Rabu, 24 Agustus 2016

Unlock Your Heart XVII: Reception (1)


Antonio menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruang rapat. Ia keluar dari ruangan besar itu dengan langkah lebar. Tanpa menduga bahwa Della sedang menunggunya di koridor.

"Selamat siang, Pak," sapa Della dengan gaya formal yang dibuat-buat.

Alis Antonio terangkat. "Siang."

"Boleh saya rapikan dasi Anda, Pak?"

Della langsung bergerak maju setelah mendapat anggukan dari Antonio.

"Permainan apa lagi ini?" Antonio menatap turun pada mantan sekretarisnya itu. "Kau sengaja mencari kesempatan untuk menggodaku, ya?"

Della hanya menjawab dengan senyum forma yang tidak menyentuh matanya. Perhatiannya pagi ini merupakan hadiah atas keberanian Antonio untuk mengunjungi makam ibu dan mantan calon istrinya.

"Dengan jarak seperti ini, aku bisa saja menciu─uhuk!" Spontan, Antonio menepuk-nepuk punggung tangan Della.

Tanpa menurunkan senyumnya, Della melonggarkan jeratan dasi agar Antonio bisa bernapas lega. "Selesai," ujarnya sambil mundur dua langkah. "Lain kali, jaga sikap saat leher Anda berada di tangan orang lain."

"Kau senang sekali mengerjaiku."

"Makan siang sudah saya titipkan pada sekretaris Anda. Selamat menikmati."

"Bagaimana dengan makan malamnya?" tanya Antonio untuk mencegah Della berpaling darinya.

Della memiringkan kepala, berlagak bingung. "Anda bisa memesan di salah satu restoran."

"Apa kau tidak berencana makan malam bersamaku?"

Della mengerucutkan bibir. "Entahlah. Saya tidak bisa berjanji. Tergantung apakah bos saya memberi tambahan pekerjaan atau tidak," ujarnya lantas berbalik meninggalkan Antonio yang menggeleng-gelengkan kepala heran.
***

"Della, bisa tolong lihat bagian ini?" tanya Rachel sambil mengklik sesuatu di layarnya. Dalam sekejap, draf berkas yang sama muncul di layar Della. "Sepertinya ada yang perlu kita diskusikan lagi dengan bagian perencanaan."

Della menganggut-anggut lalu menanyakan beberapa hal lain yang kurang ia pahami. Ada beberapa poin lain yang ganjil dan perlu dikoreksi ulang. "Kalau begitu, biar saya yang menangakan terkait SOP-nya, Bu Rachel."

Tepat saat itu, tiba-tiba pintu ruang General Manager dibuka tanpa peringatan.

"Mammieeeeeellll!"

"Hei, anak nakal! Apa yang kau lakukan di sini?" gerutu Rachel sambil mengulum senyum. Ia bangkit dari balik meja demi menyambut pelukan anak bungsunya.

Della yang sudah selesai dengan dokumen-dokumennya ikut beranjak dari kursinya. Mengabaikan kunjungan mendadak dari Miguel. "Bu Rachel, saya permisi dulu."

"Kau masih marah, ya?" cegat Miguel menghadang jalan Della.

Sekuat tenaga Della menahan keinginannya untuk memukul kepala Miguel dengan gulungan map. Hingga bibirnya melengkungkan senyum canggung. "Untuk apa aku marah?"

"Karena makan malam itu," jawab Miguel cepat. "Sudah kukatakan, aku di bawah tekanan. Nino yang memaksa untuk menggantikanku. Asal kau tahu, aku menunggu-nunggu makan malam itu."

"Sudah. Tidak apa-apa."

"Bagaimana caraku menebusnya?"

"Kalian pergi makan siang saja sekarang."

Itu bukan suara Della, bukan juga suara Miguel. Melainkan suara Rachel.

"Eh? Tapi, Bu─"

"Tidak apa. Biar aku yang urus dokumen-dokumen itu," potong Rachel sambil mengibaskan tangannya. "Kalian berdua pergi saja."

Miguel langsung memeluk dan mengecup pipi ibunya penuh suka cita. Ia tahu Della akan kesulitan menolak permintaan Rachel. "Terima kasih, Mammiel. Nanti kubawakan oleh-oleh."
***

"Kau ini benar-benar licik," geram Della sambil melipat tangan ke depan dada.

"Kenapa kau mengatakan hal jahat seperti itu?" tanya Miguel sambil menekan tombol lift.

"Kau sengaja, kan, bicara seperti itu tadi supaya Bu Rachel menyuruh kita pergi makan siang?"

"Della! Della! Tunggu!"

Serentak, Della dan Miguel menoleh pada Allenia yang setengah berlari ke arah mereka. Apa yang terjadi sampai membuat gadis itu kehilangan sikap tenangnya?

"Apa ada masalah dengan bekal makan siang Pak Antonio?"

Allenia menggeleng-geleng sambil mengatur napas sementara Miguel justru tertarik dengan ucapan Della.

"Kau membuatkan bekal untuk Nino? Kapan kau buatkan untukku?"

Allenia mencengkeram kerah jas Miguel, seolah seluruh hidupnya bergantung pada benda itu. "Tolong... antar... aku."
***

"Kami mohon maaf. Tapi kalau mencetak ulang dengan jumlah sebanyak itu dalam dua hari, kami tidak menyanggupi."

"Mana tanggung jawab kalian?" Allenia meradang. "Kalian tahu, temanku ini pengacara," pungkasnya sambil mengarahkan ibu jarinya ke samping.

Merasa ditunjuk, Miguel menegakkan posisi duduknya. Jelas sekali, ia membubuhkan sedikit wibawa dan kebanggaan di sana.

"Nama calon suamiku itu 'Oliver', bukan 'organ dalam penghasil empedu'," tutur Allenia sambil menunjuk undangan di atas meja. Udara yang berembus dari pendingin ruangan tampaknya tidak sanggup menyejukkan emosi gadis itu. "Dan namaku itu 'Allenia', bedakan dengan 'paragraf'!"

Lembut, Della menyentuh lutut Allenia. Tanpa kata-kata, ia meminta gadis itu untuk tenang. Sang calon pengantin itu memang tidak membentak atau meninggikan intonasi, tetapi nada bicaranya tajam dan mengisyaratkan kekesalan tingkat neraka. Bagaimana tidak? Undangan yang harus disebar dua hari lagi malah bermasalah.

"Berapa yang sanggup kalian cetak dalam dua hari?"

"Hem... sekitar 100."

Della memicingkan mata sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Itu sudah maksimal?"

Kedua  staf itu saling berpandangan. "Kami bisa mengusahakan sampai 250."

"Baiklah," sahut Della yang mengundang tatapan protes dari Allenia. "Untuk mengganti sisanya, tolong buatkan undangan digital berupa video animasi. Besok kami akan datang kembali ke sini untuk memeriksa hasilnya."

"Ah, kalau untuk itu... kami harus bertanya dulu dengan animatornya."

"Silakan bertanya, kami akan menunggu di sini."

Salah seorang staf berseragam beige itu meninggalkan ruangan dengan tergesa.

"Dan untuk itu, kami juga meminta soft copy undangan. Siapa tahu ada percetakan lain yang sanggup menyelesaikan sisanya."

"Eh, kalau itu─"

"Jam berapa Manager kalian kembali dari makan siang?" Miguel yang sejak tadi diam, mendadak bersuara.

Staf itu menelan ludah, mau tidak mau menuruti permintaan Della.
***

"Della, terima kasih, ya."

Sejak mereka meninggalkan kantor percetakan tadi, Allenia berulang kali mengucapkan kalimat itu. Seakan-akan ia adalah robot yang sudah diatur dari pabriknya. Bahkan ketika mereka bertiga makan siang hingga Miguel mengantar mereka kembali ke kantor, gadis itu masih belum bosan dengan dialog yang sama.

"Iya. Sampai kapan kau mau mengatakan itu?"

Allenia terkikik bersamaan dengan pintu lift yang menutup di belakang mereka. Gadis bersetelan hijau pupus itu melenggang kembali ke ruang sekretaris, meninggalkan Della yang menghela napas panjang. Sebaiknya, ia juga segera kembali ke ruangannya. Ada banyak pekerjaan yang menunggu.

"Sepertinya kau baru saja membuat adikku senang."

Della mengangkat bahu pada kemunculan Antonio yang tiba-tiba. "Mungkin."

"Kebetulan sekali aku sudah menyiapkan hadiah untukmu."

Della mengerling demi menemukan seringai di bibir Antonio.

"Makan malam denganku."
***

"Tempat yang bagus," ujar Della sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pada akhirnya, ia tidak bisa menolak 'hadiah' dari Antonio. Begitu segala urusan di kantor selesai, lelaki itu langsung menjemput Della di ruangannya.

"Kau suka?"

Della mengerucutkan bibir dengan gaya menyebalkan. "Lumayan."

"Sepertinya mulutmu sedang kesulitan mengungkap pujian, ya?"

Della hanya mengangkat bahu. "Lalu bagaimana dengan gadis itu?"

"Siapa?"

"Apa dia lenyap begitu saja dari hubungan kita?"

Antonio tersenyum saat mengerti siapa yang dimaksud oleh Della. "Emery menitip salam untukmu."

Salah satu alis Della terangkat.

"Dia seorang Psikolog, kau tahu?" ucap Antonio membuat alis Della kini berkerut. "Dia mendengarkan ceritaku, memberiku beberapa jenis terapi hingga akhirnya aku lepas dari bayang-bayang Nadira."

"Jadi, kau sudah melupakan Nadira?"

Antonio menggeleng. "Seperti katamu, Nadira tetap berada di salah satu sisi hatiku. Dalam kotak berlabel kenangan."

"Wah," desah Della dengan gaya sarkastik alih-alih kagum. Ia juga menepukkan kedua telapak tangannya tanpa suara. "Terima kasih pada Emery."

"Terima kasih padamu," ralat Antonio sambil mengusap punggung tangan Della. "Kau yang membuka hatiku yang terkunci. Lalu kunci itu hilang. Dan Emery yang membantuku untuk menemukannya."

Perlahan, Della menarik tangan dari sentuhan Antonio lalu berdeham. Ia harus mengalihkan perhatian karena kedua pipinya mulai terasa hangat.

"Aku mau menggunakan tiket perak ini."

"Apa permintaanmu?"

"Hadirlah di pernikahan adikmu."
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar