Rabu, 18 Mei 2016

Unlock Your Heart V: Inauguration (1)


Ternyata duduk di jet milik perusahaan tidak senyaman yang digaungkan orang-orang. Sejak awal pantat dan punggungnya menyentuh kursi empuk itu, Della masih belum menemukan posisi yang menyenangkan hatinya. Matanya melirik ke samping. Mungkin duduk di pangkuan Antonio akan jauh lebih nyaman. Della menggeleng risau, menghapus khayalannya. Seharusnya para pembuat pesawat mengatur ulang peletakkan kursi di kabin. Misalnya, hanya disediakan satu kursi untuk dua orang. Della dengan senang hati berbagi tempat duduknya dengan Antonio selama perjalanan mereka.

"Pertama kali naik pesawat?" tanya Antonio tanpa menggerakkan kepala dari majalah bisnis yang dibacanya.

"Tidak, Pak," jawab Della setelah terdiam beberapa jenak karena belum terlalu yakin Antonio sedang berbicara dengannya.

"Ya, sudah. Cepat sana ke toilet."

"Baik, Pak," jawab Della lantas melepas sabuk pengaman dan melaksanakan perintah itu. Ia sempat bertukar senyum dengan salah seorang pramugari dalam perjalanannya ke toilet, hingga tiba-tiba ia tersadar dan kembali ke tempat duduknya.

"Kenapa Bapak suruh saya ke toilet?"

Antonio hanya menaikkan satu alisnya. "Kukira kau butuh ke toilet. Urusan perempuan atau semacamnya."

Perlahan, Della menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan, Pak."

"Kalau begitu, duduk. Ambilkan draf dokumen untuk rapat hari Senin."

Della menurut dan langsung menyerahkan apa yang diminta Antonio. Lelaki itu langsung menutup majalah dan mencurahkan perhatian pada tumpukan kertas di atas meja. Sementara Della memerhatikan kesibukan bosnya sambil mengulum senyum di kursinya.

"Kurasa ada sedikit kekeliruan di sini." Tahu-tahu Antonio bersuara, memutus lamunan Della. "Coba kau diskusikan lagi dengan Bu Rachel."

"B-baik, Pak," ucap Della sedikit tergeragap lantas memberi penanda pada laman yang ditunjuk Antonio.

Lelaki itu meminta Della menyimpan kembali dokumen itu, sementara Antonio membuka lagi majalah yang pernah beberapa kali memuat artikel tentang dirinya sebagai Presiden Direktur Alva Nation Developments.

"Kalau ingin menyampaikan sesuatu, katakan saja."

"Eh?" Della meremas keliman rok yang menggelitik lututnya. "Hem. Itu... terima kasih atas perhatiannya, Pak."

Setelah itu, tidak ada percakapan sampai pesawat mendarat di bandara tujuan.
***

Putaran roda mobil minibus premium itu melambat begitu memasuki area hotel. Sopir menghentikan kendaraan berdesain mewah itu di depan pintu lobi, lalu turun setelah menarik tuas rem tangan. Pria paruh baya itu tidak banyak bicara sejak mereka meninggalkan landasan.

Della mengikuti Antonio yang langsung membuka pintu bersamaan dengan petugas hotel yang hendak membuka pintu dari luar. Sedikit terkejut tetapi lelaki itu mempertahankan senyum tiga jarinya.

"Selamat datang. Saya harap perjalanan Anda menyenangkan," sapa seorang perempuan seumuran Della yang mengenakan pakaian seragam dengan lelaki yang membukakan pintu. Kemeja lengan panjang berkerah tegak dengan aksen batik.  Yang membedakan, ada selendang batik yang diikatkan di pinggang pegawai perempuan. "Saya Kania Arsjad, yang akan menjadi pendamping Anda. Silakan, saya akan mengantar Anda ke suite terbaik di hotel ini."

Antonio dan Della mengekori Kania yang memandu mereka menuju lift khusus.

"Suaramu terdengar dibuat-buat."

"Sudahlah, biarkan aku menyelesaikan ini sesuai SOP."

Telinga Della menangkap bisik-bisik akrab antara Antonio dan Kania yang berjalan sejajar satu langkah di depannya. Setitik perasaan cemburu muncul tanpa diminta.

"Oh, ya. Ini Della," ucap Antonio saat mereka melangkah ke dalam lift. "Dia sekretaris pribadiku."

"Hai, Della," sapa Kania sambil tersenyum.

Della balas tersenyum seraya mengangguk, sementata benaknya menimbang-nimbang apakah sikap ramah Kania timbul secara spontan atau hanya bagian dari SOP?

Lift berdenting dan Della belum menyimpulkan apa-apa. Mereka melangkah di lantai koridor berlapis karpet buatan Turki dengan perpaduan warna hitam dan abu-abu. Walaupun baru selesai dibangun, tetapi Della tidak mencium sedikit pun bau cat yang mencampuri udara.

"Silakan," ucap Kania sambil membuka lebar pintu.

Mata Della melebar saat melihat ruangan yang dipenuhi interior mewah itu. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan flat mungilnya.

Sofa berwarna cokelat susu yang tampak begitu nyaman, hingga Della bisa membayangkan dirinya tertidur di sana setelah menonton televisi. Pintu-pintu kaca yang menampilkan kolam renang di balkon. Suite ini bahkan memiliki dapur yang bisa membangkitkan semangat masak.

Ia mengikuti Kania yang memandunya menuju sebuah ruangan yang fungsinya mirip lemari. Beberapa helai gaun tergantung rapi. Lengkap dengan beberapa pasang sepatu di rak kayu yang menempel di lantai.

"Ini pakaian yang Anda pesan," ucap Kania yang langsung disambut raut bingung di wajah Della.

"Aku yang memintanya," ucap Antonio, menjawab pertanyaan yang bergema di belakang kepala Della. "Siapa tahu kau tidak membawa gaun yang cukup pantas untuk acara besok malam."

Della berbalik dengan mata berbinar syukur yang ditujukan langsung pada Antonio. "Terima kasih, Pak!" serunya terlalu antusias.

"Selanjutnya, mari saya antar ke suite Anda, Pak Antonio," kata Kania dengan suaranya yang teratur. Tetapi berhasil memorakporandakan perasaan Della.  Binar di sepasang netranya padam seketika itu juga.

Pupus sudah khayalannya untuk berbagi suite luas ini bersama bosnya.
***

Della tersenyum dan pantulan bayangan dirinya di cermin membalas senyumnya. Saat ini ia sedang berada di ruang wardrobe untuk mencoba beberapa gaun yang disediakan. Ia bahkan rela melewatkan pemandangan senja yang terlihat dari balkon.

Gaun berwarna dadu itu merupakan gaun ketiga yang dicoba Della. Walaupun desainnya terkesan sederhana, ia tahu gaun-gaun itu bukan dari merek sembarangan. Begitu juga dengan tiga pasang sepatu yang semuanya keluaran terbaru Stevany─merek sepatu lokal yang dalam waktu singkat mampu menembus pasar dunia. Della memperkirakan isi ruangan ini setara dengan empat belas bulan gajinya.

Della mendebas kagum lalu memutar pinggangnya hingga gaun itu melambai anggun seiring gerakannya. Ia hendak mengganti sandal hotel dengan sepasang Stevany saat tiba-tiba ponselnya berdering di atas rak sepatu.

Bergegas, Della menjawab telepon itu karena nama bosnya terpampang di layar alat komunikasi itu.

"Cepat ke suite-ku. Sekarang."

Nada memerintah itu langsung membelai telinga Della begitu panggilan tersambung. Bahkan sebelum ia mengucapkan sepatah kata pun.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar