Sabtu, 09 Juni 2018

AmOrange - Confession



Audrey membaca ulang pesan yang diterimanya kemarin malam. Ia ingin memastikan bahwa ia menunggu di waktu dan tempat yang tepat. Sehingga penantiannya tidak akan berakhir sia-sia.



Ia melirik ke arah angka di jam tangannya. Sudah hampir lima belas menit berlalu dan bocah itu masih belum datang juga. Sambil mendebas kesal, Audrey meraih garpu dari tas piring. Ia menusuk potongan AmOrange-nya seolah sedang menghunuskan pedang.

Ini tidak biasa terjadi. Cake berwarna jingga dengan rasa jeruk yang khas itu selalu mampu menyelamatkan Audrey dari suasana hati yang buruk. Tetapi tidak untuk kali ini. Ia mengunyah potongan kue itu tanpa repot-repot menikmati perpaduan rasa krim yang manis dan segarnya jeruk. Kekesalan yang mengumpul di kepalanya sukses membuat bibirnya mengerucut muram. Ia kembali melirik jam tangannya dan memerhatikan setiap gerakan jarum yang paling tipis dalam lingkaran. Di dalam hati ia bertekad akan meminta Brandon menraktirnya AmOrange selama seminggu penuh. Itu hukuman yang pantas karena sudah membuat seorang gadis menunggu tanpa kejelasan seperti ini.

"Hai," sapa suara yang dikenalnya, bersamaan dengan bunyi derit kursi yang bergesekan dengan lantai.

Lelaki yang sejak tadi ia tunggu, kini sudah duduk di hadapannya. Tetapi Audrey tetap tidak mengalihkan tatapan dari jam tangannya.

"Sudah menunggu lama, ya?"

"Lammmaa banget," gerutu Audrey sambil memutar bola mata dengan sikap dramatis. Perasaan kesalnya ia lampiaskan dengan menghujamkan garpu ke potongan terakhir AmOrange di piringnya.

Lelaki itu malah nyengir kuda alih-alih memasang ekspresi menyesal. "Maaf. Tadi aku butuh waktu lebih untuk persiapan."

Audrey menelan kuenya sambil mendongakkan kepala. "Persiapan apa?"

"Persiapan ini," jawab Brandon yang langsung diikuti gerombolan teman-teman hebohnya.

Kumpulan remaja itu tampak sibuk dengan benda di tangan masing-masing. Ada yang membawa balon, buket bunga, boneka beruang, dan cokelat batangan yang dihiasi pita. Dan sepasang mata Audrey nyaris melompat keluar saat melihat dua remaja yang berdiri paling depan membentangkan selembar kain bertuliskan 'I love you'.

"Apa-apaan, nih?" Serta-merta, Audrey langsung bangkit dari duduknya. Gerakannya terlalu mendadak, sehingga meja di hadapannya berguncang. Diikuti bunyi denting memekakkan telinga, tercipta dari garpu yang terpelanting dan jatuh kembali ke atas piring.

Bunyi itu seolah memiliki fungsi tombol pause. Toko kue itu hening seketika. Dengung obrolan menghilang. Senyum lebar gerombolan remaja itu membeku di wajah mereka. Gerakan tangan pramuniaga—yang hendak meletakkan pesanan ke atas meja—membeku di udara. Seekor cecak menunda tujuannya untuk menyelinap ke balik bingkai foto di dinding. Serentak, seisi toko kue menoleh ke arah Audrey. Kecuali seorang pelanggan yang duduk di sudut ruangan dekat jendela. Ia tetap menyesap tehnya dengan tenang. Tampak tidak terpengaruh. Bahkan tidak melirik sedikit pun.

Audrey memasang senyum maaf yang terkesan canggung. Perlahan-lahan, ia kembali duduk sambil melemparkan tatapan menyalahkan ke arah Brandon.

"Ini apa-apaan, sih?" desis Audrey, setelah di sekitarnya kembali bergerak seperti seharusnya.

"Aku mau membuat pengakuan cinta," jawab Brandon dengan tenang.

"Kamu gila, ya?"

Brandon mengangkat satu alisnya, lantas menggedikkan bahu.

Audrey berdecak kesal. Ia kembali bangkit dari kursinya. Kali ini lebih berhati-hati agar tidak kembali menyenggol meja. "Ikut aku!" Tangannya menyambar pergelangan tangan Brandon dan setengah menyeret lelaki yang lebih muda satu tahun tetapi lebih tinggi sebelas senti darinya itu keluar. Tidak boleh ada kegaduhan lagi.

Setelah cukup dekat dengan barisan kendaraan yang terparkir rapi, Audrey baru melepas genggamannya. Ia berbalik menghadap Brandon sambil melipat lengan di depan dada.

"Ini sudah keberapa kalinya kamu melakukan hal konyol seperti ini? Empat? Lima?" omel Audrey dengan tampang bosan. "Dan sudah berapa kali juga aku bilang bahwa kita ini cuma teman. T-E-M-A-N."

Brandon mengalihkan pandangan ke ujung sepatunya.

Audrey menggigit bibir saat menyadari kata-katanya mungkin keterlaluan. Tetapi ia harus menegaskan hubungan mereka. "Oke, mungkin lebih dari sekadar teman," ralat gadis itu dengan suara yang lebih lembut. Brandon kembali menegakkan kepala, menatap langsung sepasang mata Audrey. "Aku sudah menganggapmu seperti keluarga. Adik laki-laki yang sangat kusayangi—"

"Tapi—"

"Lagi pula aku ini lebih tua darimu. Kamu mau namamu berubah dari Brandon menjadi Brondong?"

"Dengarkan dulu—"

"—Demi kebun jeruk di Florida! Kita sudah saling mengenal sejak belum bisa mengayuh sepeda roda dua!"

"Audrey," panggil Brandon sambil merangkum kedua pipi gadis itu dengan tangannya. Tetapi ia salah jika mengira itu akan menghentikan ocehan Audrey.

"Hei, mana sopan santunmu? Mulai sekarang, kamu panggil aku Kak Audrey," protes Audrey sambil menarik mundur kepalanya. Gerakan itu membuat rambut panjangnya berkibar seperti bintang iklan sampo.

Brandon tidak lagi mencoba dengan kata-kata. Percuma kalau tidak didengar. Maka, ia menggenggam pergelangan tangan Audrey dan menariknya kembali ke dalam toko. Seperti yang tadi gadis itu lakukan padanya.

Tidak seperti Brandon yang tadi pasrah, Audrey meronta dan memberatkan langkahnya. "Lepaskan! Aku tidak mau kembali ke sana! Tadi mereka semua menatapku seolah-olah alisku botak."

Brandon mengulum tawa sambil tetap memanfaatkan kekuatannya sebagai lelaki. Ia mendorong pintu kaca dengan satu tangan. Sementara gadis di belakangnya sibuk menunduk sambil menutupi wajah dengan rambut.

Mereka kembali ke rombongan yang dibawa Brandon. Sepuluh orang itu masih berdiri di tengah ruangan, di samping meja yang tadi diduduki Audrey. Masing-masih wajah remaja itu masih menampilkan senyum bingung yang mulai garing.

"Bersiap, guys. Dia sudah datang," ucap Brandon yang langsung dipatuhi teman-temannya.

Dia siapa? Kening Audrey mengernyit. Ia mengerling pada Brandon, meminta penjelasan. Tetapi sepasang netra lelaki itu tampak fokus ke arah pintu masuk Cakewalkers. Maka, Audrey segera mengikuti arah pandang Brandon.

Tepat saat itulah seorang gadis berambut sebahu melangkah masuk ke Cakewalkers.

Dengan langkah mantap, Brandon meninggalkan tempatnya di sisi Audrey. Ia mengambil buket bunga yang dipegang salah seorang temannya. Dalam sekejap, ia sudah tiba di hadapan gadis yang menatapnya dengan raut bingung.

"Cynthia, kamu mau jadi pacarku?"

Gadis bernama Cynthia itu melebarkan mata, menatap bergantian antara wajah Brandon dan buket bunga di tangan lelaki itu. Detik berikutnya, ia sudah mengangguk tersipu. Dengan senang hati menerima buket bunga yang disodorkan ke arahnya.

Serentak, nyaris seluruh pengunjung Cakewalkers siang itu bersorak senang. Bahkan ada yang berdiri untuk memberi ucapan selamat langsung pada Brandon. Padahal mereka tidak saling mengenal.

Audrey menyaksikan semua itu dengan sepasang pandangan kosong yang menerawang. Lalu tanpa merasa perlu berpamitan, ia sudah berbalik dan meninggalkan toko kue itu dengan langkah-langkah lebar.
***

Secara otomatis, tubuh Brandon bergegas hendak mengejar kepergian Audrey. Tetapi cekalan di pergelangan tangannya berhasil membuat langkahnya terhenti. Ia menggerakkan leher untuk mendapati Cynthia menggeleng kepadanya.

"Jangan dikejar."

"Tapi dia—"

"Beri dia waktu," potong Cynthia tanpa peduli apa pun alasan Brandon.

Ia mengernyit ragu. Matanya menatap nanar pada pintu yang tadi dilewati Audrey. Brandon ingin menatap langsung wajah Audrey, gadis yang sudah membuat ia jatuh cinta sejak sepuluh tahun yang lalu.

"Biarkan dia memahami perasaannya sendiri. Itu, kan, tujuan rencana ini?" Cynthia mempererat genggamannya saat merasakan hati Brandon mulai goyah. "Kamu mau dia menyadari seperti apa perasaannya padamu. Jangan sia-siakan perjuangan kami, Pacar Pura-puraku."

Brandon menatap sekali lagi lantai marmer Cakewalkers yang tadi dipijak Audrey. Cynthia benar. Rencana yang sudah ia susun matang ini harus membuahkan hasil. Umpan sudah dilempar. Sekarang ia hanya perlu menunggu apakah Audrey merasa cemburu dan akhirnya mengajak ia melangkah keluar dari zona pertemanan yang mereka huni selama lebih dari sepuluh tahun. Atau... malah tidak peduli sama sekali.

"Sekarang lebih baik kamu menraktir kami semua sesuai janji," tagih Cynthia sambil mengedipkan satu mata. "Ada banyak kue enak yang menunggu."

Brandon mendenguskan tawa lalu mengizinkan rombongannya untuk memesan. Sorak sorai langsung terdengar. Dasar pemburu gratisan!

"Omong-omong, aktingmu bagus juga," ujar Cynthia sambil menyinggung bahu Brandon. "Kamu yakin tidak mau bergabung dengan klub drama?"
***

Audrey duduk bersila di atas tempat tidurnya. Tatapannya berkeliling pada setiap lembar foto yang tertempel di dinding kamar. Selain wajahnya dan kedua orang tuanya, ada wajah lain yang hampir tidak pernah absen dari setiap potret momen dalam hidupnya.

Brandon.

Ia memandang foto sepasang bocah. Wajah mereka cemong karena lumpur, pakaian kuyup, tetapi bibir mereka tersenyum lebar menampilkan gigi ompong. Saat itu bahkan tinggi Brandon tidak lebih dari bahu Audrey.

Ada foto saat mereka pergi ke Taman Ria. Foto lainnya menampilkan kebanggaan saat Brandon memenangkan lomba lari. Juga Audrey yang mengangkat piala lomba pidato bahasa Inggris. Hingga yang terbaru adalah foto Audrey saat lulus dari SMA.

Mereka berdua selalu saling mendukung dalam setiap momen penting dalam hidup. Audrey menggelengkan kepalanya. Seharusnya tadi ia tidak pergi begitu saja. Sebagai teman sejati, seharusnya ia mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen itu untuk ditempel di dinding kamarnya.

Tetapi tadi saat melihat Brandon mengakui cinta pada seorang gadis, entah mengapa membuat Audrey merasa kehilangan. Mungkin karena ia tidak mengenal gadis bernama Cyntia itu. Atau karena ia akhirnya menyadari bahwa Brandon bukan lagi bocah lelaki yang mengikutinya seperti anak itik.

Lamunannya buyar saat pintu kamarnya diketuk. Suara ibunya menyusul kemudian.
***

Sebenarnya, Cynthia menyarankan agar Brandon menunggu sampai besok. Tetapi ia tidak bisa menunggu selama itu. Ia ingin memastikan keadaan Audrey malam ini juga. Maka, pukul delapan malam ia sudah duduk di kursi teras rumah Audrey. Bersama sekotak kue AmOrange kesukaan gadis itu.

"Ada apa?" tanya Audrey begitu muncul di ambang pintu. Tampak santai dengan piama bermotif polkadot yang dikenakannya. Lengan gadis itu dilipat di depan dada. "Tumben tidak langsung masuk? Seperti tamu saja."

Brandon berdiri dari duduknya. Ia meringis lebar. "Ini untukmu," ucapnya sambil menyerahkan kantung plastik yang dibawanya.

Alis Audrey terangkat. Hanya dengan melihat bungkusnya, ia langsung tahu itu berasal dari Cakewalkers. "Pajak jadian?"

Brandon terkekeh. "Anggap saja begitu."

"Jadi, ada apa?" Audrey mengulang pertanyaannya tadi.

"Apa kamu tidak mau menemaniku duduk?" Brandon memiringkan kepala ke arah kursi kosong di sampingnya. Biasanya, ia duduk di sini bersama Ayah atau Ibu Audrey. Berbincang tentang olahraga atau buah yang sedang musim bulan ini. Mereka sudah seperti orang tuanya sendiri.

Audrey menolehkan kepala ke kiri lalu ke kanan. Seolah sedang mencari sesuatu. Kemudian pencariannya berakhir di kedua mata Brandon. "Kamu yakin tidak apa-apa duduk di sini? Berdua? Denganku?" tanya Audrey penuh penekanan.

Kening Brandon mengernyit bingung. "Kenapa tidak?"

"Sekarang kamu, kan, sudah punya pacar."

Kerutan di kening Brandon memudar dan berganti tawa dari mulutnya. "Hubungan kami tidak seposesif itu, kok."

"Oke." Audrey duduk dan meletakkan oleh-oleh dari Brandon ke atas pangkuannya. "Kalau sampai pacarmu cemburu, jangan libatkan aku, ya."

Otot-otot wajah Brandon terasa kaku. "Apa bukan kamu yang cemburu?"

"Kenapa aku harus cemburu?"

"Memangnya, kedekatan kita selama ini tidak berarti apa pun untukmu?"

Tidak ada jawaban langsung untuk pertanyaan itu. Suara jangkrik bersahut-sahutan dari balik rerumputan di pekarangan. Gemerisik angin menemani Brandon dalam penantiannya. Hingga akhirnya, terdengar suara Audrey mendebas keras.

"Kalau boleh jujur, sebenarnya tadi aku memang merasa sedikit cemburu."

Leher Brandon menegak pada pengakuan itu. Ia mengabaikan kata 'sedikit' yang disematkan Audrey dalam ucapannya. Ada setitik harapan timbul di hati lelaki itu mendengar kata terakhir Audrey.

"Aku juga merasa kehilangan," lanjut Audrey, sementara Brandon menahan napasnya tanpa sadar. "Kita, kan, terbiasa bersama sejak kecil. Tadi aku sempat berpikir bahwa mungkin hubungan kita tidak akan sama seperti sepuluh tahun terakhir. Tapi akhirnya aku sadar kalau Adikku ini sedang beranjak dewasa." Audrey tersenyum lantas mengulurkan tangan untuk mengusap-usap kepala Brandon dengan kasih sayang. Ia sama sekali tidak menyadari tubuh lelaki itu yang membeku. Bukan karena udara malam yang dingin melainkan karena harapan menguap tanpa sisa dari hatinya.

"Ya, sudah. Pulanglah. Besok kamu harus sekolah, kan," ucap Audrey sambil bangkit dari kursi. Secara otomatis, Brandon ikut berdiri ke hadapannya. "Besok tidak usah lagi menjemputku, ya."

Brandon langsung medongakkan kepala yang sejak tadi tertunduk. "Kenapa? Kamu marah?"

Sinar lampu teras menyinari wajah tersenyum Audrey. "Sebagai sesama perempuan, aku tidak mau pacarmu khawatir."

"Tapi hubungan kita baik-baik saja, kan? Maksudku, kamu tidak akan menjauh?"

Audrey tertawa kecil. "Tentu saja. Tapi sekarang ada perasaan pacarmu yang harus kamu jaga. Jangan pernah menyakiti hati perempuan."

Brandon hanya menyunggingkan senyum kaku.

"Omong-omong, terima kasih banyak sudah membawakan AmOrange." Audrey melirik sekilas pada kotak kue dalam kantung yang dipegangnya. "Setelah sikap norak yang kuperbuat hari ini, sepertinya aku harus menjauh sementara dari Cakewalkers," ujar Audrey lantas tergelak.

Mau tidak mau, Brandon ikut tertawa. Sejak dahulu, tawa gadis itu selalu dengan mudah menular padanya. "Aku bersedia membelikannya setiap hari."

"Tidak usah. Nanti aku bisa mengajak pacarku ke Cakewalkers."

"Kamu punya pacar?" Entah mengapa, Brandon merasa sesak.

"Belum. Mungkin secepatnya. Supaya kita bisa pergi double date lain kali. Aku, pacarku, kamu, dan—siapa tadi nama pacarmu? Sinta?"

"Cynthia," ralat Brandon lirih. Kepalanya tertunduk.

"Nah, betul. Cynthia. Pastikan kamu memperlakukannya dengan baik."

Tiba-tiba saja Brandon tidak bisa menahan dorongan hatinya untuk memeluk Audrey. Ia mengabaikan rontaan dan pertanyaan gadis itu. Ia hanya ingin seperti ini sebentar saja. Karena ia sadar, cinta pertama yang dijaganya selama lebih dari satu dekade ini harus berakhir dengan kekecewaan. Pagar listrik mengunci erat dirinya dan Audrey dalam zona pertemanan. Tidak ada celah untuk membebaskan diri.

Setelah ia melepas pelukan ini, Brandon tahu ia harus menyerah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar