "Aku ke sini untuk menemuimu."

Kedua lelaki itu duduk berhadapan sebagai sebuah kontradiksi. Seperti dua sosok berbeda yang ditampilkan brosur sabun kecantikan. Farrel melambangkan keadaan sebelum penggunaan produk dan Glenn sebagai sosok yang memukau setelah penggunaan produk.

Farrel menyadari kesenjangan itu. Dan dalam sekejap hatinya terasa nyeri. Hidup terasa tidak adil. Lelaki ini memiliki fisik yang sempurna, karier yang bagus, dan masa depan yang cemerlang. Seolah belum cukup, ia juga memiliki sesuatu yang sangat diinginkan oleh Farrel.

"Kenapa kamu ingin menemuiku?" Farrel mencoba bersuara sambil menimba kepercayaandirinya agar kembali ke permukaan.

Glenn menyeringai miring. "Kamu pasti tahu kenapa—"

"Tidak. Aku tidak tahu," potong Farrel cepat sambil menggelengkan kepala. "Kalau ingin melakukan pemotretan, harus ada pemesanan sebelumnya. Bisa melalui asistenku—"

"Ini tentang Hanna." Giliran Glenn yang memotong ucapan Farrel.

Satu nama itu terucap. Dan keheningan menghimpit udara di sekitar mereka.

"Jadi... apa yang bisa kubantu tentang... Hanna?"

Napasnya tercekat, tetapi Farrel berusaha menyembunyikan itu sekuat tenaga di balik ekspresi datarnya. Lelaki ini tidak mungkin tahu. Ia sangat mengenal Hanna. Gadis itu akan berusaha menutupi hubungan mereka. Terutama dari calon suaminya ini.

Hati Farrel tercubit nyeri. Hanna adalah milik Glenn. Bukan miliknya.

"Tidak perlu berbelit-belit. Aku sudah tahu semuanya."

Keheningan kembali merayap di antara mereka. Tatapan Glenn yang penuh intimidasi membuat tangan Farrel bergerak mengusap-usap lensa kameranya untuk mengusir perasaan gugup.

"Sejak kapan kalian memulai ini?"

Farrel menelan ludah. "Memulai apa?"

Tanpa merasa perlu berkata-kata, Glenn merogoh saku jas mahalnya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel yang tadi digunakannya untuk membunyikan ponsel Farrel. Alat komunikasi itu diletakkan di atas meja. Tepat di tengah. Di samping sepiring kue berwarna merah. Red Velvet. Glenn tersenyum miris. Kue kesukaan Hanna.

Farrel melirik ragu-ragu. Sebenarnya, tanpa harus memerhatikan lebih dekat, dengan mudah ia mengenali benda itu. Ponsel milik Hanna.

"Aku baru tahu kalau Hanna memiliki ponsel lain yang dia sembunyikan." Suara Glenn lebih terdengar seperti gumaman yang menerawang. "Dan ponsel ini cuma menyimpan satu nomor yang tersambung ke ponselmu."

Farrel terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Hubungannya dan Hanna sudah ketahuan. Mungkin setelah ini, calon suami Hanna akan meminta ia untuk menjauhi gadis itu. Selamanya.

Dan apa Farrel sanggup melanjutkan hidup tanpa cinta dari gadis bersenyum hangat itu?

"Apa kalian saling mencintai?" tanya Glenn sambil melipat tangan di depan dada. Matanya memandang lawan bicaranya dengan teliti. "Atau hubungan kalian hanya didasari rasa iba dan keterpaksaan?"

Farrel memilih tetap bungkam. Benaknya memutar ulang beberapa kenangan. Saat-saat gadis itu mengatakan cinta.

'Aku mencintaimu, Near-rel.'

Hanna memang selalu memanggilnya begitu. Near-rel.

'Supaya kita selalu merasa dekat, meskipun terpisah jauh.'

Untuk saat ini, entah mengapa Farrel merasa keberadaan Glenn di hadapannya memberi sinyal kuat bahwa ia dan Hanna akan terpisah jauh. Dan ia tidak mau itu terjadi.

"Kue ini. Red Velvet—"

"Red VeLovet," ralat Farrel. "Di sini mereka menyebutnya begitu."

Glenn mendengus kesal karena Farrel malah bersuara untuk pembicaraan yang tidak penting. "Ya, terserah apa pun namanya. Tapi aku tahu kue ini kesukaan Hanna. Dan kamu memesan ini karena menunggu dia datang."

"Tidak," sanggah Farrel tetap pada pendiriannya. "Aku memesan ini untukku sendiri."

Sepasang netra Glenn menghujam tepat di titik dusta Farrel. Tadi lelaki itu berkata bahwa ia sudah tahu semuanya. Apakah itu berarti 'semuanya'?

"Kalau begitu, jawab pertanyaanku," desis Glenn tidak sabar.

"Aku tidak yakin kamu mau mendengar jawaban. Hanna selalu berusaha agar perasaanmu tidak tersakiti."

"Aku berhak tahu tentang pengkhianatan yang terjadi di belakangku!"

"Tadi katamu, kamu sudah tahu semuanya."

Untuk beberapa saat Glenn terdiam. "Aku sudah membaca semua pesan mesra kalian di sini," ujarnya kemudian sambil menusuk-nusuk ponsel itu dengan telunjuknya. "Termasuk humor-humor receh yang tidak pernah dilontarkan Hanna saat bersamaku."

Farrel mengangkat bahu. "Mungkin karena dia memandangmu sebagai laki-laki serius dan pekerja keras."

"Aku memang tidak suka membicarakan hal yang hanya membuang-buang waktu."

Farrel mendebas keras. "Tapi kamu ada di sini sekarang."

Keheningan kembali membentang di antara mereka. Tetapi kali ini tidak lama. Glenn benar. Sebaiknya Farrel tidak membuang-buang waktu.

"Aku mencintainya."

Kedua mata Glenn membeliak pada pengakuan mendadak yang terang-terangan itu. "Tidakkah kamu tahu dia sudah bertunangan denganku? Demi Tuhan! Seharusnya kami menikah bulan dep—"

"Ya. Aku tahu. Hanna tidak pernah menutupi statusnya," sela Farrel tanpa tahu malu. "Tapi kami tidak pernah berencana untuk saling jatuh cinta."

"Tapi kalian dianugerahi akal pikiran untuk mengendalikan hal semacam ini," balas Glenn tidak habis pikir. "Bagaimana mungkin kamu rela merendahkan dirimu dengan memacari tunangan orang lain?"

Farrel tersenyum getir. "Demi Hanna. Aku rela melakukan apa pun. Dia perempuan yang layak untuk dicintai sepenuhnya."

Dalam hati Glenn menyetujui itu. Hanna memang gadis yang sempurna. Kalau tidak, mana mungkin ia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama gadis itu.

"Pantas saja. Setelah kami resmi bertunangan, dia sering tampak murung dan ragu. Seolah-olah pikirannya berkelana dan meninggalkan raganya dalam pelukanku. Seharusnya aku bisa lebih cepat menyadari itu." Glenn menautkan jemarinya dan menumpukannya di atas meja. "Aku tidak menyangka dia ternyata perempuan serakah yang tidak tahu cara bersyukur."

Sepasang mata Farrel memicing tajam. "Kalau kamu ke sini hanya untuk menjelek-jelekkan Hanna, lebih baik pergi saja!" geram Farrel dengan rahang yang mengeras.

Glenn menggeleng. "Aku ke sini hanya ingin tahu laki-laki seperti apa yang sanggup membuat Hanna membagi hatinya."

"Dan kamu sudah tahu sekarang."

Kali ini, Glenn mengangguk. Ia meraih ponsel Hanna dan menyimpan kembali benda itu ke saku jasnya. "Besok adalah kali terakhir kamu bisa melihatnya."

"Tidak!" tolak Farrel sambil menggebrak meja. "Kalau memang harus begitu, aku mau Hanna yang datang dan mengatakannya langsung padaku."

Glenn berdiri sambil merapikan jasnya. Ia mengembuskan napas berat. "Dia tidak akan bisa melakukannya." Wajah tampan yang karut itu semakin tampak muram. "Kamu akan menemuinya di pemakaman."
***

Apa maksudnya? Pemakaman? Siapa yang meninggal? Oh, apakah—? Tidak mungkin!

"Kamu membunuhnya?" seru Farrel sambil bangkit mendadak dari duduknya. Lupa pada kedua kaki yang kehilangan kapabilitas untuk menopang tubuhnya. Seketika itu juga ia terperosok menghantam meja yang langsung rubuh. Diikuti bunyi piring pecah dan sepotong Red VeLovet yang hancur.

Beberapa pramuniaga dan pengunjung di sekitar mereka bergegas membantu Farrel kembali duduk ke atas kursi rodanya.

Glenn mempertahankan sikap dinginnya. Ia hanya menatap kekacauan itu dengan pandangan kosong. "Seharusnya begitu. Kalau saja aku mengetahui pengkhianatan ini lebih cepat. Sayangnya, tidak. Tadi Hanna menolak diantar salah satu sopirku. Dia memaksa untuk menyetir sendiri dan mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke sini." Ia memapas gumpalan tajam yang menyangkut di tenggorokannya. "Untuk menemuimu."

Farrel terduduk lemas. Ia menumpukan seluruh beban tubuhnya pada kursi rodanya. Lelaki itu pasti berbohong. Hanna tidak mungkin meninggalkannya.

Glenn memahami itu. Kosong. Itulah yang ia rasakan tadi saat mendengar kabar duka itu. Hanna pergi sambil membawa cintanya. Dan ia berharap apa yang didengarnya hanyalah dusta. Glenn bahkan sempat membayangkan Hanna datang menghampirinya, lalu gadis itu memeluknya sambil berbisik bahwa pengkhianatan dan kepergiannya itu hanya cerita bohong. Bagian dari rencana usilnya.

Tetapi malah kenyataan yang datang menghampirinya. Glenn harus menghadapi itu. Seperti tamparan keras di wajahnya. Begitu juga dengan Farrel. Bagaimanapun, mereka mencintai perempuan yang sama. Hanna yang sama.

"Kuharap kamu datang besok. Salah satu sopirku akan menjemputmu. Kurasa kamu akan kesulitan karena itu," ucap Glenn sambil melirik kursi roda yang diduduki lawan bicaranya. Ia berbalik memunggungi Farrel, bersiap meninggalkan Cakewalkers. "Lagi pula, Hanna pasti mengharapkan kedatanganmu."

Sepeninggal Glenn, Farrel masih terpekur di tempat duduknya. Detik berikutnya, ia sudah terisak sambil membenamkan wajahnya pada lengannya yang terlipat di atas meja.

Dan sekarang Farrel akhirnya tahu mengapa wajah Glenn tampak karut. Itu juga yang ia rasakan sekarang. Bahkan wajahnya pasti tampak jauh lebih buruk.

Farrel menggapai bungkusan di sampingnya. Ia merobek kertas yang mengemas benda itu. Hadiah yang seharusnya ia berikan kepada Hanna.

Sebuah potret.

Foto hitam putih dalam pigura kayu itu menampilkan wajah Hanna yang sedang tertidur pulas. Rambut ikalnya jatuh ke sisi kepalanya seperti helaian sutra hitam. Kelopak matanya tertutup dengan bulu mata lentik membelai kulit pipinya yang halus.

Farrel memotret pemandangan itu bebarapa hari yang lalu. Saat itu Hanna datang ke rumahnya dan langsung meminta izin untuk tidur. Dalam sekejap gadis itu terlelap di sofa. Hanna hanya sempat bercerita bahwa ia kelelahan setelah berkeliling untuk menemukan gaun pernikahan yang sesuai keinginan calon mertuanya.

Saat itu, Farrel sudah merasa damai hanya karena Hanna pulas di dekatnya. Dan sekarang ia hanya bisa tersedu sambil mendekap pigura kayu. Sosok dalam potret itu sudah menutup mata untuk selamanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar