Rabu, 25 Mei 2016

Unlock Your Heart VI: Confession (2)




Della mengajak Romero untuk meninggalkan lantai dansa saat musik berubah melambat dan bernuansa romantis. Ia tidak ingin tenggelam di antara pasangan yang mulai menurunkan tempo gerakan sambil saling berpelukan. Lagi pula, ia tidak ingin meninggalkan Antonio terlalu lama karena teringat ucapan Kania.

"Kau pedansa yang hebat."

Della mengangguk sambil menyelipkan untaian rambut ke belakang telinga. "Terima kasih."

"Pernah kursus dansa?"

"Tidak juga."

"Lain kali, kau bisa menemaniku menghadiri pesta."

Della hanya membalas dengan senyum.

"Sial!" umpat Romero tiba-tiba karena melihat seorang lelaki duduk bersama Antonio, menggantikannya. Jinandru. Anak dari salah satu investor yang bekerjasama dengan Antonio. Bukan tipikal relasi yang menyenangkan. Hanya beruntung karena lahir di keluarga terpandang. Sayangnya, terkenal tidak pandai menjaga sikap. Biang masalah.

Romero menggegas langkahnya ke arah Antonio. Della mengekor di belakangnya.

"Siapa gadis yang bersamamu tadi?" tanya Jinandru lantas meneguk wine milik Antonio. Langsung dari botolnya.

"Sekretarisku," jawab Antonio acuh tidak acuh.

"Oh," sahut Jinandru tidak peduli bahwa lawan bicaranya merasa tidak nyaman. "Kukira kau sudah menemukan pengganti Nadira."

Antonio sedikit membanting gelas wine-nya ke atas meja.

"Syukurlah kau tidak mengidap nekrofilia."

Sekuat tenaga, Antonio menahan agar kepalan tangannya tidak berayun ke wajah Jinandru. Ucapan syukur itu penuh nada gurauan dengan setitik ejekan. Sebelum lawan bicaranya melewati batas toleransinya, ia bergegas bangkit dengan kasar lalu meninggalkan lounge dengan langkah-langkah gusar.
***

"Pak! Pak Antonio!"

Suara Della yang bergema di koridor menuju lift berhasil menghentikan langkah Antonio. Ia menoleh dan melihat sekretarisnya setengah berlari menghampirinya.

"Jas Anda, Pak."

Antonio menatap datar pada jas biru dongker yang tadi ia sampirkan di punggung kursi. Dengan satu gerakan, ia mengambil jas itu dari lengan Della lalu berujar lirih, "terima kasih."

"Bapak mau ke mana?"

"Suite. Istirahat."

Della tersenyum karena tidak menyangka akan mendengar tanggapan. Beberapa detik lalu ia sempat mengira akan mendengar "bukan urusanmu" sebagai jawaban.

"Kebetulan saya juga mau kembali ke suite, Pak," ucap Della sambil bergerak seolah ia adalah pemandu wisata yang sedang menunjukkan tutorial menggunakan lift kepada pengunjung.

Della dan Antonio masuk dan terkurung keheningan. Sementara lift merangkak naik ke lantai tempat suite mereka berada.

Tidak ada pembicaraan hingga pintu lift kembali terbuka. Della mengerti, bosnya itu sedang kalut. Jadi ia cukup tahu diri untuk tidak membuat suasana semakin kusut.

"Hem... selamat malam dan selamat beristirahat, Pak," pamit Della sambil sedikit menundukkan kepala.

Tidak ada tanggapan. Hingga Della mengira Antonio sudah masuk ke dalam suite-nya. Ia hendak berbalik saat tiba-tiba bosnya bersuara.

"Aku butuh secangkir kopi."

Della mematung, tidak menduga akan mendengar kalimat itu.

"Bisa kau buatkan? Seharusnya ada coffee maker di setiap suite."

Tersadar dari kekagetannya, Della menjawab cepat, "bisa, Pak!"

"Nanti antarkan ke─"

"Kenapa tidak di sini saja, Pak?" sela Della sambil menunjuk pintu suite-nya, seolah ini adalah menit-menit terakhir di bumi. "Hem... Saya akan kesulitan membawa ke suite Bapak karena... kopi itu panas."

Kali ini, Antonio yang tertegun untuk sejenak. Ia kemudian mengangguk walaupun sadar alasan Della terasa lancung.
***

Antonio merasa benang kusut dalam benaknya sedikit terurai setelah kopi buatan Della melewati tenggorokannya. Ia meletakkan cangkir ke atas meja, lalu bersandar senyaman mungkin ke punggung sofa.

"Di mana kau belajar membuat kopi?" tanya Antonio santai sementara Della duduk memerhatikannya dengan sikap formal.

"Dulu saya pernah dekat dengan seorang barista, Pak. Dia yang mengajari saya."

"Lelaki?"

Della mengangguk.

"Mantan pacar?"

Kali ini, Della menggeleng. "Kami memang dekat, tapi waktu saya tanyakan tentang kejelasan status dan perasaannya, dia bilang 'kau terlalu baik untukku'."

Klise. Salah satu sudut bibir Antonio terangkat. "Kurasa bukan 'terlalu baik', melainkan 'terlalu agresif'."

Glabela Della berkerut. "Agresif?"

Antonio mengangguk. "Sikapmu terhadap lawan jenis terlalu banyak insiatif. Lelaki pasti akan merasa bingung kalau setiap langkah sudah dilakukan lebih dulu oleh pihak perempuan."

Sepasang netra Della membulat, sama sekali baru mendengar pendapat seperti itu tentang dirinya. Selama ini, ia hanya ingin memperlihatkan perasaannya dengan jelas. Tanpa bermaksud mendahului langkah lelaki yang ia sukai.

"Seperti tadi dengan mudahnya kau mengajakku berdansa atau caramu mengiakan ajakan Romero. Bahkan sekarang kau mengizinkanku berada di suite-mu. Beberapa lelaki bisa saja salah paham dengan sikap ramahmu."

Senyum di bibir Della sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia merasa beruntung bisa mendengar Antonio berbicara sepanjang itu dan tidak sedang membahas tentang pekerjaan. Semoga tahap ini memang berlabel lampu hijau.

"Kenapa ekspresimu mencurigakan begitu?"

Della mengabaikan pertanyaan itu dan bangkit dari sofa. Senyumnya sama sekali tidak meninggalkan bibirnya. "Mau tahu hal lain yang saya pelajari saat dekat dengan lelaki, Pak?"

Kening Antonio berkerut. Pertanyaan itu terdengar tidak lazim.

Della menarik lengan Antonio, meminta bosnya untuk berdiri. Lelaki itu menurut, walaupun rautnya masih bingung.

"Saya mempelajari cara berdansa," ucap Della bangga. "Musik."

Perintah suara yang diucapkan Della menyalakan alunan lagu pop dari salah seorang penyanyi dari luar negeri.

Antonio menggeleng. "Sudah kukatakan tadi, aku tidak suka berdan─"

"'Tidak suka' bukan berarti 'tidak bisa', kan?" sahut Della dengan berani. "Coba untuk sedikit santai, Pak. Perusahaan tidak akan tumbang hanya karena Bapak bersenang-senang. Itulah kenapa bos menggaji pegawai, kan? Untuk membantu pekerjaannya."

Della mulai mengentak-entakkan kaki di atas karpet yang lembut. Antonio tidak tahu kapan gadis itu melepas sepatu hak tingginya. Tahu-tahu sekretarisnya itu sudah meraih tangannya dan mengguncang-guncang tanpa rasa sungkan. Tetapi entah mengapa, semangat yang ditularkan Della terasa menyengat sendi-sendinya yang kaku.

Antonio mencoba bergerak sedikit dan setelah tiga kali nadinya berdenyut, ia sudah terlena dalam euforia. Bahkan kemeja dan celana kainnya sama sekali tidak terasa menganggu gerakannya.

Dengan mudah, Della mengimbangi ayunan tangan dan lompatan kecil Antonio. Mereka berputar, berpegangan tangan, dan tertawa seiring irama.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali Antonio melakukan hal konyol seperti ini. Saat itu, pasti Nadira─bahkan mungkin ibunya juga masih berada di sisinya.

Hingga akhirnya, setelah tiga lagu berturut-turut, Della dan Antonio mengempaskan diri ke atas sofa. Napas mereka terengah-engah bercampur tawa. Tatapan mereka beradu, seolah bersyukur atas tarian yang menyenangkan.

Dan Della tidak ingin kehilangan momen itu.

"Jangan takut merasa salah paham, Pak. Kalau Bapak pikir saya sedang jatuh cinta. Itu memang fakta."
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar