Kopi itu mengepul panas dan menguarkan aroma nikmat yang khas ke seluruh penjuru ruangan. Della meletakkan dua cangkir porselen itu ke atas meja bundar di tengah ruangan. Di salah satu kursi yang melingkari meja, Niken duduk dan menunggu dengan antusias. Masih terkagum dengan interior pantri, ia menarik kursi dan duduk di samping mentornya itu.
Della mengedarkan pandangannya untuk melihat seisi ruangan. Para staf yang bekerja di lantai ini difasilitasi pantri yang jauh berbeda dengan di divisi Della sebelumnya. Pantri di sini dilengkapi dengan kompor, mesin pembuat kopi, bufet kayu dengan ukiran artistik, dan cangkir-cangkir porselen. Lebih mirip dapur di rumah-rumah mewah alih-alih pantri untuk staf kantor.
Niken mengulurkan tangannya, meraih salah satu cangkir. Lalu perlahan menyesap kopinya perlahan. “Wah, kopi ini enak sekali.”
Della tersenyum bangga mendengar pujian itu. Sekalipun ini bukan pertama kalinya ia mendengar seseorang memuji kopi buatannya. “Syukurlah, kau menyukainya.”
“Aku bersungguh-sungguh, Della. Bos kita pasti akan bungkam jika sudah mencoba kopi buatanmu,” tambah Niken lantas terkikik geli.
Kening Della berkerut bingung. Tangannya mengangkat cangkir dan meneguk sedikit kopinya yang masih panas. “Memang si bos besar itu orang yang cerewet?”
“Sangat.” Niken mendramatisir kata-katanya sambil memutar bola matanya dengan jenaka. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Della, lalu berbisik penuh canda. “Dan sangat serius. Dan juga perfeksionis. Kuperingatkan kau untuk mempersiapkan diri.”
Della hanya tertawa kecil mendengar kata-kata Niken yang seperti dilebih-lebihkan. Tetapi itulah yang membuat ia nyaman mengobrol dengan mentornya itu. Seolah mereka adalah teman lama yang kembali bertemu setelah dipisahkan waktu. Niken adalah orang yang menyenangkan. Della jadi penasaran lelaki seperti apa yang mampu menaklukkan gadis seperti ini.
“Oh, aku hampir lupa satu hal,” kata Niken sambil menepuk pipi dengan telunjuknya. “Dia juga tampan. Sangat tampan. Kalau kau bertemu dengannya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.”
“Mana mungkin.” Della terkekeh kedua matanya menyipit. “Aku tidak terlalu tertarik dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahku.”
Niken hanya terdiam penuh rahasia. Matanya melirik jail ke arah calon penggantinya itu. Kemudian ia kembali menyesap kopi nikmatnya, sambil menyembunyikan seulas senyum penuh arti.
***
“Masuk.”
Suara yang dalam itu langsung terdengar begitu Niken mengetuk pintu berdaun ganda di depannya. Gadis itu langsung membuka pintu begitu mendengar persetujuan. Sementara Della memeriksa ulang penampilannya.
“Permisi, Pak Antonio. Saya datang bersama Della—sekretaris yang akan menggantikan saya mulai minggu depan.”
Antonio menutup berkas yang sedang dibacanya, kemudian menumpukan sikunya di lengan kursi. Ekspresi di wajah rampingnya datar tidak terbaca. Tetapi sepasang mata abu-abu gelapnya menunduk memberi persetujuan.
Begitu menerima isyarat dari Niken, Della melangkah seanggun mungkin memasuki ruangan itu. Kepalanya menunduk sopan menatap sepatunya yang menapaki lantai berlapis permadani.
“Selamat pagi, Pak Antonio. Nama saya Dellani Mahara. Sebelumnya saya bekerja untuk Divisi Perencanaan,” ucapnya dalam satu tarikan napas.
Lagi-lagi seorang gadis. Alis Antonio terangkat jemu. Ia tidak memahami benar apa tujuan orang itu. Jadi, ia hanya bisa menatap sekretaris barunya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan penuh penilaian.
“Baiklah. Selamat datang, Della.”
Mendengar suara yang terkesan angkuh itu, menjadi pertanda bagi Della untuk mengangkat wajah dan menunjukkan senyum terbaiknya. Tetapi begitu ia bersitatap dengan sepasang mata yang disipitkan itu, senyumnya tidak terbit sedikit pun. Mata itu begitu berani sekaligus indah berbingkai bulu mata tebal yang gelap.
Perasaan aneh menitik di dalam dada Della. Setitik perasaan itu menyebar cepat keseluruh tubuhnya hingga membuat jantungnya berdebar tidak keruan. Sementara ribuan pasang sayap yang mengepak dalam perutnya, nyaris membuatnya limbung. Ia bisa bertahan agar tidak jatuh pingsan. Tetapi ia tidak kuasa menahan diri untuk tidak jatuh cinta.
Ingin rasanya Della mengacak-acak manja rambut cokelat gelap yang disisir rapi itu. Atau menjalankan jemarinya di wajah ramping dengan garis pipi yang tampak muram. Lelaki ini tidak pantas menjadi ayahnya. Lelaki ini lebih pantas menjadi ayah dari anak-anaknya kelak.
“Aku harap Niken sudah menjelaskan dengan baik apa saja tugasmu.”
“I-iya, Pak,” sahut Della susah payah. Mengapa ia harus memanggil lelaki ini dengan sebutan ‘Pak’? Bukankah lebih pantas jika ia memanggilnya ‘Darling’? “Bu Niken membimbing saya dengan sangat baik.”
“Kalau begitu, selamat bekerja, Della,” ucap Antonio acuh tidak acuh.
“Kami permisi dulu, Pak,” pamit Niken yang menangkap kata-kata itu sebagai pertanda agar mereka segera meninggalkan ruangan itu. Ia langsung memberi isyarat kepada Della untuk mengikutinya keluar.
Kedua orang gadis itu berbalik kembali menuju pintu ganda tempat mereka tadi masuk. Saat tiba-tiba suara yang sedalam lautan itu membelai punggung Della.
“Oh, ya, satu lagi.”
Della berbalik dengan gugup.
“Kalau tidak bisa menggelung rambutmu dengan rapi, potong pendek saja sekalian.”
***
“Aku sudah menemukannya!”
Neysa yang sedang duduk menghadapi layar komputer, sontak mengernyit saat suara antusias itu terdengar melalui ponselnya. Bahkan sebelum ia sempat mengucapkan “halo”.
“Neysa, kau dengar tidak?” tanya suara di seberang sana karena Neysa tidak juga memberi tanggapan.
“Iya, iya. aku dengar,” jawab Neysa sambil bangkit dari duduknya meninggalkan skripsinya yang menuntut direvisi. Ia berjalan ke arah balkon kamarnya dan menikmati angin malam yang mengacak lembut rambutnya.
“Aku sudah menemukannya!” ulang peneleponnya masih dengan keantusiasan yang sama.
“Menemukan apa? Sebelah antingmu yang hilang?”
“Ini lebih penting daripada sekadar anting!” sahut Della seraya terkekeh senang. “Aku sudah menemukan lelaki yang akan menjadi pendamping hidupku.”
Neysa tersenyum simpul. Sudah lama sekali rasanya ia tidak mendengar sahabatnya itu membicarakan lelaki. “Oke. Kali ini dia lelaki seperti apa?”
“Dia tampan,” jawab Della penuh semangat. Neysa bahkan bisa membayangkan mata gadis itu berbinar-binar di seberang sana.
“Astaga—sampai kapan kau akan berhenti tertarik dengan penampilan fisik lelaki? Kepribadiannya bisa saja tidak sebaik apa yang ditampilkannya.” Nada bicara Neysa terdengar khawatir. “Memang di mana kau bertemu dengannya?”
“Di kantor. Dia bosku—Presiden Direktur tempatku bekerja.”
“Benar-benar definisi dari gilla. Bagaimana mungkin seleramu berubah drastis secepat ini,” ucap Neysa dengan nada protes. Apa sahabatnya sudah seputus asa itu? “Jangan gegabah, Della. Untuk apa kau mengejar pria yang mungkin saja sudah memiliki cucu!”
“Jangan sembarangan!” tukas Della lantas terbahak. “Dia masih muda. Mungkin sekitar dua puluh sembilan tahun atau awal tiga puluhan.”
Kening Neysa mengernyit. Tetapi ia tetap tidak mau kalah. “Kalau begitu, dia pasti tipe lelaki yang suka mempermainkan hati perempuan. Kau tetap harus berhati-hati.”
“Kurasa dia bukan lelaki seperti itu.”
“Baiklah. Terserahmu.” Neysa menghela napas tanda mengalah. “Tapi jangan menjadikan bahuku sebagai sandaran air matamu kalau kau berakhir patah hati.”