Rabu, 27 April 2016
Unlock Your Heart II: Expectation (1)
Hari Senin yang ditunggu akhirnya tiba.
Demi menyambut hari baru dalam hidupnya ini, Della sengaja berdandan lebih rapi dari biasanya. Rambut ikal menyentuh pungung yang biasa dikuncir ekor kuda, hari ini digelung rapi ke belakang kepalanya. Ia ingin menampilkan kesan dewasa agar pantas bekerja bersama para orang penting di perusahaan ini.
Setelah melapor ke bagian personalia, Della bergegas menuju lift yang akan membawanya ke lantai paling atas gedung megah ini. Ia melenggang penuh percaya diri. Ternyata benar kata orang, kerja keras tidak akan mengkhianati.
Pintu lift terbuka begitu terdengar suara berdenting. Della melangkah keluar, bergegas menuju meja resepsionis. Seorang wanita bersetelan merah muda menyambutnya dengan ramah dan mengantar Della ke ruangan yang diberitahukan oleh bagian personalia. Ia harus menemui seseorang yang akan menjadi atasan bagi pekerjaannya yang baru.
Della berdiri gugup di hadapan ruangan berpintu besar itu. Sebilah papan hitam dengan tinta warna emas bertuliskan nama orang yang harus ditemuinya menempel lebih tinggi dari dahinya di pintu itu. Tangannya terulur ke depan dan mengetuk perlahan.
“Silakan masuk.”
Della seakan berhenti bernapas ketika mendengar suara itu. Tetapi dengan cepat ia mencoba tersenyum untuk menekan rasa gugupnya. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, ia berdoa dalam hati semoga orang di ruangan ini sebaik Kepala Divisinya terdahulu.
“Permisi,” gumam Della sambil menutup kembali pintu di belakangnya.
Seorang pria duduk di balik meja kerja besar yang membelakangi jendela. Pria itu tersenyum ramah menyambut kedatangan Della, memunculkan gurat-gurat usia di sudut bibir dan matanya. Rambutnya masih lebat walaupun hampir keseluruhan sudah berwarna putih kelabu. Tampak kontras dengan setelan hitam jasnya.
Pria itu bangkit dari kursi putarnya yang tampak nyaman. Lalu mengulurkan tangannya kepada Della, menyeberangi meja di antara mereka. “Kau pasti Dellani Mahara. Benar?”
"Panggil saja 'Della'." Della mengangguk sopan sambil menjabat tangan pria di hadapannya. “Mohon bimbingan Anda, Pak Matteo.”
Matteo kembali tersenyum membalas sikap sopan Della. Lalu melepaskan jabatan tangan mereka. “Kalau begitu, aku akan menunjukkan ruang kerjamu.”
Kepala Della mengangguk patuh, lalu mengikuti Matteo untuk keluar dari ruangan berdinding kelabu itu.
***
Della mengekor di belakang Matteo. Ia bersyukur, pria itu berjalan di depannya sehingga tidak bisa melihat tatapan kagumnya pada interior di sekitarnya. Benar-benar berbeda dengan interior di lantai lima tempat kantornya yang lama berada.
Di dekat pintu lift yang digunakan Della tadi, terdapat sebuah sofa besar berwarna hitam, dua sofa lain yang lebih kecil, dan sebuah meja kayu yang sudah dipernis hingga mengilap. Dan sebuah akuarium yang dihuni ikan berwarna-warni menempel di sepanjang dinding di belakang sofa yang paling besar. Beberapa lukisan berukuran besar terpajang di dinding yang dicat abu-abu terang. Matahari membagikan kehangatannya melalui kaca-kaca jendela yang berderet di salah satu sisi dinding bangunan.
“Ini ruanganmu.”
Della terkesiap saat pria di depannya berhenti berjalan dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang berat. Beruntung, Della bisa mengerem langkahnya tepat waktu. Jika tidak, ia pasti sudah menabrak punggung bosnya itu.
Ruangan itu didominasi warna putih dan krem. Walaupun bergaya terbuka, ruangan ini jauh lebih lapang dari kubikel kerjanya di Divisi Perencanaan. Kumpulan berkas-berkas tertata rapi di rak kayu. Jendela yang besar membebaskan sinar matahari untuk masuk.
Dan sekali lagi, tanpa sepengetahuan pria itu, Della terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya ini. Ini semua benar-benar lebih tinggi dari yang Della harapkan.
“Dan ini adalah Niken,” ujar Matteo perlahan tetapi cukup untuk menyentak Della keluar dari kekagumannya. “Mulai minggu depan, dia akan berhenti dari perusahaan ini. Dan kau yang akan menggantikan posisinya di sini. Jadi, dia yang akan menjadi mentormu.”
Della mengangguk patuh kepada Matteo, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Niken. Gadis itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya kepada Della.
“Perkenalkan, aku Niken.”
Della menjabat erat tangan itu sambil balas tersenyum. Matanya memerhatikan rambut gadis itu yang dipotong rapi seperti anggota paskibra. “Nama saya Della. Mohon bimbingannya.”
“Kalau begitu, kalian bisa segera memulainya sekarang.” Matteo menatap kepada Niken kemudian kepada Della. “Dan untuk Della, selamat datang. Semoga kita bisa bersama-sama membawa perusahaan ini ke arah yang lebih baik.”
“Baik, Pak.” Della mengangguk hormat, mengantarkan pria itu meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang akan menjadi ruang kerjanya yang baru.
***
“Dia sudah ada di sini.”
Dari seluruh kalimat yang ada di dunia, Matteo memilih sebaris kalimat itu sebagai ucapan salamnya ketika memasuki ruangan berpintu ganda itu. Lelaki yang duduk di balik meja kerja yang penuh itu, mendongakkan kepalanya, berusaha tampak tertarik. Demi kesopanan terhadap orang yang lebih tua.
“Dia siapa?” tanya lelaki itu dengan satu alis terangkat tidak peduli.
“Staf baru yang akan menggantikan Niken.” Matteo menarik kursi di hadapan lelaki itu, lalu mereka duduk berhadapan dengan meja kerja sebagai pembatasnya.
“Oh.” Lelaki itu bergumam acuh tidak acuh. “Rekomendasi dari orang itu lagi?”
“Ya.” Matteo mengangguk lalu terkekeh pelan. Mereka seolah bisa saling memahami tanpa perlu banyak berkata-kata. “Kau ingin aku menceritakan pendapatku tentang sekretaris barumu itu?”
“Tidak perlu,” tolak lelaki itu cepat. “Aku akan menilainya sendiri. Lagipula nanti Niken akan membawanya untuk menghadap ke ruanganku.”
Matteo menggidikkan bahunya pasrah. Ia sudah paham benar bagaimana sifat pemuda di hadapannya ini. Selalu mengingatkannya pada masa muda sahabatnya yang juga cukup keras kepala. “Baiklah kalau begitu, Nino. Aku akan kembali pada pekerjaanku.” Matteo bangkit dari duduknya dan berbalik menuju pintu tempat ia masuk tadi.
“Dan satu hal lagi.” Kata-kata pemuda itu menghentikan langkah Matteo. “Jangan lagi memanggilku dengan nama kekanakan seperti itu. Panggil aku Antonio. Antonio Álvarez.”
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar