"Kenapa dia... perempuan?"
Della memutar bola mata. "Tentu saja karena dia bukan laki-laki."
Antonio menelan ludah sambil memandangi bayi yang tertidur pulas di boks. Napasnya teratur dan tenang. Rona kemerahan mewarnai kedua pipi tembamnya.
"Sampai kapan kau mau berdiri di sana?" gerutu Della heran melihat Antonio terus menjaga jarak dari anak mereka.
"Aku... tidak mau mengganggunya."
Perlahan, Della menurunkan kedua kakinya dari tempat tidur. Dengan sigap, Antonio bergerak maju untuk membantu istrinya.
"Seharusnya, kau jangan bergerak terlalu banyak dulu."
"Tidak apa-apa. Aku sudah cukup istirahat, kok."
Walaupun hanya beberapa langkah, Antonio tetap memapah Della menuju boks bayi mereka. Seolah merasa sedang diperhatikan, bayi mungil itu menggeliat lalu tiba-tiba menangis. Otomatis, raut wajah Antonio berubah kaku.
"Apa aku menganggu?"
Della tersenyum maklum. "Tentu saja tidak," ujarnya sambil menggeleng.
"Lalu kenapa dia menangis?"
"Semua bayi pasti menangis. Itu cara mereka berkomunikasi." Della merunduk lalu membuai bayi itu dalam gendongan. Dalam sekejap, tangisan itu lenyap. Perlahan, makhluk mungil itu kembali dalam lelapnya. "Dia hanya butuh ditenangkan."
Antonio menatap takjub senyuman yang muncul di wajah Della kala menatap anak mereka. Senyum yang dahulu selalu ia lihat setiap kali ibunya menatap padanya.
"Kau terlihat sudah ahli menangani bayi."
Della tersenyum miring. "Hanya sering membaca tentang ilmu parenting. Kau mau menggendongnya?"
Sekujur tubuh Antonio sekaku semen yang mengering. Ia menggeleng wagu. "Aku takut akan menyakitinya."
"Itu tidak akan terjadi." Della berusaha menenangkan. "Ayo atur tanganmu."
Antonio menelan ludah dengan panik. "Kau yakin?"
Della memahami ketakutan yang terpancar di sepasang netra suaminya. Ia mengangguk mantap. "Kau adalah ayahnya."
Kepercayaan diri Antonio sedikit meningkat walaupun tidak menghapus perasaan tegang yang menggelayutinya. "Aku harus bagaimana?"
Perlahan, Della menjadikan lengan di dekat lekukan siku Antonio sebagai bantal bagi bayi mereka. Lalu ia mengarahkan agar Antonio membuka lebar kelima jarinya sehingga bisa menopang sebaik mungkin.
Secara naluri, Antonio melingkupi bayi dalam gendongannya dengan lengannya yang lain. Bayi itu sediikit menggeliat, lalu melanjutkan tidur dengan nyaman. Tidak peduli dengan sikap ayahnya yang canggung.
"Begini... sudah benar?"
Della tersenyum dan mengangguk.
Antonio termenung takjub, seolah tidak percaya bahwa ada manusia mungil yang tidak mengenalnya tetapi bisa begitu memercayainya. "Dia... sangat ringan dan lembut."
"Dan manis," tambah Della lalu mengusap halus kening bayi yang baru ia lahirkan dua belas jam yang lalu. "Aku suka bentuk hidung dan bibirnya. Mirip seperti milikmu."
Kedua mata Antonio mengerjap setuju. Ia juga bisa melihat kemiripan yang dimaksud Della. Seperti sedang melihat dirinya di cermin, dengan sentuhan feminin.
"Aku takut kehilangan─"
"Kau tidak akan kehilangan siapa pun," tukas Della tajam. "Bukankah aku sudah mematahkan apa yang kau sebut kutukan itu?"
"Tapi dia... sangat kecil. Bagaimana kalau aku tidak bisa melindunginya?"
"Kau pasti bisa. Bahkan kau sudah menyaksikan sendiri aku menang melawan maut," tambah Della dengan nada tidak ingin dibantah. "Dan sekarang aku ada di sini. Bersamamu. Bersama putri kecil kita. Apa lagi yang membuatmu ragu?"
Antonio terkunci pada sepasang netra yang menatapnya tajam. Kedua alis yang melengkung di atas mata itu menegak tegas.
Bayangan akan perjuangan mereka di ruang bersalin, terputar kembali dalam benak Antonio. Wajah Della yang meringis saat menahan sakit, seruan instruksi dari doker, cengkeraman kuat di bahunya, hingga akhirnya suara tangisan nyaring menjadi akhir dari itu semua.
Air mata Antonio menitik deras saat ia menempelkan keningnya ke kening Della yang tersenyum. Ia tidak peduli kalau dokter dan para perawat di ruangan itu akan mengejeknya cengeng atau tidak jantan. Beragam emosi yang teraduk dalam hatinya membutuhkan pelepasan beban.
Untuk sesaat, ia merasa akan kehilangan Della. Ketika gadis itu memejamkan matanya dan seolah tidak akan bangun lagi. Tetapi sekarang kedua mata itu sedang bersitatap dengan dirinya, menunjukkan keberadaannya.
Tatapan Della perlahan melembut saat menyadari perasaan yang tergambar di kedua mata abu-abu suaminya. Lelaki itu kini mengalihkan pandangan pada gendongannya dan lengkungan senyumnya merangkak naik. Perlahan, ia merunduk maju hingga keningnya menempel di kening Della. Sama seperti saat di ruang bersalin.
"Terima kasih," bisiknya lirih. "Terima kasih."
Della bisa mendengar itu dengan jelas. Hingga ungkapan syukur itu menyelimuti hatinya dengan kehangatan. "Omong-omong, kau belum memilihkan nama untuknya."
Antonio terdiam sejenak. "Mireia," ucapnya seolah sedang merapalkan doa. "Namanya Mireia Alvarez."
Kepala Della mengangguk setuju. "Boleh kutambahkan 'Vanellia' sebagai nama tengahnya?"
Binar memancar di sepasang netra milik Antonio. Tanpa berpikir lagi, tentu saja ia langsung menyepakati. Itu pasti penggabungan dari nama ibu mereka. Vanesha dan Rallia.
Selama sisa hidupnya, Antonio akan memastikan ia tidak kehilangan dua manusia paling berharga baginya ini. Ia harus menjaga dengan baik hadiah yang diberikan Tuhan untuknya.
~e n d~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar