Rabu, 27 April 2016

Unlock Your Heart II: Expectation (2)



Kopi itu mengepul panas dan menguarkan aroma nikmat yang khas ke seluruh penjuru ruangan. Della meletakkan dua cangkir porselen itu ke atas meja bundar di tengah ruangan. Di salah satu kursi yang melingkari meja, Niken duduk dan menunggu dengan antusias. Masih terkagum dengan interior pantri, ia menarik kursi dan duduk di samping mentornya itu.

Della mengedarkan pandangannya untuk melihat seisi ruangan. Para staf yang bekerja di lantai ini difasilitasi pantri yang jauh berbeda dengan di divisi Della sebelumnya. Pantri di sini dilengkapi dengan kompor, mesin pembuat kopi, bufet kayu dengan ukiran artistik, dan cangkir-cangkir porselen. Lebih mirip dapur di rumah-rumah mewah alih-alih pantri untuk staf kantor.

Niken mengulurkan tangannya, meraih salah satu cangkir. Lalu perlahan menyesap kopinya perlahan. “Wah, kopi ini enak sekali.”

Della tersenyum bangga mendengar pujian itu. Sekalipun ini bukan pertama kalinya ia mendengar seseorang memuji kopi buatannya. “Syukurlah, kau menyukainya.”

“Aku bersungguh-sungguh, Della. Bos kita pasti akan bungkam jika sudah mencoba kopi buatanmu,” tambah Niken lantas terkikik geli.

Kening Della berkerut bingung. Tangannya mengangkat cangkir dan meneguk sedikit kopinya yang masih panas. “Memang si bos besar itu orang yang cerewet?”

“Sangat.” Niken mendramatisir kata-katanya sambil memutar bola matanya dengan jenaka. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Della, lalu berbisik penuh canda. “Dan sangat serius. Dan juga perfeksionis. Kuperingatkan kau untuk mempersiapkan diri.”

Della hanya tertawa kecil mendengar kata-kata Niken yang seperti dilebih-lebihkan. Tetapi itulah yang membuat ia nyaman mengobrol dengan mentornya itu. Seolah mereka adalah teman lama yang kembali bertemu setelah dipisahkan waktu. Niken adalah orang yang menyenangkan. Della jadi penasaran lelaki seperti apa yang mampu menaklukkan gadis seperti ini.

“Oh, aku hampir lupa satu hal,” kata Niken sambil menepuk pipi dengan telunjuknya. “Dia juga tampan. Sangat tampan. Kalau kau bertemu dengannya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.”

“Mana mungkin.” Della terkekeh kedua matanya menyipit. “Aku tidak terlalu tertarik dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahku.”

Niken hanya terdiam penuh rahasia. Matanya melirik jail ke arah calon penggantinya itu. Kemudian ia kembali menyesap kopi nikmatnya, sambil menyembunyikan seulas senyum penuh arti.
***

“Masuk.”

Suara yang dalam itu langsung terdengar begitu Niken mengetuk pintu berdaun ganda di depannya. Gadis itu langsung membuka pintu begitu mendengar persetujuan. Sementara Della memeriksa ulang penampilannya.

“Permisi, Pak Antonio. Saya datang bersama Della—sekretaris yang akan menggantikan saya mulai minggu depan.”

Antonio menutup berkas yang sedang dibacanya, kemudian menumpukan sikunya di lengan kursi. Ekspresi di wajah rampingnya datar tidak terbaca. Tetapi sepasang mata abu-abu gelapnya menunduk memberi persetujuan.

Begitu menerima isyarat dari Niken, Della melangkah seanggun mungkin memasuki ruangan itu. Kepalanya menunduk sopan menatap sepatunya yang menapaki lantai berlapis permadani.

“Selamat pagi, Pak Antonio. Nama saya Dellani Mahara. Sebelumnya saya bekerja untuk Divisi Perencanaan,” ucapnya dalam satu tarikan napas.

Lagi-lagi seorang gadis. Alis Antonio terangkat jemu. Ia tidak memahami benar apa tujuan orang itu. Jadi, ia hanya bisa menatap sekretaris barunya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan penuh penilaian.

“Baiklah. Selamat datang, Della.”

Mendengar suara yang terkesan angkuh itu, menjadi pertanda bagi Della untuk mengangkat wajah dan menunjukkan senyum terbaiknya. Tetapi begitu ia bersitatap dengan sepasang mata yang disipitkan itu, senyumnya tidak terbit sedikit pun. Mata itu begitu berani sekaligus indah berbingkai bulu mata tebal yang gelap.

Perasaan aneh menitik di dalam dada Della. Setitik perasaan itu menyebar cepat keseluruh tubuhnya hingga membuat jantungnya berdebar tidak keruan. Sementara ribuan pasang sayap yang mengepak dalam perutnya, nyaris membuatnya limbung. Ia bisa bertahan agar tidak jatuh pingsan. Tetapi ia tidak kuasa menahan diri untuk tidak jatuh cinta.

Ingin rasanya Della mengacak-acak manja rambut cokelat gelap yang disisir rapi itu. Atau menjalankan jemarinya di wajah ramping dengan garis pipi yang tampak muram. Lelaki ini tidak pantas menjadi ayahnya. Lelaki ini lebih pantas menjadi ayah dari anak-anaknya kelak.

“Aku harap Niken sudah menjelaskan dengan baik apa saja tugasmu.”

“I-iya, Pak,” sahut Della susah payah. Mengapa ia harus memanggil lelaki ini dengan sebutan ‘Pak’? Bukankah lebih pantas jika ia memanggilnya ‘Darling’? “Bu Niken membimbing saya dengan sangat baik.”

“Kalau begitu, selamat bekerja, Della,” ucap Antonio acuh tidak acuh.

“Kami permisi dulu, Pak,” pamit Niken yang menangkap kata-kata itu sebagai pertanda agar mereka segera meninggalkan ruangan itu. Ia langsung memberi isyarat kepada Della untuk mengikutinya keluar.

Kedua orang gadis itu berbalik kembali menuju pintu ganda tempat mereka tadi masuk. Saat tiba-tiba suara yang sedalam lautan itu membelai punggung Della.

“Oh, ya, satu lagi.”

Della berbalik dengan gugup.

“Kalau tidak bisa menggelung rambutmu dengan rapi, potong pendek saja sekalian.”
***

“Aku sudah menemukannya!”

Neysa yang sedang duduk menghadapi layar komputer, sontak mengernyit saat suara antusias itu terdengar melalui ponselnya. Bahkan sebelum ia sempat mengucapkan “halo”.

“Neysa, kau dengar tidak?” tanya suara di seberang sana karena Neysa tidak juga memberi tanggapan.

“Iya, iya. aku dengar,” jawab Neysa sambil bangkit dari duduknya meninggalkan skripsinya yang menuntut direvisi. Ia berjalan ke arah balkon kamarnya dan menikmati angin malam yang mengacak lembut rambutnya.

“Aku sudah menemukannya!” ulang peneleponnya masih dengan keantusiasan yang sama.

“Menemukan apa? Sebelah antingmu yang hilang?”

“Ini lebih penting daripada sekadar anting!” sahut Della seraya terkekeh senang. “Aku sudah menemukan lelaki yang akan menjadi pendamping hidupku.”

Neysa tersenyum simpul. Sudah lama sekali rasanya ia tidak mendengar sahabatnya itu membicarakan lelaki. “Oke. Kali ini dia lelaki seperti apa?”

“Dia tampan,” jawab Della penuh semangat. Neysa bahkan bisa membayangkan mata gadis itu berbinar-binar di seberang sana.

“Astaga—sampai kapan kau akan berhenti tertarik dengan penampilan fisik lelaki? Kepribadiannya bisa saja tidak sebaik apa yang ditampilkannya.” Nada bicara Neysa terdengar khawatir. “Memang di mana kau bertemu dengannya?”

“Di kantor. Dia bosku—Presiden Direktur tempatku bekerja.”

“Benar-benar definisi dari gilla. Bagaimana mungkin seleramu berubah drastis secepat ini,” ucap Neysa dengan nada protes. Apa sahabatnya sudah seputus asa itu? “Jangan gegabah, Della. Untuk apa kau mengejar pria yang mungkin saja sudah memiliki cucu!”

“Jangan sembarangan!” tukas Della lantas terbahak. “Dia masih muda. Mungkin sekitar dua puluh sembilan tahun atau awal tiga puluhan.”

Kening Neysa mengernyit. Tetapi ia tetap tidak mau kalah. “Kalau begitu, dia pasti  tipe lelaki yang suka mempermainkan hati perempuan. Kau tetap harus berhati-hati.”

“Kurasa dia bukan lelaki seperti itu.”

“Baiklah. Terserahmu.” Neysa menghela napas tanda mengalah. “Tapi jangan menjadikan bahuku sebagai sandaran air matamu kalau kau berakhir patah hati.”

Unlock Your Heart II: Expectation (1)



Hari Senin yang ditunggu akhirnya tiba.

Demi menyambut hari baru dalam hidupnya ini, Della sengaja berdandan lebih rapi dari biasanya. Rambut ikal menyentuh pungung yang biasa dikuncir ekor kuda, hari ini digelung rapi ke belakang kepalanya. Ia ingin menampilkan kesan dewasa agar pantas bekerja bersama para orang penting di perusahaan ini.

Setelah melapor ke bagian personalia, Della bergegas menuju lift yang akan membawanya ke lantai paling atas gedung megah ini. Ia melenggang penuh percaya diri. Ternyata benar kata orang, kerja keras tidak akan mengkhianati.

Pintu lift terbuka begitu terdengar suara berdenting. Della melangkah keluar, bergegas menuju meja resepsionis. Seorang wanita bersetelan merah muda menyambutnya dengan ramah dan mengantar Della ke ruangan yang diberitahukan oleh bagian personalia. Ia harus menemui seseorang yang akan menjadi atasan bagi pekerjaannya yang baru.

Della berdiri gugup di hadapan ruangan berpintu besar itu. Sebilah papan hitam dengan tinta warna emas bertuliskan nama orang yang harus ditemuinya menempel lebih tinggi dari dahinya di pintu itu. Tangannya terulur ke depan dan mengetuk perlahan.

“Silakan masuk.”

Della seakan berhenti bernapas ketika mendengar suara itu. Tetapi dengan cepat ia mencoba tersenyum untuk menekan rasa gugupnya. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, ia berdoa dalam hati semoga orang di ruangan ini sebaik Kepala Divisinya terdahulu.

“Permisi,” gumam Della sambil menutup kembali pintu di belakangnya.

Seorang pria duduk di balik meja kerja besar yang membelakangi jendela. Pria itu tersenyum ramah menyambut kedatangan Della, memunculkan gurat-gurat usia di sudut bibir dan matanya. Rambutnya masih lebat walaupun hampir keseluruhan sudah berwarna putih kelabu. Tampak kontras dengan setelan hitam jasnya.

Pria itu bangkit dari kursi putarnya yang tampak nyaman. Lalu mengulurkan tangannya kepada Della, menyeberangi meja di antara mereka. “Kau pasti Dellani Mahara. Benar?”

"Panggil saja 'Della'." Della mengangguk sopan sambil menjabat tangan pria di hadapannya. “Mohon bimbingan Anda, Pak Matteo.”

Matteo kembali tersenyum membalas sikap sopan Della. Lalu melepaskan jabatan tangan mereka. “Kalau begitu, aku akan menunjukkan ruang kerjamu.”

Kepala Della mengangguk patuh, lalu mengikuti Matteo untuk keluar dari ruangan berdinding kelabu itu.
***

Della mengekor di belakang Matteo. Ia bersyukur, pria itu berjalan di depannya sehingga tidak bisa melihat tatapan kagumnya pada interior di sekitarnya. Benar-benar berbeda dengan interior di lantai lima tempat kantornya yang lama berada.

Di dekat pintu lift yang digunakan Della tadi, terdapat sebuah sofa besar berwarna hitam, dua sofa lain yang lebih kecil, dan sebuah meja kayu yang sudah dipernis hingga mengilap. Dan sebuah akuarium yang dihuni ikan berwarna-warni menempel di sepanjang dinding di belakang sofa yang paling besar. Beberapa lukisan berukuran besar terpajang di dinding yang dicat abu-abu terang. Matahari membagikan kehangatannya melalui kaca-kaca jendela yang berderet di salah satu sisi dinding bangunan.

“Ini ruanganmu.”

Della terkesiap saat pria di depannya berhenti berjalan dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang berat. Beruntung, Della bisa mengerem langkahnya tepat waktu. Jika tidak, ia pasti sudah menabrak punggung bosnya itu.

Ruangan itu didominasi warna putih dan krem. Walaupun bergaya terbuka, ruangan ini jauh lebih lapang dari kubikel kerjanya di Divisi Perencanaan. Kumpulan berkas-berkas tertata rapi di rak kayu. Jendela yang besar membebaskan sinar matahari untuk masuk.

Dan sekali lagi, tanpa sepengetahuan pria itu, Della terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya ini. Ini semua benar-benar lebih tinggi dari yang Della harapkan.

“Dan ini adalah Niken,” ujar Matteo perlahan tetapi cukup untuk menyentak Della keluar dari kekagumannya. “Mulai minggu depan, dia akan berhenti dari perusahaan ini.  Dan kau yang akan menggantikan posisinya di sini. Jadi, dia yang akan menjadi mentormu.”

Della mengangguk patuh kepada Matteo, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Niken. Gadis itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya kepada Della.

“Perkenalkan, aku Niken.”

Della menjabat erat tangan itu sambil balas tersenyum. Matanya memerhatikan rambut gadis itu yang dipotong rapi seperti anggota paskibra. “Nama saya Della. Mohon bimbingannya.”

“Kalau begitu, kalian bisa segera memulainya sekarang.” Matteo menatap kepada Niken kemudian kepada Della. “Dan untuk Della, selamat datang. Semoga kita bisa bersama-sama membawa perusahaan ini ke arah yang lebih baik.”

“Baik, Pak.” Della mengangguk hormat, mengantarkan pria itu meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang akan menjadi ruang kerjanya yang baru.
***

“Dia sudah ada di sini.”

Dari seluruh kalimat yang ada di dunia, Matteo memilih sebaris kalimat itu sebagai ucapan salamnya ketika memasuki ruangan berpintu ganda itu. Lelaki yang duduk di balik meja kerja yang penuh itu, mendongakkan kepalanya, berusaha tampak tertarik. Demi kesopanan terhadap orang yang lebih tua.

“Dia siapa?” tanya lelaki itu dengan satu alis terangkat tidak peduli.

“Staf baru yang akan menggantikan Niken.” Matteo menarik kursi di hadapan lelaki itu, lalu mereka duduk berhadapan dengan meja kerja sebagai pembatasnya.

“Oh.” Lelaki itu bergumam acuh tidak acuh. “Rekomendasi dari orang itu lagi?”

“Ya.” Matteo mengangguk lalu terkekeh pelan. Mereka seolah bisa saling memahami tanpa perlu banyak berkata-kata. “Kau ingin aku menceritakan pendapatku tentang sekretaris barumu itu?”

“Tidak perlu,” tolak lelaki itu cepat. “Aku akan menilainya sendiri. Lagipula nanti Niken akan membawanya untuk menghadap ke ruanganku.”

Matteo menggidikkan bahunya pasrah. Ia sudah paham benar bagaimana sifat pemuda di hadapannya ini. Selalu mengingatkannya pada masa muda sahabatnya yang juga cukup keras kepala. “Baiklah kalau begitu, Nino. Aku akan kembali pada pekerjaanku.” Matteo bangkit dari duduknya dan berbalik menuju pintu tempat ia masuk tadi.

“Dan satu hal lagi.” Kata-kata pemuda itu menghentikan langkah Matteo. “Jangan lagi memanggilku dengan nama kekanakan seperti itu. Panggil aku Antonio. Antonio Álvarez.”
***

Rabu, 20 April 2016

Unlock Your Heart I: Imperfection (2)


‘Sebenarnya, sudah lama aku menyukaimu. Maukah kau menjadi pacarku?’

Gadis itu tersenyum penuh percaya diri di hadapan lelaki yang disukainya. Mereka berdua sudah cukup dekat dalam dua bulan terakhir. Diawali pertemuan antara senior dan mahasiswa baru pada masa orientasi. Lalu hubungan mereka berjalan cukup lancar hingga gadis itu memutuskan untuk menyatakan perasaannya lebih dahulu.

‘Kak Della... kau menyukaiku?’ tanya lelaki itu sambil mengerjapkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya.

Della mengangguk mantap.

‘Tapi maaf...’ Kening  lelaki itu berkerut rikuh. ‘Aku tidak bisa membalas perasaanmu.’

Tidak bisa? Della benar-benar tidak mengerti. Hatinya retak saat itu juga. Lalu apa arti kedekatan mereka selama ini?

‘Hem... kenapa? Boleh aku tahu alasannya?’

‘Aku tidak suka menjalin hubungan percintaan dengan perempuan yang lebih tua dariku. Apalagi... selama ini aku sudah menganggapmu sebagai kakak perempuanku. Jadi pasti aneh jika tiba-tiba harus melihatmu sebagai seorang pacar,’ kata lelaki itu lantas berbalik memunggungi Della yang masih terkesiap. Sementara hatinya patah jadi dua di dekat kakinya. ‘Sekali lagi, maafkan aku.’

Saat itu bukanlah pertama kalinya Della jatuh cinta. Juga bukan pertama kalinya ia menyatakan perasaan lalu terpaksa menerima penolakan. Tetapi ia bisa memastikan bahwa itu akan menjadi yang terakhir kalinya.

Setelah penolakan itu, Della bertekad dalam hati bahwa ia akan menjadi gadis yang lebih baik. Ia akan berhenti sejenak memikirkan pasangan hidup. Ia hanya perlu memperkaya diri dengan berbagai keterampilan dan prestasi. Sehingga ketika waktu bertemu pasangan takdirnya sudah tiba, ia akan menjadi gadis sempurna yang tidak mungkin ditolak oleh lelaki mana pun. Dan ia yakin semua lelaki yang pernah menolaknya akan menyesal seumur hidup mereka.

Termasuk lelaki bernama Miguel itu.
***

"Maksudmu, hidupmu tidak sempurna karena belum memiliki pasangan?" tanya Neysa penuh rasa penasaran. Walaupun ia sudah tahu pasti jawabannya.

Della hanya menganggukkan kepalanya.

"Oh, astaga. Aku kira kau sudah benar-benar melupakan permasalahan tentang pasangan selama ini."

"Aku tidak pernah berkata bahwa aku akan melupakan," balas Della dengan bibir yang mengerucut protes. "Aku hanya mengesampingkan masalah itu sementara waktu. Jangan sampai menjadi pengganggu atau penghambat prestasiku."

"Jodoh akan datang dengan sendirinya, Della."

"Tidak. Kita tetap harus berusaha mencari."

"Kau tidak perlu mencari. Cukup diam dan tunggulah!"

"Kalau begitu, bagaimana dengan rejeki? Apakah kita cukup diam dan menunggu maka uang akan datang dengan sendirinya?"

Ketika waitress datang membawakan pesanan, perdebatan dihentikan sementara. Mereka langsung bungkam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sama-sama kehilangan minat pada perdebatan mereka sebelumnya.

Neysa menunduk dan menyedot chocolate milkshake-nya perlahan. Diam-diam ia memerhatikan Della dari balik bulu matanya. Sahabatnya itu sama sekali tidak bisa dikatakan tidak menarik. Baginya, Della memiliki semua yang diinginkan para gadis.

Sejak mereka berteman di bangku sekolah, Della selalu memperhatikan penampilannya. Tanpa perlu mengenakan make-up, Della memang sudah memiliki paras yang cantik. Matanya bulat dengan iris hitam pekat, kulit putih merona, hidung mancung, dan bibir tipis merah muda. Dan seperti tidak lupa bersyukur atas kelebihan itu, Della selalu rajin merawat dan menjaga kemolekan tubuhnya. Dari sahabatnya itulah, Neysa mempelajari berbagai macam jenis perawatan diri.

Selain penampilan yang menawan, Della juga tidak pernah ragu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Salah satunya adalah kemampuan membuat berbagai macam kue. Prestasi akademisnya juga selalu cemerlang. Bahkan sekarang kariernya juga tampak menanjak cepat.

Jika dilihat dari segi mana pun, seharusnya tidak ada alasan untuk menolak Della. Siapa pun lelaki itu.

Selama ini, belum pernah ada seorang lelaki pun yang menerima pernyataan cinta Della. Mereka semua menolak seolah Della adalah perempuan paling memuakkan di dunia. Della berkali-kali patah hati tentu saja. Kehilangan kekasih yang belum sempat ia miliki. Walaupun proses penyembuhannya juga selalu berlangsung cepat. Dalam sekejap hatinya sudah kembali siap untuk cinta yang baru.

Tetapi di sisi lain, Della juga sering mematahkan hati banyak lelaki. Ia menolak semua lelaki yang menyatakan perasaan padanya. Sebenarnya, ia sudah melakukan tindakan benar dengan berkata jujur. Lebih baik seperti itu daripada menjalin hubungan dengan terpaksa atau memberi harapan palsu. Dan sepertinya sikapnya itu menjadi bumerang karma untuk pernyataan cintanya sendiri.

Entah mengapa, tetapi Della selalu memosisikan dirinya untuk jatuh cinta pada keadaan yang salah. Ia pernah jatuh cinta pada kakak kelas di SMA yang ternyata sudah memiliki kekasih. Atau saat ia ditolak oleh anggota tim basket  sekolah yang akan melanjutkan pendidikan ke Jerman. Pernah juga ia dekat dengan berandal sekolah yang di-drop-out tiga hari setelah pertemuan pertama mereka. Ada juga persaingan Della dengan siswi kelas sebelah untuk mengambil hati seorang guru fisika yang ternyata sudah bertunangan. Dan masih banyak kisah cinta tidak terbalas yang lainnya.

"Neysa... menurutmu apa yang kurang dariku?" tanya Della memecah keheningan di antara mereka berdua.

"Tidak ada yang kurang." Neysa tersenyum meyakinkan. "Para lelaki itu saja yang bodoh."

Punggung Della menegak antusias. Matanya berbinar bahagia. Neysa tersenyum karena mengira sudah berhasil mengibur kekecewaan sahabatnya. Sayangnya, mata itu bukan berbinar ke arahnya melainkan ke balik punggungnya, tepat ke arah pintu masuk kafe.

Neysa mengikuti arah pandang Della. Seorang lelaki yang mengenakan polo shirt berwarna hijau hutan memasuki pintu kafe. Iris mata Della yang bulat seketika berubah menjadi bentuk hati. Tetapi sedetik kemudian, bentuk hati itu patah dan hancur berkeping-keping. Seorang gadis dengan tahi lalat di sudut mata kirinya tampak menempel ketat di lengan lelaki itu. Mereka berjalan beriringan menuju tempat duduk yang terletak di samping jendela.

Della patah hati seketika. Ia menghela napas berat. Telunjuk dan ibu jarinya yang menggenggam sedotan mengaduk-aduk matcha latte float di hadapannya. Matanya menerawang pada permukaan hijau pupus yang berputar-putar.

Kapan Pangeran Impiannya datang dan menyelamatkannya dari kegelapan?

Unlock Your Heart I: Imperfection (1)



"Silakan masuk."

Suara itu langsung terdengar begitu Della mengetuk pintu di hadapannya. Perlahan ia memutar gagang pintu itu hingga terbuka, lalu melangkah masuk. Setelah menutup kembali pintu di belakangnya tanpa menimbulkan bunyi gaduh, ia berjalan dan langsung berdiri di hadapan kepala divisinya itu.

"Anda memanggil saya, Pak Alex?" tanya Della sesopan mungkin.

Sejenak, pria itu mengangkat wajah dari perkerjaan di atas mejanya. Ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya kepada Della. "Ya. Silakan duduk, Della."

Della sedikit membungkukkan kepalanya penuh hormat, lalu memosisikan diri untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan Alex. Matanya bergerak cepat memeriksa penampilannya. Blazer dan rok spannya masih tampak rapi dan licin seolah baru saja disetrika. Padahal sebentar lagi sudah mendekati jam pulang kantor. Jadi, sepertinya bukan karena masalah kerapian ia dipanggil kemari.

Selama menunggu Alex menyelesaikan pekerjaannya, benak Della tidak bisa berhenti untuk terus berspekulasi. Ia menelaah pekerjaannya selama seminggu terakhir. Dimulai dari hari Senin hingga siang hari ini. Tetapi sepertinya tidak ada kesalahan yang dilakukannya. Selama sembilan bulan lebih bekerja, Della memang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk perusahaan tempat ia bekerja.

Lantas, atas dasar apa ia dipanggil siang ini?

Della mengatur napasnya yang sedikit memburu karena jantungnya yang berdebar kencang. Padahal besok adalah hari Sabtu yang selalu ditunggunya setiap minggu. Hanya pada hari itu ia bisa benar-benar libur dan menyegarkan pikirannya dari himpitan pekerjaan. Sementara pada hari Minggu malam ia harus cukup tidur agar bisa memaksimalkan pekerjaannya pada hari Senin.

Diam-diam Della menatap ke arah Alex. Kepala pria itu ditumbuhi rambut cokelat gelap yang dihiasi uban berwarna keperakan. Della mencoba menerka-nerka apa yang ada di dalam pikiran pria itu.

Jantung Della melompat ke tenggorokan mendengar bunyi 'tak' saat Alex meletakkan penanya ke atas meja. Della takut dianggap tidak sopan karena terpergok tengah menatap Kepala Divisinya. Cepat-cepat, Della menunduk pada ujung sepatunya yang mengilap karena disemir.

"Dellani Mahara," panggil Alex dengan suara penuh wibawa dan nada bicaranya yang khas.

Perlahan, Della mengangkat wajahnya. Ternyata Alex sudah selesai membereskan tumpukan perkerjaan dari mejanya. Della memandang Alex penuh harap. Ia berharap bukan berita menyedihkan yang akan didengarnya.

"Apa kesalahan saya, Pak?" tanya Della seolah ingin mengakhiri dugaan yang terus bertambah di dalam benaknya.

"Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Della." Pria itu tampak tersenyum geli mendengar pertanyaan Della. Matanya yang berlekuk dalam itu menyipit dan menyembunyikan iris matanya yang berwarna keabu-abuan. "Seperti biasa, pekerjaanmu selalu sempurna."

Della tersenyum terima kasih dan menganggukkan kepalanya. Ia hanya diam menunggu kelanjutan kata-kata Alex yang tedengar menggantung. Syukurlah, jika memang pekerjaannya memuaskan bagi Kepala Divisinya itu.

Alex menautkan jemarinya dan menopangkan di dagunya. Ekspresi wajahnya berubah serius. "Aku ingin kau berhenti bekerja dari divisi ini."

Apa? Mata Della terbelalak. Keningnya mengernyit bingung. Bukankah tadi Alex berkata bahwa pekerjaannya selalu sempurna? Lalu mengapa tiba-tiba ia sekarang... dipecat?

Alex tiba-tiba terkekeh dengan raut wajah jenaka. Kerutan-kerutan usia di sudut matanya tampak begitu jelas. "Tentu saja kau tidak dipecat, Della," ujarnya seolah bisa membaca isi pikiran Della. "Aku justru mempromosikanmu untuk pekerjaan yang lebih baik."

"Promosi?" Della mengulangi perkataan Alex seolah telinganya tidak berfungsi dengan baik.

"Ya." Alex menganggukkan kepalanya. "Mulai hari Senin, kau akan mengisi posisi sekretaris untuk Presiden Direktur kita. Sekretaris yang sekarang akan berhenti bekerja karena menikah, meninggalkan jabatan yang lowong. Dan aku memutuskan untuk mempromosikanmu ke bagian personalia."

Della merasakan darah berdesir di kepalanya. Itu merupakan sebuah kabar baik. Tetapi... apakah ia pantas? Apakah ia mampu menempati posisi penting itu?

"Tapi... saya bahkan belum setahun bekerja di sini."

"Memang." Alex menganggukkan kepalanya. "Tapi prestasimu sudah cukup terkenal di beberapa divisi lain. Banyak tender yang gol di tanganmu walaupun belum satu tahun bekerja di sini. Itu semua pasti karena kau memiliki pemikiran yang cerdas. Kami semua yakin kau pasti mampu menempati posisi itu."

Della tertegun. Ia seolah berhenti bernapas. Secepat inikah?

"Walaupun aku harus rela kehilanganmu dari divisku, Della," lanjut Alex lantas terkekeh. "Tapi tidak apa-apa. Promosi ini bagus untuk kariermu."

Selama ini Della selalu memuja Alex sebagai sosok pemimpin sesungguhnya. Keputusan yang diambil pria itu selama memimpin divisi ini selalu bijaksana dan mampu menyelesaikan permasalahan yang muncul. Dan sekarang... apakah ia akan sanggup bekerja di bawah kepemimpinan langsung dari seorang Presiden Direktur?

"Baiklah," jawab Della lirih. Ia sangat yakin ini hanyalah khayalan di akhir minggu.

"Ini beberapa detail pekerjaannya," ujar Alex sambil menyerahkan setumpuk berkas kepada Della. "Kau bisa mempelajarinya sebelum memulai hari Seninmu yang baru. Dan jangan khawatir, karena yang lainnya akan membimbingmu di sana."

Alex bangkit dari kursi putarnya, lalu mengulurkan tangannya kepada Della. "Senang bekerja sama denganmu, Della."

Della ikut bangkit dan menjabat hangat tangan pria di hadapannya. "Saya juga senang bekerja di bawah kepemimpinan Anda, Pak."

Alex tersenyum hangat lalu menggerakkan tangannya mengizinkan Della keluar. Kepala Della mengangguk patuh lalu mundur perlahan berpamitan. Dan Della melangkah pergi meninggalkan ruangan pria itu dengan hati yang dipenuhi berbagai macam perasaan.

Sementara Alex tersenyum simpul menatap kepergian Della. Syukurlah, ia masih bisa menemukan bibit-bibit cemerlang untuk kelangsungan perusahaan ini.
***

"Selamat atas promosimu, Della!" seru Neysa sambil memeluk leher sahabatnya. Ia ikut merasakan bahagia atas apa yang diraih Della.

"Aku tahu kau sedang senang. Tapi kalau seperti ini, kau bisa membunuhku," sahut Della dengan suara tercekik.

Neysa melepaskan dekapannya lalu terkekeh tanpa merasa bersalah. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri area perbelanjaan yang menyediakan semua keinginan mereka. Terutama gaun yang dibutuhkan Della. Bulan depan ia akan menghadiri pesta ulang tahun perusahaan.

Toko-toko berjajar di tepi jalan ber-paving hingga membentuk gang-gang yang dipenuhi pejalan kaki. Ada galeri seni, kafe, restoran, perpustakaan, butik, dan toko lain yang tampak berdampingan dengan harmonis. Mereka semua tampak berbahagia menikmati hari Sabtu ini.

Sementara matahari mulai merangkak naik di atas sana, mengantarkan dahaga ke tenggorokan Della dan Neysa. Mereka memutuskan untuk masuk ke sebuah kafe bernuansa pelangi yang berada paling dekat dengan butik yang baru saja mereka tinggalkan. Beruntung, mereka masih mendapatkan tempat duduk di tengah bangunan kafe yang ramai itu.

Neysa dan Della meletakkan tas belanja mereka di lantai lalu memerhatikan buku menu yang disodorkan pramusaji berseragam warna-warni itu. Setelah mereka menyebutkan nama minuman yang dipesan, waitress itu berlalu sambil meminta mereka menunggu.

Tentu saja Della akan menunggu. Orang bodoh mana yang datang ke kafe, memesan, kemudian pergi begitu saja sebelum pesanannya datang. Apalagi saat ini tenggorokannnya terasa kering seperti disiram pasir.

"Hidupmu benar-benar sempurna, Della," ucap Neysa dengan mata berkilat iri.

"Sempurna?" tanya Della sambil memiringkan kepalanya.

"Kau lulus kuliah tepat waktu, mendapat pekerjaan di perusahaan yang kauinginkan, dan sekarang... bahkan belum setahun kau bekerja di sana, kau sudah mendapat promosi!" Sesaat mata Neysa berbinar bahagia. Tetapi dengan cepat kebahagiaan itu berganti dengan helaan napas panjang. "Sementara aku baru akan menghadapi ujian skripsi minggu depan," lanjut Neysa seolah meratapi kehidupannya.

"Tidak baik meratap seperti itu, Neysa. Semua orang memiliki jalannya masing-masing." Della mencoba menyuntikkan semangat untuk sahabatnya. Sementara ia sendiri sedikit kehilangan semangat karena teringat sesuatu. "Lagi pula kau pasti tahu bahwa hidupku tidak sesempurna itu."
***

Rabu, 13 April 2016

Unlock Your Heart: Prologue



Perlahan, ia menyesap minumannya dan melempar tatapan ke luar jendela. Hujan masih mengguyur deras di luar sana. Aroma air hujan menelusup masuk ke dalam ruangannya, bercampur dengan wangi khas minuman dalam gelas kristalnya. Ia berdiri terpaku di sana, mencoba menenangkan jiwa dengan aroma-aroma yang memenuhi udara.

Alih-alih merasa tenang. Ia malah merasa ada sesuatu yang mengganjal di benaknya semakin mendesak. Tidak. Bukan di benaknya, melainkan di sudut kecil dalam hatinya.

Keningnya berkerut samar. Perasaan yang mengganjal itu mulai mengganggu. Begitu memaksa untuk memenuhi seluruh hatinya. Sementara hatinya sudah menutup diri dari perasaan itu sejak lama. Seperti hujan yang turun deras bagai tirai yang menutup pandangannya.

Ia memutar tubuh dan membelakangi jendela. Ruangan kosong itu terasa begitu lengang sekarang. Kekosongan yang sama sekali tidak membuatnya nyaman. Malah menghadirkan perasaan asing tetapi familier yang terus mengusik. Hujan di luar sana seakan membantunya untuk tersadar dari mimpi buruknya selama ini.


Saat itulah ia baru menyadari. Bahwa ia tidak ingin itu terjadi lagi. Ia tidak ingin merasakan kehilangan untuk kesekian kali. Kehilangan seseorang yang dicintainya sepenuh hati.



Bersambung ke Unlock Your Heart (Imperfect)

Rabu, 06 April 2016

Unlock Your Heart



Ketika orang yang kaucintai pergi meninggalkanmu,
apa yang akan kau lakukan?
Apakah kau akan membuka diri untuk cinta yang baru
yang mungkin bisa menyembuhkan lukamu?
Atau malah menutup perasaanmu dan mengunci rapat hatimu
dari kehadiran seseorang yang mencintaimu dengan tulus?