Rabu, 18 Mei 2016

Unlock Your Heart V: Inauguration (2)



Antonio membukakan pintu untuk Della. Kedua alis tebalnya langsung terangkat heran begitu melihat penampilan sekretarisnya.

"Tren fashion terbaru?"

Della menunduk dan mendapati gaun dadu dengan rajutan bunga sepatu itu masih terpasang di tubuhnya. Tampak tidak padu dengan celana tidur dan sandal hotel di kakinya.

"Seleramu unik juga ternyata."

Sial.  Beberapa anak rambut turun menjuntai dari ikatan asal di belakang kepalanya saat Della menunduk malu sambil melangkah masuk. Tadi ia memang terburu-buru memenuhi perintah bosnya. Tangannya secara otomatis menyambar buku catatan dan pulpen yang ia bawa bersama ponselnya, tanpa sempat memeriksa penampilannya. Duh, jangan sampai kecerobohannya membuat bosnya luah.

"Maaf, Pak. Tadi saya sedang mencoba beberapa gaunnya. Takut tidak cukup waktu untuk mengenakan semua gaun cantik itu."

"Kau boleh membawa semua itu pulang," ucap Antonio enteng. Seolah lelaki hanya menyuruh Della membawa sestoples permen.

"Serius, Pak?"

Antonio menjawab dengan anggukan. "Dan sudah berapa kali kukatakan, potong rambutmu."

Della menghindari tatapan Antonio untuk memerhatikan sekitar. Interior di sini tidak jauh berbeda dengan di sebelah. Mungkin tidak akan mencurigakan kalau Della berpura-pura salah masuk suite. Yang membedakan hanya aroma ayam panggang yang tercium sejak Antonio membukakan pintu.

Antonio berjalan ke ruang makan diikuti Della. Di sana ia melihat seorang lelaki yang seusia bosnya sedang duduk di hadapan meja makan yang sudah penuh dengan berbagai hidangan.

"Ini sekretarisku," ucap Antonio pada lelaki yang mengenakan kaus hitam bergambar Menara Eiffel itu.

Lelaki itu bangkit sambil menatap Della seolah baru menemukan keripik kentang di dalam kaleng biskuit.

"Dia yang menggantikan Niken," jelas Antonio. "Niken resign karena mau menikah."

"Oh, kukira tidak betah menghadapimu seperti yang lain," sindir lelaki itu sambil mengangkat alis.

Antonio berdecak. "Della, dia Romero Ravnoir. Arsitek yang merancang hotel ini."

Romero mengulurkan tangan sambil berujar, "salam kenal."

Tanpa sadar, Della ternganga. Tidak menyangka ia bisa bertemu langsung dengan salah satu anggota keluaga Ravnoir yang hampir seluruh keturunannya berjiwa pebisnis itu. Klan ini memiliki usaha komersial di berbagai bidang. Termasuk media massa dan yayasan pendidikan dengan fasilitas terlengkap. Kabar terbaru yang dibaca Della menyebutkan bahwa puncak tertinggi dari kerajaan bisnis keluarga ini justru diduduki oleh salah seorang keturunan yang usianya bahkan belum tiga puluh tahun. Tetapi tidak ada bukti pasti dari berita tersebut karena yang bersangkutan menolak untuk muncul ke publik.

Selain kemapanan keluarga serta harta yang seolah tidak akan pernah habis, keturunan klan Ravnoir dikaruniai fisik memesona. Terbukti dengan apa yang dilihat Della saat ini. Romero memiliki sepasang netra berwarna serupa kacang di bawah alisnya yang rendah, rahang yang tegas, dan garis yang samar-samar membelah dagunya.

Diselamatkan oleh kemampuannya menguasai diri, Della menyambut uluran tangan Romero dengan gaya bersahabat seraya menyebutkan nama.

"Ayo, kita segera mulai saja makan malamnya," ajak Romero sambil kembali duduk. "Selagi makanannya masih hangat."

Della mengambil tempat duduk di seberang Romero, sementara Antonio duduk di bagian kepala meja. Makan malam berlangsung tenang. Hanya sesekali obrolan santai tentang keindahan lokasi rencana proyek selanjutnya muncul di antara denting sendok dan garpu.

Situasi ini mengingatkan Della saat rapat bersama Manuel di ruangan Antonio. Ia tidak ingin kembali mempermalukan diri sendiri, maka kali ini ia bertekad akan benar-benar menyimak dan mencatat setiap poin penting dari rapat berkedok makan malam ini.
***

Antonio mendengarkan penjelasan Romero tentang tujuan usulan pembangunan resort di Mandalika dan Wakatobi. Sekilas, ia melirik ke sisi kirinya. Della tampak mempertahankan efiensinya dengan membuat catatan tentang rancangan yang belum resmi ini. Rambut gadis itu sudah digelung dengan gaya resmi, seperti saat ia bekerja di kantor.

"Aku akan mengirim orang untuk survei lapangan," ucap Antonio, mengetahui bahwa Romero membutuhkan tanggapan darinya.

"Kurasa kau tidak akan rugi kalau melakukan survei sendiri. Tempatnya benar-benar luar biasa. Dalam hitungan tahun, lokasi itu akan menjadi primadona wisata mengalahkan Bali. Jangan sampai kita kecolongan start." Romero menumpukan lengannya ke atas meja yang sudah bersih dari sisa-sisa makan malam. "Bagaimana kalau setelah pesta besok malam, kita langsung terbang ke Mandalika?"

Antonio percaya, karena Romero tidak pernah melebih-lebihkan sesuatu. Tetapi ia menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa. Minggu depan agendaku sudah padat."

"Tunda saja dulu rapat-rapatmu itu. Ini kesempatan emas."

Antonio mengembuskan napas panjang. "Nanti Della yang akan mengatur jadwal kunjunganku ke sana."

"Kabari aku kalau jadwalnya sudah pasti. Aku akan menemanimu berkunjung."

Della mengangkat wajah dan tersenyum singkat kepada Romero. 

"Sebelum itu, bisa kau jelaskan konsep mentahnya? Atau tunjukkan sketsa kasar yang sudah kau buat."

Romero menjelaskan sedetail mungkin tentang visinya untuk proyek mereka. Antonio sesekali mendebat atau menyanggah ide yang dirasa kurang potensial. Sementara Della terus sibuk mencatat.

"Baiklah. Pembahasan selesai sampai di sini," ucap Antonio menutup pembicaraan mereka.

Romero bangkit sambil melemaskan otot-otot bahunya. "Aku sebaiknya kembali ke kamar dan mulai mengerjakan sketsa untuk proyek kita."

"Kukira hanya kelelawar yang suka bergadang, ternyata gagak juga."

Romero mengembuskan tawa sinis. "Tidak ada arsitek yang tidur di malam hari, dasar Singa Bersayap. Oh ya, boleh aku minta salinan catatan itu? Tolong kirim ke e-mail-ku," ucap Romero saat Antonio juga ikut berdiri diikuti Della.

"Sebaiknya kau mempertimbangkan untuk memiliki asisten pribadi."

Romero menggeleng. "Kau tahu aku tidak mau ada yang mengikutiku ke mana-mana. Maaf, bukan bermaksud ofensif, Nona Sekretaris." Ia menoleh pada Della yang langsung tersenyum mengerti. "Aku tidak suka kalau ada yang mengintip rancanganku sebelum itu benar-benar rampung dengan sempurna."

Antonio membukakan pintu. Romero melangkah keluar lebih dahulu. Kemudian Della yang berjalan perlahan, sengaja memuaskan indranya untuk menghirup wangi seperti campuran mint dan amber khas Antonio. 

"Nanti akan kukabari kalau rancanganku sudah selesai."

Antonio hanya mengangguk untuk mengisyaratkan persetujuannya.

"Saya juga pamit, Pak. Selamat malam," ujar Della sambil sedikit membungkuk pada Antonio lalu pada Romero. "Senang berkenalan dengan Anda, Pak Romero."

Romero melengkungkan senyumnya. "Sampai ketemu besok di pesta peresmian." 

Antonio hanya menganggukan alisnya dan menutup pintu, meninggalkan arsitek dan sekretarisnya di luar.

"Omong-omong, itu gaun yang bagus," ujar Romero menilai penampilan Della.

"Terima kasih."

"Meskipun jauh lebih baik tanpa celana tidur dan sandal hotel."

Della tertawa kecil menanggapi gurauan itu.

"Kalau boleh aku beri saran, warna gelap lebih cocok untuk mendampingi bos beraura muram seperti Nino─Antonio, maksudku."
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar