Rabu, 11 Mei 2016
Unlock Your Heart IV: Cogitation (2)
"Ada undangan pernikahan untuk Anda, Pak," ujar Della sambil meletakkan undangan bernuansa merah muda itu ke atas meja Antonio.
"Kau saja yang datang," balas Antonio cepat. Tidak sedikit pun lelaki itu mengalihkan perhatian dari berkas yang sedang dibacanya. Bahkan melirik pun tidak.
"Hem... tapi ini pernikahan anak pemilik Roncla Construction─"
"Kau saja yang datang," potong Antonio tidak peduli. "Ajak pacarmu atau siapa saja."
"Saya tidak punya pacar, Pak."
Alis Antonio terangkat tajam. "Itu urusanmu."
Rikuh, Della melangkah mundur. "Kalau begitu, saya permisi, Pak."
"Hei," seru Antonio membuat Della kembali menghadapnya. "Bawa ini keluar."
"Eh, baik, Pak," sahut Della sambil menuruti perintah.
Begitu keluar dari ruangan berdaun ganda itu, Della melihat Niken sudah kembali dari toilet. Gadis itu langsung kembali sibuk dengan layar komputer. Hingga tidak menyadari raut muram di wajah Della.
"Della," panggil Niken saat gadis itu duduk di sebelahnya. "Nanti saat istirahat siang, temani aku ke tempat Reza bekerja, ya?"
***
Jingga Photo Studio berupa bangunan mirip rumah tinggal setinggi dua lantai. Dindingnya seperti warna jus wortel bercampur susu. Jendela-jendela berbingkai kayu dibuka melebar, memberi akses bagi udara dan cahaya keluar-masuk dengan bebas. Begitu juga dengan pintu utama.
Della dan Niken menunggu di bagian ruang tamu yang sudah dialihfungsikan sebagai lobi. Niken sedang mengobrol seru dengan petugas resepsionis yang sudah akrab dengannya. Tadi, ia sudah mengenalkan Della pada gadis yang menyambut pelanggan dari baik meja kayu. Alih-alih ikut merumpi, Della lebih tertarik untuk memerhatikan foto-foto matahari terbenam yang terangkum di sisi dinding yang bersebrangan dengan meja resepsionis.
Ia berdiri di depan sofa panjang berlapis kulit sintetis sewarna jeruk keprok matang. Sambil sedikit mendongakkan kepala, Della memerhatikan satu per satu momen senja yang tertangkap dalam pigura-pigura tanpa bingkai itu.
Setelah selesai mengagumi foto terakhir, Della merundukkan kepala kembali ke posisi normal. Lalu ia berbalik dan menuju sebuah panel besar yang berdiri tidak jauh dari meja resepsionis. Foto-foto pranikah dengan berbagai macam tema terpampang di permukaan panel itu.
Fragmen kebahagiaan terpantul dengan jelas dalam pose yang ditampilkan setiap pasangan dalam foto. Entah itu senyuman, pelukan, atau sekadar saling menatap mata. Sampai kemudian, Della menemukan sosok yang dikenalnya menjadi bagian kumpulan potret itu. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan demi melihat lebih jelas.
Tidak salah lagi. Itu adalah Niken. Dengan riasan yang lebih tebal dari yang biasa ia kenakan ke kantor, tetapi tidak terkesan berlebihan. Gadis itu memegangi gaun putihnya yang mengembang sambil menoleh ke arah calon suaminya. Sementara lelaki yang duduk di atas kursi tinggi itu mengintip Niken dari balik kamera. Permukaan air yang memantulkan cahaya, menjadi latar yang sesuai.
Kebahagiaan yang terpancar di wajah Niken dalam foto, menular cepat pada Della. Tanpa sadar, ia ikut tersenyum hingga setitik khayalan terbersit di benaknya. Dalam ruang imaji miliknya sendiri, ia melihat Antonio yang mengenakan tuksedo putih mengulurkan tangannya. Lelaki itu meminta Della menjadi istrinya.
"Jangan terlalu lama memandangi foto itu, nanti kau jatuh cinta pada calon suamiku."
Tahu-tahu Niken sudah berdiri di samping Della dan memutus khayalan indahnya.
"Ck. Dasar besar kepala," gerutu Della lantas terkikik geli.
Niken ikut tertawa kecil. "Bagaimana? Bagus, tidak?"
"Bagus," jawab Della sambil menganggut-anggut. "Konsep foto yang sederhana tapi berkesan. Seolah tersirat bahwa hanya kepadamu tatapannya tertuju. Atau mungkin kau hanya ingin pamer kalau calon suamimu seorang forografer?"
Tanpa disangka, setitik kesedihan muncul di sepasang netra milik Niken. Gadis itu tersenyum sumir. Pandangannya terarah pada foto di panel. "Andai saja bisa begitu."
"Memang kenapa?"
"Kau tahu, beberapa orang menyayangkan keputusanku untuk resign dari AND," ucap Niken sambil menurunkan volume suaranya, hingga hanya bisa didengar Della. "Mereka bilang, pekerjaanku jauh lebih menjanjikan dari pada pekerjaan Reza yang 'cuma' fotografer."
Della menyimak hanya pada suara Niken. Walaupun suara resepsionis yang sedang menjelaskan beberapa paket foto studio kepada seorang calon pelanggan menjadi suara latarnya.
"Tapi bagiku, menikah itu butuh team work yang kompak, bukan kompetisi tentang pekerjaan siapa yang lebih baik."
Kepala Della mengangguk setuju. "Omong-omong, ini kalian foto di mana? Tempat wisata, ya?"
"Itu bendungan." Kali ini, tatapan Niken justru menerawang jauh ke masa lalu. "Desa asalku dan Reza sudah tenggelam di dasar bendungan itu."
Della menoleh ke arah Niken. Bibirnya terbuka. Setengah takjub setengah prihatin mendengar cerita itu.
"Maaf, ya, lama."
Terdengar suara penuh rasa bersalah yang otomatis membuat Della dan Niken serentak menoleh.
Profil samping lelaki pembawa kamera yang ada di foto menjelma nyata. Jauh berbeda dengan penampilannya dengan tuksedo hitam, lelaki yang mengundang senyum di wajah Niken itu tampak beberapa tahun lebih muda dengan kemeja flanel dan celana jeans.
"Tidak apa-apa. Si Bos galau lagi?"
Reza mengangguk. "Ada beberapa hal yang harus kuurus tadi. Lagi eksperimen menu apa kali ini?" tanyanya sambil mengintip ke dalam tas kain yang diberikan Niken.
"Oh iya, perkenalkan ini Della," ujar Niken sambil menepuk pelan bahu temannya. "Dia yang mengajarkanku resep ini."
Reza menoleh. Tatapannya seolah tidak menyangka bahwa Della berdiri di sana. Apakah lelaki itu terlalu cinta pada Niken hingga terlambat menyadari kehadiran gadis lain di sana?
Lelaki itu mengulurkan tangan dengan ramah yang disambut Della sambil tersenyum. Mereka saling menyebut nama masing-masing.
Setelah obroloan singkat yang berusia tidak lebih dari lima menit, Reza sudah berpamitan untuk kembali bekerja. Ucapan terima kasih dari Reza mengakhiri kunjungan Della dan Niken di studio foto itu.
***
"Tidak terasa, ya. Ini hari terakhirku ada di sini," ujar Niken saat mereka berjalan keluar dari lift.
"Aku takut kau akan merindukanku," gurau Della berusaha menyusup di antara melankoli yang tersirat dalam kalimat Niken.
Niken tersenyum miring dengan gaya humor. "Aku justru takut kau yang kebingungan tanpa kehadiranku."
"Tidak akan terjadi."
"Oh, astaga. Aku belum menyiapkan berkas─" Kata-kata Niken terputus lalu ia menoleh pada Della sambil terkekeh pelan. "Kenapa aku bingung. Itu, kan, tugasmu sekarang."
"Berkas apa?"
"Berkas untuk perjalanan bisnis. Aku belum bilang?" tanya Niken saat melihat raut bingung di wajah Della.
Della menggeleng.
"Jadi, lusa kau harus mendampingi Pak Antonio dalam perjalanan bisnis untuk─"
"Ke mana?" potong Della tidak sabar.
"Bali."
Della terus mengulang-ulang satu kata itu dalam hatinya. Terbayang keindahan pantai, pura yang indah, dan suasana malam yang semarak.
Jika Della pergi ke sana bersama Antonio, mungkin mereka bisa mencetak beberapa momen indah. Tentu saja setelah segala urusan profesional selesai. Mereka bisa berjalan-jalan di tepi pantai. Lalu menikmati makan malam romantis berdua. Ia bisa membayangkan Antonio menggenggam tangannya, lalu membelai pipinya. Hingga akhirnya bibir lelaki itu meninggalkan kecupan singkat di bibirnya.
Sepertinya benar kata Niken, ia akan kebingungan tanpa kehadiran mentornya besok. Karena khayalan demi khayalan tentang perjalanan bisnis akan terus terbit dalam benaknya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar