Rabu, 04 Mei 2016
Unlock Your Heart III: Fascination (1)
“Jadi, sebelum masuk kau harus terlebih dahulu mengetuk pintu seperti ini,” ujar Niken sambil memeragakan ketukan yang dimaksudnya di atas meja pantri.
Della langsung mempraktekan apa yang diajarkan Niken. Buku jari telunjuknya mendaratkan tiga ketukan ke atas meja kayu itu.
“Ya. Hampir seperti itu. Tapi kau sedikit terlalu cepat,” tegur Niken lalu kembali mengetuk permukaan meja. “Jarak antar ketukanmu masih terlalu dekat.”
Sekali lagi, Della mengetuk permukaan meja seperti yang dicontohkan mentornya itu.
“Bagus.” Niken tersenyum bangga. “Aku senang kau cepat paham.”
Della mengulangi ketukannya lagi dan disambut anggukan kepala Niken. Ia tersenyum simpul saat merasakan semangat menjalar di sekujur tubuhnya.
Mulai hari ini, Della akan memasuki ruangan berdaun ganda itu sendirian. Tidak lagi ditemani Niken seperti kemarin. Dan tugas pertamanya hari ini adalah membuatkan kopi untuk Presiden Direkturnya yang tercinta.
“Ayo, cepat antarkan kopi itu dan luluhkan hati bos kita,” ucap Niken sambil mengerlingkan matanya dengan jenaka.
***
“Silakan, kopi Anda, Pak.”
Della memindahkan cangkir kopi dari nampan ke atas meja kerja Antonio. Persis di samping pesawat telepon. Sesuai dengan arahan dari Niken.
Bukannya mendengar ucapan terima kasih atau semacamnya, Della malah mendengar decakan kesal. Lelaki tampan itu menatapnya tajam dengan sepasang mata abu-abu yang menenggelamkan Della dalam pesona.
“Baru melakukan tugas pertama, tapi kau sudah melakukan kesalahan,” sindir Antonio tajam.
Kening Della berkerut bingung. “Kalau boleh tahu, kesalahan apa, Pak?”
“Cocokkan jam tanganmu dengan jam di ruangan ini.”
“Baik, Pak,” sahut Della lantas bergerak menghadap jam dinding yang terpasang di dinding abu-abu itu. Ia menyetel jam tangannya agar menunjukkan waktu yang sama persis dengan jam dinding itu.
“Kau terlambat tiga menit,” keluh Antonio begitu Della menghadap kembali padanya. “Seharusnya Niken menjelaskan betapa pentingnya waktu untukku.”
Della memberengut dalam hati. Apa harus ia menerima kemarahan seperti ini? Lagipula ia terlambat karena mempelajari cara mengetuk pintu yang baik dan benar. “Maafkan saya, Pak.”
Antonio meraih cangkir dari atas meja dengan perasaan lega. Entah sekadar sugesti atau pengaruh zat adiktif, tetapi ia selalu merasa tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik sebelum minum secangkir kopi setiap pukul tujuh pagi. Karena itu, ia merasa jengkel kalau kopinya terlambat datang.
“Kopi hitam pekat. Tanpa gula, tanpa creamer, tanpa susu,” ucap Della beberapa detik sebelum bibir cangkir menyentuh bibir seksi di hadapannya. Ia mengucapkan itu seperti nada bicara pelayan yang mengulangi pesanan pelanggan.
Antonio hanya melirik acuh tidak acuh pada sekretarisnya. Ia menyesap perlahan kopi paginya. Dan selama beberapa detik ia tertegun menatap kopi dalam cangkir porselen itu.
Tanpa sadar, Della menahan napasnya. Menanti komentar lain meluncur dari bibir lelaki itu. Tetapi anehnya, Antonio tidak mengatakan apa pun. Lelaki itu hanya menyesap kopinya sekali lagi. Dan lagi. Hingga akhirnya Della mengembuskan napasnya dengan lega. Sepertinya tidak ada masalah di sini.
“Kenapa kau masih berdiri di situ?”
Della mengerjapkan matanya sekali dengan bingung. Tetapi kemudian ia memahami maksud bosnya itu. Niken pernah menyebutkan bahwa Antonio tidak suka terang-terangan mengusir seseorang dari ruangannya.
“Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu,” ucap Della lantas berbalik. Ia melangkah anggun dengan nampan dalam pelukannya.
“Oh, ya. Satu hal lagi.”
Kata-kata itu kembali menghentikan langkah Della. Gadis itu berbalik. Seulas senyum terpasang di wajahnya. “Ada apa, Pak?”
“Kapan kau akan memotong rambutmu?”
“Uh, oh, ini akan saya usahakan digelung serapi mungkin, Pak.”
Antonio tersenyum separuh. “Gelungan rambutmu itu lebih condong ke kanan sejauh tujuh milimeter. Sama sekali tidak rapi.”
***
“Apa katanya?” tanya Niken bersemangat begitu melihat Della kembali memasuki pantri. Sebaliknya, wajah juniornya itu tampak sedikit tertekuk.
“Katanya, gelungan rambutku miring tujuh milimeter, atau apalah itu,” keluh Della sambil menarik kursi dan duduk di sana. Ia menempelkan, keningnya ke atas meja dan memejamkan mata. Saat itulah wajah Antonio Álvarez terbayang di balik kelopak matanya, membuatnya kembali mendongak penuh semangat. “Tapi aku tidak keberatan dimarahi lelaki setampan itu.”
Niken tergelak melihat perubahan drastis yang terjadi dalam sekejap itu. “Bukan itu. Maksudku, apa dia mengatakan sesuatu tentang kopi?”
Della menggeleng.
“Apa kubilang, dia akan bungkam begitu menyesap kopimu.” Niken menjentikkan jarinya ke udara. Sementara Della tidak memahami pencapaian yang dirayakan Niken saat ini.
“Memang ada apa sih sebenarnya?”
“Dulu, Pak Antonio selalu memprotes kopi buatanku. Entah itu terasa gosong, hambar, atau getir. Aku tidak mengerti,” ungkap Niken sambil memutar matanya dengan gemas. Seolah ia sedang menyaksikan kejadian itu tepat dihadapannya. “Aku bahkan meminta ajari seorang barista di kafe langgananku. Demi menyeduh kopi untuknya.”
Della melemparkan tatapan heran. Mengapa urusan kopi menjadi begitu rumit kali ini?
“Aku terus berlatih hingga akhirnya dia berkata ‘lumayan’. Kopi buatanku tentu saja tidak sebaik buatanmu,” puji Niken lantas mengerlingkan matanya. “Terima kasih sudah membalaskan dendamku.”
Kali ini, Della terkekeh senang. Mungkin saja dengan kopi buatannya, ia bisa mulai membuat lelaki itu jatuh cinta padanya.
“Ayo, kita kembali bekerja,” kata Niken sambil beranjak bangkit dari kursinya. “Kau harus mempelajari ketukan-ketukan yang lainnya.”
Mata Della melebar begitu saja. “Lagi?”
Niken mengangguk. Ia mengangkat semua jarinya ke depan dada. “Setidaknya ada sepuluh jenis ketukan pintu yang harus kaupahami.”
Della meringis masam mendengarnya. Ia mengelus-elus buku-buku jarinya yang harus mempersiapkan diri untuk bercumbu dengan permukaan kayu.
***
Antonio menempelkan kepalanya pada sandaran kursi kantornya. Matanya terpejam. Hingga hanya kegelapan yang melingkupi pandangannya. Kegelapan yang sama. Kegelapan yang menyesakkan napasnya. Bahkan setumpuk perkerjaan yang menantinya di kantor tidak pernah bisa meredakan perasaan itu.
Tiba-tiba secercah cahaya berpendar samar di ujung kegelapan. Antonio bergerak mendekati cahaya itu. Berharap mimpi buruk dalam kegelapan ini akan segera sirna. Dan begitu cahaya mengambil alih pandangannya, ia tiba pada sebuah hamparan padang rumput yang luas.
Di sana, di antara rerumputan hijau segar, seorang wanita berdiri memunggunginya. Wanita itu mengenakan terusan berwarna putih. Rambut dan ujung terusan wanita itu melambai-lambai tertiup angin. Tetapi hanya dengan melihat punggungnya, Antonio tahu siapa yang dilihatnya.
“Mama!”
Seolah bisa mendengar suaranya, wanita itu berbalik menghadap Antonio. Ibunya tersenyum dan mengulurkan tangan menyambutnya. Senyuman yang sama seperti yang diingatnya. Dan langsung menular padanya.
Antonio hendak berlari dan memeluk ibunya, saat seorang gadis memelesat di sampingnya. Gadis itu berlari dan menghambur dalam pelukan ibunya. Seperti yang seharusnya ia dapatkan.
Kening Antonio mengernyit iri. Ia menatap jengkel gadis yang saling melempar tawa kecil bersama ibunya di antara rumput yang melambai-lambai. Seolah kedua orang itu sudah saling mengenal sejak lama. Gadis itu juga mengenakan pakaian berwarna putih. Tetapi lebih menyerupai sebuah gaun dengan rok yang melebar menutupi kaki. Seperti sebuah gaun pernika... han?
“Nadira?”
Antonio membisikkan nama itu dengan napas tercekat. Kedua perempuan itu mendengarnya. Mereka berdua menoleh bersamaan dan tersenyum padanya. Dan juga menyebut namanya penuh kasih sayang.
“Nino....”
Tetapi bunyi ketukan di pintu langsung menyentak lamunannya. Atau mimpinya. Ia tidak tahu pasti.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar