Rabu, 03 Agustus 2016
Unlock Your Heart XVI: Repetition (2)
"Aku menyesal sempat berpikir bahwa kau manis karena merencanakan kencan ke Fairy Dreamland," ucap Antonio lantas mengembuskan napas yang dibebani sesal.
Dengan raut tidak bersalah, Della tersenyum riang. "Bukankah sangat manis kencan dengan menaiki wahana bersama?"
"Ya. Tapi bukan wahana seperti ini─"
Kalimat Antonio terputus dan langsung disambung teriakan menggelegar yang terpantul ke langit karena roller coaster yang mereka naiki tiba-tiba menukik turun. Sementara Della yang duduk di sampingnya malah terbahak sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menikmati kebebasan. Saat Antonio memejamkan mata, gadis itu malah berteriak seru karena jalur rel yang semakin menanjak lalu meliuk seolah melemparkan jantung mereka ke angkasa.
Setelah sembilan puluh detik terlama dalam hidup Antonio sudah berakhir, tetapi ia masih bisa merasakan lonjakan yang mengguncang seluruh organnya. Beruntung, Della mau berbaik hati membimbingnya ke kursi terdekat dan memberi sebotol air mineral.
Tawa kecil tertahan dari Della terdengar menyebalkan di telinga Antonio. "Seharusnya kau tidak perlu menyewa tempat ini secara khusus."
Antonio melirik tajam bersamaan dengan tetes air terakhir menyentuh tenggorokannya. "Kau pasti senang mempermalukanku."
"Bukan begitu. Hanya saja, setiap kali kau berteriak panik, itu membuatmu terdengar lebih... manusia."
"Lalu selama ini kau kira aku apa? Vampir?"
Della mengangkat pundak. "Entahlah. Mungkin dewa dengan ketampanan abadi atau robot pekerja keras yang tidak akan menua. Tapi melihatmu begini, kau tampak lebih hidup."
"Aku tidak mau hidup abadi kalau harus merasakan kehilangan," gumam Antonio sambil menatap pada puncak trek roller coaster yang tadi mereka naiki. Sebelum suasana berubah melankoli, cepat-cepat ia mengalihkan pandangan pada Della. "Selanjutnya kau mau naik apa? Karosel?"
"Membosankan."
"Istana hantu?"
Samar, raut wajah Della mengernyit ngeri selama sedetik. "Membosankan."
Antonio bisa melihat perubahan ekspresi itu dengan jelas walaupun Della berusaha menyembunyikannya. Tanpa menunggu lagi, ia meraih pergelangan tangan Della dengan keputusan bulat. "Kita ke istana hantu."
***
"Sampai kapan kau mau memeluk lenganku seperti itu?"
Tergeragap, Della melepas belitan lengannya pada Antonio lalu membuka matanya yang terpejam. "Oh, akhirnya kita keluar juga," ujar Della berlagak tenang. "Di dalam sangat gelap. Apa wahana ini sering menunggak tagihan listrik?"
"Memang sulit, ya, mengakui bahwa kau juga punya rasa takut."
"Kau sendiri, kenapa pura-pura berani?" balas Della menolak kalah.
"Aku memang tidak takut. Justru selama bertahun-tahun, aku berharap semoga makhluk seperti itu memang ada. Supaya aku tetap bisa berkomunikasi dengan─"
"Ibumu dan Nadira." Della menyelesaikan kalimat Antonio. "Tapi aku ke sini bukan untuk mengenang masa lalu."
"Aku tahu."
Keheningan mendesak masuk di antara mereka selama beberapa jenak.
"Omong-omong, kau punya berapa pakaian dengan tulisan seperti itu?" tanya Della seraya menunjuk dada kiri Antonio. Di atas polo shirt lelaki itu tercetak frasa 'fourgive me', seolah itu adalah merek pakaian tersebut. Serupa hoodie hitam yang dikenakannya tempo hari.
"Sebanyak yang kau mau," jawab Antonio bangga. "Aku tinggal memesannya. Seperti ketika kau memintaku untuk mengenakan warna biru muda untuk kencan kita hari ini."
Della hanya ternganga, tidak bisa berkata-kata.
"Mungkin bagimu tampak sepele, tapi ini caraku untuk menunjukkan bahwa aku sungguh-sungguh menyesal."
"Bukan begitu caranya menunjukkan penyesalan."
Kening Antonio berkerut. "Lantas?"
Senyum jail terbit di wajah Della. "Temani aku naik karosel dengan kecepatan seratus kilometer per jam."
Ekspresi Antonio berubah mual. "Isi perutmu akan tumpah sebelum benda itu berhenti berputar."
"Tidak apa-apa." Della tergelak karena wajah Antonio semakin ngeri. "Asal aku selalu berpegangan padamu."
Senyum miring yang menyebalkan kini muncul di bibir Antonio. Lelaki itu merunduk hingga wajahnya berhadapan dengan Della. "Aku akan mengizinkanmu berpegangan padaku, kalau hari ini kau kembali ke sisiku."
Semburat kemerahan menyebar cepat di kedua pipi Della. Ia mengulurkan tangan untuk menjadi penghalang di antara mereka. "Tidak semudah itu. Aku masih punya tiga tiket lagi sebelum mengambil keputusan," ucap Della dari balik punggung tangannya.
Setelah berkata begitu, Della berbalik dengan cepat dan menjauhi Antonio. Bahkan ia tidak sempat mencuri pandang pada wajah tampan itu.
Antonio yang tertinggal di depan pintu keluar Istana Hantu menegakkan tubuh sambil terkikik geli. Lalu, ia berjalan mengikuti Della sambil memandangi punggung gadis itu dengan raut bahagia.
***
"Selamat pagi."
Tersentak, Allenia langsung bangkit dari kursi putarnya. Bahkan ujung kukunya nyaris patah terbentur tuts papan tik begitu mengenali siapa yang berkunjung ke kubikel kerjanya hari ini.
"Kau kembali?" tanya Allenia tidak percaya bisa kembali melihat Della dalam setelan formal.
Della mengangguk tersenyum sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga.
"Jadi, kakakku berhasil meluluhkanmu lagi?"
"Tidak juga." Della mengangkat pundak. "Aku setuju kembali bekerja. Tapi kalau untuk kembali ke sisinya, itu nanti dulu."
"Jadi kau sedang bermain hard-to-get?"
Della hanya menjawab dengan kekehan kecil. "Oh, ya, ini untukmu. Maaf atas sikap menyebalkanku waktu itu."
"Seharusnya kau tidak perlu repot-repot," ujar Allenia seraya melongok ke dalam kantung yang berisi kotak putih persegi panjang dengan nama toko bertinta emas. "Ini kue?"
Della mengangguk. "Bolu gulung stroberi. Entah kenapa saat melihat permukaan lembut yang dilapisi krim putih, parutan keju, dan potongan stroberi segar membuatku langsung teringat pada calon pengantin."
Allenia tersenyum redut. "Seharusnya kau memberiku bridal eyeshadow palette dari Avrodiz. Bukannya bolu gulung Cakewalkers. Aku punya tugas menjaga berat badan agar ukuran gaunku tidak bertambah."
"Mempersiapkan pernikahan juga memerlukan banyak energi. Jangan sampai kau terlalu kurus."
"Ya, ya. Terserah kau saja."
"Seharusnya kau bilang 'terima kasih'."
"Ya, oke. Terima kasih."
"Terdengar tidak ikhlas. Tapi tidak apa-apa," ucap Della sambil tersenyum maklum. "Omong-omong, hari ini jam berapa saja jadwal kakakmu kosong?"
Allenia membungkuk pada layar komputer sambil menggeser tetikus. "Setelah rapat jam sepuluh, jadwalnya kosong sampai jam makan siang. Kenapa?"
"Aku mau mengajaknya ke suatu tempat."
"Kurasa, kencan sebaiknya dilakukan di akhir pekan."
Della menggeleng. "Aku tidak mau bermain hard-to-get terlalu lama."
***
Della memandangi kedua tangan Antonio yang mencengkeram kuat roda kemudi. Ia tahu, lelaki itu sedang berusaha menyembunyikan gemetar yang melanda sekujur tubuhnya.
"Kalau kau tidak siap, kita bisa pergi ke tempat lain," saran Della memecah keheningan. Mesin mobil sudah dimatikan sejak kendaraan itu berhenti di bahu jalan. "Di tiket perunggu ini tertulis bahwa kau boleh menolak dan menyarankan permintaan lain."
Antonio menyandarkan tengkuknya ke jok mobil, lalu menggeleng. "Beri aku waktu. Sebentar lagi."
Della mengerti dan memutuskan untuk ikut berdiam diri. Ia melempar tatapan pada gapura bertuliskan 'Svarga Memorial Park and Funeral Home' yang berada di seberang jalan. Di sanalah tujuan mereka. Tempat Vanesha Alvarez dan Nadira di makamkan.
Tadi, Antonio memang terkejut ketika Della mengutarakan permintaan keduanya. Dengan cepat, ia mengendalikan diri. Bahkan, dengan penuh kesadaran menyetir untuk datang ke tempat ini. Ia berharap seiring waktu berjalan dan jarak yang terkikis, keberaniannya akan terbit.
Nyatanya, memori akan kehilangan justru merayapi punggungnya dengan beban.
"Boleh aku tahu alasanmu?" tanya Antonio setelah beberapa waktu tidak ada suara di antara mereka. "Bukankah kau membenci Nadira?"
Della menoleh pada Antonio. "Aku tidak membencinya. Bagaimanapun, Nadira adalah seseorang yang berharga untukmu. Begitu juga dengan ibumu. Sampai kapan pun, mereka selalu punya tempat istimewa di hatimu. Dalam kotak berlabel kenangan."
"Apa kau tidak takut aku akan terjebak masa lalu?"
Della menggeleng yakin. "Masa lalu akan selalu berada di belakangmu. Tidak perlu dihapus. Kau hanya perlu menerimanya."
Antonio kembali terdiam, meresapi kata-kata Della.
"Tapi, seperti yang tadi kubilang, kau boleh menolak. Kita bisa datang lagi saat kau siap," tambah Della. "Tiket ini bukan lampu ajaib dan kau bukan jin pengabul keinginan."
Seolah mencari kekuatan tambahan, Antonio meremas dasinya. Kain yang tergantung di kalarnya itu memiliki motif garis-garis. Tetapi kalau dilihat lebih saksama, garis-garis itu sebenernya merupakan barisan frasa 'fourgive me'. Dengan tekad bulat, Antonio menyalakan mesin. Ia menggerakkan persneling lalu menginjak gas.
Begitu mobil kembali bergerak, Della tersenyum seperti ibu yang bangga melihat anaknya bisa mengendarai sepeda tanpa terjatuh. Ia dan dua buket bunga di pangkuannya tahu bahwa Antonio mampu mengatasi ketakutannya.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar