Rabu, 20 April 2016

Unlock Your Heart I: Imperfection (1)



"Silakan masuk."

Suara itu langsung terdengar begitu Della mengetuk pintu di hadapannya. Perlahan ia memutar gagang pintu itu hingga terbuka, lalu melangkah masuk. Setelah menutup kembali pintu di belakangnya tanpa menimbulkan bunyi gaduh, ia berjalan dan langsung berdiri di hadapan kepala divisinya itu.

"Anda memanggil saya, Pak Alex?" tanya Della sesopan mungkin.

Sejenak, pria itu mengangkat wajah dari perkerjaan di atas mejanya. Ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya kepada Della. "Ya. Silakan duduk, Della."

Della sedikit membungkukkan kepalanya penuh hormat, lalu memosisikan diri untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan Alex. Matanya bergerak cepat memeriksa penampilannya. Blazer dan rok spannya masih tampak rapi dan licin seolah baru saja disetrika. Padahal sebentar lagi sudah mendekati jam pulang kantor. Jadi, sepertinya bukan karena masalah kerapian ia dipanggil kemari.

Selama menunggu Alex menyelesaikan pekerjaannya, benak Della tidak bisa berhenti untuk terus berspekulasi. Ia menelaah pekerjaannya selama seminggu terakhir. Dimulai dari hari Senin hingga siang hari ini. Tetapi sepertinya tidak ada kesalahan yang dilakukannya. Selama sembilan bulan lebih bekerja, Della memang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk perusahaan tempat ia bekerja.

Lantas, atas dasar apa ia dipanggil siang ini?

Della mengatur napasnya yang sedikit memburu karena jantungnya yang berdebar kencang. Padahal besok adalah hari Sabtu yang selalu ditunggunya setiap minggu. Hanya pada hari itu ia bisa benar-benar libur dan menyegarkan pikirannya dari himpitan pekerjaan. Sementara pada hari Minggu malam ia harus cukup tidur agar bisa memaksimalkan pekerjaannya pada hari Senin.

Diam-diam Della menatap ke arah Alex. Kepala pria itu ditumbuhi rambut cokelat gelap yang dihiasi uban berwarna keperakan. Della mencoba menerka-nerka apa yang ada di dalam pikiran pria itu.

Jantung Della melompat ke tenggorokan mendengar bunyi 'tak' saat Alex meletakkan penanya ke atas meja. Della takut dianggap tidak sopan karena terpergok tengah menatap Kepala Divisinya. Cepat-cepat, Della menunduk pada ujung sepatunya yang mengilap karena disemir.

"Dellani Mahara," panggil Alex dengan suara penuh wibawa dan nada bicaranya yang khas.

Perlahan, Della mengangkat wajahnya. Ternyata Alex sudah selesai membereskan tumpukan perkerjaan dari mejanya. Della memandang Alex penuh harap. Ia berharap bukan berita menyedihkan yang akan didengarnya.

"Apa kesalahan saya, Pak?" tanya Della seolah ingin mengakhiri dugaan yang terus bertambah di dalam benaknya.

"Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Della." Pria itu tampak tersenyum geli mendengar pertanyaan Della. Matanya yang berlekuk dalam itu menyipit dan menyembunyikan iris matanya yang berwarna keabu-abuan. "Seperti biasa, pekerjaanmu selalu sempurna."

Della tersenyum terima kasih dan menganggukkan kepalanya. Ia hanya diam menunggu kelanjutan kata-kata Alex yang tedengar menggantung. Syukurlah, jika memang pekerjaannya memuaskan bagi Kepala Divisinya itu.

Alex menautkan jemarinya dan menopangkan di dagunya. Ekspresi wajahnya berubah serius. "Aku ingin kau berhenti bekerja dari divisi ini."

Apa? Mata Della terbelalak. Keningnya mengernyit bingung. Bukankah tadi Alex berkata bahwa pekerjaannya selalu sempurna? Lalu mengapa tiba-tiba ia sekarang... dipecat?

Alex tiba-tiba terkekeh dengan raut wajah jenaka. Kerutan-kerutan usia di sudut matanya tampak begitu jelas. "Tentu saja kau tidak dipecat, Della," ujarnya seolah bisa membaca isi pikiran Della. "Aku justru mempromosikanmu untuk pekerjaan yang lebih baik."

"Promosi?" Della mengulangi perkataan Alex seolah telinganya tidak berfungsi dengan baik.

"Ya." Alex menganggukkan kepalanya. "Mulai hari Senin, kau akan mengisi posisi sekretaris untuk Presiden Direktur kita. Sekretaris yang sekarang akan berhenti bekerja karena menikah, meninggalkan jabatan yang lowong. Dan aku memutuskan untuk mempromosikanmu ke bagian personalia."

Della merasakan darah berdesir di kepalanya. Itu merupakan sebuah kabar baik. Tetapi... apakah ia pantas? Apakah ia mampu menempati posisi penting itu?

"Tapi... saya bahkan belum setahun bekerja di sini."

"Memang." Alex menganggukkan kepalanya. "Tapi prestasimu sudah cukup terkenal di beberapa divisi lain. Banyak tender yang gol di tanganmu walaupun belum satu tahun bekerja di sini. Itu semua pasti karena kau memiliki pemikiran yang cerdas. Kami semua yakin kau pasti mampu menempati posisi itu."

Della tertegun. Ia seolah berhenti bernapas. Secepat inikah?

"Walaupun aku harus rela kehilanganmu dari divisku, Della," lanjut Alex lantas terkekeh. "Tapi tidak apa-apa. Promosi ini bagus untuk kariermu."

Selama ini Della selalu memuja Alex sebagai sosok pemimpin sesungguhnya. Keputusan yang diambil pria itu selama memimpin divisi ini selalu bijaksana dan mampu menyelesaikan permasalahan yang muncul. Dan sekarang... apakah ia akan sanggup bekerja di bawah kepemimpinan langsung dari seorang Presiden Direktur?

"Baiklah," jawab Della lirih. Ia sangat yakin ini hanyalah khayalan di akhir minggu.

"Ini beberapa detail pekerjaannya," ujar Alex sambil menyerahkan setumpuk berkas kepada Della. "Kau bisa mempelajarinya sebelum memulai hari Seninmu yang baru. Dan jangan khawatir, karena yang lainnya akan membimbingmu di sana."

Alex bangkit dari kursi putarnya, lalu mengulurkan tangannya kepada Della. "Senang bekerja sama denganmu, Della."

Della ikut bangkit dan menjabat hangat tangan pria di hadapannya. "Saya juga senang bekerja di bawah kepemimpinan Anda, Pak."

Alex tersenyum hangat lalu menggerakkan tangannya mengizinkan Della keluar. Kepala Della mengangguk patuh lalu mundur perlahan berpamitan. Dan Della melangkah pergi meninggalkan ruangan pria itu dengan hati yang dipenuhi berbagai macam perasaan.

Sementara Alex tersenyum simpul menatap kepergian Della. Syukurlah, ia masih bisa menemukan bibit-bibit cemerlang untuk kelangsungan perusahaan ini.
***

"Selamat atas promosimu, Della!" seru Neysa sambil memeluk leher sahabatnya. Ia ikut merasakan bahagia atas apa yang diraih Della.

"Aku tahu kau sedang senang. Tapi kalau seperti ini, kau bisa membunuhku," sahut Della dengan suara tercekik.

Neysa melepaskan dekapannya lalu terkekeh tanpa merasa bersalah. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri area perbelanjaan yang menyediakan semua keinginan mereka. Terutama gaun yang dibutuhkan Della. Bulan depan ia akan menghadiri pesta ulang tahun perusahaan.

Toko-toko berjajar di tepi jalan ber-paving hingga membentuk gang-gang yang dipenuhi pejalan kaki. Ada galeri seni, kafe, restoran, perpustakaan, butik, dan toko lain yang tampak berdampingan dengan harmonis. Mereka semua tampak berbahagia menikmati hari Sabtu ini.

Sementara matahari mulai merangkak naik di atas sana, mengantarkan dahaga ke tenggorokan Della dan Neysa. Mereka memutuskan untuk masuk ke sebuah kafe bernuansa pelangi yang berada paling dekat dengan butik yang baru saja mereka tinggalkan. Beruntung, mereka masih mendapatkan tempat duduk di tengah bangunan kafe yang ramai itu.

Neysa dan Della meletakkan tas belanja mereka di lantai lalu memerhatikan buku menu yang disodorkan pramusaji berseragam warna-warni itu. Setelah mereka menyebutkan nama minuman yang dipesan, waitress itu berlalu sambil meminta mereka menunggu.

Tentu saja Della akan menunggu. Orang bodoh mana yang datang ke kafe, memesan, kemudian pergi begitu saja sebelum pesanannya datang. Apalagi saat ini tenggorokannnya terasa kering seperti disiram pasir.

"Hidupmu benar-benar sempurna, Della," ucap Neysa dengan mata berkilat iri.

"Sempurna?" tanya Della sambil memiringkan kepalanya.

"Kau lulus kuliah tepat waktu, mendapat pekerjaan di perusahaan yang kauinginkan, dan sekarang... bahkan belum setahun kau bekerja di sana, kau sudah mendapat promosi!" Sesaat mata Neysa berbinar bahagia. Tetapi dengan cepat kebahagiaan itu berganti dengan helaan napas panjang. "Sementara aku baru akan menghadapi ujian skripsi minggu depan," lanjut Neysa seolah meratapi kehidupannya.

"Tidak baik meratap seperti itu, Neysa. Semua orang memiliki jalannya masing-masing." Della mencoba menyuntikkan semangat untuk sahabatnya. Sementara ia sendiri sedikit kehilangan semangat karena teringat sesuatu. "Lagi pula kau pasti tahu bahwa hidupku tidak sesempurna itu."
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar