Rabu, 31 Agustus 2016

Unlock Your Heart: Epilogue



"Kenapa dia... perempuan?"

Della memutar bola mata. "Tentu saja karena dia bukan laki-laki."

Antonio menelan ludah sambil memandangi bayi yang tertidur pulas di boks. Napasnya teratur dan tenang. Rona kemerahan mewarnai kedua pipi tembamnya.

"Sampai kapan kau mau berdiri di sana?" gerutu Della heran melihat Antonio terus menjaga jarak dari anak mereka.

"Aku... tidak mau mengganggunya."

Perlahan, Della menurunkan kedua kakinya dari tempat tidur. Dengan sigap, Antonio bergerak maju untuk membantu istrinya.

"Seharusnya, kau jangan bergerak terlalu banyak dulu."

"Tidak apa-apa. Aku sudah cukup istirahat, kok."

Walaupun hanya beberapa langkah, Antonio tetap memapah Della menuju boks bayi mereka. Seolah merasa sedang diperhatikan, bayi mungil itu menggeliat lalu tiba-tiba menangis. Otomatis, raut wajah Antonio berubah kaku.

"Apa aku menganggu?"

Della tersenyum maklum. "Tentu saja tidak," ujarnya sambil menggeleng.

"Lalu kenapa dia menangis?"

 "Semua bayi pasti menangis. Itu cara mereka berkomunikasi." Della merunduk lalu membuai bayi itu dalam gendongan. Dalam sekejap, tangisan itu lenyap. Perlahan, makhluk mungil itu kembali dalam lelapnya. "Dia hanya butuh ditenangkan."

Antonio menatap takjub senyuman yang muncul di wajah Della kala menatap anak mereka. Senyum yang dahulu selalu ia lihat setiap kali ibunya menatap padanya.

"Kau terlihat sudah ahli menangani bayi."

Della tersenyum miring. "Hanya sering membaca tentang ilmu parenting. Kau mau menggendongnya?"

Sekujur tubuh Antonio sekaku semen yang mengering. Ia menggeleng wagu. "Aku takut akan menyakitinya."

"Itu tidak akan terjadi." Della berusaha menenangkan. "Ayo atur tanganmu."

Antonio menelan ludah dengan panik. "Kau yakin?"

Della memahami ketakutan yang terpancar di sepasang netra suaminya. Ia mengangguk mantap. "Kau adalah ayahnya."

Kepercayaan diri Antonio sedikit meningkat walaupun tidak menghapus perasaan tegang yang menggelayutinya. "Aku harus bagaimana?"

Perlahan, Della menjadikan lengan di dekat lekukan siku Antonio sebagai bantal bagi bayi mereka. Lalu ia mengarahkan agar Antonio membuka lebar kelima jarinya sehingga bisa menopang sebaik mungkin.

Secara naluri, Antonio melingkupi bayi dalam gendongannya dengan lengannya yang lain. Bayi itu sediikit menggeliat, lalu melanjutkan tidur dengan nyaman. Tidak peduli dengan sikap ayahnya yang canggung.

"Begini... sudah benar?"

Della tersenyum dan mengangguk.

Antonio termenung takjub, seolah tidak percaya bahwa ada manusia mungil yang tidak mengenalnya tetapi bisa begitu memercayainya. "Dia... sangat ringan dan lembut."

"Dan manis," tambah Della lalu mengusap halus kening bayi yang baru ia lahirkan dua belas jam yang lalu. "Aku suka bentuk hidung dan bibirnya. Mirip seperti milikmu."

Kedua mata Antonio mengerjap setuju. Ia juga bisa melihat kemiripan yang dimaksud Della. Seperti sedang melihat dirinya di cermin, dengan sentuhan feminin.

"Aku takut kehilangan─"

"Kau tidak akan kehilangan siapa pun," tukas Della tajam. "Bukankah aku sudah mematahkan apa yang kau sebut kutukan itu?"

"Tapi dia... sangat kecil. Bagaimana kalau aku tidak bisa melindunginya?"

"Kau pasti bisa. Bahkan kau sudah menyaksikan sendiri aku menang melawan maut," tambah Della dengan nada tidak ingin dibantah. "Dan sekarang aku ada di sini. Bersamamu. Bersama putri kecil kita. Apa lagi yang membuatmu ragu?"

Antonio terkunci pada sepasang netra yang menatapnya tajam. Kedua alis yang melengkung di atas mata itu menegak tegas.

Bayangan akan perjuangan mereka di ruang bersalin, terputar kembali dalam benak Antonio. Wajah Della yang meringis saat menahan sakit, seruan instruksi dari doker, cengkeraman kuat di bahunya, hingga akhirnya suara tangisan nyaring menjadi akhir dari itu semua.

Air mata Antonio menitik deras saat ia menempelkan keningnya ke kening Della yang tersenyum. Ia tidak peduli kalau dokter dan para perawat di ruangan itu akan mengejeknya cengeng atau tidak jantan. Beragam emosi yang teraduk dalam hatinya membutuhkan pelepasan beban.

Untuk sesaat, ia merasa akan kehilangan Della. Ketika gadis itu memejamkan matanya dan seolah tidak akan bangun lagi. Tetapi sekarang kedua mata itu sedang bersitatap dengan dirinya, menunjukkan keberadaannya.

Tatapan Della perlahan melembut saat menyadari perasaan yang tergambar di kedua mata abu-abu suaminya. Lelaki itu kini mengalihkan pandangan pada gendongannya dan lengkungan senyumnya merangkak naik. Perlahan, ia merunduk maju hingga keningnya menempel di kening Della. Sama seperti saat di ruang bersalin.

"Terima kasih," bisiknya lirih. "Terima kasih."

Della bisa mendengar itu dengan jelas. Hingga ungkapan syukur itu menyelimuti hatinya dengan kehangatan. "Omong-omong, kau belum memilihkan nama untuknya."

Antonio terdiam sejenak. "Mireia," ucapnya seolah sedang merapalkan doa. "Namanya Mireia Alvarez."

Kepala Della mengangguk setuju. "Boleh kutambahkan 'Vanellia' sebagai nama tengahnya?"

Binar memancar di sepasang netra milik Antonio. Tanpa berpikir lagi, tentu saja ia langsung menyepakati. Itu pasti penggabungan dari nama ibu mereka. Vanesha dan Rallia.

Selama sisa hidupnya, Antonio akan memastikan ia tidak kehilangan dua manusia paling berharga baginya ini. Ia harus menjaga dengan baik hadiah yang diberikan Tuhan untuknya.

~e n d~

Rabu, 24 Agustus 2016

Unlock Your Heart XVII: Reception (2)


Antonio Alvarez pantas terbenam di dasar neraka.

Lelaki itu mengenakan setelan biru gelap. Sama seperti groomsmen lainnya─Manuel, Miguel, dan Romero. Namun pesona yang terpancar dari sosok Antonio lebih memikat daripada lelaki lain di ruangan ini. Bahkan sanggup menyelubungi pesona sang pengantin pria yang seharusnya menjadi bintang utama hari ini.

"Aku benar-benar iri padamu, Della."

Kalau saja Neysa tidak menyebut namanya, Della tidak akan menyadari kalau sahabatnya itu sedang berbicara padanya. Sepasang netra gadis itu terpaku ke depan. Pada sepasang pengantin dan empat orang groomsmen yang tengah mengabadikan momen dalam jepretan kamera.

"Kau  bisa tetap bertahan pada satu lelaki. Padahal ada empat lelaki lain yang tidak kalah tampan di dekatmu." Neysa menggeleng-geleng. "Kalau aku pasti akan bimbang."

"Hei," tegur Della. "Satu dari para lelaki itu sudah resmi menjadi suami hari ini."

"Astaga." Neysa menggeleng sambil meniru suara cecak. Tangannya tertangkup di dada, menyesali dosa.

"Della, Neysa," panggil Diana yang berdiri tiga langkah di depan mereka. "Ayo."

Della dan Neysa mengangguk, lantas mengekor Diana dan Andrea berhampiran dengan mempelai perempuan. Sesi foto bersama groomsmen dam bridesmaid pun dimulai.

Hari ini Della mengenakan longdres serupa dengan yang dikenakan Neysa dan juga kedua sahabat Allenia─Andrea dan Diana. Sang pengantin memesan itu secara khusus. Keempat longdres itu sama-sama berwarna candy pink. Yang membedakan hanya bentuk kerahnya.

Setelah beberapa foto diambil, fotografer meminta pertukaran formasi. Della bersama tiga gadis lainnya meninggalkan sisi Allenia. Saat berpapasan dengan para lelaki, Della menerima sapaan berbeda-beda. Miguel membisikkan kata 'cantik' dan mengedipkan satu mata. Manuel tersenyum tipis sambil menatap Della. Romero mengangkat satu alis padanya.

Sementara Antonio?

Lelaki itu tidak melakukan apa-apa. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangannya lurus ke depan─mungkin helai-helai rambut Romero lebih menarik ketimbang penampilan Della. Seolah kehadiran gadis itu seperti acar di nasi goreng.

Ada dan tiada, tidak ada bedanya.

Habis-habisan Della meredam kekesalannya. Mungkin sekarang Antonio mulai menyesali keputusannya untuk meminta Della kembali.

Della baru bisa bernapas lega saat fotografer menyingkirkan empat lelaki bersetelan biru gelap itu. Hingga sesi foto selesai, indra penglihatannya masih bisa menangkap kehadiran Miguel, Manuel, dan Romero di ruangan itu. Tetapi tidak dengan Antonio.

Sepasang netranya mengerling. Ke mana lelaki itu?

Ah, sudahlah. Untuk apa ia peduli? Mungkin saja lelaki bermata abu-abu itu sudah benar-benar terbenam di dasar neraka. Menjadi iblis paling seksi di sana. Dalam hati, Della terkikik pada pujian dalam umpatan itu.

Della hendak kembali bergabung dengan teman-teman SMA-nya saat ponsel dalam tas tangannya bergetar.

Sebuah pesan datang dari 'Beer Hug'.
***

Pesta pernikahan Allenia Alvarez menjadi ajang reuni bagi teman-teman sekolahnya yang hadir. Dalam sekejap, mulai terdengar dengung percakapan penuh nostalgia. Della pasti menyesal kalau tidak datang hari ini.

Setelah menemukan waktu yang tepat, Della menyelinap keluar dari kerumunan. Ada seseorang yang menyadari gelagatnya. Gadis itu menyikut perlahan lengannya.

Andrea. Della mendebas lega. Syukurlah, bukan Neysa yang penuh rasa ingin tahu.

"Mau ke mana?" tanya gadis tomboi itu.

Della enggan menjawab. Ia hanya menyunggingkan senyum lalu cepat-cepat pergi dari sana.

Sesuai instruksi yang diberi Antonio, Della keluar melalui pintu berkaca sebelah barat. Kemudian ia melangkah pada jalan setapak yang dibentuk dari batu-batu pipih. Di sisi kanan dan kiri ada lampu jalan yang cantik. Della bisa membayangkan betapa indah pemandangan di sini ketika malam.

Jalan setapak itu berujung pada sebuah naungan yang disangga empat batang kayu. Bukan genting yang melapisi atapnya, melainkan pohon anggur. Tanaman merambat itu tumbuh dengan cara yang anggun. Sekumpulan anggur ungu yang berkilap meruntai seperti ornamen pohon natal.

Di bawah naungan itu ada meja kecil yang dilapisi taplak satin abu-abu. Della melangkah lebih dekat. Di atas meja itu terdapat buket lobularia. Bunga kesukaannya.

Della bisa merasakan seseorang menyeringai di dekatnya. Jenis senyuman puas atas reaksi Della melihat keindahan di depannya. Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu itu siapa.

Antonio mendekat dan mengambil buket bunga dari atas meja. Ada kebahagiaan terpancar di sepasang netranya. Ia menghidu sekumpulan lobularia itu sebelum memberikannya pada Della.

"Untukmu."

"Terima kasih." Della mendekatkan bunga ke hidung demi menghirup wangi yang manis.

"Aku senang kau menyukai ini," ujar Antonio penuh percaya diri.

"Aku tidak bilang begitu," sahut Della berpura-pura ketus.

Antonio hanya melengkungkan bibir penuh makna. Kedua matanya menatap intens pada Della.

Salah tingkah, Della melipat kedua tangan di depan dada. "Memangnya ada apa?"

"Aku hanya sedang ingin memonopolimu dari reuni dengan para lelaki dari masa remajamu."

"Kenapa?" Kedua mata Della terpicing. "Cemburu, ya?"

Salah satu sudut bibir Antonio terangkat, sengaja tidak menjawab tuduhan Della. "Aku justru senang bisa melihatmu. Pasti dulu kau cukup populer."

"Mungkin." Della mengangkat bahu. "Tapi kurasa Nina, maksudku Allenia jauh lebih populer. Kau tahu julukannya? High School Princess."

Antonio terkekeh singkat. "Jadi, kapan kau bersedia menerimaku kembali?"

Della mengangkat telapak tangannya yang terbuka. "Sabar di sana, lelaki tampan. Aku masih punya tiket emas yang belum kugunakan."

"Kalau begitu, cepat katakan saja keinginanmu."

"Apa kau memaksa?"

"Tidak. Aku hanya menyarankan untuk kebaikanmu."

Della mengeluarkan tiket emas itu dari tas pestanya. "Aku ingin kau yang menggunakan ini," ujarnya sambil menyerahkan lembaran itu kepada Antonio.

Alis Antonio terangkat. "Untuk apa?"

"Itu tiket emas di mana permintaan tidak boleh ditolak, kan?"

"Ya."

"Jadi, kau bisa menggunakan itu untuk memintaku, hem, misalnya yang berkaitan dengan gaun dan cincin." Della mengusap-usap dagu sambil melempar pandangan ke lantai. "Bagaimana, ya, aku mengatakan ini?" gumamnya pada diri sendiri.

"Kalau kuminta kau untuk meninggalkanku, apa itu berarti kau akan mengabulkannya?"

Della mengangkat wajah. Kedua tangannya terhempas ke sisi tubuhnya. Pandangan mereka beradu. Ia mencari keseriusan pada sepasang netra berwarna abu-abu itu. "Ayolah, kurasa kau lebih pintar dari ini."

Bibir Antonio berkedut karena senyum tertahan.  "Karena menurutku, kalau untuk pertanyaan yang itu, aku tidak butuh tiket ini untuk mendapat kawaban 'iya'."

"Wah, wah." Della memasang raut tersinggung. Kedua tangannya jatuh ke sisi tubuhnya. "Percaya diri sekali."

"Tentu saja." Antonio merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak beledu berwarna abu-abu ke hadapan Della. Ada frasa 'fourgive me' tercetak timbul di permukaannya. "Apalagi kalau aku membawa ini."

Bola mata Della nyaris menggelinding keluar. Kotak itu terbuka untuknya. Sebuah cincin dengan berlian berbentuk persegi berkilau tertimpa cahaya. Namun dengan cepat ia mengusai diri. Jangan sampai tampak terlalu antusias. Ia mendengkus sambil berusaha membuat senyum dan lirikannya tampak sinis. "Kau mau membuatku terlihat seperti perempuan materialistis?"

Antonio menggeleng ringan. "Kau pantas mendapat yang terbaik."

"Tapi ini pernikahan adikmu."

Antonio mengernyit.

"Kau tidak mau memilih hari lain sebagai hari istimewa kita?"

Antonio menyimpan kembali kotak itu. "Baiklah. Aku akan memilih hari untuk kita."

"Kalau begitu," Della mengerucutkan bibir sambil menganggut-anggut. "Aku akan mempertimbangkan jawabanku sampai hari itu tiba."

"Tapi kurasa, aku sudah bisa menebak dengan tepat apa jawabanmu."

Della tertawa kecil. "Jangan sok pintar."


Unlock Your Heart XVII: Reception (1)


Antonio menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruang rapat. Ia keluar dari ruangan besar itu dengan langkah lebar. Tanpa menduga bahwa Della sedang menunggunya di koridor.

"Selamat siang, Pak," sapa Della dengan gaya formal yang dibuat-buat.

Alis Antonio terangkat. "Siang."

"Boleh saya rapikan dasi Anda, Pak?"

Della langsung bergerak maju setelah mendapat anggukan dari Antonio.

"Permainan apa lagi ini?" Antonio menatap turun pada mantan sekretarisnya itu. "Kau sengaja mencari kesempatan untuk menggodaku, ya?"

Della hanya menjawab dengan senyum forma yang tidak menyentuh matanya. Perhatiannya pagi ini merupakan hadiah atas keberanian Antonio untuk mengunjungi makam ibu dan mantan calon istrinya.

"Dengan jarak seperti ini, aku bisa saja menciu─uhuk!" Spontan, Antonio menepuk-nepuk punggung tangan Della.

Tanpa menurunkan senyumnya, Della melonggarkan jeratan dasi agar Antonio bisa bernapas lega. "Selesai," ujarnya sambil mundur dua langkah. "Lain kali, jaga sikap saat leher Anda berada di tangan orang lain."

"Kau senang sekali mengerjaiku."

"Makan siang sudah saya titipkan pada sekretaris Anda. Selamat menikmati."

"Bagaimana dengan makan malamnya?" tanya Antonio untuk mencegah Della berpaling darinya.

Della memiringkan kepala, berlagak bingung. "Anda bisa memesan di salah satu restoran."

"Apa kau tidak berencana makan malam bersamaku?"

Della mengerucutkan bibir. "Entahlah. Saya tidak bisa berjanji. Tergantung apakah bos saya memberi tambahan pekerjaan atau tidak," ujarnya lantas berbalik meninggalkan Antonio yang menggeleng-gelengkan kepala heran.
***

"Della, bisa tolong lihat bagian ini?" tanya Rachel sambil mengklik sesuatu di layarnya. Dalam sekejap, draf berkas yang sama muncul di layar Della. "Sepertinya ada yang perlu kita diskusikan lagi dengan bagian perencanaan."

Della menganggut-anggut lalu menanyakan beberapa hal lain yang kurang ia pahami. Ada beberapa poin lain yang ganjil dan perlu dikoreksi ulang. "Kalau begitu, biar saya yang menangakan terkait SOP-nya, Bu Rachel."

Tepat saat itu, tiba-tiba pintu ruang General Manager dibuka tanpa peringatan.

"Mammieeeeeellll!"

"Hei, anak nakal! Apa yang kau lakukan di sini?" gerutu Rachel sambil mengulum senyum. Ia bangkit dari balik meja demi menyambut pelukan anak bungsunya.

Della yang sudah selesai dengan dokumen-dokumennya ikut beranjak dari kursinya. Mengabaikan kunjungan mendadak dari Miguel. "Bu Rachel, saya permisi dulu."

"Kau masih marah, ya?" cegat Miguel menghadang jalan Della.

Sekuat tenaga Della menahan keinginannya untuk memukul kepala Miguel dengan gulungan map. Hingga bibirnya melengkungkan senyum canggung. "Untuk apa aku marah?"

"Karena makan malam itu," jawab Miguel cepat. "Sudah kukatakan, aku di bawah tekanan. Nino yang memaksa untuk menggantikanku. Asal kau tahu, aku menunggu-nunggu makan malam itu."

"Sudah. Tidak apa-apa."

"Bagaimana caraku menebusnya?"

"Kalian pergi makan siang saja sekarang."

Itu bukan suara Della, bukan juga suara Miguel. Melainkan suara Rachel.

"Eh? Tapi, Bu─"

"Tidak apa. Biar aku yang urus dokumen-dokumen itu," potong Rachel sambil mengibaskan tangannya. "Kalian berdua pergi saja."

Miguel langsung memeluk dan mengecup pipi ibunya penuh suka cita. Ia tahu Della akan kesulitan menolak permintaan Rachel. "Terima kasih, Mammiel. Nanti kubawakan oleh-oleh."
***

"Kau ini benar-benar licik," geram Della sambil melipat tangan ke depan dada.

"Kenapa kau mengatakan hal jahat seperti itu?" tanya Miguel sambil menekan tombol lift.

"Kau sengaja, kan, bicara seperti itu tadi supaya Bu Rachel menyuruh kita pergi makan siang?"

"Della! Della! Tunggu!"

Serentak, Della dan Miguel menoleh pada Allenia yang setengah berlari ke arah mereka. Apa yang terjadi sampai membuat gadis itu kehilangan sikap tenangnya?

"Apa ada masalah dengan bekal makan siang Pak Antonio?"

Allenia menggeleng-geleng sambil mengatur napas sementara Miguel justru tertarik dengan ucapan Della.

"Kau membuatkan bekal untuk Nino? Kapan kau buatkan untukku?"

Allenia mencengkeram kerah jas Miguel, seolah seluruh hidupnya bergantung pada benda itu. "Tolong... antar... aku."
***

"Kami mohon maaf. Tapi kalau mencetak ulang dengan jumlah sebanyak itu dalam dua hari, kami tidak menyanggupi."

"Mana tanggung jawab kalian?" Allenia meradang. "Kalian tahu, temanku ini pengacara," pungkasnya sambil mengarahkan ibu jarinya ke samping.

Merasa ditunjuk, Miguel menegakkan posisi duduknya. Jelas sekali, ia membubuhkan sedikit wibawa dan kebanggaan di sana.

"Nama calon suamiku itu 'Oliver', bukan 'organ dalam penghasil empedu'," tutur Allenia sambil menunjuk undangan di atas meja. Udara yang berembus dari pendingin ruangan tampaknya tidak sanggup menyejukkan emosi gadis itu. "Dan namaku itu 'Allenia', bedakan dengan 'paragraf'!"

Lembut, Della menyentuh lutut Allenia. Tanpa kata-kata, ia meminta gadis itu untuk tenang. Sang calon pengantin itu memang tidak membentak atau meninggikan intonasi, tetapi nada bicaranya tajam dan mengisyaratkan kekesalan tingkat neraka. Bagaimana tidak? Undangan yang harus disebar dua hari lagi malah bermasalah.

"Berapa yang sanggup kalian cetak dalam dua hari?"

"Hem... sekitar 100."

Della memicingkan mata sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Itu sudah maksimal?"

Kedua  staf itu saling berpandangan. "Kami bisa mengusahakan sampai 250."

"Baiklah," sahut Della yang mengundang tatapan protes dari Allenia. "Untuk mengganti sisanya, tolong buatkan undangan digital berupa video animasi. Besok kami akan datang kembali ke sini untuk memeriksa hasilnya."

"Ah, kalau untuk itu... kami harus bertanya dulu dengan animatornya."

"Silakan bertanya, kami akan menunggu di sini."

Salah seorang staf berseragam beige itu meninggalkan ruangan dengan tergesa.

"Dan untuk itu, kami juga meminta soft copy undangan. Siapa tahu ada percetakan lain yang sanggup menyelesaikan sisanya."

"Eh, kalau itu─"

"Jam berapa Manager kalian kembali dari makan siang?" Miguel yang sejak tadi diam, mendadak bersuara.

Staf itu menelan ludah, mau tidak mau menuruti permintaan Della.
***

"Della, terima kasih, ya."

Sejak mereka meninggalkan kantor percetakan tadi, Allenia berulang kali mengucapkan kalimat itu. Seakan-akan ia adalah robot yang sudah diatur dari pabriknya. Bahkan ketika mereka bertiga makan siang hingga Miguel mengantar mereka kembali ke kantor, gadis itu masih belum bosan dengan dialog yang sama.

"Iya. Sampai kapan kau mau mengatakan itu?"

Allenia terkikik bersamaan dengan pintu lift yang menutup di belakang mereka. Gadis bersetelan hijau pupus itu melenggang kembali ke ruang sekretaris, meninggalkan Della yang menghela napas panjang. Sebaiknya, ia juga segera kembali ke ruangannya. Ada banyak pekerjaan yang menunggu.

"Sepertinya kau baru saja membuat adikku senang."

Della mengangkat bahu pada kemunculan Antonio yang tiba-tiba. "Mungkin."

"Kebetulan sekali aku sudah menyiapkan hadiah untukmu."

Della mengerling demi menemukan seringai di bibir Antonio.

"Makan malam denganku."
***

"Tempat yang bagus," ujar Della sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pada akhirnya, ia tidak bisa menolak 'hadiah' dari Antonio. Begitu segala urusan di kantor selesai, lelaki itu langsung menjemput Della di ruangannya.

"Kau suka?"

Della mengerucutkan bibir dengan gaya menyebalkan. "Lumayan."

"Sepertinya mulutmu sedang kesulitan mengungkap pujian, ya?"

Della hanya mengangkat bahu. "Lalu bagaimana dengan gadis itu?"

"Siapa?"

"Apa dia lenyap begitu saja dari hubungan kita?"

Antonio tersenyum saat mengerti siapa yang dimaksud oleh Della. "Emery menitip salam untukmu."

Salah satu alis Della terangkat.

"Dia seorang Psikolog, kau tahu?" ucap Antonio membuat alis Della kini berkerut. "Dia mendengarkan ceritaku, memberiku beberapa jenis terapi hingga akhirnya aku lepas dari bayang-bayang Nadira."

"Jadi, kau sudah melupakan Nadira?"

Antonio menggeleng. "Seperti katamu, Nadira tetap berada di salah satu sisi hatiku. Dalam kotak berlabel kenangan."

"Wah," desah Della dengan gaya sarkastik alih-alih kagum. Ia juga menepukkan kedua telapak tangannya tanpa suara. "Terima kasih pada Emery."

"Terima kasih padamu," ralat Antonio sambil mengusap punggung tangan Della. "Kau yang membuka hatiku yang terkunci. Lalu kunci itu hilang. Dan Emery yang membantuku untuk menemukannya."

Perlahan, Della menarik tangan dari sentuhan Antonio lalu berdeham. Ia harus mengalihkan perhatian karena kedua pipinya mulai terasa hangat.

"Aku mau menggunakan tiket perak ini."

"Apa permintaanmu?"

"Hadirlah di pernikahan adikmu."
***

Rabu, 03 Agustus 2016

Unlock Your Heart XVI: Repetition (2)


"Aku menyesal sempat berpikir bahwa kau manis karena merencanakan kencan ke Fairy Dreamland," ucap Antonio lantas mengembuskan napas yang dibebani sesal.

Dengan raut tidak bersalah, Della tersenyum riang. "Bukankah sangat manis kencan dengan menaiki wahana bersama?"

"Ya. Tapi bukan wahana seperti ini─"

Kalimat Antonio terputus dan langsung disambung teriakan menggelegar yang terpantul ke langit karena roller coaster yang mereka naiki tiba-tiba menukik turun. Sementara Della yang duduk di sampingnya malah terbahak sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menikmati kebebasan. Saat Antonio memejamkan mata, gadis itu malah berteriak seru karena jalur rel yang semakin menanjak lalu meliuk seolah melemparkan jantung mereka ke angkasa.

Setelah sembilan puluh detik terlama dalam hidup Antonio sudah berakhir, tetapi ia masih bisa merasakan lonjakan yang mengguncang seluruh organnya. Beruntung, Della mau berbaik hati membimbingnya ke kursi terdekat dan memberi sebotol air mineral.

Tawa kecil tertahan dari Della terdengar menyebalkan di telinga Antonio. "Seharusnya kau tidak perlu menyewa tempat ini secara khusus."

Antonio melirik tajam bersamaan dengan tetes air terakhir menyentuh tenggorokannya. "Kau pasti senang mempermalukanku."

"Bukan begitu. Hanya saja, setiap kali kau berteriak panik, itu membuatmu terdengar lebih... manusia."

"Lalu selama ini kau kira aku apa? Vampir?"

Della mengangkat pundak. "Entahlah. Mungkin dewa dengan ketampanan abadi atau robot pekerja keras yang tidak akan menua. Tapi melihatmu begini, kau tampak lebih hidup."

"Aku tidak mau hidup abadi kalau harus merasakan kehilangan," gumam Antonio sambil menatap pada puncak trek roller coaster yang tadi mereka naiki. Sebelum suasana berubah melankoli, cepat-cepat ia mengalihkan pandangan pada Della. "Selanjutnya kau mau naik apa? Karosel?"

"Membosankan."

"Istana hantu?"

Samar, raut wajah Della mengernyit ngeri selama sedetik. "Membosankan."

Antonio bisa melihat perubahan ekspresi itu dengan jelas walaupun Della berusaha menyembunyikannya. Tanpa menunggu lagi, ia meraih pergelangan tangan Della dengan keputusan bulat. "Kita ke istana hantu."
***

"Sampai kapan kau mau memeluk lenganku seperti itu?"

Tergeragap, Della melepas belitan lengannya pada Antonio lalu membuka matanya yang terpejam. "Oh, akhirnya kita keluar juga," ujar Della berlagak tenang. "Di dalam sangat gelap. Apa wahana ini sering menunggak tagihan listrik?"

"Memang sulit, ya, mengakui bahwa kau juga punya rasa takut."

"Kau sendiri, kenapa pura-pura berani?" balas Della menolak kalah.

"Aku memang tidak takut. Justru selama bertahun-tahun, aku berharap semoga makhluk seperti itu memang ada. Supaya aku tetap bisa berkomunikasi dengan─"

"Ibumu dan Nadira." Della menyelesaikan kalimat Antonio. "Tapi aku ke sini bukan untuk mengenang masa lalu."

"Aku tahu."

Keheningan mendesak masuk di antara mereka selama beberapa jenak.

"Omong-omong, kau punya berapa pakaian dengan tulisan seperti itu?" tanya Della seraya menunjuk dada kiri Antonio. Di atas polo shirt lelaki itu tercetak frasa 'fourgive me', seolah itu adalah merek pakaian tersebut. Serupa hoodie hitam yang dikenakannya tempo hari.

"Sebanyak yang kau mau," jawab Antonio bangga. "Aku tinggal memesannya. Seperti ketika kau memintaku untuk mengenakan warna biru muda untuk kencan kita hari ini."

Della hanya ternganga, tidak bisa berkata-kata.

"Mungkin bagimu tampak sepele, tapi ini caraku untuk menunjukkan bahwa aku sungguh-sungguh menyesal."

"Bukan begitu caranya menunjukkan penyesalan."

Kening Antonio berkerut. "Lantas?"

Senyum jail terbit di wajah Della. "Temani aku naik karosel dengan kecepatan seratus kilometer per jam."

Ekspresi Antonio berubah mual. "Isi perutmu akan tumpah sebelum benda itu berhenti berputar."

"Tidak apa-apa." Della tergelak karena wajah Antonio semakin ngeri. "Asal aku selalu berpegangan padamu."

Senyum miring yang menyebalkan kini muncul di bibir Antonio. Lelaki itu merunduk hingga wajahnya berhadapan dengan Della. "Aku akan mengizinkanmu berpegangan padaku, kalau hari ini kau kembali ke sisiku."

Semburat kemerahan menyebar cepat di kedua pipi Della. Ia mengulurkan tangan untuk menjadi penghalang di antara mereka. "Tidak semudah itu. Aku masih punya tiga tiket lagi sebelum mengambil keputusan," ucap Della dari balik punggung tangannya.

Setelah berkata begitu, Della berbalik dengan cepat dan menjauhi Antonio. Bahkan ia tidak sempat mencuri pandang pada wajah tampan itu.

Antonio yang tertinggal di depan pintu keluar Istana Hantu menegakkan tubuh sambil terkikik geli. Lalu, ia berjalan mengikuti Della sambil memandangi punggung gadis itu dengan raut bahagia.
***

"Selamat pagi."

Tersentak, Allenia langsung bangkit dari kursi putarnya. Bahkan ujung kukunya nyaris patah terbentur tuts papan tik begitu mengenali siapa yang berkunjung ke kubikel kerjanya hari ini.

"Kau kembali?" tanya Allenia tidak percaya bisa kembali melihat Della dalam setelan formal.

Della mengangguk tersenyum sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Jadi, kakakku berhasil meluluhkanmu lagi?"

"Tidak juga." Della mengangkat pundak. "Aku setuju kembali bekerja. Tapi kalau untuk kembali ke sisinya, itu nanti dulu."

"Jadi kau sedang bermain hard-to-get?"

Della hanya menjawab dengan kekehan kecil. "Oh, ya, ini untukmu. Maaf atas sikap menyebalkanku waktu itu."

"Seharusnya kau tidak perlu repot-repot," ujar Allenia seraya melongok ke dalam kantung yang berisi kotak putih persegi panjang dengan nama toko bertinta emas. "Ini kue?"

Della mengangguk. "Bolu gulung stroberi. Entah kenapa saat melihat permukaan lembut yang dilapisi krim putih, parutan keju, dan potongan stroberi segar membuatku langsung teringat pada calon pengantin."

Allenia tersenyum redut. "Seharusnya kau memberiku bridal eyeshadow palette dari Avrodiz. Bukannya bolu gulung Cakewalkers. Aku punya tugas menjaga berat badan agar ukuran gaunku tidak bertambah."

"Mempersiapkan pernikahan juga memerlukan banyak energi. Jangan sampai kau terlalu kurus."

"Ya, ya. Terserah kau saja."

"Seharusnya kau bilang 'terima kasih'."

"Ya, oke. Terima kasih."

"Terdengar tidak ikhlas. Tapi tidak apa-apa," ucap Della sambil tersenyum maklum. "Omong-omong, hari ini jam berapa saja jadwal kakakmu kosong?"

Allenia membungkuk pada layar komputer sambil menggeser tetikus. "Setelah rapat jam sepuluh, jadwalnya kosong sampai jam makan siang. Kenapa?"

"Aku mau mengajaknya ke suatu tempat."

"Kurasa, kencan sebaiknya dilakukan di akhir pekan."

Della menggeleng. "Aku tidak mau bermain hard-to-get terlalu lama."
***

Della memandangi kedua tangan Antonio yang mencengkeram kuat roda kemudi. Ia tahu, lelaki itu sedang berusaha menyembunyikan gemetar yang melanda sekujur tubuhnya.

"Kalau kau tidak siap, kita bisa pergi ke tempat lain," saran Della memecah keheningan. Mesin mobil sudah dimatikan sejak kendaraan itu berhenti di bahu jalan. "Di tiket perunggu ini tertulis bahwa kau boleh menolak dan menyarankan permintaan lain."

Antonio menyandarkan tengkuknya ke jok mobil, lalu menggeleng. "Beri aku waktu. Sebentar lagi."

Della mengerti dan memutuskan untuk ikut berdiam diri. Ia melempar tatapan pada gapura bertuliskan 'Svarga Memorial Park and Funeral Home' yang berada di seberang jalan. Di sanalah tujuan mereka. Tempat Vanesha Alvarez dan Nadira di makamkan.

Tadi, Antonio memang terkejut ketika Della mengutarakan permintaan keduanya. Dengan cepat, ia mengendalikan diri. Bahkan, dengan penuh kesadaran menyetir untuk datang ke tempat ini. Ia berharap seiring waktu berjalan dan jarak yang terkikis, keberaniannya akan terbit.

Nyatanya, memori akan kehilangan justru merayapi punggungnya dengan beban.

"Boleh aku tahu alasanmu?" tanya Antonio setelah beberapa waktu tidak ada suara di antara mereka. "Bukankah kau membenci Nadira?"

Della menoleh pada Antonio. "Aku tidak membencinya. Bagaimanapun, Nadira adalah seseorang yang berharga untukmu. Begitu juga dengan ibumu. Sampai kapan pun, mereka selalu punya tempat istimewa di  hatimu. Dalam kotak berlabel kenangan."

"Apa kau tidak takut aku akan terjebak masa lalu?"

Della menggeleng yakin. "Masa lalu akan selalu berada di belakangmu. Tidak perlu dihapus. Kau hanya perlu menerimanya."

Antonio kembali terdiam, meresapi kata-kata Della.

"Tapi, seperti yang tadi kubilang, kau boleh menolak. Kita bisa datang lagi saat kau siap," tambah Della. "Tiket ini bukan lampu ajaib dan kau bukan jin pengabul keinginan."

Seolah mencari kekuatan tambahan, Antonio meremas dasinya. Kain yang tergantung di kalarnya itu memiliki motif garis-garis. Tetapi kalau dilihat lebih saksama, garis-garis itu sebenernya merupakan barisan frasa 'fourgive me'. Dengan tekad bulat, Antonio menyalakan  mesin. Ia menggerakkan persneling lalu menginjak gas.

Begitu mobil kembali bergerak, Della tersenyum seperti ibu yang bangga melihat anaknya bisa mengendarai sepeda tanpa terjatuh. Ia dan dua buket bunga di pangkuannya tahu bahwa Antonio mampu mengatasi ketakutannya.
***

Unlock Your Heart XVI: Repetition (1)


Perlahan, Della menolehkan kepala. Tetapi ia tidak bisa langsung menemukan orang yang dimaksud Neysa.

"Dia yang memakai kemeja biru dongker. Namanya Ibel. Hampir seluruh perempuan di sini jatuh hati padanya. Karena selain tampan, dia juga ramah dan pekerja keras. Tapi yang kudengar, katanya dia sudah punya pacar."

Alis Della menegak saat mendapati sosok itu. Satu-satunya lelaki yang tidak menggulung lengan kemejanya hingga siku di antara gerombolan karyawan yang tengah menikmati istirahat siang. Penampilannya juga tampak rapi dengan kemeja dan celana yang seolah baru saja disetrika. Rambutnya disisir rapi dan dagunya licin tanpa jerawat maupun bakal janggut yang membayang.

Della juga pernah mengenal seorang lelaki yang selalu berpenampilan rapi dengan setelan jasnya. Pakaiannya tidak pernah kusut walaupun dikenakan sehari penuh. Aroma tubuhnya selalu wangi dan tentu saja ia seorang pekerja keras.

Tunggu sebentar. Sejak kapan ia mulai membandingkan orang seperti ini?

Ketika kening Della mulai mengernyit tidak nyaman, Neysa sudah menunjuk karyawan lain yang diklasifikasikan sebagai lelaki tampan. Untuk menghargai kebaikan sahabatnya, Della membuka mata lebar-lebar untuk memerhatikan sekelilingnya.

Tetapi... di mana para lelaki tampan yang dimaksud Neysa? Walaupun Neysa  menjelaskan seolah sedang menunjukkan ginseng berkualitas super, yang dilihat Della hanyalah jahe yang bisa ia temui di pasar mana pun. Tidak ada yang istimewa. Sehingga lidahnya kesulitan untuk mengungkapkan persetujuan.

"Tapi dari semua lelaki tampan di kantor ini, tentu saja tidak bisa mengalahkan ketampanan Pak Archie."

"Oh, ya?"

Kelopak mata Neysa memicing curiga. "Aneh sekali. Seharusnya, kau sudah bertemu dengannya. Lagi pula, tadi aku melihat beliau masuk ke ruang interviu mengenakan setelan jas warna terakota dan dasi abu-abu atau perak."

Sosok lelaki yang tadi duduk di tengah dan berhadapan langsung dengannya muncul dalam benak Della begitu mendengar deskripsi Neysa. "Ah, yang itu. Tadi dia mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup sulit menurutku."

Tatapan Neysa semakin menyipit, pertanda ia sedang tidak tertarik membahas pertanyaan yang dimaksud Della. "Sekarang, kau yang aneh. Apa radar-lelaki-tampan milikmu sedang tidak berfungsi? Jelas-jelas, kau harus segera berkenalan dengan lelaki tampan yang berpotensi menjadi kekasihmu."

Della menggeleng dengan kuat saatwajah Antonio yang sedang tersenyum muncul kembali di benaknya. "Entahlah. Bukan tidak menghargai tawaranmu, tapi aku tidak tertarik."

"Astaga. Kau sudah sakit parah rupanya." Neysa menutupkan tangan ke mulut dengan gaya dramatis. Lalu ia memanjangkan tangan untuk menepuk bahu Della. "Biar dokter Neysa mengobatimu."

Della meringis tidak nyaman. "Tapi aku sedang tidak ingin belanja─"

"Siapa bilang kita akan belanja? Pengobatanmu harus dilakukan dengan bantuan alam."
***

Di bawah langit Minggu pagi yang cerah, Della dan Neysa berdiri di dalam barisan bersama tiga puluh orang lainnya. Mereka berdiri di depan sebuah lahan seluas lapangan basket dengan penampilan serupa. Overal yang melapisi kaus lengan panjang, topi ber-visor lebar, sarung tangan karet, dan sepatu bot. Masing-masing orang dibekali perlatan berupa garpu tanah, sekop, sudip, dan gembor dengan ukuran yang mudah digenggam satu tangan.

Binar semangat meletup-letup di raut wajah Della. Kontras dengan Neysa di sampingnya yang sibuk mengipaskan tangan ke wajah yang mulai basah karena keringat. Heran, padahal justru gadis itu yang menyarankan kegiatan ini sebagai sarana penyembuh patah hati Della. Sekarang ekspresinya malah seperti ingin cepat-cepat pulang.

Seorang wanita berusia setengah abad dengan usia semangat tiga puluh tahun lebih muda menjelaskan rincian kegiatan kelompok berkebun hari ini. Setelah kata-kata pendahuluan diakhiri dengan salam, peluit ditiup sebagai aba-aba untuk menuju lahan yang sudah disediakan. Dengan mudah, Della menemukan papan kayu bertuliskan namanya tepat di dekat sudut siku-siku yang dibentuk pagar pembatas.

Della lantas berjongkok dan mulai menggaruk tanah menggunakan garpu. Dalam sekejap, ia sudah tenggelam dalam kegiatan barunya. Pergi bersenang-senang dengan Neysa, mengikis permukaan kesedihan yang mengeras karena ia menyendiri di flatnya. Menghabiskan waktu dengan haiking berhasil menumpahkan isi bejana kekecewaannya. Dan sisa kerak penyesalannya akan ia ubah menjadi energi untuk mengantar bibit kehidupan baru ke dalam tanah yang dipijaknya.

Ketika Della mulai mengeduk ke dalaman satu inci, tiba-tiba ujung sekop yang dipegangnya membentur sesuatu yang keras. Ia mencungkil benda seperti batu itu dengan ujung sekop tetapi tidak berhasil.

"Butuh bantuan?"

Suara perlahan yang muncul dari sampingnya secara tiba-tiba itu otomatis membuat Della berteriak kaget. Ia sukses terjungkal setelah mengenali siapa yang dilihatnya.

Dengan sigap, sosok berbahu lebar dan berdada kekar itu membantu Della untuk berdiri. Sambil menepuk-nepuk overalnya yang terkena noda tanah, Della melirik sedikit demi melihat ukiran sempurna bak patung dewa Yunani di bawah bayang-bayang topi bisbol. Alis, hidung, bibir, dan terutama sepasang netra abu-abu yang membuat para ahli bahasa harus menemukan kosakata baru untuk menggambarkan keindahan parasnya.

Della sadar, ini bukan saatnya untuk kagum. Setampan apa pun Antonio, lelaki itu tetap saja sudah mematahkan hatinya. Tidak hanya menjadi dua, melainkan berkeping-keping hingga ia tidak bisa lagi melihat bentuknya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Antonio sambil melongokkan wajah khawatir. Lelaki itu baru saja membersihkan bagian punggung dan siku Della.

"Pertanyaan macam apa itu?" balas Della dengan sinis.

Antonio mengernyit lalu mengusap tengkuk yang digelayuti perasaan bersalah. "Maaf sudah membuatmu kaget."

Della mendelik. Untuk apa lelaki itu meminta maaf pada kesalahan kecil sementara ada sesuatu yang lebih besar terjadi di antara mereka? "Ah," geram Della sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Sepertinya aku benar-benar kehilangan selera humorku. Tolong beri tahu aku kalau sudah waktunya untuk tertawa."

"Aku tidak sedang bercanda."

"Sudah kubilang, jangan ganggu aku lagi," ucap Della setengah hati sambil kembali berjongkok dan meraih sekop mininya.

Antonio ikut berjongkok di samping Della yang kini sibuk menyingkirkan penghalang di tempat ia akan menanam.

"Sebaiknya, kau pergi sebelum ada yang mengusirmu. Ini area khusus wanita," ujar Della jengah karena Antonio hanya terus memandanginya tanpa mengucapkan apa-apa.

"Tidak akan ada yang mengusir penggagas kegiatan ini." Nada angkuh dan tegas selalu melekat di setiap kalimat lelaki itu, walaupun ia tidak bermaksud begitu.

Leher Della berputar cepat. "Kau merencanakan semua permainan licik ini?"

Antonio menggeleng. "Kurasa ini lebih mirip strategi bisnis yang saling menguntungan antara para karyawan yang menginginkan akhir pekan di tempat perawatan kecantikan." Ia menunjuk gerombolan perempuan yang berlagak sibuk dengan kegiatan berkebun.

Della memicingkan mata. Ketika ia membayangkan overal dan kaus lengan panjang sebagai seragam hari ini berganti menjadi setelan formal, wajah-wajah itu berangsur terasa familier. Wanita yang menjadi pengarah acara hari ini sepertinya salah satu ketua divisi yang sering ia temui saat rapat.

Telunjuk Antonio berpindah pada Neysa yang sedang mengaduk-aduk tanah dengan serampangan, beberapa petak di depan. "Perempuan yang menginginkan sepasang Stevany edisi terbatas."

Sial. Neysa sampai berpihak pada Antonio hanya demi sepasang sepatu? Della benar-benar merasa dikhianati.

Terakhir, telunjuk Antonio menjuju pada dirinya sendiri. "Dan lelaki yang ingin mendapatkan cintanya kembali."

"Kau tidak akan mendapat apa pun," gumam Della ketus sambil sekuat tenaga menarik batu yang sejak tadi mengganjal itu. Entah karena kekesalan yang menggumpal atau apa, ia jadi memiliki tenaga tambahan hingga berhasil mengeluarkan benda keras yang  terbungkus plastik hitam itu.

"Bukalah," ucap Antonio cepat-cepat saat menyadari gelagat Della yang hendak melempar benda itu jauh-jauh.

Kernyitan curiga muncul di kening Della. Tetapi entah mengapa, ia menurut saja. Bagaimana kalau isinya petasan? Atau mungkin granat? Brutal, Della merobek plastik itu sebelum kraniumnya meledak karena spekulasi.

Sebuah kotak cincin abu-abu berbahan beledu berada di balik plastik. Della menoleh pada Antonio yang langsung mengangguk sebagai isyarat agar gadis itu membuka kotak yang dipegangnya. Begitu dibuka, kernyitan di kening Della malah semakin dalam.

Tidak ada apa pun di dalam kotak itu.

"Kosong," ucap Antonio lalu membuang napas seolah sedang melepas beban. "Seperti itulah perasaanku setelah berpisah denganmu."

"Ha, jangan memutar balikkan fakta." Della menarik tangan Antonio dan menyelingkit kotak cincin ke genggaman lelaki itu. "Kau yang meninggalkan aku."

Dengan lembut, Antonio mencengkeram pergelangan tangan Della untuk menarik gadis itu berdiri berhadapan dengannya. "Untuk itulah aku meminta maaf," ucapnya sambil menunjuk tulisan 'fourgive me' di hoodie-nya.

Della menarik tangannya dan tersenyum miring. "Aku hampir tersentuh. Tapi ternyata kau membuat tulisan itu dengan setengah hati."

Antonio menggeleng, lantas menampilkan senyum pongah seolah ia sudah menduga dengan tepat apa yang akan diucapkan Della. "Aku memang sengaja menyisipkan huruf U berwarna abu-abu di antara huruf lain yang berwarna putih. Mana mungkin orang dengan kemampuan berbahasa sepertiku melakukan kesalahan konyol seperti ini." Antonio berdecak-decak heran. "Ini pesan tersembunyi."

Della melipat tangan di depan dada, menunggu.

"Four tickets and forgive me." Antonio mengeluarkan empat kertas persegi panjang yang mirip tiket film dengan warna-warna berbeda. Tembaga, perunggu, perak, dan emas. "Aku memberimu empat tiket istimewa ini. Kau bisa meminta apa pun dariku, asal itu bisa menjadi bahan pertimbangan bagimu untuk kembali ke sisiku."

Della memandangi keempat tiket yang kini berada di tangannya. Benaknya berputar cepat. "Apa pun?"

Antonio mengangguk. "Semakin tinggi tingkatan tiket yang kau pilih, semakin aku tidak boleh menolak. Jadi, gunakan dengan bijak."

Della menyelipkan bibir diantara giginya selama ia berpikir. "Aku mau menggunakan tiket tembaga," putusnya kemudian. "Untuk kencan yang tidak terlupakan."

Antonio menelan ludah saat menyimpan tiket pertama kembali ke sakunya. "Cepat juga kau mengambil keputusan."

"Aku tidak mau perjuanganmu sia-sia."

Antonio menganggut-anggut. "Oke. Bungee jumping lagi?"

Di luar dugaan, Della menggeleng. "Aku mau ke taman bermain."
***