Rabu, 27 Juli 2016

Unlock Your Heart XV: Rejection (2)



 Kedua kakinya terasa lelah dan kulitnya  lengket karena keringat tetapi Della merasa awan hitam yang membebani hatinya perlahan sedikit menghilang. Besok ia bisa menata ulang kehidupannya. Senyum tipis di ujung bibir mendampingi langkahnya.

Tidak sampai empat puluh delapan jam ia pergi, siapa sangka koridor menuju unit flatnya kini menjelma kebun bunga. Bunga dari berbagai jenis dan warna dibentuk menjadi buket cantik yang terikat pada sebuah cagak. Gelas sampanye raksasa menopang cagak itu dengan kokoh. Semua bunga itu ditata berderet-deret di samping dinding. Tingginya tepat di bawah hidung Della, sehingga ia bisa dengan mudah menghidu wangi lobularia saat berhenti sejenak di depan bunga kesukaannya itu.

Saat itulah, melalui ekor mata, Della melihat seseorang muncul dari balik buket bunga yang diletakkan paling ujung. Orang itu berjalan dengan langkah mantap, seolah ia adalah Pangeran Musim Semi di antara bunga-bunga setinggi bahunya.

Sepasang netra abu-abu miliknya terarah langsung pada Della. Dan seketika itu juga, angin musim dingin berembus dan mengantarkan gumpalan mendung kembali ke hati Della.

Kini, tiga langkah di hadapan Della, berdiri manusia dalam urutan terakhir yang ingin ia temui di bumi.

Della ingin menanyakan alasan lelaki itu berada di sini. Tetapi ia tahu, sedikit saja ia membuka hati maka semua usahanya untuk bangkit dari kesedihan akan hancur menjadi pasir. Ia menaril napas panjang untuk memantapkan hati, lalu berjalan dengan langkah lebar. Masa bodoh, ia terus melangkah seolah Antonio adalah sosok yang tidak kasatmata.

Tidak ingin kesempatannya hilang, Antonio meletakkan tangannya di bahu Della. Gadis itu menahan langkahnya.

"Apa maumu?" tanya Della ketus. Sekuat tenaga ia menahan nyeri yang menusuk pangkal tenggorokannya.

"Aku mau meminta maaf padamu."

"Tidak perlu ada yang dimaafkan. Aku senang kau bahagia."

Kening Antonio mengernyit pilu. "Jangan mengatakan hal yang menyedihkan begitu."

"Lantas apa yang kau harapkan?" tanya Della sengit. "Terima kasih atas semua bunga-bunga cantik ini. Aku harap kita tetap bisa menjaga hubungan baik ini, walaupun aku sudah mengabaikanmu demi perempuan yang mirip mantan kekasihku." Nada bicaranya sarkastis dibalut pemanis palsu. "Berhentilah berharap. Perasaanku tidak sebercanda itu."

"Aku tahu itu." Suara Antonio berubah serak. "Semua bunga ini wujud dari penyesalanku. Aku sudah sadar, kepadamulah seharusnya hatiku kuberikan."

Della mendengus. "Ini bukan hal besar bagi lelaki kaya sepertimu. Kau bisa saja membeli berhektar-hektar kebun bunga tapi tetap bisa makan dengan layak keesokan harinya."

"Della," mohon Antonio sambil menatap kedua mata Della yang mulai memerah. Ia tahu, gadis itu sekuat tenaga menahan tangis. "Maafkan aku dan kita bisa kembali berbahagia."

"Aku sudah memaafkanmu," tandas Della dengan suara tercekat. "Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi."
***

Tadi Della sudah mengganti gaun hitamnya dengan gaun paling cerah yang ia miliki. Tetapi itu semakin mempertegas raut muramnya. Maka, pilihan akhirnya jatuh pada sebuah gaun berwarna abu-abu. Gaun berkerah shanghai itu tetap memperlihatkan lekuk pinggangnya yang sudah berkurang beberapa sentimeter. Dan juga mengingatkan Della pada warna mata lelaki itu.

Della menggeleng dan berfokus pada bayangannya di cermin. Tidak ada waktu untuk kembali berganti pakaian. Suasana hatinya sedang buruk. Maka pakaian apa pun tetap terlihat menyedihkan baginya. Lagi pula ia tidak ingin membiarkan Miguel menunggu lama. Lelaki itu sudah berbaik hati menyelesaikan satu masalahnya.

Tidak banyak yang Della lakukan pada wajahnya. Hanya concealer untuk menutupi bagian bawah matanya yang menghitam, bedak, dan lipstik berwarna persik segar.

Setelah memeriksa penampilannya sekali lagi, Della meninggalkan flatnya.

Ketika taksi yang Della tumpangi memasuki pelataran parkir restoran yang dimaksud Miguel, ponselnya berdering.

"Ya, Miguel? Aku sudah sampai."

"Della, maaf. Bisa tolong tunggu sebentar?"

Kening Della mengernyit. "Apa ada masalah?"

"Ada klien yang sedikit rewel," bisik Miguel. "Masuk saja dulu. Bilang saja, reservasi atas nama Miguel Vennochio."

"Apa lebih baik kubatalkan saja?" tawar Della. "Kita atur jadwal lagi lain waktu."

"Jangan," cegah Miguel. "Ini hanya terlambat sedikit."

"Oke." Della melirik jam tangannya. "Lima belas menit. Kalau kau tidak datang, aku pulang."

"Lima belas menit itu cukup. Tunggu, ya," sahut Miguel sebelum memutus sambungan.

Della mengembuskan napas kesal sambil menyimpan ponselnya. Ia membayar ongkos taksi lalu bergegas memasuki restoran yang tampak lengang.
***

Api di puncak lilin dalam gelas itu bergoyang-goyang. Beberapa helai lobularia berguguran ke lantai kayu yang dihiasi lampu menyerupai tali.  Birai setinggi meja seolah berusaha menghalanginya agar tidak melompat ke danau yang mulai menggelap. Semilir angin membelai langsung pipi dan puncak hidungnya.

Dasar. Lelaki itu benar-benar hendak pamer, rupanya.

Terdengar ketukan langkah yang membuat Della menoleh. Seorang lelaki dengan setelan abu-abu dan buket lobularia di tangannya berjalan mendekat. Senyum di bibirnya, membuat Della ingin mengumpat.

Sial. Della tertawa remeh pada dirinya sendiri. Ia memutar bola mata sambil berdecak kesal. Lain kali, tolong ingatkan ia untuk menendang bokong Miguel.

"Untukmu."

Della hanya memandangi bunga itu tanpa minat. Bisa-bisanya Miguel melakukan hal licik seperti ini padanya?

"Aku senang melihat pilihan warna gaunmu," ucap Antonio lantas duduk di hadapan Della tanpa tahu malu. "Menurutmu, apa itu berarti sesuatu?"

"Menurutku," ujar Della dengan nada tajam. "Sebaiknya kau pergi dari hidupku. Bukankah kau sudah bahagia bersama Nadira? Berhenti mengusikku!"

"Della," panggil Antonio saat melihat gadis itu bangkit dari kursi. "Dengarkan aku dulu."

"Maaf, aku berbeda dari seseorang yang hatinya mudah goyah hanya karena bertemu gadis yang mirip mantan kekasihnya."

"Kau boleh memakiku sesuka hati," kata Antonio sambil berusaha meraih pergelangan tangan Della. "Jadi, tetaplah di sini. Setidaknya tunggu sampai hidangannya datang."

Keras hati, Della berpaling cepat meninggalkan pengatakan romantis itu. Langkahnya lebar dam gusar.

Antonio mengadang jalan Della. "Aku aku antar kau pulang."

Sekuat tenaga, Della mendorong bahu Antonio untuk menyingkir. Kedua mata yang memerah dan bibir yang terkunci itu memberi jawaban jelas untuk Antonio.

Namun, ia tidak akan menyerah.
***

Kewaspadaan Della meruncing. Kedua matanya melirik ke kanan dengan tajam lalu bergerak untuk mengawasi bagian kiri. Dengan hati-hati, ia menoleh sambil berharap punggungnya bisa mengintai  bagian belakang.

"Della!"

Seruan yang disertai guncangan di tangannya itu langsung memutus siaga yang dibangun Della sejak pagi. Ia menatap dengan raut maaf kepada Neysa yang berbalas binar prihatin di kedua mata sahabatnya itu.

"Apa... kau masih memikirkan mantan, hem, bosmu?"

Della mengembuskan napas berat sambil menunduk sendu. "Bagaimana aku bisa tidak memikirkannya? Dia muncul di mana-mana! Bahkan aku tidak akan kaget kalau dia muncul di sini."

"Dia menguntitmu?" tanya Neysa dengan hidung mengernyit.

Della mengangguk geram, cengkeramannya mengetat pada garpu di tangannya. "Dia berlari di sampingku saat aku joging pagi, tiba-tiba menggantikan kasir supermarket tempatku mengantri, bahkan dia muncul saat aku sedang membuang sampah."

"Apa yang dia katakan padamu?"

"Tidak ada." Della menggeleng. "Dia cuma memastikan kalau aku menyadari keberadaannya. Setelah kami saling pandang, dia tersenyum lalu pergi begitu saja."

Neysa mengerjap, lantas memandang Della seolah kewarasan gadis itu lenyap. "Kau yakin itu bukan bagian dari khayalanmu? Maksudku, hem, kau tahu, beberapa orang seolah-olah melihat semua wajah berubah menjadi seseorang yang mereka rindukan?"

Della menatap Neysa tajam, lalu mengalihkan pandangan seraya mendebas keras. Melihat otot-otot tangan sahabatnya yang menonjol keluar karena menggenggam garpu terlalu erat, Neysa melirik piringnya yang sudah kosong. Benda pipih itu mungkin bisa jadi perisai kalau-kalau ada garpu melayang ke arahnya.

"Kalau aku melihatnya lagi, akan aku pastikan kalau dia nyata," tekad Della dengan sepasang netra membara.

"Hem, mau es krim?" Neysa mendorong minumannya ke hadapan Della.

Bara di kedua mata Della perlahan meredup. Ia meletakkan garpu kembali ke atas piring, lalu mengambil sendok teh bergagang panjang untuk menyendok es krim cokelat yang mengapung di atas jus stroberi yang masih utuh itu. Diam-diam, Neysa mengembuskan napas lega saat pengalihannya berhasil.

"Jadi, bagaimana interviumu tadi?"

Della mengangkat bahu, pandangannya tertuju pada es krim yang sedikit meleleh dan bercampur dengan jus. "Entahlah. Doakan saja aku lolos."

"Tentu saja. Kau pasti senang bekerja di sini."

Della menganggut-anggut. "Di sini ada kau dan kantinnya menyediakan makanan lezat."

"Kau belum menyebutkan bagian terbaiknya."

Della mengigit ujung sendok karena bingung. "Apa?"

Tubuh Neysa condong ke depan dan telunjuknya mengisyaratkan agar Della melakukan hal yang sama. "Di sini banyak karyawan-karyawan tampan," bisiknya lantas terkikik kecil. "Salah satunya sedang duduk di arah jam sembilanmu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar