Audrey
membaca ulang pesan yang diterimanya kemarin malam. Ia ingin memastikan bahwa
ia menunggu di waktu dan tempat yang tepat. Sehingga penantiannya tidak akan
berakhir sia-sia.
Ia
melirik ke arah angka di jam
tangannya. Sudah hampir lima belas menit berlalu dan bocah itu masih
belum datang juga. Sambil mendebas kesal, Audrey meraih garpu dari tas piring.
Ia menusuk potongan AmOrange-nya seolah sedang menghunuskan pedang.
Ini
tidak biasa terjadi. Cake berwarna
jingga dengan rasa jeruk yang khas itu selalu mampu menyelamatkan Audrey dari
suasana hati yang buruk. Tetapi tidak
untuk kali ini. Ia mengunyah potongan kue itu tanpa repot-repot menikmati perpaduan
rasa krim yang manis dan segarnya jeruk. Kekesalan yang mengumpul di kepalanya
sukses membuat bibirnya mengerucut muram. Ia kembali melirik jam tangannya dan
memerhatikan setiap gerakan jarum yang paling tipis dalam lingkaran. Di dalam
hati ia bertekad akan meminta Brandon menraktirnya AmOrange selama seminggu
penuh. Itu hukuman yang pantas karena sudah membuat seorang gadis menunggu
tanpa kejelasan seperti ini.
"Hai,"
sapa suara yang dikenalnya, bersamaan dengan bunyi derit kursi yang bergesekan
dengan lantai.
Lelaki
yang sejak tadi ia tunggu, kini sudah duduk di hadapannya. Tetapi Audrey tetap
tidak mengalihkan tatapan dari jam tangannya.
"Sudah
menunggu lama, ya?"
"Lammmaa
banget," gerutu Audrey sambil memutar bola mata dengan sikap dramatis. Perasaan
kesalnya ia lampiaskan dengan menghujamkan garpu ke potongan terakhir AmOrange
di piringnya.
Lelaki
itu malah nyengir kuda alih-alih memasang ekspresi menyesal. "Maaf. Tadi
aku butuh waktu lebih untuk persiapan."
Audrey
menelan kuenya sambil mendongakkan kepala. "Persiapan apa?"
"Persiapan
ini," jawab Brandon yang langsung diikuti gerombolan teman-teman hebohnya.
Kumpulan
remaja itu tampak sibuk dengan benda di tangan masing-masing. Ada yang membawa
balon, buket bunga, boneka beruang, dan cokelat batangan yang dihiasi pita. Dan
sepasang mata Audrey nyaris melompat keluar saat melihat dua remaja yang
berdiri paling depan membentangkan selembar kain bertuliskan 'I love you'.
"Apa-apaan,
nih?" Serta-merta, Audrey langsung bangkit dari duduknya. Gerakannya
terlalu mendadak, sehingga meja di hadapannya berguncang. Diikuti bunyi denting
memekakkan telinga, tercipta dari garpu yang terpelanting dan jatuh kembali ke
atas piring.
Bunyi
itu seolah memiliki fungsi tombol pause.
Toko kue itu hening seketika. Dengung obrolan menghilang. Senyum lebar gerombolan
remaja itu membeku di wajah mereka. Gerakan tangan pramuniaga—yang hendak
meletakkan pesanan ke atas meja—membeku di udara. Seekor cecak menunda tujuannya
untuk menyelinap ke balik bingkai foto di dinding. Serentak, seisi toko kue
menoleh ke arah Audrey. Kecuali seorang pelanggan yang duduk di sudut ruangan
dekat jendela. Ia tetap menyesap tehnya dengan tenang. Tampak tidak terpengaruh.
Bahkan tidak melirik sedikit pun.
Audrey
memasang senyum maaf yang terkesan canggung. Perlahan-lahan, ia kembali duduk sambil
melemparkan tatapan menyalahkan ke arah Brandon.
"Ini
apa-apaan, sih?" desis Audrey, setelah di sekitarnya kembali bergerak seperti
seharusnya.
"Aku
mau membuat pengakuan cinta," jawab Brandon dengan tenang.
"Kamu
gila, ya?"
Brandon
mengangkat satu alisnya, lantas menggedikkan bahu.
Audrey
berdecak kesal. Ia kembali bangkit dari kursinya. Kali ini lebih berhati-hati agar
tidak kembali menyenggol meja. "Ikut aku!" Tangannya menyambar pergelangan
tangan Brandon dan setengah menyeret lelaki yang lebih muda satu tahun tetapi lebih
tinggi sebelas senti darinya itu keluar. Tidak boleh ada kegaduhan lagi.
Setelah
cukup dekat dengan barisan kendaraan yang terparkir rapi, Audrey baru melepas genggamannya.
Ia berbalik menghadap Brandon sambil melipat lengan di depan dada.
"Ini
sudah keberapa kalinya kamu melakukan hal konyol seperti ini? Empat?
Lima?" omel Audrey dengan tampang bosan. "Dan sudah berapa kali juga
aku bilang bahwa kita ini cuma teman. T-E-M-A-N."
Brandon
mengalihkan pandangan ke ujung sepatunya.
Audrey
menggigit bibir saat menyadari kata-katanya mungkin keterlaluan. Tetapi ia
harus menegaskan hubungan mereka. "Oke, mungkin lebih dari sekadar
teman," ralat gadis itu dengan suara yang lebih lembut. Brandon kembali
menegakkan kepala, menatap langsung sepasang mata Audrey. "Aku sudah
menganggapmu seperti keluarga. Adik laki-laki yang sangat kusayangi—"
"Tapi—"
"—Lagi pula aku ini lebih tua
darimu. Kamu mau namamu berubah dari Brandon menjadi Brondong?"
"Dengarkan
dulu—"
"—Demi
kebun jeruk di Florida! Kita sudah saling mengenal sejak belum bisa mengayuh
sepeda roda dua!"
"Audrey,"
panggil Brandon sambil merangkum kedua pipi gadis itu dengan tangannya. Tetapi
ia salah jika mengira itu akan menghentikan ocehan Audrey.
"Hei,
mana sopan santunmu? Mulai sekarang, kamu panggil aku Kak Audrey," protes
Audrey sambil menarik mundur kepalanya. Gerakan itu membuat rambut panjangnya
berkibar seperti bintang iklan sampo.
Brandon
tidak lagi mencoba dengan kata-kata. Percuma kalau tidak didengar. Maka, ia
menggenggam pergelangan tangan Audrey dan menariknya kembali ke dalam toko.
Seperti yang tadi gadis itu lakukan padanya.
Tidak
seperti Brandon yang tadi pasrah, Audrey meronta dan memberatkan langkahnya.
"Lepaskan! Aku tidak mau kembali ke sana! Tadi mereka semua menatapku seolah-olah
alisku botak."
Brandon
mengulum tawa sambil tetap memanfaatkan kekuatannya sebagai lelaki. Ia
mendorong pintu kaca dengan satu tangan. Sementara gadis di belakangnya sibuk
menunduk sambil menutupi wajah dengan rambut.
Mereka
kembali ke rombongan yang dibawa Brandon. Sepuluh orang itu masih berdiri di
tengah ruangan, di samping meja yang tadi diduduki Audrey. Masing-masih wajah
remaja itu masih menampilkan senyum bingung yang mulai garing.
"Bersiap,
guys. Dia sudah datang," ucap
Brandon yang langsung dipatuhi teman-temannya.
Dia
siapa? Kening Audrey mengernyit. Ia mengerling pada Brandon, meminta
penjelasan. Tetapi sepasang netra lelaki itu tampak fokus ke arah pintu masuk
Cakewalkers. Maka, Audrey segera mengikuti arah pandang Brandon.
Tepat
saat itulah seorang gadis berambut sebahu melangkah masuk ke Cakewalkers.
Dengan
langkah mantap, Brandon meninggalkan tempatnya di sisi Audrey. Ia mengambil
buket bunga yang dipegang salah seorang temannya. Dalam sekejap, ia sudah tiba
di hadapan gadis yang menatapnya dengan raut bingung.
"Cynthia,
kamu mau jadi pacarku?"
Gadis
bernama Cynthia itu melebarkan mata, menatap bergantian antara wajah Brandon
dan buket bunga di tangan lelaki itu. Detik berikutnya, ia sudah mengangguk tersipu.
Dengan senang hati menerima buket bunga yang disodorkan ke arahnya.
Serentak,
nyaris seluruh pengunjung Cakewalkers siang itu bersorak senang. Bahkan ada
yang berdiri untuk memberi ucapan selamat langsung pada Brandon. Padahal mereka
tidak saling mengenal.
Audrey
menyaksikan semua itu dengan sepasang pandangan kosong yang menerawang. Lalu
tanpa merasa perlu berpamitan, ia sudah berbalik dan meninggalkan toko kue itu
dengan langkah-langkah lebar.
***
Secara
otomatis, tubuh Brandon bergegas hendak mengejar kepergian Audrey. Tetapi cekalan
di pergelangan tangannya berhasil membuat langkahnya terhenti. Ia menggerakkan
leher untuk mendapati Cynthia menggeleng kepadanya.
"Jangan
dikejar."
"Tapi
dia—"
"Beri
dia waktu," potong Cynthia tanpa peduli apa pun alasan Brandon.
Ia mengernyit
ragu. Matanya menatap nanar pada pintu yang tadi dilewati Audrey. Brandon ingin
menatap langsung wajah Audrey, gadis yang sudah membuat ia jatuh cinta sejak
sepuluh tahun yang lalu.
"Biarkan
dia memahami perasaannya sendiri. Itu, kan, tujuan rencana ini?" Cynthia
mempererat genggamannya saat merasakan hati Brandon mulai goyah. "Kamu mau
dia menyadari seperti apa perasaannya padamu. Jangan sia-siakan perjuangan
kami, Pacar Pura-puraku."
Brandon
menatap sekali lagi lantai marmer Cakewalkers yang tadi dipijak Audrey. Cynthia
benar. Rencana yang sudah ia susun matang ini harus membuahkan hasil. Umpan
sudah dilempar. Sekarang ia hanya perlu menunggu apakah Audrey merasa cemburu
dan akhirnya mengajak ia melangkah keluar dari zona pertemanan yang mereka huni
selama lebih dari sepuluh tahun. Atau... malah tidak peduli sama sekali.
"Sekarang
lebih baik kamu menraktir kami semua sesuai janji," tagih Cynthia sambil
mengedipkan satu mata. "Ada banyak kue enak yang menunggu."
Brandon
mendenguskan tawa lalu mengizinkan rombongannya untuk memesan. Sorak sorai langsung
terdengar. Dasar pemburu gratisan!
"Omong-omong,
aktingmu bagus juga," ujar Cynthia sambil menyinggung bahu Brandon.
"Kamu yakin tidak mau bergabung dengan klub drama?"
***
Audrey
duduk bersila di atas tempat tidurnya. Tatapannya berkeliling pada setiap lembar
foto yang tertempel di dinding kamar. Selain wajahnya dan kedua orang tuanya,
ada wajah lain yang hampir tidak pernah absen dari setiap potret momen dalam
hidupnya.
Brandon.
Ia
memandang foto sepasang bocah. Wajah mereka cemong karena lumpur, pakaian
kuyup, tetapi bibir mereka tersenyum lebar menampilkan gigi ompong. Saat itu
bahkan tinggi Brandon tidak lebih dari bahu Audrey.
Ada
foto saat mereka pergi ke Taman Ria. Foto lainnya menampilkan kebanggaan saat
Brandon memenangkan lomba lari. Juga Audrey yang mengangkat piala lomba pidato
bahasa Inggris. Hingga yang terbaru adalah foto Audrey saat lulus dari SMA.
Mereka
berdua selalu saling mendukung dalam setiap momen penting dalam hidup. Audrey
menggelengkan kepalanya. Seharusnya tadi ia tidak pergi begitu saja. Sebagai
teman sejati, seharusnya ia mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen itu untuk
ditempel di dinding kamarnya.
Tetapi
tadi saat melihat Brandon mengakui cinta pada seorang gadis, entah mengapa
membuat Audrey merasa kehilangan. Mungkin karena ia tidak mengenal gadis
bernama Cyntia itu. Atau karena ia akhirnya menyadari bahwa Brandon bukan lagi
bocah lelaki yang mengikutinya seperti anak itik.
Lamunannya
buyar saat pintu kamarnya diketuk. Suara ibunya menyusul kemudian.
***
Sebenarnya,
Cynthia menyarankan agar Brandon menunggu sampai besok. Tetapi ia tidak bisa
menunggu selama itu. Ia ingin memastikan keadaan Audrey malam ini juga. Maka,
pukul delapan malam ia sudah duduk di kursi teras rumah Audrey. Bersama sekotak
kue AmOrange kesukaan gadis itu.
"Ada
apa?" tanya Audrey begitu muncul di ambang pintu. Tampak santai dengan
piama bermotif polkadot yang dikenakannya. Lengan gadis itu dilipat di depan
dada. "Tumben tidak langsung masuk? Seperti tamu saja."
Brandon
berdiri dari duduknya. Ia meringis lebar. "Ini untukmu," ucapnya
sambil menyerahkan kantung plastik yang dibawanya.
Alis
Audrey terangkat. Hanya dengan melihat bungkusnya, ia langsung tahu itu berasal
dari Cakewalkers. "Pajak jadian?"
Brandon
terkekeh. "Anggap saja begitu."
"Jadi,
ada apa?" Audrey mengulang pertanyaannya tadi.
"Apa
kamu tidak mau menemaniku duduk?" Brandon memiringkan kepala ke arah kursi
kosong di sampingnya. Biasanya, ia duduk di sini bersama Ayah atau Ibu Audrey.
Berbincang tentang olahraga atau buah yang sedang musim bulan ini. Mereka sudah
seperti orang tuanya sendiri.
Audrey
menolehkan kepala ke kiri lalu ke kanan. Seolah sedang mencari sesuatu.
Kemudian pencariannya berakhir di kedua mata Brandon. "Kamu yakin tidak
apa-apa duduk di sini? Berdua? Denganku?" tanya Audrey penuh penekanan.
Kening
Brandon mengernyit bingung. "Kenapa tidak?"
"Sekarang
kamu, kan, sudah punya pacar."
Kerutan
di kening Brandon memudar dan berganti tawa dari mulutnya. "Hubungan kami
tidak seposesif itu, kok."
"Oke."
Audrey duduk dan meletakkan oleh-oleh dari Brandon ke atas pangkuannya.
"Kalau sampai pacarmu cemburu, jangan libatkan aku, ya."
Otot-otot
wajah Brandon terasa kaku. "Apa bukan kamu yang cemburu?"
"Kenapa
aku harus cemburu?"
"Memangnya,
kedekatan kita selama ini tidak berarti apa pun untukmu?"
Tidak
ada jawaban langsung untuk pertanyaan itu. Suara jangkrik bersahut-sahutan dari
balik rerumputan di pekarangan. Gemerisik angin menemani Brandon dalam
penantiannya. Hingga akhirnya, terdengar suara Audrey mendebas keras.
"Kalau
boleh jujur, sebenarnya tadi aku memang merasa sedikit cemburu."
Leher
Brandon menegak pada pengakuan itu. Ia mengabaikan kata 'sedikit' yang
disematkan Audrey dalam ucapannya. Ada setitik harapan timbul di hati lelaki
itu mendengar kata terakhir Audrey.
"Aku
juga merasa kehilangan," lanjut Audrey, sementara Brandon menahan napasnya
tanpa sadar. "Kita, kan, terbiasa bersama sejak kecil. Tadi aku sempat berpikir
bahwa mungkin hubungan kita tidak akan sama seperti sepuluh tahun terakhir.
Tapi akhirnya aku sadar kalau Adikku ini sedang beranjak dewasa." Audrey
tersenyum lantas mengulurkan tangan untuk mengusap-usap kepala Brandon dengan
kasih sayang. Ia sama sekali tidak menyadari tubuh lelaki itu yang membeku.
Bukan karena udara malam yang dingin melainkan karena harapan menguap tanpa
sisa dari hatinya.
"Ya,
sudah. Pulanglah. Besok kamu harus sekolah, kan," ucap Audrey sambil bangkit
dari kursi. Secara otomatis, Brandon ikut berdiri ke hadapannya. "Besok
tidak usah lagi menjemputku, ya."
Brandon
langsung medongakkan kepala yang sejak tadi tertunduk. "Kenapa? Kamu
marah?"
Sinar
lampu teras menyinari wajah tersenyum Audrey. "Sebagai sesama perempuan,
aku tidak mau pacarmu khawatir."
"Tapi
hubungan kita baik-baik saja, kan? Maksudku, kamu tidak akan menjauh?"
Audrey
tertawa kecil. "Tentu saja. Tapi sekarang ada perasaan pacarmu yang harus
kamu jaga. Jangan pernah menyakiti hati perempuan."
Brandon
hanya menyunggingkan senyum kaku.
"Omong-omong,
terima kasih banyak sudah membawakan AmOrange." Audrey melirik sekilas
pada kotak kue dalam kantung yang dipegangnya. "Setelah sikap norak yang
kuperbuat hari ini, sepertinya aku harus menjauh sementara dari
Cakewalkers," ujar Audrey lantas tergelak.
Mau
tidak mau, Brandon ikut tertawa. Sejak dahulu, tawa gadis itu selalu dengan
mudah menular padanya. "Aku bersedia membelikannya setiap hari."
"Tidak
usah. Nanti aku bisa mengajak pacarku ke Cakewalkers."
"Kamu
punya pacar?" Entah mengapa, Brandon merasa sesak.
"Belum.
Mungkin secepatnya. Supaya kita bisa pergi double date lain kali. Aku, pacarku,
kamu, dan—siapa tadi nama pacarmu? Sinta?"
"Cynthia,"
ralat Brandon lirih. Kepalanya tertunduk.
"Nah,
betul. Cynthia. Pastikan kamu memperlakukannya dengan baik."
Tiba-tiba
saja Brandon tidak bisa menahan dorongan hatinya untuk memeluk Audrey. Ia
mengabaikan rontaan dan pertanyaan gadis itu. Ia hanya ingin seperti ini sebentar
saja. Karena ia sadar, cinta pertama yang dijaganya selama lebih dari satu dekade
ini harus berakhir dengan kekecewaan. Pagar listrik mengunci erat dirinya dan
Audrey dalam zona pertemanan. Tidak ada celah untuk membebaskan diri.
Setelah
ia melepas pelukan ini, Brandon tahu ia harus menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar