Perlahan, Della menolehkan kepala. Tetapi ia tidak bisa langsung menemukan orang yang dimaksud Neysa.
"Dia yang memakai kemeja biru dongker. Namanya Ibel. Hampir seluruh perempuan di sini jatuh hati padanya. Karena selain tampan, dia juga ramah dan pekerja keras. Tapi yang kudengar, katanya dia sudah punya pacar."
Alis Della menegak saat mendapati sosok itu. Satu-satunya lelaki yang tidak menggulung lengan kemejanya hingga siku di antara gerombolan karyawan yang tengah menikmati istirahat siang. Penampilannya juga tampak rapi dengan kemeja dan celana yang seolah baru saja disetrika. Rambutnya disisir rapi dan dagunya licin tanpa jerawat maupun bakal janggut yang membayang.
Della juga pernah mengenal seorang lelaki yang selalu berpenampilan rapi dengan setelan jasnya. Pakaiannya tidak pernah kusut walaupun dikenakan sehari penuh. Aroma tubuhnya selalu wangi dan tentu saja ia seorang pekerja keras.
Tunggu sebentar. Sejak kapan ia mulai membandingkan orang seperti ini?
Ketika kening Della mulai mengernyit tidak nyaman, Neysa sudah menunjuk karyawan lain yang diklasifikasikan sebagai lelaki tampan. Untuk menghargai kebaikan sahabatnya, Della membuka mata lebar-lebar untuk memerhatikan sekelilingnya.
Tetapi... di mana para lelaki tampan yang dimaksud Neysa? Walaupun Neysa menjelaskan seolah sedang menunjukkan ginseng berkualitas super, yang dilihat Della hanyalah jahe yang bisa ia temui di pasar mana pun. Tidak ada yang istimewa. Sehingga lidahnya kesulitan untuk mengungkapkan persetujuan.
"Tapi dari semua lelaki tampan di kantor ini, tentu saja tidak bisa mengalahkan ketampanan Pak Archie."
"Oh, ya?"
Kelopak mata Neysa memicing curiga. "Aneh sekali. Seharusnya, kau sudah bertemu dengannya. Lagi pula, tadi aku melihat beliau masuk ke ruang interviu mengenakan setelan jas warna terakota dan dasi abu-abu atau perak."
Sosok lelaki yang tadi duduk di tengah dan berhadapan langsung dengannya muncul dalam benak Della begitu mendengar deskripsi Neysa. "Ah, yang itu. Tadi dia mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup sulit menurutku."
Tatapan Neysa semakin menyipit, pertanda ia sedang tidak tertarik membahas pertanyaan yang dimaksud Della. "Sekarang, kau yang aneh. Apa radar-lelaki-tampan milikmu sedang tidak berfungsi? Jelas-jelas, kau harus segera berkenalan dengan lelaki tampan yang berpotensi menjadi kekasihmu."
Della menggeleng dengan kuat saatwajah Antonio yang sedang tersenyum muncul kembali di benaknya. "Entahlah. Bukan tidak menghargai tawaranmu, tapi aku tidak tertarik."
"Astaga. Kau sudah sakit parah rupanya." Neysa menutupkan tangan ke mulut dengan gaya dramatis. Lalu ia memanjangkan tangan untuk menepuk bahu Della. "Biar dokter Neysa mengobatimu."
Della meringis tidak nyaman. "Tapi aku sedang tidak ingin belanja─"
"Siapa bilang kita akan belanja? Pengobatanmu harus dilakukan dengan bantuan alam."
***
Di bawah langit Minggu pagi yang cerah, Della dan Neysa berdiri di dalam barisan bersama tiga puluh orang lainnya. Mereka berdiri di depan sebuah lahan seluas lapangan basket dengan penampilan serupa. Overal yang melapisi kaus lengan panjang, topi ber-visor lebar, sarung tangan karet, dan sepatu bot. Masing-masing orang dibekali perlatan berupa garpu tanah, sekop, sudip, dan gembor dengan ukuran yang mudah digenggam satu tangan.
Binar semangat meletup-letup di raut wajah Della. Kontras dengan Neysa di sampingnya yang sibuk mengipaskan tangan ke wajah yang mulai basah karena keringat. Heran, padahal justru gadis itu yang menyarankan kegiatan ini sebagai sarana penyembuh patah hati Della. Sekarang ekspresinya malah seperti ingin cepat-cepat pulang.
Seorang wanita berusia setengah abad dengan usia semangat tiga puluh tahun lebih muda menjelaskan rincian kegiatan kelompok berkebun hari ini. Setelah kata-kata pendahuluan diakhiri dengan salam, peluit ditiup sebagai aba-aba untuk menuju lahan yang sudah disediakan. Dengan mudah, Della menemukan papan kayu bertuliskan namanya tepat di dekat sudut siku-siku yang dibentuk pagar pembatas.
Della lantas berjongkok dan mulai menggaruk tanah menggunakan garpu. Dalam sekejap, ia sudah tenggelam dalam kegiatan barunya. Pergi bersenang-senang dengan Neysa, mengikis permukaan kesedihan yang mengeras karena ia menyendiri di flatnya. Menghabiskan waktu dengan haiking berhasil menumpahkan isi bejana kekecewaannya. Dan sisa kerak penyesalannya akan ia ubah menjadi energi untuk mengantar bibit kehidupan baru ke dalam tanah yang dipijaknya.
Ketika Della mulai mengeduk ke dalaman satu inci, tiba-tiba ujung sekop yang dipegangnya membentur sesuatu yang keras. Ia mencungkil benda seperti batu itu dengan ujung sekop tetapi tidak berhasil.
"Butuh bantuan?"
Suara perlahan yang muncul dari sampingnya secara tiba-tiba itu otomatis membuat Della berteriak kaget. Ia sukses terjungkal setelah mengenali siapa yang dilihatnya.
Dengan sigap, sosok berbahu lebar dan berdada kekar itu membantu Della untuk berdiri. Sambil menepuk-nepuk overalnya yang terkena noda tanah, Della melirik sedikit demi melihat ukiran sempurna bak patung dewa Yunani di bawah bayang-bayang topi bisbol. Alis, hidung, bibir, dan terutama sepasang netra abu-abu yang membuat para ahli bahasa harus menemukan kosakata baru untuk menggambarkan keindahan parasnya.
Della sadar, ini bukan saatnya untuk kagum. Setampan apa pun Antonio, lelaki itu tetap saja sudah mematahkan hatinya. Tidak hanya menjadi dua, melainkan berkeping-keping hingga ia tidak bisa lagi melihat bentuknya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Antonio sambil melongokkan wajah khawatir. Lelaki itu baru saja membersihkan bagian punggung dan siku Della.
"Pertanyaan macam apa itu?" balas Della dengan sinis.
Antonio mengernyit lalu mengusap tengkuk yang digelayuti perasaan bersalah. "Maaf sudah membuatmu kaget."
Della mendelik. Untuk apa lelaki itu meminta maaf pada kesalahan kecil sementara ada sesuatu yang lebih besar terjadi di antara mereka? "Ah," geram Della sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Sepertinya aku benar-benar kehilangan selera humorku. Tolong beri tahu aku kalau sudah waktunya untuk tertawa."
"Aku tidak sedang bercanda."
"Sudah kubilang, jangan ganggu aku lagi," ucap Della setengah hati sambil kembali berjongkok dan meraih sekop mininya.
Antonio ikut berjongkok di samping Della yang kini sibuk menyingkirkan penghalang di tempat ia akan menanam.
"Sebaiknya, kau pergi sebelum ada yang mengusirmu. Ini area khusus wanita," ujar Della jengah karena Antonio hanya terus memandanginya tanpa mengucapkan apa-apa.
"Tidak akan ada yang mengusir penggagas kegiatan ini." Nada angkuh dan tegas selalu melekat di setiap kalimat lelaki itu, walaupun ia tidak bermaksud begitu.
Leher Della berputar cepat. "Kau merencanakan semua permainan licik ini?"
Antonio menggeleng. "Kurasa ini lebih mirip strategi bisnis yang saling menguntungan antara para karyawan yang menginginkan akhir pekan di tempat perawatan kecantikan." Ia menunjuk gerombolan perempuan yang berlagak sibuk dengan kegiatan berkebun.
Della memicingkan mata. Ketika ia membayangkan overal dan kaus lengan panjang sebagai seragam hari ini berganti menjadi setelan formal, wajah-wajah itu berangsur terasa familier. Wanita yang menjadi pengarah acara hari ini sepertinya salah satu ketua divisi yang sering ia temui saat rapat.
Telunjuk Antonio berpindah pada Neysa yang sedang mengaduk-aduk tanah dengan serampangan, beberapa petak di depan. "Perempuan yang menginginkan sepasang Stevany edisi terbatas."
Sial. Neysa sampai berpihak pada Antonio hanya demi sepasang sepatu? Della benar-benar merasa dikhianati.
Terakhir, telunjuk Antonio menjuju pada dirinya sendiri. "Dan lelaki yang ingin mendapatkan cintanya kembali."
"Kau tidak akan mendapat apa pun," gumam Della ketus sambil sekuat tenaga menarik batu yang sejak tadi mengganjal itu. Entah karena kekesalan yang menggumpal atau apa, ia jadi memiliki tenaga tambahan hingga berhasil mengeluarkan benda keras yang terbungkus plastik hitam itu.
"Bukalah," ucap Antonio cepat-cepat saat menyadari gelagat Della yang hendak melempar benda itu jauh-jauh.
Kernyitan curiga muncul di kening Della. Tetapi entah mengapa, ia menurut saja. Bagaimana kalau isinya petasan? Atau mungkin granat? Brutal, Della merobek plastik itu sebelum kraniumnya meledak karena spekulasi.
Sebuah kotak cincin abu-abu berbahan beledu berada di balik plastik. Della menoleh pada Antonio yang langsung mengangguk sebagai isyarat agar gadis itu membuka kotak yang dipegangnya. Begitu dibuka, kernyitan di kening Della malah semakin dalam.
Tidak ada apa pun di dalam kotak itu.
"Kosong," ucap Antonio lalu membuang napas seolah sedang melepas beban. "Seperti itulah perasaanku setelah berpisah denganmu."
"Ha, jangan memutar balikkan fakta." Della menarik tangan Antonio dan menyelingkit kotak cincin ke genggaman lelaki itu. "Kau yang meninggalkan aku."
Dengan lembut, Antonio mencengkeram pergelangan tangan Della untuk menarik gadis itu berdiri berhadapan dengannya. "Untuk itulah aku meminta maaf," ucapnya sambil menunjuk tulisan 'fourgive me' di hoodie-nya.
Della menarik tangannya dan tersenyum miring. "Aku hampir tersentuh. Tapi ternyata kau membuat tulisan itu dengan setengah hati."
Antonio menggeleng, lantas menampilkan senyum pongah seolah ia sudah menduga dengan tepat apa yang akan diucapkan Della. "Aku memang sengaja menyisipkan huruf U berwarna abu-abu di antara huruf lain yang berwarna putih. Mana mungkin orang dengan kemampuan berbahasa sepertiku melakukan kesalahan konyol seperti ini." Antonio berdecak-decak heran. "Ini pesan tersembunyi."
Della melipat tangan di depan dada, menunggu.
"Four tickets and forgive me." Antonio mengeluarkan empat kertas persegi panjang yang mirip tiket film dengan warna-warna berbeda. Tembaga, perunggu, perak, dan emas. "Aku memberimu empat tiket istimewa ini. Kau bisa meminta apa pun dariku, asal itu bisa menjadi bahan pertimbangan bagimu untuk kembali ke sisiku."
Della memandangi keempat tiket yang kini berada di tangannya. Benaknya berputar cepat. "Apa pun?"
Antonio mengangguk. "Semakin tinggi tingkatan tiket yang kau pilih, semakin aku tidak boleh menolak. Jadi, gunakan dengan bijak."
Della menyelipkan bibir diantara giginya selama ia berpikir. "Aku mau menggunakan tiket tembaga," putusnya kemudian. "Untuk kencan yang tidak terlupakan."
Antonio menelan ludah saat menyimpan tiket pertama kembali ke sakunya. "Cepat juga kau mengambil keputusan."
"Aku tidak mau perjuanganmu sia-sia."
Antonio menganggut-anggut. "Oke. Bungee jumping lagi?"
Di luar dugaan, Della menggeleng. "Aku mau ke taman bermain."
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar