Rabu, 25 Mei 2016
Unlock Your Heart VI: Confession (2)
Della mengajak Romero untuk meninggalkan lantai dansa saat musik berubah melambat dan bernuansa romantis. Ia tidak ingin tenggelam di antara pasangan yang mulai menurunkan tempo gerakan sambil saling berpelukan. Lagi pula, ia tidak ingin meninggalkan Antonio terlalu lama karena teringat ucapan Kania.
"Kau pedansa yang hebat."
Della mengangguk sambil menyelipkan untaian rambut ke belakang telinga. "Terima kasih."
"Pernah kursus dansa?"
"Tidak juga."
"Lain kali, kau bisa menemaniku menghadiri pesta."
Della hanya membalas dengan senyum.
"Sial!" umpat Romero tiba-tiba karena melihat seorang lelaki duduk bersama Antonio, menggantikannya. Jinandru. Anak dari salah satu investor yang bekerjasama dengan Antonio. Bukan tipikal relasi yang menyenangkan. Hanya beruntung karena lahir di keluarga terpandang. Sayangnya, terkenal tidak pandai menjaga sikap. Biang masalah.
Romero menggegas langkahnya ke arah Antonio. Della mengekor di belakangnya.
"Siapa gadis yang bersamamu tadi?" tanya Jinandru lantas meneguk wine milik Antonio. Langsung dari botolnya.
"Sekretarisku," jawab Antonio acuh tidak acuh.
"Oh," sahut Jinandru tidak peduli bahwa lawan bicaranya merasa tidak nyaman. "Kukira kau sudah menemukan pengganti Nadira."
Antonio sedikit membanting gelas wine-nya ke atas meja.
"Syukurlah kau tidak mengidap nekrofilia."
Sekuat tenaga, Antonio menahan agar kepalan tangannya tidak berayun ke wajah Jinandru. Ucapan syukur itu penuh nada gurauan dengan setitik ejekan. Sebelum lawan bicaranya melewati batas toleransinya, ia bergegas bangkit dengan kasar lalu meninggalkan lounge dengan langkah-langkah gusar.
***
"Pak! Pak Antonio!"
Suara Della yang bergema di koridor menuju lift berhasil menghentikan langkah Antonio. Ia menoleh dan melihat sekretarisnya setengah berlari menghampirinya.
"Jas Anda, Pak."
Antonio menatap datar pada jas biru dongker yang tadi ia sampirkan di punggung kursi. Dengan satu gerakan, ia mengambil jas itu dari lengan Della lalu berujar lirih, "terima kasih."
"Bapak mau ke mana?"
"Suite. Istirahat."
Della tersenyum karena tidak menyangka akan mendengar tanggapan. Beberapa detik lalu ia sempat mengira akan mendengar "bukan urusanmu" sebagai jawaban.
"Kebetulan saya juga mau kembali ke suite, Pak," ucap Della sambil bergerak seolah ia adalah pemandu wisata yang sedang menunjukkan tutorial menggunakan lift kepada pengunjung.
Della dan Antonio masuk dan terkurung keheningan. Sementara lift merangkak naik ke lantai tempat suite mereka berada.
Tidak ada pembicaraan hingga pintu lift kembali terbuka. Della mengerti, bosnya itu sedang kalut. Jadi ia cukup tahu diri untuk tidak membuat suasana semakin kusut.
"Hem... selamat malam dan selamat beristirahat, Pak," pamit Della sambil sedikit menundukkan kepala.
Tidak ada tanggapan. Hingga Della mengira Antonio sudah masuk ke dalam suite-nya. Ia hendak berbalik saat tiba-tiba bosnya bersuara.
"Aku butuh secangkir kopi."
Della mematung, tidak menduga akan mendengar kalimat itu.
"Bisa kau buatkan? Seharusnya ada coffee maker di setiap suite."
Tersadar dari kekagetannya, Della menjawab cepat, "bisa, Pak!"
"Nanti antarkan ke─"
"Kenapa tidak di sini saja, Pak?" sela Della sambil menunjuk pintu suite-nya, seolah ini adalah menit-menit terakhir di bumi. "Hem... Saya akan kesulitan membawa ke suite Bapak karena... kopi itu panas."
Kali ini, Antonio yang tertegun untuk sejenak. Ia kemudian mengangguk walaupun sadar alasan Della terasa lancung.
***
Antonio merasa benang kusut dalam benaknya sedikit terurai setelah kopi buatan Della melewati tenggorokannya. Ia meletakkan cangkir ke atas meja, lalu bersandar senyaman mungkin ke punggung sofa.
"Di mana kau belajar membuat kopi?" tanya Antonio santai sementara Della duduk memerhatikannya dengan sikap formal.
"Dulu saya pernah dekat dengan seorang barista, Pak. Dia yang mengajari saya."
"Lelaki?"
Della mengangguk.
"Mantan pacar?"
Kali ini, Della menggeleng. "Kami memang dekat, tapi waktu saya tanyakan tentang kejelasan status dan perasaannya, dia bilang 'kau terlalu baik untukku'."
Klise. Salah satu sudut bibir Antonio terangkat. "Kurasa bukan 'terlalu baik', melainkan 'terlalu agresif'."
Glabela Della berkerut. "Agresif?"
Antonio mengangguk. "Sikapmu terhadap lawan jenis terlalu banyak insiatif. Lelaki pasti akan merasa bingung kalau setiap langkah sudah dilakukan lebih dulu oleh pihak perempuan."
Sepasang netra Della membulat, sama sekali baru mendengar pendapat seperti itu tentang dirinya. Selama ini, ia hanya ingin memperlihatkan perasaannya dengan jelas. Tanpa bermaksud mendahului langkah lelaki yang ia sukai.
"Seperti tadi dengan mudahnya kau mengajakku berdansa atau caramu mengiakan ajakan Romero. Bahkan sekarang kau mengizinkanku berada di suite-mu. Beberapa lelaki bisa saja salah paham dengan sikap ramahmu."
Senyum di bibir Della sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia merasa beruntung bisa mendengar Antonio berbicara sepanjang itu dan tidak sedang membahas tentang pekerjaan. Semoga tahap ini memang berlabel lampu hijau.
"Kenapa ekspresimu mencurigakan begitu?"
Della mengabaikan pertanyaan itu dan bangkit dari sofa. Senyumnya sama sekali tidak meninggalkan bibirnya. "Mau tahu hal lain yang saya pelajari saat dekat dengan lelaki, Pak?"
Kening Antonio berkerut. Pertanyaan itu terdengar tidak lazim.
Della menarik lengan Antonio, meminta bosnya untuk berdiri. Lelaki itu menurut, walaupun rautnya masih bingung.
"Saya mempelajari cara berdansa," ucap Della bangga. "Musik."
Perintah suara yang diucapkan Della menyalakan alunan lagu pop dari salah seorang penyanyi dari luar negeri.
Antonio menggeleng. "Sudah kukatakan tadi, aku tidak suka berdan─"
"'Tidak suka' bukan berarti 'tidak bisa', kan?" sahut Della dengan berani. "Coba untuk sedikit santai, Pak. Perusahaan tidak akan tumbang hanya karena Bapak bersenang-senang. Itulah kenapa bos menggaji pegawai, kan? Untuk membantu pekerjaannya."
Della mulai mengentak-entakkan kaki di atas karpet yang lembut. Antonio tidak tahu kapan gadis itu melepas sepatu hak tingginya. Tahu-tahu sekretarisnya itu sudah meraih tangannya dan mengguncang-guncang tanpa rasa sungkan. Tetapi entah mengapa, semangat yang ditularkan Della terasa menyengat sendi-sendinya yang kaku.
Antonio mencoba bergerak sedikit dan setelah tiga kali nadinya berdenyut, ia sudah terlena dalam euforia. Bahkan kemeja dan celana kainnya sama sekali tidak terasa menganggu gerakannya.
Dengan mudah, Della mengimbangi ayunan tangan dan lompatan kecil Antonio. Mereka berputar, berpegangan tangan, dan tertawa seiring irama.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Antonio melakukan hal konyol seperti ini. Saat itu, pasti Nadira─bahkan mungkin ibunya juga masih berada di sisinya.
Hingga akhirnya, setelah tiga lagu berturut-turut, Della dan Antonio mengempaskan diri ke atas sofa. Napas mereka terengah-engah bercampur tawa. Tatapan mereka beradu, seolah bersyukur atas tarian yang menyenangkan.
Dan Della tidak ingin kehilangan momen itu.
"Jangan takut merasa salah paham, Pak. Kalau Bapak pikir saya sedang jatuh cinta. Itu memang fakta."
***
Unlock Your Heart VI: Confession (1)
Entah terpengaruh ucapan Romero atau apa, Della memilih gaun berwarna biru dongker untuk pesta peresmian malam ini. Bagian atasnya berbahan brokade menutupi hingga sikunya, sedangkan mulai pinggangnya mengembang rok asimetris yang bagian belakangnya lebih panjang dari bagian depan yang berhenti di atas lutut. Sepasang Stevany berwarna emas menyempurnakan penampilannya.
Setelah memasukkan ponsel, kartu identitas, beberapa lembar uang, serta pulpen dan buku kecilnya ke dalam tas tangan yang sewarna dengan sepatunya, Della bergegas meninggalkan suite-nya. Ia tidak ingin menjadi pihak yang ditunggu oleh bosnya.
Della ingin menunggu tepat di seberang pintu. Sehingga sosok dirinya yang pertama kali akan dilihat Antonio saat keluar dari suite-nya.
Sayangnya, keinginannya itu hanya berakhir sebagai khayalan. Antonio sudah keluar dari suite-nya bersamaan dengan Della yang tengah mengunci pintu. Tetapi kekecewaan Della tidak bertahan lama saat ia melihat Antonio yang juga memilih warna biru dongker untuk setelan jasnya.
"Kalau seperti ini, kita terlihat seperti pasangan, ya, Pak," ucap Della sambil berusaha menyembunyikan senyum.
Antonio mendebas. "Jangan mengatakan hal konyol," ujarnya lantas melirik sekilas.
"Maaf, Pak." Della mengigit bibirnya sambil memutar otak untuk topik pembicaraan. "Tadi saya membaca beberapa artikel dari beberapa media yang memberitakan tentang peresmian hotel ini."
Antonio mengangguk, tanda ia menyimak.
"Semuanya bernada positif."
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Antonio saat mereka sudah berada di dalam lift. "Apa ada yang perlu diperbaiki dari suite itu?"
"Menurut saya, semuanya sempurna, Pak. Cuma rasanya terlalu luas karena ditempati sendirian."
Pintu lift yang bergeser terbuka mengakhiri pembicaraan mereka.
Della berjalan satu langkah di sisi Antonio. Berdua mereka menyusuri koridor yang mengarah langsung ke tempat acara. Hingga tiba-tiba Della terkesiap dan menghilangkan jarak dengan bosnya itu.
"Oh, astaga. Ini kita di dalam laut, Pak?" bisik Della takjub saat bahu mereka bersinggungan.
"Secara teknis, iya," jelas Antonio. "Padahal sebenarnya ini sama seperti akuarium raksasa di tempat wisata."
Mata Della terus mengamati beberapa ikan berwarna cerah yang berenang di sampingnya, lalu bersembunyi di antara rumput laut yang melambai-lambai. Tanpa menyadari bahwa Antonio kembali memberi jarak di antara mereka.
***
Sambutan, pengguntingan pita, ucapan-ucapan selamat hingga menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan dalam seluruh rangkaian resmi acara akhirnya usai. Para tamu undangan dan awak media sudah meninggalkan tempat acara. Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam pembangunan hotel ini melanjutkan acara ke lounge yang terhubung langsung dengan poolside bar.
Della memilih untuk berkeliling menikmati kudapan ringan yang tersedia, tentu saja setelah mendapat izin dari Antonio. Sementara bosnya itu duduk di salah satu kursi nyaman di lounge ditemani segelas wine.
Kaki Della bergerak meninggalkan lounge bergaya vintage elegan itu dan pindah ke poolside bar yang tampak lebih santai. Ia berhenti di sebuah meja yang menyajikan berbagai macam roti berukuran mungil pada piring bertingkat tiga.
"Bingung?"
Tatapan Della bergerak ke samping untuk menemukan Kania yang tersenyum ke arahnya. Gadis itu mengenakan gaun panjang bergaya mermaid yang warnanya langsung mengingatkan Della pada langit cerah di tepi pantai.
"Iya. Semuanya terlihat enak."
"Pilih roti yang permukaannya bersih dari bintik atau garis hitam," saran Kania sambil mengambil piring pipih kecil dan memindahkan beberapa roti ke sana. "Dan jauhi roti beraroma seperti logam atau jamur."
Della mendengarkan sambil meniru apa yang dilakukan Kania.
"Salah seorang pamanku adalah pembuat roti, beliau yang mengajarkan itu padaku," jelas Kania tanpa terkesan khawatir dianggap sok tahu. "Mau bersantai sedikit di bar?"
"Boleh."
Beberapa menit kemudian, dua gadis itu sudah duduk di kursi tinggi sambil menunggu bartender menyiapkan minuman.
"Jadi, Niken akan menikah, ya?" ucap Kania membuka obrolan.
Della hanya mengangguk karena mulutnya masih mengunyah roti kismis.
"Sudah berapa lama kau menggantikan Niken?"
"Baru satu minggu," ujar Della sambil memgacungkan telunjuknya seolah menunjuk langit malam yang menaungi mereka.
Kania meraih minumannya yang disajikan dalam gelas tinggi. "Kuharap kau betah."
"Tentu saja."
Kening Kania mengernyit heran. "Kau tidak terganggu dengan sikapnya yang muram dan suka marah-marah?"
"Dia bosnya. Kurasa itu wajar."
Kania menjepit sedotan dengan bibirnya yang mengulum tawa kecil. "Selama ini tidak ada sekretaris yang betah bekerja lebih dari satu bulan. Kecuali Niken, tentu saja."
"Mungkin mereka sudah menemukan pekerjaan lain yang lebih cocok."
"Pikiranmu selalu positif, ya," ujar Kania lantas tersenyum.
Bahu Della terangkat sekilas lalu tangannya terulur mengambil donat mini berlapis matcha glaze dan potongan kacang almond.
"Gaun itu pas untukmu."
"Terima kasih."
"Salah satu mantan sekretaris Antonio pernah mengenakan gaun dalam kategori 'memalukan'." Kania membuat tanda kutip di udara untuk kata terakhir dalam kalimatnya. "Itu terjadi saat peresmian apartemen di Singapura. Selesai acara, dia langsung dipecat."
"Memang 'memalukan' seperti apa?"
"Kau bayangkan sendiri, ya. Gaun merah bata dengan bagian dada dan punggung yang terbuka. Belum lagi belahan rok panjangnya yang tersingkap memperlihatkan paha dan betisnya setiap kali dia melangkah."
Kening Della mengernyit saat membayangkan betapa tidak praktisnya gaun itu untuk dikenakan.
"Aku tidak tahu siapa yang ingin digodanya. Tapi mungkin siapa saja tidak masalah karena semua yang hadir di sana pasti bukan orang sembarangan."
"Apa kau juga pernah menjadi sekretaris Pak Antonio?"
Kania menggeleng. "Sejak dulu, aku sudah bekerja di dunia perhotelan. Aku hanya beruntung karena bisa mengenal Antonio yang sangat membantu karierku. Dulu dia bertunangan dengan sahabatku, Nadira. Mereka pasangan serasi. Tapi..."
Jemari Della terhenti satu senti di depan gelasnya yang mulai dipenuhi bintik-bintik air demi mendengar kelanjutan kalimat Kania.
"...kurasa kurang etis kalau aku menceritakan masa lalu temanku," ucap Kania sambil memandangi ujung sedotan dengan tatapan sendu, membiarkan kotak penasaran Della tetap kosong.
Della menyesap lemon squash-nya, menelan pertanyaan yang tersangkut di ujung lidahnya.
"Apa tidak sebaiknya kau segera kembali ke tempat bosmu?"
"Memang kenapa?" Alis Della terangkat, mengikuti arah pembicaraan yang dibelokkan Kania.
"Sebaiknya, kau pastikan dia sedang bersantai. Bukannya malah memulai rapat di tengah pesta ini."
"Ah, benar juga." Della tertawa kecil. "Terima kasih sudah menemaniku mengobrol sambil makan roti. Kita bisa lakukan lagi lain waktu."
"Tentu saja." Kania tersenyum lebar. "Senang bisa mengenalmu, Della."
***
Saat kembali ke lounge, Della mendapati Antonio sudah tidak duduk sendiri. Romero duduk menemaninya. Penampilan arsitek itu didominasi warna hitam yang elegan alih-alih muram. Mulai dari setelan jas, sepatu, hingga kemeja dan dasinya. Tampak sangat kontras dengan penampilan Antonio yang sudah menanggalkan jas dan menyisakan kemeja putihnya.
Della baru menarik kursi untuk duduk saat tiba-tiba musik yang tadinya mengalun pelan digantikan musik bertempo lebih cepat dan bersemangat.
"Wah, sudah waktunya berdansa," gumam Romero bersamaan dengan orang-orang yang menuju ke luar lounge.
"Dansa?" Della berseru antusias. "Ayo, kita berdansa, Pak!"
Antonio menggeleng. "Aku tidak suka berdansa."
"Kalau begitu, dansa denganku saja," tawar Romero sambil bangkit dari duduknya dan menyodorkan lekukan lengannya pada Della. "Boleh, kan, Bos?"
Della menatap ke arah Antonio yang menjawab dengan anggukan kelopak mata. Ia berujar terima kasih lantas mengamit lengan Romero. Mereka mengikuti yang lainnya ke area di dekan kolam renang.
Antonio mengangkat gelas untuk menyesap wine-nya. Sepasang netranya memandangi semua itu dengan perasaan tidak menentu.
***
Rabu, 18 Mei 2016
Unlock Your Heart V: Inauguration (2)
Antonio membukakan pintu untuk Della. Kedua alis tebalnya langsung terangkat heran begitu melihat penampilan sekretarisnya.
"Tren fashion terbaru?"
Della menunduk dan mendapati gaun dadu dengan rajutan bunga sepatu itu masih terpasang di tubuhnya. Tampak tidak padu dengan celana tidur dan sandal hotel di kakinya.
"Seleramu unik juga ternyata."
Sial. Beberapa anak rambut turun menjuntai dari ikatan asal di belakang kepalanya saat Della menunduk malu sambil melangkah masuk. Tadi ia memang terburu-buru memenuhi perintah bosnya. Tangannya secara otomatis menyambar buku catatan dan pulpen yang ia bawa bersama ponselnya, tanpa sempat memeriksa penampilannya. Duh, jangan sampai kecerobohannya membuat bosnya luah.
"Maaf, Pak. Tadi saya sedang mencoba beberapa gaunnya. Takut tidak cukup waktu untuk mengenakan semua gaun cantik itu."
"Kau boleh membawa semua itu pulang," ucap Antonio enteng. Seolah lelaki hanya menyuruh Della membawa sestoples permen.
"Serius, Pak?"
Antonio menjawab dengan anggukan. "Dan sudah berapa kali kukatakan, potong rambutmu."
Della menghindari tatapan Antonio untuk memerhatikan sekitar. Interior di sini tidak jauh berbeda dengan di sebelah. Mungkin tidak akan mencurigakan kalau Della berpura-pura salah masuk suite. Yang membedakan hanya aroma ayam panggang yang tercium sejak Antonio membukakan pintu.
Antonio berjalan ke ruang makan diikuti Della. Di sana ia melihat seorang lelaki yang seusia bosnya sedang duduk di hadapan meja makan yang sudah penuh dengan berbagai hidangan.
"Ini sekretarisku," ucap Antonio pada lelaki yang mengenakan kaus hitam bergambar Menara Eiffel itu.
Lelaki itu bangkit sambil menatap Della seolah baru menemukan keripik kentang di dalam kaleng biskuit.
"Dia yang menggantikan Niken," jelas Antonio. "Niken resign karena mau menikah."
"Oh, kukira tidak betah menghadapimu seperti yang lain," sindir lelaki itu sambil mengangkat alis.
Antonio berdecak. "Della, dia Romero Ravnoir. Arsitek yang merancang hotel ini."
Romero mengulurkan tangan sambil berujar, "salam kenal."
Tanpa sadar, Della ternganga. Tidak menyangka ia bisa bertemu langsung dengan salah satu anggota keluaga Ravnoir yang hampir seluruh keturunannya berjiwa pebisnis itu. Klan ini memiliki usaha komersial di berbagai bidang. Termasuk media massa dan yayasan pendidikan dengan fasilitas terlengkap. Kabar terbaru yang dibaca Della menyebutkan bahwa puncak tertinggi dari kerajaan bisnis keluarga ini justru diduduki oleh salah seorang keturunan yang usianya bahkan belum tiga puluh tahun. Tetapi tidak ada bukti pasti dari berita tersebut karena yang bersangkutan menolak untuk muncul ke publik.
Selain kemapanan keluarga serta harta yang seolah tidak akan pernah habis, keturunan klan Ravnoir dikaruniai fisik memesona. Terbukti dengan apa yang dilihat Della saat ini. Romero memiliki sepasang netra berwarna serupa kacang di bawah alisnya yang rendah, rahang yang tegas, dan garis yang samar-samar membelah dagunya.
Diselamatkan oleh kemampuannya menguasai diri, Della menyambut uluran tangan Romero dengan gaya bersahabat seraya menyebutkan nama.
"Ayo, kita segera mulai saja makan malamnya," ajak Romero sambil kembali duduk. "Selagi makanannya masih hangat."
Della mengambil tempat duduk di seberang Romero, sementara Antonio duduk di bagian kepala meja. Makan malam berlangsung tenang. Hanya sesekali obrolan santai tentang keindahan lokasi rencana proyek selanjutnya muncul di antara denting sendok dan garpu.
Situasi ini mengingatkan Della saat rapat bersama Manuel di ruangan Antonio. Ia tidak ingin kembali mempermalukan diri sendiri, maka kali ini ia bertekad akan benar-benar menyimak dan mencatat setiap poin penting dari rapat berkedok makan malam ini.
***
Antonio mendengarkan penjelasan Romero tentang tujuan usulan pembangunan resort di Mandalika dan Wakatobi. Sekilas, ia melirik ke sisi kirinya. Della tampak mempertahankan efiensinya dengan membuat catatan tentang rancangan yang belum resmi ini. Rambut gadis itu sudah digelung dengan gaya resmi, seperti saat ia bekerja di kantor.
"Aku akan mengirim orang untuk survei lapangan," ucap Antonio, mengetahui bahwa Romero membutuhkan tanggapan darinya.
"Kurasa kau tidak akan rugi kalau melakukan survei sendiri. Tempatnya benar-benar luar biasa. Dalam hitungan tahun, lokasi itu akan menjadi primadona wisata mengalahkan Bali. Jangan sampai kita kecolongan start." Romero menumpukan lengannya ke atas meja yang sudah bersih dari sisa-sisa makan malam. "Bagaimana kalau setelah pesta besok malam, kita langsung terbang ke Mandalika?"
Antonio percaya, karena Romero tidak pernah melebih-lebihkan sesuatu. Tetapi ia menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa. Minggu depan agendaku sudah padat."
"Tunda saja dulu rapat-rapatmu itu. Ini kesempatan emas."
Antonio mengembuskan napas panjang. "Nanti Della yang akan mengatur jadwal kunjunganku ke sana."
"Kabari aku kalau jadwalnya sudah pasti. Aku akan menemanimu berkunjung."
Della mengangkat wajah dan tersenyum singkat kepada Romero.
"Sebelum itu, bisa kau jelaskan konsep mentahnya? Atau tunjukkan sketsa kasar yang sudah kau buat."
Romero menjelaskan sedetail mungkin tentang visinya untuk proyek mereka. Antonio sesekali mendebat atau menyanggah ide yang dirasa kurang potensial. Sementara Della terus sibuk mencatat.
"Baiklah. Pembahasan selesai sampai di sini," ucap Antonio menutup pembicaraan mereka.
Romero bangkit sambil melemaskan otot-otot bahunya. "Aku sebaiknya kembali ke kamar dan mulai mengerjakan sketsa untuk proyek kita."
"Kukira hanya kelelawar yang suka bergadang, ternyata gagak juga."
Romero mengembuskan tawa sinis. "Tidak ada arsitek yang tidur di malam hari, dasar Singa Bersayap. Oh ya, boleh aku minta salinan catatan itu? Tolong kirim ke e-mail-ku," ucap Romero saat Antonio juga ikut berdiri diikuti Della.
"Sebaiknya kau mempertimbangkan untuk memiliki asisten pribadi."
Romero menggeleng. "Kau tahu aku tidak mau ada yang mengikutiku ke mana-mana. Maaf, bukan bermaksud ofensif, Nona Sekretaris." Ia menoleh pada Della yang langsung tersenyum mengerti. "Aku tidak suka kalau ada yang mengintip rancanganku sebelum itu benar-benar rampung dengan sempurna."
Antonio membukakan pintu. Romero melangkah keluar lebih dahulu. Kemudian Della yang berjalan perlahan, sengaja memuaskan indranya untuk menghirup wangi seperti campuran mint dan amber khas Antonio.
"Nanti akan kukabari kalau rancanganku sudah selesai."
Antonio hanya mengangguk untuk mengisyaratkan persetujuannya.
"Saya juga pamit, Pak. Selamat malam," ujar Della sambil sedikit membungkuk pada Antonio lalu pada Romero. "Senang berkenalan dengan Anda, Pak Romero."
Romero melengkungkan senyumnya. "Sampai ketemu besok di pesta peresmian."
Antonio hanya menganggukan alisnya dan menutup pintu, meninggalkan arsitek dan sekretarisnya di luar.
"Omong-omong, itu gaun yang bagus," ujar Romero menilai penampilan Della.
"Terima kasih."
"Meskipun jauh lebih baik tanpa celana tidur dan sandal hotel."
Della tertawa kecil menanggapi gurauan itu.
"Kalau boleh aku beri saran, warna gelap lebih cocok untuk mendampingi bos beraura muram seperti Nino─Antonio, maksudku."
***
Unlock Your Heart V: Inauguration (1)
Ternyata duduk di jet milik perusahaan tidak senyaman yang digaungkan orang-orang. Sejak awal pantat dan punggungnya menyentuh kursi empuk itu, Della masih belum menemukan posisi yang menyenangkan hatinya. Matanya melirik ke samping. Mungkin duduk di pangkuan Antonio akan jauh lebih nyaman. Della menggeleng risau, menghapus khayalannya. Seharusnya para pembuat pesawat mengatur ulang peletakkan kursi di kabin. Misalnya, hanya disediakan satu kursi untuk dua orang. Della dengan senang hati berbagi tempat duduknya dengan Antonio selama perjalanan mereka.
"Pertama kali naik pesawat?" tanya Antonio tanpa menggerakkan kepala dari majalah bisnis yang dibacanya.
"Tidak, Pak," jawab Della setelah terdiam beberapa jenak karena belum terlalu yakin Antonio sedang berbicara dengannya.
"Ya, sudah. Cepat sana ke toilet."
"Baik, Pak," jawab Della lantas melepas sabuk pengaman dan melaksanakan perintah itu. Ia sempat bertukar senyum dengan salah seorang pramugari dalam perjalanannya ke toilet, hingga tiba-tiba ia tersadar dan kembali ke tempat duduknya.
"Kenapa Bapak suruh saya ke toilet?"
Antonio hanya menaikkan satu alisnya. "Kukira kau butuh ke toilet. Urusan perempuan atau semacamnya."
Perlahan, Della menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan, Pak."
"Kalau begitu, duduk. Ambilkan draf dokumen untuk rapat hari Senin."
Della menurut dan langsung menyerahkan apa yang diminta Antonio. Lelaki itu langsung menutup majalah dan mencurahkan perhatian pada tumpukan kertas di atas meja. Sementara Della memerhatikan kesibukan bosnya sambil mengulum senyum di kursinya.
"Kurasa ada sedikit kekeliruan di sini." Tahu-tahu Antonio bersuara, memutus lamunan Della. "Coba kau diskusikan lagi dengan Bu Rachel."
"B-baik, Pak," ucap Della sedikit tergeragap lantas memberi penanda pada laman yang ditunjuk Antonio.
Lelaki itu meminta Della menyimpan kembali dokumen itu, sementara Antonio membuka lagi majalah yang pernah beberapa kali memuat artikel tentang dirinya sebagai Presiden Direktur Alva Nation Developments.
"Kalau ingin menyampaikan sesuatu, katakan saja."
"Eh?" Della meremas keliman rok yang menggelitik lututnya. "Hem. Itu... terima kasih atas perhatiannya, Pak."
Setelah itu, tidak ada percakapan sampai pesawat mendarat di bandara tujuan.
***
Putaran roda mobil minibus premium itu melambat begitu memasuki area hotel. Sopir menghentikan kendaraan berdesain mewah itu di depan pintu lobi, lalu turun setelah menarik tuas rem tangan. Pria paruh baya itu tidak banyak bicara sejak mereka meninggalkan landasan.
Della mengikuti Antonio yang langsung membuka pintu bersamaan dengan petugas hotel yang hendak membuka pintu dari luar. Sedikit terkejut tetapi lelaki itu mempertahankan senyum tiga jarinya.
"Selamat datang. Saya harap perjalanan Anda menyenangkan," sapa seorang perempuan seumuran Della yang mengenakan pakaian seragam dengan lelaki yang membukakan pintu. Kemeja lengan panjang berkerah tegak dengan aksen batik. Yang membedakan, ada selendang batik yang diikatkan di pinggang pegawai perempuan. "Saya Kania Arsjad, yang akan menjadi pendamping Anda. Silakan, saya akan mengantar Anda ke suite terbaik di hotel ini."
Antonio dan Della mengekori Kania yang memandu mereka menuju lift khusus.
"Suaramu terdengar dibuat-buat."
"Sudahlah, biarkan aku menyelesaikan ini sesuai SOP."
Telinga Della menangkap bisik-bisik akrab antara Antonio dan Kania yang berjalan sejajar satu langkah di depannya. Setitik perasaan cemburu muncul tanpa diminta.
"Oh, ya. Ini Della," ucap Antonio saat mereka melangkah ke dalam lift. "Dia sekretaris pribadiku."
"Hai, Della," sapa Kania sambil tersenyum.
Della balas tersenyum seraya mengangguk, sementata benaknya menimbang-nimbang apakah sikap ramah Kania timbul secara spontan atau hanya bagian dari SOP?
Lift berdenting dan Della belum menyimpulkan apa-apa. Mereka melangkah di lantai koridor berlapis karpet buatan Turki dengan perpaduan warna hitam dan abu-abu. Walaupun baru selesai dibangun, tetapi Della tidak mencium sedikit pun bau cat yang mencampuri udara.
"Silakan," ucap Kania sambil membuka lebar pintu.
Mata Della melebar saat melihat ruangan yang dipenuhi interior mewah itu. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan flat mungilnya.
Sofa berwarna cokelat susu yang tampak begitu nyaman, hingga Della bisa membayangkan dirinya tertidur di sana setelah menonton televisi. Pintu-pintu kaca yang menampilkan kolam renang di balkon. Suite ini bahkan memiliki dapur yang bisa membangkitkan semangat masak.
Ia mengikuti Kania yang memandunya menuju sebuah ruangan yang fungsinya mirip lemari. Beberapa helai gaun tergantung rapi. Lengkap dengan beberapa pasang sepatu di rak kayu yang menempel di lantai.
"Ini pakaian yang Anda pesan," ucap Kania yang langsung disambut raut bingung di wajah Della.
"Aku yang memintanya," ucap Antonio, menjawab pertanyaan yang bergema di belakang kepala Della. "Siapa tahu kau tidak membawa gaun yang cukup pantas untuk acara besok malam."
Della berbalik dengan mata berbinar syukur yang ditujukan langsung pada Antonio. "Terima kasih, Pak!" serunya terlalu antusias.
"Selanjutnya, mari saya antar ke suite Anda, Pak Antonio," kata Kania dengan suaranya yang teratur. Tetapi berhasil memorakporandakan perasaan Della. Binar di sepasang netranya padam seketika itu juga.
Pupus sudah khayalannya untuk berbagi suite luas ini bersama bosnya.
***
Della tersenyum dan pantulan bayangan dirinya di cermin membalas senyumnya. Saat ini ia sedang berada di ruang wardrobe untuk mencoba beberapa gaun yang disediakan. Ia bahkan rela melewatkan pemandangan senja yang terlihat dari balkon.
Gaun berwarna dadu itu merupakan gaun ketiga yang dicoba Della. Walaupun desainnya terkesan sederhana, ia tahu gaun-gaun itu bukan dari merek sembarangan. Begitu juga dengan tiga pasang sepatu yang semuanya keluaran terbaru Stevany─merek sepatu lokal yang dalam waktu singkat mampu menembus pasar dunia. Della memperkirakan isi ruangan ini setara dengan empat belas bulan gajinya.
Della mendebas kagum lalu memutar pinggangnya hingga gaun itu melambai anggun seiring gerakannya. Ia hendak mengganti sandal hotel dengan sepasang Stevany saat tiba-tiba ponselnya berdering di atas rak sepatu.
Bergegas, Della menjawab telepon itu karena nama bosnya terpampang di layar alat komunikasi itu.
"Cepat ke suite-ku. Sekarang."
Nada memerintah itu langsung membelai telinga Della begitu panggilan tersambung. Bahkan sebelum ia mengucapkan sepatah kata pun.
***
Rabu, 11 Mei 2016
Unlock Your Heart IV: Cogitation (2)
"Ada undangan pernikahan untuk Anda, Pak," ujar Della sambil meletakkan undangan bernuansa merah muda itu ke atas meja Antonio.
"Kau saja yang datang," balas Antonio cepat. Tidak sedikit pun lelaki itu mengalihkan perhatian dari berkas yang sedang dibacanya. Bahkan melirik pun tidak.
"Hem... tapi ini pernikahan anak pemilik Roncla Construction─"
"Kau saja yang datang," potong Antonio tidak peduli. "Ajak pacarmu atau siapa saja."
"Saya tidak punya pacar, Pak."
Alis Antonio terangkat tajam. "Itu urusanmu."
Rikuh, Della melangkah mundur. "Kalau begitu, saya permisi, Pak."
"Hei," seru Antonio membuat Della kembali menghadapnya. "Bawa ini keluar."
"Eh, baik, Pak," sahut Della sambil menuruti perintah.
Begitu keluar dari ruangan berdaun ganda itu, Della melihat Niken sudah kembali dari toilet. Gadis itu langsung kembali sibuk dengan layar komputer. Hingga tidak menyadari raut muram di wajah Della.
"Della," panggil Niken saat gadis itu duduk di sebelahnya. "Nanti saat istirahat siang, temani aku ke tempat Reza bekerja, ya?"
***
Jingga Photo Studio berupa bangunan mirip rumah tinggal setinggi dua lantai. Dindingnya seperti warna jus wortel bercampur susu. Jendela-jendela berbingkai kayu dibuka melebar, memberi akses bagi udara dan cahaya keluar-masuk dengan bebas. Begitu juga dengan pintu utama.
Della dan Niken menunggu di bagian ruang tamu yang sudah dialihfungsikan sebagai lobi. Niken sedang mengobrol seru dengan petugas resepsionis yang sudah akrab dengannya. Tadi, ia sudah mengenalkan Della pada gadis yang menyambut pelanggan dari baik meja kayu. Alih-alih ikut merumpi, Della lebih tertarik untuk memerhatikan foto-foto matahari terbenam yang terangkum di sisi dinding yang bersebrangan dengan meja resepsionis.
Ia berdiri di depan sofa panjang berlapis kulit sintetis sewarna jeruk keprok matang. Sambil sedikit mendongakkan kepala, Della memerhatikan satu per satu momen senja yang tertangkap dalam pigura-pigura tanpa bingkai itu.
Setelah selesai mengagumi foto terakhir, Della merundukkan kepala kembali ke posisi normal. Lalu ia berbalik dan menuju sebuah panel besar yang berdiri tidak jauh dari meja resepsionis. Foto-foto pranikah dengan berbagai macam tema terpampang di permukaan panel itu.
Fragmen kebahagiaan terpantul dengan jelas dalam pose yang ditampilkan setiap pasangan dalam foto. Entah itu senyuman, pelukan, atau sekadar saling menatap mata. Sampai kemudian, Della menemukan sosok yang dikenalnya menjadi bagian kumpulan potret itu. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan demi melihat lebih jelas.
Tidak salah lagi. Itu adalah Niken. Dengan riasan yang lebih tebal dari yang biasa ia kenakan ke kantor, tetapi tidak terkesan berlebihan. Gadis itu memegangi gaun putihnya yang mengembang sambil menoleh ke arah calon suaminya. Sementara lelaki yang duduk di atas kursi tinggi itu mengintip Niken dari balik kamera. Permukaan air yang memantulkan cahaya, menjadi latar yang sesuai.
Kebahagiaan yang terpancar di wajah Niken dalam foto, menular cepat pada Della. Tanpa sadar, ia ikut tersenyum hingga setitik khayalan terbersit di benaknya. Dalam ruang imaji miliknya sendiri, ia melihat Antonio yang mengenakan tuksedo putih mengulurkan tangannya. Lelaki itu meminta Della menjadi istrinya.
"Jangan terlalu lama memandangi foto itu, nanti kau jatuh cinta pada calon suamiku."
Tahu-tahu Niken sudah berdiri di samping Della dan memutus khayalan indahnya.
"Ck. Dasar besar kepala," gerutu Della lantas terkikik geli.
Niken ikut tertawa kecil. "Bagaimana? Bagus, tidak?"
"Bagus," jawab Della sambil menganggut-anggut. "Konsep foto yang sederhana tapi berkesan. Seolah tersirat bahwa hanya kepadamu tatapannya tertuju. Atau mungkin kau hanya ingin pamer kalau calon suamimu seorang forografer?"
Tanpa disangka, setitik kesedihan muncul di sepasang netra milik Niken. Gadis itu tersenyum sumir. Pandangannya terarah pada foto di panel. "Andai saja bisa begitu."
"Memang kenapa?"
"Kau tahu, beberapa orang menyayangkan keputusanku untuk resign dari AND," ucap Niken sambil menurunkan volume suaranya, hingga hanya bisa didengar Della. "Mereka bilang, pekerjaanku jauh lebih menjanjikan dari pada pekerjaan Reza yang 'cuma' fotografer."
Della menyimak hanya pada suara Niken. Walaupun suara resepsionis yang sedang menjelaskan beberapa paket foto studio kepada seorang calon pelanggan menjadi suara latarnya.
"Tapi bagiku, menikah itu butuh team work yang kompak, bukan kompetisi tentang pekerjaan siapa yang lebih baik."
Kepala Della mengangguk setuju. "Omong-omong, ini kalian foto di mana? Tempat wisata, ya?"
"Itu bendungan." Kali ini, tatapan Niken justru menerawang jauh ke masa lalu. "Desa asalku dan Reza sudah tenggelam di dasar bendungan itu."
Della menoleh ke arah Niken. Bibirnya terbuka. Setengah takjub setengah prihatin mendengar cerita itu.
"Maaf, ya, lama."
Terdengar suara penuh rasa bersalah yang otomatis membuat Della dan Niken serentak menoleh.
Profil samping lelaki pembawa kamera yang ada di foto menjelma nyata. Jauh berbeda dengan penampilannya dengan tuksedo hitam, lelaki yang mengundang senyum di wajah Niken itu tampak beberapa tahun lebih muda dengan kemeja flanel dan celana jeans.
"Tidak apa-apa. Si Bos galau lagi?"
Reza mengangguk. "Ada beberapa hal yang harus kuurus tadi. Lagi eksperimen menu apa kali ini?" tanyanya sambil mengintip ke dalam tas kain yang diberikan Niken.
"Oh iya, perkenalkan ini Della," ujar Niken sambil menepuk pelan bahu temannya. "Dia yang mengajarkanku resep ini."
Reza menoleh. Tatapannya seolah tidak menyangka bahwa Della berdiri di sana. Apakah lelaki itu terlalu cinta pada Niken hingga terlambat menyadari kehadiran gadis lain di sana?
Lelaki itu mengulurkan tangan dengan ramah yang disambut Della sambil tersenyum. Mereka saling menyebut nama masing-masing.
Setelah obroloan singkat yang berusia tidak lebih dari lima menit, Reza sudah berpamitan untuk kembali bekerja. Ucapan terima kasih dari Reza mengakhiri kunjungan Della dan Niken di studio foto itu.
***
"Tidak terasa, ya. Ini hari terakhirku ada di sini," ujar Niken saat mereka berjalan keluar dari lift.
"Aku takut kau akan merindukanku," gurau Della berusaha menyusup di antara melankoli yang tersirat dalam kalimat Niken.
Niken tersenyum miring dengan gaya humor. "Aku justru takut kau yang kebingungan tanpa kehadiranku."
"Tidak akan terjadi."
"Oh, astaga. Aku belum menyiapkan berkas─" Kata-kata Niken terputus lalu ia menoleh pada Della sambil terkekeh pelan. "Kenapa aku bingung. Itu, kan, tugasmu sekarang."
"Berkas apa?"
"Berkas untuk perjalanan bisnis. Aku belum bilang?" tanya Niken saat melihat raut bingung di wajah Della.
Della menggeleng.
"Jadi, lusa kau harus mendampingi Pak Antonio dalam perjalanan bisnis untuk─"
"Ke mana?" potong Della tidak sabar.
"Bali."
Della terus mengulang-ulang satu kata itu dalam hatinya. Terbayang keindahan pantai, pura yang indah, dan suasana malam yang semarak.
Jika Della pergi ke sana bersama Antonio, mungkin mereka bisa mencetak beberapa momen indah. Tentu saja setelah segala urusan profesional selesai. Mereka bisa berjalan-jalan di tepi pantai. Lalu menikmati makan malam romantis berdua. Ia bisa membayangkan Antonio menggenggam tangannya, lalu membelai pipinya. Hingga akhirnya bibir lelaki itu meninggalkan kecupan singkat di bibirnya.
Sepertinya benar kata Niken, ia akan kebingungan tanpa kehadiran mentornya besok. Karena khayalan demi khayalan tentang perjalanan bisnis akan terus terbit dalam benaknya.
Unlock Your Heart IV: Cogitation (1)
Sekali lagi, Della mematut bayangannya di cermin. Hanya untuk memastikan penampilannya sesempurna mungkin. Ia tidak ingin mendengar omelan meluncur dari bibir seksi yang selalu terbayang dalam benaknya yang delusif.
Della menatap puas gaya rambut barunya. Hari ini ia mengepang rambutnya dari kanan menyamping hingga ke kiri dan menguntir bagian ujung menjadi sanggul kecil di belakang telinga kirinya.
Ia sengaja, tentu saja. Demi menghindari komentar tentang gelungan rambutnya yang miring sekian milimeter. Kalau letaknya di pinggir begini, tidak ada celah untuk itu. Sekalian saja supaya bosnya melihat bahwa memiliki rambut panjang itu menyenangkan karena bisa ditata dengan berbagai macam gaya. Jadi, Della tidak perlu menggunakan rambut tambahan di hari pernikahannya nanti.
Pikiran itu sukses membuat sudut-sudut bibirnya tergoda untuk menampilkan sebuah senyuman. Bahkan dering ponsel yang mengusik khayalannya, tidak kuasa menghapus senyum dari wajah Della.
“Halo?” sapa Della sambil menempelkan ponselnya ke telinga tanpa melihat siapa yang menelepon. Karena ia sudah tahu pasti siapa orang yang bisa meneleponnya sepagi ini.
Siapa lagi kalau bukan Neysa?
“Della! Apa kau ada waktu nanti malam? Setelah kau pulang dari kantor tentu saja. Aku ingin mengajakmu makan malam bersama keluargaku juga. Kalau kau terlalu lelah, Kak Dewa dan Kak Winda bersedia menjemputmu. Mereka baru saja membeli mobil baru, kau tahu?” ucap Neysa lantas terkikik jail.
Nah, benar, kan? Mana ada orang lain di muka bumi ini yang memiliki suara melengking seperti ini? Apalagi jika sedang merasa bahagia, Neysa suka berbicara seolah titik dan koma belum ditemukan oleh para ilmuwan.
“Oke, oke. Jadi, ini makan malam untuk merayakan mobil baru Kak Winda?” Della bertanya sambil melumuri bulu matanya dengan maskara.
“Tentu saja bukan,” sahut Neysa sambil mencebik kesal.
Della bisa membayangkan dengan jelas wajah sahabatnya memberengut di seberang sana. Ia memang sengaja melakukannya. Dengan begitu, Neysa akan berbicara dengan jeda yang lebih manusiawi.
“Lalu apa? Perayaan anniversary pernikahan Kak Dewa dan Kak Winda?” goda Della lagi. Ia menyembunyikan seringai jail di wajahnya. Sementara matanya melirik penuh arti pada nakas di samping tempat tidurnya.
“Apa kau lupa?” Neysa masih berseru tidak percaya. “Untuk merayakan kelulusanku. Aku akan menghadapi ujian skripsi siang ini, Della.”
“Oh, ya?” seru Della dengan suara takjub yang dibuat-buat. “Jadi, aku harus datang jam berapa?”
Hening sejenak. Sebelum kemudian terdengar suara ketus beberapa detik sebelum telepon terputus.
“Jam tujuh.”
Della memandang geli pada layar ponselnya. Kemudian memasukkan benda itu ke dalam tas, diikuti sebuah kotak putih berhias pita biru yang sejak seminggu lalu bertengger di atas nakas.
***
Della mengetuk pintu berdaun ganda itu sesuai dengan kode ketukan pengantar kopi. Dan jawabannya langsung terdengar sedetik kemudian.
“Selamat pagi,” sapa Della dengan senyuman lebar. Tangannya bergerak memindahkan apa yang dibawanya di atas nampan ke atas meja. "Silakan kopi Anda, Pak.”
“Apa ini yang kaubawa?” tanya Antonio ketus alih-alih membalas sapaan Della.
“Kopi, Pak.”
“Bukan yang itu.”
“Oh? Roti, Pak.”
“Kaupikir aku bodoh? Aku tahu itu roti. Tapi untuk apa ada di sini? Aku tidak memintanya.”
“Itu karena saya pikir sarapan hanya dengan secangkir kopi itu tidak baik bagi kesehatan. Jadi, saya bawakan roti untuk Anda.”
Untuk sesaat, Antonio terdiam. Raut wajah lelaki tu mengeras seperti bongkahan es di kutub. Mengabaikan Della yang menatapnya salah tingkah.
“Ada apa, Pak?” tanya Della takut-takut. “Apa Anda kurang menyukai roti dengan selai stroberi? Atau ada makanan lain yang Anda sukai untuk sarapan? Saya bersedia memasak─”
“Urus saja pekerjaanmu, Dellani Mahara,” sela Antonio kemudian. Suaranya tersirat nada pengusiran yang keras.
***
Sial. Antonio mendesah kesal beberapa saat setelah Della meninggalkan ruangannya. Wajah gadis itu menampilkan beragam ekspresi yang bercampur. Entah itu kebingungan, terkejut, atau justru terluka.
Tetapi Antonio tidak peduli. Lagipula untuk apa ia peduli? Della memang pantas mendapatkan yang lebih buruk darinya. Karena gadis itu sudah mengusik luka yang dikuburnya dalam-dalam.
Antonio meraih cangkir dan menyesap kopinya perlahan. Ia berharap perasaannya lebih baik setelah kafeina itu menjalari tenggorokannya. Tetapi sayangnya, justru sekelebat kenangan malah berputar dalam benaknya tanpa diminta.
‘Kau ingin roti dengan selai cokelat atau selai stroberi?’ tanya suara lembut itu membelai telinganya.
‘Tidak, terima kasih. Kopi saja cukup untukku,’ jawabnya tanpa mengangkat wajah dari koran yang dibacanya. Sebagai bukti, ia lantas menyesap kopi yang tadi dihidangkan gadis pemilik suara yang lembut itu.
Bukannya menerima, gadis itu malah berdiri galak sambil berkacak pinggang di hadapannya. Ia menengadah dengan bibir berkedut geli, membalas tatapan mata gadis itu.
‘Sudah berapa kali kubilang.’ Kali ini suara gadis itu terdengar menajam di telinganya. Yang justru mengundang senyum jenaka di wajahnya. ‘Sarapan hanya dengan secangkir kopi itu tidak baik untuk kesehatanmu, Nino.’
‘Ya, ya.’ Ia meletakkan korannya ke atas meja lalu mengangkat tangan tanda menyerah. Ia perlahan berdiri berhadapan dengan gadis itu lalu berbisik. ’Aku ingin selai stroberi saja. Karena warnanya serupa bibirmu.’
Antonio tersentak kuat dari perangkap memori itu. Karena cangkir porselen yang dipegangnya, sedikit miring dan menumpahkan isinya ke atas tangan Antonio. Ia memekik tertahan saat merasakan punggung tangannya seperti membara. Bersamaan dengan ujung lengan kemejanya yang berubah kecokelatan.
***
Della menelan ludah. Ini terasa seperti mimpi. Ia berharap bisa mendengar suara Neysa yang berusaha membangunkan ia dari tidurnya. Tetapi suara cempreng sahabatnya itu justru tidak muncul saat dibutuhkan.
Sekali lagi, Della memandang Antonio yang sedang menanyakan sesuatu tentang anggaran keuangan. Lalu pandangannya beralih pada lawan bicara bosnya, yaitu Wakil Direktur bernama Manuel. Lelaki yang kemarin diperkenalkan Matteo padanya.
Pemandangan yang tersaji membuat Della bertanya-tanya, apakah ada syarat khusus bahwa lelaki yang bekerja di perusahaan ini harus berkharisma dan berparas memesona?
Manuel bertubuh jangkung dan tampak kokoh karena rutin berolahraga. Ia memiliki sepasang netra cokelat terang yang tampak selalu berbinar. Ditambah senyum yang sesekali muncul di sudut bibirnya, membuat ia terlihat lebih santai sekaligus walaupun sedang mengenakan pakaian formal. Senyum yang tetap mengusik memori Della.
Berbeda jauh dengan Antonio yang tampak dingin dan serius. Seolah tidak ada hal lain yang ia pikirkan selain bekerja.
"Bagaimana menurutmu, Nona Dellani Mahara?"
Suara itu menunjukkan otoritas, tetapi diucapkan dengan nada yang santai. Bukan milik Antonio, melainkan Manuel.
Della mematung. Hanya sepasang kelopak matanya yang mengerjap begitu sadar dua lelaki tengah menatap ke arahnya.
Ia mengalihkan tatapan dari Manuel yang duduk bersebarangan dengannya di sofa panjang. Kini, ia memandang Antonio yang duduk di sofa single sambil mengangkat satu alisnya, seolah sedang menunggu.
Kepercayaandirinya hampir menguap habis di bawah tatapan kedua bos besar itu. Nyaris saja ia bangkit dan berlari kabur dari hadapan dua makhluk tampan yang menjadi penyebab ia melamun selama rapat kecil ini berlangsung. Terlebih, karena ia tidak memiliki petunjuk apa pun tentang pertanyaan yang diajukan Manuel untuknya.
Della berdeham. "Terima kasih sudah meminta saya untuk berpendapat, Pak Manuel. Tapi menurut saya, Pak Antonio yang lebih berhak," ujarnya sambil tersenyum hormat dan melirik ke arah Antonio.
Beruntung, Antonio tidak berusaha memperpanjang penderitaan Della dan langsung menyatakan argumennya.
Tidak mau mengulang kesalahan yang sama, Della benar-benar menyimak dan mencatat poin-poin penting dalam ucapan Antonio dan Manuel. Dalam beberapa kesempatan, ia menyadari bahwa Manuel melirik ke arahnya seolah ingin menelanjangi isi kepalanya. Hingga akhirnya rapat selesai dan Della merasa ia bisa kembali bernapas lega.
"Tadi itu cara mengelak yang cerdas."
Suara Manuel menahan niat Della untuk kembali ke mejanya. Saat ini mereka sudah berada di luar ruangan Antonio.
"Maaf?"
Manuel mengulas senyum yang lagi-lagi terasa familier bagi Della. Tetapi ia yakin belum pernah bertemu Manuel di luar perusahaan ini. "Tadi waktu aku memintamu berpendapat. Sebenarnya, aku penasaran apa yang kau pikirkan selama rapat?"
Tiba-tiba, tenggorokan Della terasa gatal. "Saya tidak─"
"Tidak apa-apa." Manuel tertawa. "Santai saja. Tapi wajahmu yang sedang bingung terlihat menggemaskan."
Jantung Della memompa lebih banyak darah ke wajahnya.
"Senang bekerja denganmu, Nona Dellani," ucap Manuel sambil menepuk lembut lengan sekretaris Antonio itu, lalu ia berbalik menuju ruangannya sendiri.
***
Rabu, 04 Mei 2016
Unlock Your Heart III: Fascination (2)
Della mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Gerakan itu membuat otot-ototnya yang kaku meregang seketika. Menciptakan kepuasan semu setelah terdengar bunyi gemertak di antara tulangnya.
“Astaga, kau mulai terdengar seperti nenek-nenek,” sindir Niken tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer.
“Biar saja,” balas Della sambil memajukan bibir bawahnya.
Kedua mata Della memandang iba pada buku-buku jarinya yang berubah kemerahan. Sejak tadi, ia terus berlatih mengetuk di atas meja. Sementara Niken menyiapkan dokumen-dokumen yang harus diserahkan kepada Antonio. Termasuk surat-surat yang membutuhkan tanda tangan lelaki itu.
“Ya, sudah selesai,” gumam Niken. Tangannya bergerak cepat menumpuk rapi kertas-kertas di atas meja. “Sekarang giliranmu untuk mengantarkannya.”
“Oke.” Punggung Della menegak penuh semangat. Ia butuh asupan pemandangan bosnya yang tampan sebagai vitamin untuk matanya yang lelah.
“Jangan lupa ketukanmu.” Niken mengingatkan Della saat juniornya itu memindahkan tumpukan kertas ke dalam dekapannya. “Setelah ini aku akan mengajakmu berkenalan dengan yang lainnya.”
“Beres,” sahut Della yakin. Ia mengangkat ibu jarinya ke udara, lalu melangkah keluar dan langsung berhadapan dengan pintu berdaun ganda tepat di sebelah pintu ruangannya yang lebih mungil.
Della menaruh kuda-kuda jemarinya di daun pintu, lalu menghirup dan menghela napasnya. Kemudian ia mendaratkan dua ketukan cepat dengan buku jari telunjuknya. Diikuti ketukan tunggal dari buku jari tengahnya, setelah melewati interval satu detik.
“Masuk.”
Seulas senyum terukir di bibir Della saat mendengar suara maskulin itu. Ia masuk dan menutup pintu di belakangnya setenang mungkin. Kemudian melangkah anggun menuju meja kerja sang Presiden Direktur.
“Ada lagi yang bisa saya lakukan untuk Anda... Pak?” tanya Della setelah meletakkan dokumen-dokumen yang di bawanya ke atas meja. Bibirnya terasa gatal ingin mengganti panggilan ‘Pak’ menjadi ‘Sayang’.
Antonio melirik acuh tidak acuh. Lalu menggeleng sambil melipat tangan di depan dada. Seperti pangeran aristokrat yang angkuh.
Sementara Della nyaris tumbang dari pijakannya. Ia merasakan ribuan panah dewa cinta memelesat tajam ke hatinya melalui sepasang mata abu-abu itu. Tetapi ia harus bisa menahan diri.
“Anda yakin... Pak?” Entah mengapa suaranya terdengar garau.
Kerutan jengkel mencuat di antara kedua alis Antonio yang hitam. “Tentu saja.”
Della berdeham membersihkan tenggorakannya. “Baiklah, kalau begitu saya akan kembali ke ruangan saya.”
Baru tiga langkah diambil Della untuk mendekati pintu, suara merdu itu kembali memanggilnya. Tentu saja dengan sederet kata yang familier di telinganya.
“Oh, satu hal lagi.”
Sebisa mungkin, Della menahan kedutan bahagia di sudut bibirnya. Lalu ia berbalik anggun di atas tumitnya.
“Apa itu, Pak?”
“Buatkan lagi secangkir kopi untukku.”
***
“Itu benar-benar kejadian langka di dunia.” Niken berkomentar takjub. Matanya mengerjap seolah ia sedang melihat langsung sebuah piring terbang mendarat di bumi.
“Kau terlalu berlebihan."
Saat ini mereka berdua tengah menikmati istirahat siang yang santai di pantri. Awalnya, Niken hendak mengajak Della makan siang di luar kantor. Tetapi ternyata Della sudah menyiapkan makanan untuk mereka berdua.
“Asal kau tahu, selama ini Pak Antonio tidak pernah meminta kopi kedua. Aku tidak tahu lagi jika dia menyuruh sopirnya membeli kopi di luar. Tapi—hem, masakanmu enak juga,” ujar Niken saat satu suapan mendarat dalam mulutnya.
“Benarkah?” Mata Della berkilat-kilat senang.
Niken menganggukkan kepala. Mulutnya masih sibuk mengunyah. Sementara sendok di tangannya sudah menyiapkan suapan selanjutnya.
“Rasa asam manisnya pas. Juga tidak terlalu asin,” ucap Niken seperti seorang pakar kuliner. “Dan aku masih tidak percaya ini bukan daging ayam melainkan... tahu?”
Della membenarkan tebakan Niken. “Ya. Tahu susu.”
Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. “Berjanjilah kau akan membagi resepnya padaku.”
Della terkekeh melihat ekspresi seniornya itu. “Tentu saja. Tapi aku sendiri juga masih belajar. Masih perlu banyak latihan.”
Gadis ini pasti dikaruniai sepasang tangan ajaib, pikir Niken. “Memang kau latihan memasak demi siapa? Kekasihmu?” goda Niken sambil tersenyum jail.
Della menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya, bertingkah seolah-olah malu. “Untuk calonku.”
“Dan siapakah itu?” Niken bertanya dengan jenaka.
“Kau juga tahu dia. Dia si bos besar. Antonio Álvar—“
“Jangan!” sela Niken cepat. Binar humor di wajah gadis itu menghilang dalam sekejap.
Hal yang sama juga terjadi pada Della. Kedutan tawa di bibirnya sirna seketika digantikan ekspresi bingung yang kentara. “Ada apa ini? Jangan bilang kau juga jatuh cinta padanya?” tebak Della sambil memaksakan tawa. Berusaha sia-sia mengembalikan nuansa santai di antara mereka.
“Tidak. Tapi yang penting, jangan sampai kau jatuh cinta padanya.”
“Memangnya kenapa?” Della masih menuntut Niken untuk memenuhi rasa penasarannya.
“Karena kau yang akan terluka.”
Baru saja Della membuka mulut, hendak meminta penjelasan lebih. Tetapi pintu pantri terbuka dan seseorang masuk di antara pembicaraan mereka.
Alis Matteo terangkat heran. Tidak menyangka akan melihat kedua gadis yang langsung bangkit dari duduk. "Ke mana office boy yang bertugas di pantri hari ini?"
"Semuanya sedang keluar, Pak. Mungkin membeli makan siang," jawab Niken.
Matteo mendebas lantas menatap jam tangannya. "Niken, bisa tolong belikan kopi yang biasa? Untukku dan Manuel."
"Oh, kalau kopi, biar saya buatkan, Pak," sahut Della lantas tersenyum.
Kening Matteo berkerut sangsi. "Oke. Tolong antar ke ruangan saya, ya."
“Baik, Pak,” sahut Della bersalut keceriaan semu. Di balik topeng itu, ia masih bertanya-tanya mengapa Niken melarangnya untuk jatuh cinta.
***
Della memindahkan dua cangkir kopi dari baki ke atas meja yang dikelilingi sofa-sofa kosong. Matteo tampak sibuk di balik mejanya. Tadi pria itu hanya menyapa singkat pada kedatangan Della. Berinisiatif, ia mendekat pada meja kerja Direktur Personalia itu.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"
Pria itu mengangkat wajah lalu tersenyum. Beberapa kerutan muncul di sudut matanya. Sementara sepasang netra itu berbinar arif. Sorot khas seorang pria dewasa yang hanya bisa didapat dari memaknai pengalaman hidup. Tatapan yang hilang dari hidup Della sejak lama.
Della menelan salivanya. Tatapan seorang ayah.
"Terima kasih, Della." Matteo mempertahankan senyumnya. "Maaf sudah mengganggu waktu kerjamu. Kuharap, Antonio tidak keberatan."
Della menggeleng sambil memulas senyum di bibirnya. "Beruntung sekali saya memiliki senior yang kompeten dalam pekerjaan ini."
Matteo tertawa renyah. "Kau ini pintar memuji, ya."
"Terima kasih, Pak." Della memperat cengkeramannya pada tepian baki. "Kalau begitu, saya pamit. Saya harus kembali berjuang menjadi sekretaris yang kompeten seperti senior saya."
"Baiklah." Matteo menganggut lalu tiba-tiba alisnya menegak ketika teringat sesuatu. "Atau tunggu sebentar lagi. Sebaiknya kau bertemu dulu dengannya."
"Siapa?"
"Wakil direktur kita. Pak Manuel."
Tepat saat itu, terdengar ketukan pada daun pintu yang terbuka setengah. Papan kayu bercat gelap itu berayun, dibuka lebih lebar. Bersamaan dengan rahang Della yang nyaris jatuh ke lantai.
Apa ada dewa yang baru saja turun dari kahyangan?
Kedatangan lelaki itu sangat mendadak. Hingga Della tidak sempat mengira-ngira seperti apa wujud orang yang menjabat sebagai Wakil Direktur di perusahaan ini. Seperti anak panah yang dilepaskan tiba-tiba, sosok itu muncul dan menghantam Della dengan pesonanya.
Selama beberapa detik, Della masih terbius. Bahkan ketika lelaki itu mengulurkan tangan setelah Matteo mewakilinya untuk memperkenalkan diri. Seperti robot yang digerakkan mesin, Della menjabat tangan itu sambil menyebut nama lengkapnya.
"Ini sekretaris yang akan menggantikan Niken."
Manuel tersenyum. "Salam kenal, Nona Dellani Mahara."
Senyum itu. Entah mengapa terasa tidak asing. Seolah Della sudah pernah melihatnya berkali-kali sebelum ini. Tetapi di mana dan kapan?
Tiba-tiba, sepasang netra abu-abu muncul di benaknya tanpa diminta. Sorot tajam itu seolah memberi peringatan. Della mengerjap. Benar. Ia harus fokus. Jangan mudah jatuh cinta pada lelaki lain. Ia tidak mau menjadi calon kekasih yang tidak setia.
Della menarik kembali tangannya. Ia mengatupkan bibir lalu tersenyum santun. "Senang bertemu Anda, Pak Manuel."
Bibir penuh lelaki itu tersungging. "Kau akan selalu senang. Setelah ini, kita akan lebih sering bertemu."
Unlock Your Heart III: Fascination (1)
“Jadi, sebelum masuk kau harus terlebih dahulu mengetuk pintu seperti ini,” ujar Niken sambil memeragakan ketukan yang dimaksudnya di atas meja pantri.
Della langsung mempraktekan apa yang diajarkan Niken. Buku jari telunjuknya mendaratkan tiga ketukan ke atas meja kayu itu.
“Ya. Hampir seperti itu. Tapi kau sedikit terlalu cepat,” tegur Niken lalu kembali mengetuk permukaan meja. “Jarak antar ketukanmu masih terlalu dekat.”
Sekali lagi, Della mengetuk permukaan meja seperti yang dicontohkan mentornya itu.
“Bagus.” Niken tersenyum bangga. “Aku senang kau cepat paham.”
Della mengulangi ketukannya lagi dan disambut anggukan kepala Niken. Ia tersenyum simpul saat merasakan semangat menjalar di sekujur tubuhnya.
Mulai hari ini, Della akan memasuki ruangan berdaun ganda itu sendirian. Tidak lagi ditemani Niken seperti kemarin. Dan tugas pertamanya hari ini adalah membuatkan kopi untuk Presiden Direkturnya yang tercinta.
“Ayo, cepat antarkan kopi itu dan luluhkan hati bos kita,” ucap Niken sambil mengerlingkan matanya dengan jenaka.
***
“Silakan, kopi Anda, Pak.”
Della memindahkan cangkir kopi dari nampan ke atas meja kerja Antonio. Persis di samping pesawat telepon. Sesuai dengan arahan dari Niken.
Bukannya mendengar ucapan terima kasih atau semacamnya, Della malah mendengar decakan kesal. Lelaki tampan itu menatapnya tajam dengan sepasang mata abu-abu yang menenggelamkan Della dalam pesona.
“Baru melakukan tugas pertama, tapi kau sudah melakukan kesalahan,” sindir Antonio tajam.
Kening Della berkerut bingung. “Kalau boleh tahu, kesalahan apa, Pak?”
“Cocokkan jam tanganmu dengan jam di ruangan ini.”
“Baik, Pak,” sahut Della lantas bergerak menghadap jam dinding yang terpasang di dinding abu-abu itu. Ia menyetel jam tangannya agar menunjukkan waktu yang sama persis dengan jam dinding itu.
“Kau terlambat tiga menit,” keluh Antonio begitu Della menghadap kembali padanya. “Seharusnya Niken menjelaskan betapa pentingnya waktu untukku.”
Della memberengut dalam hati. Apa harus ia menerima kemarahan seperti ini? Lagipula ia terlambat karena mempelajari cara mengetuk pintu yang baik dan benar. “Maafkan saya, Pak.”
Antonio meraih cangkir dari atas meja dengan perasaan lega. Entah sekadar sugesti atau pengaruh zat adiktif, tetapi ia selalu merasa tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik sebelum minum secangkir kopi setiap pukul tujuh pagi. Karena itu, ia merasa jengkel kalau kopinya terlambat datang.
“Kopi hitam pekat. Tanpa gula, tanpa creamer, tanpa susu,” ucap Della beberapa detik sebelum bibir cangkir menyentuh bibir seksi di hadapannya. Ia mengucapkan itu seperti nada bicara pelayan yang mengulangi pesanan pelanggan.
Antonio hanya melirik acuh tidak acuh pada sekretarisnya. Ia menyesap perlahan kopi paginya. Dan selama beberapa detik ia tertegun menatap kopi dalam cangkir porselen itu.
Tanpa sadar, Della menahan napasnya. Menanti komentar lain meluncur dari bibir lelaki itu. Tetapi anehnya, Antonio tidak mengatakan apa pun. Lelaki itu hanya menyesap kopinya sekali lagi. Dan lagi. Hingga akhirnya Della mengembuskan napasnya dengan lega. Sepertinya tidak ada masalah di sini.
“Kenapa kau masih berdiri di situ?”
Della mengerjapkan matanya sekali dengan bingung. Tetapi kemudian ia memahami maksud bosnya itu. Niken pernah menyebutkan bahwa Antonio tidak suka terang-terangan mengusir seseorang dari ruangannya.
“Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu,” ucap Della lantas berbalik. Ia melangkah anggun dengan nampan dalam pelukannya.
“Oh, ya. Satu hal lagi.”
Kata-kata itu kembali menghentikan langkah Della. Gadis itu berbalik. Seulas senyum terpasang di wajahnya. “Ada apa, Pak?”
“Kapan kau akan memotong rambutmu?”
“Uh, oh, ini akan saya usahakan digelung serapi mungkin, Pak.”
Antonio tersenyum separuh. “Gelungan rambutmu itu lebih condong ke kanan sejauh tujuh milimeter. Sama sekali tidak rapi.”
***
“Apa katanya?” tanya Niken bersemangat begitu melihat Della kembali memasuki pantri. Sebaliknya, wajah juniornya itu tampak sedikit tertekuk.
“Katanya, gelungan rambutku miring tujuh milimeter, atau apalah itu,” keluh Della sambil menarik kursi dan duduk di sana. Ia menempelkan, keningnya ke atas meja dan memejamkan mata. Saat itulah wajah Antonio Álvarez terbayang di balik kelopak matanya, membuatnya kembali mendongak penuh semangat. “Tapi aku tidak keberatan dimarahi lelaki setampan itu.”
Niken tergelak melihat perubahan drastis yang terjadi dalam sekejap itu. “Bukan itu. Maksudku, apa dia mengatakan sesuatu tentang kopi?”
Della menggeleng.
“Apa kubilang, dia akan bungkam begitu menyesap kopimu.” Niken menjentikkan jarinya ke udara. Sementara Della tidak memahami pencapaian yang dirayakan Niken saat ini.
“Memang ada apa sih sebenarnya?”
“Dulu, Pak Antonio selalu memprotes kopi buatanku. Entah itu terasa gosong, hambar, atau getir. Aku tidak mengerti,” ungkap Niken sambil memutar matanya dengan gemas. Seolah ia sedang menyaksikan kejadian itu tepat dihadapannya. “Aku bahkan meminta ajari seorang barista di kafe langgananku. Demi menyeduh kopi untuknya.”
Della melemparkan tatapan heran. Mengapa urusan kopi menjadi begitu rumit kali ini?
“Aku terus berlatih hingga akhirnya dia berkata ‘lumayan’. Kopi buatanku tentu saja tidak sebaik buatanmu,” puji Niken lantas mengerlingkan matanya. “Terima kasih sudah membalaskan dendamku.”
Kali ini, Della terkekeh senang. Mungkin saja dengan kopi buatannya, ia bisa mulai membuat lelaki itu jatuh cinta padanya.
“Ayo, kita kembali bekerja,” kata Niken sambil beranjak bangkit dari kursinya. “Kau harus mempelajari ketukan-ketukan yang lainnya.”
Mata Della melebar begitu saja. “Lagi?”
Niken mengangguk. Ia mengangkat semua jarinya ke depan dada. “Setidaknya ada sepuluh jenis ketukan pintu yang harus kaupahami.”
Della meringis masam mendengarnya. Ia mengelus-elus buku-buku jarinya yang harus mempersiapkan diri untuk bercumbu dengan permukaan kayu.
***
Antonio menempelkan kepalanya pada sandaran kursi kantornya. Matanya terpejam. Hingga hanya kegelapan yang melingkupi pandangannya. Kegelapan yang sama. Kegelapan yang menyesakkan napasnya. Bahkan setumpuk perkerjaan yang menantinya di kantor tidak pernah bisa meredakan perasaan itu.
Tiba-tiba secercah cahaya berpendar samar di ujung kegelapan. Antonio bergerak mendekati cahaya itu. Berharap mimpi buruk dalam kegelapan ini akan segera sirna. Dan begitu cahaya mengambil alih pandangannya, ia tiba pada sebuah hamparan padang rumput yang luas.
Di sana, di antara rerumputan hijau segar, seorang wanita berdiri memunggunginya. Wanita itu mengenakan terusan berwarna putih. Rambut dan ujung terusan wanita itu melambai-lambai tertiup angin. Tetapi hanya dengan melihat punggungnya, Antonio tahu siapa yang dilihatnya.
“Mama!”
Seolah bisa mendengar suaranya, wanita itu berbalik menghadap Antonio. Ibunya tersenyum dan mengulurkan tangan menyambutnya. Senyuman yang sama seperti yang diingatnya. Dan langsung menular padanya.
Antonio hendak berlari dan memeluk ibunya, saat seorang gadis memelesat di sampingnya. Gadis itu berlari dan menghambur dalam pelukan ibunya. Seperti yang seharusnya ia dapatkan.
Kening Antonio mengernyit iri. Ia menatap jengkel gadis yang saling melempar tawa kecil bersama ibunya di antara rumput yang melambai-lambai. Seolah kedua orang itu sudah saling mengenal sejak lama. Gadis itu juga mengenakan pakaian berwarna putih. Tetapi lebih menyerupai sebuah gaun dengan rok yang melebar menutupi kaki. Seperti sebuah gaun pernika... han?
“Nadira?”
Antonio membisikkan nama itu dengan napas tercekat. Kedua perempuan itu mendengarnya. Mereka berdua menoleh bersamaan dan tersenyum padanya. Dan juga menyebut namanya penuh kasih sayang.
“Nino....”
Tetapi bunyi ketukan di pintu langsung menyentak lamunannya. Atau mimpinya. Ia tidak tahu pasti.
***
Langganan:
Postingan (Atom)