Rabu, 24 Agustus 2016

Unlock Your Heart XVII: Reception (2)


Antonio Alvarez pantas terbenam di dasar neraka.

Lelaki itu mengenakan setelan biru gelap. Sama seperti groomsmen lainnya─Manuel, Miguel, dan Romero. Namun pesona yang terpancar dari sosok Antonio lebih memikat daripada lelaki lain di ruangan ini. Bahkan sanggup menyelubungi pesona sang pengantin pria yang seharusnya menjadi bintang utama hari ini.

"Aku benar-benar iri padamu, Della."

Kalau saja Neysa tidak menyebut namanya, Della tidak akan menyadari kalau sahabatnya itu sedang berbicara padanya. Sepasang netra gadis itu terpaku ke depan. Pada sepasang pengantin dan empat orang groomsmen yang tengah mengabadikan momen dalam jepretan kamera.

"Kau  bisa tetap bertahan pada satu lelaki. Padahal ada empat lelaki lain yang tidak kalah tampan di dekatmu." Neysa menggeleng-geleng. "Kalau aku pasti akan bimbang."

"Hei," tegur Della. "Satu dari para lelaki itu sudah resmi menjadi suami hari ini."

"Astaga." Neysa menggeleng sambil meniru suara cecak. Tangannya tertangkup di dada, menyesali dosa.

"Della, Neysa," panggil Diana yang berdiri tiga langkah di depan mereka. "Ayo."

Della dan Neysa mengangguk, lantas mengekor Diana dan Andrea berhampiran dengan mempelai perempuan. Sesi foto bersama groomsmen dam bridesmaid pun dimulai.

Hari ini Della mengenakan longdres serupa dengan yang dikenakan Neysa dan juga kedua sahabat Allenia─Andrea dan Diana. Sang pengantin memesan itu secara khusus. Keempat longdres itu sama-sama berwarna candy pink. Yang membedakan hanya bentuk kerahnya.

Setelah beberapa foto diambil, fotografer meminta pertukaran formasi. Della bersama tiga gadis lainnya meninggalkan sisi Allenia. Saat berpapasan dengan para lelaki, Della menerima sapaan berbeda-beda. Miguel membisikkan kata 'cantik' dan mengedipkan satu mata. Manuel tersenyum tipis sambil menatap Della. Romero mengangkat satu alis padanya.

Sementara Antonio?

Lelaki itu tidak melakukan apa-apa. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangannya lurus ke depan─mungkin helai-helai rambut Romero lebih menarik ketimbang penampilan Della. Seolah kehadiran gadis itu seperti acar di nasi goreng.

Ada dan tiada, tidak ada bedanya.

Habis-habisan Della meredam kekesalannya. Mungkin sekarang Antonio mulai menyesali keputusannya untuk meminta Della kembali.

Della baru bisa bernapas lega saat fotografer menyingkirkan empat lelaki bersetelan biru gelap itu. Hingga sesi foto selesai, indra penglihatannya masih bisa menangkap kehadiran Miguel, Manuel, dan Romero di ruangan itu. Tetapi tidak dengan Antonio.

Sepasang netranya mengerling. Ke mana lelaki itu?

Ah, sudahlah. Untuk apa ia peduli? Mungkin saja lelaki bermata abu-abu itu sudah benar-benar terbenam di dasar neraka. Menjadi iblis paling seksi di sana. Dalam hati, Della terkikik pada pujian dalam umpatan itu.

Della hendak kembali bergabung dengan teman-teman SMA-nya saat ponsel dalam tas tangannya bergetar.

Sebuah pesan datang dari 'Beer Hug'.
***

Pesta pernikahan Allenia Alvarez menjadi ajang reuni bagi teman-teman sekolahnya yang hadir. Dalam sekejap, mulai terdengar dengung percakapan penuh nostalgia. Della pasti menyesal kalau tidak datang hari ini.

Setelah menemukan waktu yang tepat, Della menyelinap keluar dari kerumunan. Ada seseorang yang menyadari gelagatnya. Gadis itu menyikut perlahan lengannya.

Andrea. Della mendebas lega. Syukurlah, bukan Neysa yang penuh rasa ingin tahu.

"Mau ke mana?" tanya gadis tomboi itu.

Della enggan menjawab. Ia hanya menyunggingkan senyum lalu cepat-cepat pergi dari sana.

Sesuai instruksi yang diberi Antonio, Della keluar melalui pintu berkaca sebelah barat. Kemudian ia melangkah pada jalan setapak yang dibentuk dari batu-batu pipih. Di sisi kanan dan kiri ada lampu jalan yang cantik. Della bisa membayangkan betapa indah pemandangan di sini ketika malam.

Jalan setapak itu berujung pada sebuah naungan yang disangga empat batang kayu. Bukan genting yang melapisi atapnya, melainkan pohon anggur. Tanaman merambat itu tumbuh dengan cara yang anggun. Sekumpulan anggur ungu yang berkilap meruntai seperti ornamen pohon natal.

Di bawah naungan itu ada meja kecil yang dilapisi taplak satin abu-abu. Della melangkah lebih dekat. Di atas meja itu terdapat buket lobularia. Bunga kesukaannya.

Della bisa merasakan seseorang menyeringai di dekatnya. Jenis senyuman puas atas reaksi Della melihat keindahan di depannya. Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu itu siapa.

Antonio mendekat dan mengambil buket bunga dari atas meja. Ada kebahagiaan terpancar di sepasang netranya. Ia menghidu sekumpulan lobularia itu sebelum memberikannya pada Della.

"Untukmu."

"Terima kasih." Della mendekatkan bunga ke hidung demi menghirup wangi yang manis.

"Aku senang kau menyukai ini," ujar Antonio penuh percaya diri.

"Aku tidak bilang begitu," sahut Della berpura-pura ketus.

Antonio hanya melengkungkan bibir penuh makna. Kedua matanya menatap intens pada Della.

Salah tingkah, Della melipat kedua tangan di depan dada. "Memangnya ada apa?"

"Aku hanya sedang ingin memonopolimu dari reuni dengan para lelaki dari masa remajamu."

"Kenapa?" Kedua mata Della terpicing. "Cemburu, ya?"

Salah satu sudut bibir Antonio terangkat, sengaja tidak menjawab tuduhan Della. "Aku justru senang bisa melihatmu. Pasti dulu kau cukup populer."

"Mungkin." Della mengangkat bahu. "Tapi kurasa Nina, maksudku Allenia jauh lebih populer. Kau tahu julukannya? High School Princess."

Antonio terkekeh singkat. "Jadi, kapan kau bersedia menerimaku kembali?"

Della mengangkat telapak tangannya yang terbuka. "Sabar di sana, lelaki tampan. Aku masih punya tiket emas yang belum kugunakan."

"Kalau begitu, cepat katakan saja keinginanmu."

"Apa kau memaksa?"

"Tidak. Aku hanya menyarankan untuk kebaikanmu."

Della mengeluarkan tiket emas itu dari tas pestanya. "Aku ingin kau yang menggunakan ini," ujarnya sambil menyerahkan lembaran itu kepada Antonio.

Alis Antonio terangkat. "Untuk apa?"

"Itu tiket emas di mana permintaan tidak boleh ditolak, kan?"

"Ya."

"Jadi, kau bisa menggunakan itu untuk memintaku, hem, misalnya yang berkaitan dengan gaun dan cincin." Della mengusap-usap dagu sambil melempar pandangan ke lantai. "Bagaimana, ya, aku mengatakan ini?" gumamnya pada diri sendiri.

"Kalau kuminta kau untuk meninggalkanku, apa itu berarti kau akan mengabulkannya?"

Della mengangkat wajah. Kedua tangannya terhempas ke sisi tubuhnya. Pandangan mereka beradu. Ia mencari keseriusan pada sepasang netra berwarna abu-abu itu. "Ayolah, kurasa kau lebih pintar dari ini."

Bibir Antonio berkedut karena senyum tertahan.  "Karena menurutku, kalau untuk pertanyaan yang itu, aku tidak butuh tiket ini untuk mendapat kawaban 'iya'."

"Wah, wah." Della memasang raut tersinggung. Kedua tangannya jatuh ke sisi tubuhnya. "Percaya diri sekali."

"Tentu saja." Antonio merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak beledu berwarna abu-abu ke hadapan Della. Ada frasa 'fourgive me' tercetak timbul di permukaannya. "Apalagi kalau aku membawa ini."

Bola mata Della nyaris menggelinding keluar. Kotak itu terbuka untuknya. Sebuah cincin dengan berlian berbentuk persegi berkilau tertimpa cahaya. Namun dengan cepat ia mengusai diri. Jangan sampai tampak terlalu antusias. Ia mendengkus sambil berusaha membuat senyum dan lirikannya tampak sinis. "Kau mau membuatku terlihat seperti perempuan materialistis?"

Antonio menggeleng ringan. "Kau pantas mendapat yang terbaik."

"Tapi ini pernikahan adikmu."

Antonio mengernyit.

"Kau tidak mau memilih hari lain sebagai hari istimewa kita?"

Antonio menyimpan kembali kotak itu. "Baiklah. Aku akan memilih hari untuk kita."

"Kalau begitu," Della mengerucutkan bibir sambil menganggut-anggut. "Aku akan mempertimbangkan jawabanku sampai hari itu tiba."

"Tapi kurasa, aku sudah bisa menebak dengan tepat apa jawabanmu."

Della tertawa kecil. "Jangan sok pintar."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar