Rabu, 04 Mei 2016
Unlock Your Heart III: Fascination (2)
Della mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Gerakan itu membuat otot-ototnya yang kaku meregang seketika. Menciptakan kepuasan semu setelah terdengar bunyi gemertak di antara tulangnya.
“Astaga, kau mulai terdengar seperti nenek-nenek,” sindir Niken tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer.
“Biar saja,” balas Della sambil memajukan bibir bawahnya.
Kedua mata Della memandang iba pada buku-buku jarinya yang berubah kemerahan. Sejak tadi, ia terus berlatih mengetuk di atas meja. Sementara Niken menyiapkan dokumen-dokumen yang harus diserahkan kepada Antonio. Termasuk surat-surat yang membutuhkan tanda tangan lelaki itu.
“Ya, sudah selesai,” gumam Niken. Tangannya bergerak cepat menumpuk rapi kertas-kertas di atas meja. “Sekarang giliranmu untuk mengantarkannya.”
“Oke.” Punggung Della menegak penuh semangat. Ia butuh asupan pemandangan bosnya yang tampan sebagai vitamin untuk matanya yang lelah.
“Jangan lupa ketukanmu.” Niken mengingatkan Della saat juniornya itu memindahkan tumpukan kertas ke dalam dekapannya. “Setelah ini aku akan mengajakmu berkenalan dengan yang lainnya.”
“Beres,” sahut Della yakin. Ia mengangkat ibu jarinya ke udara, lalu melangkah keluar dan langsung berhadapan dengan pintu berdaun ganda tepat di sebelah pintu ruangannya yang lebih mungil.
Della menaruh kuda-kuda jemarinya di daun pintu, lalu menghirup dan menghela napasnya. Kemudian ia mendaratkan dua ketukan cepat dengan buku jari telunjuknya. Diikuti ketukan tunggal dari buku jari tengahnya, setelah melewati interval satu detik.
“Masuk.”
Seulas senyum terukir di bibir Della saat mendengar suara maskulin itu. Ia masuk dan menutup pintu di belakangnya setenang mungkin. Kemudian melangkah anggun menuju meja kerja sang Presiden Direktur.
“Ada lagi yang bisa saya lakukan untuk Anda... Pak?” tanya Della setelah meletakkan dokumen-dokumen yang di bawanya ke atas meja. Bibirnya terasa gatal ingin mengganti panggilan ‘Pak’ menjadi ‘Sayang’.
Antonio melirik acuh tidak acuh. Lalu menggeleng sambil melipat tangan di depan dada. Seperti pangeran aristokrat yang angkuh.
Sementara Della nyaris tumbang dari pijakannya. Ia merasakan ribuan panah dewa cinta memelesat tajam ke hatinya melalui sepasang mata abu-abu itu. Tetapi ia harus bisa menahan diri.
“Anda yakin... Pak?” Entah mengapa suaranya terdengar garau.
Kerutan jengkel mencuat di antara kedua alis Antonio yang hitam. “Tentu saja.”
Della berdeham membersihkan tenggorakannya. “Baiklah, kalau begitu saya akan kembali ke ruangan saya.”
Baru tiga langkah diambil Della untuk mendekati pintu, suara merdu itu kembali memanggilnya. Tentu saja dengan sederet kata yang familier di telinganya.
“Oh, satu hal lagi.”
Sebisa mungkin, Della menahan kedutan bahagia di sudut bibirnya. Lalu ia berbalik anggun di atas tumitnya.
“Apa itu, Pak?”
“Buatkan lagi secangkir kopi untukku.”
***
“Itu benar-benar kejadian langka di dunia.” Niken berkomentar takjub. Matanya mengerjap seolah ia sedang melihat langsung sebuah piring terbang mendarat di bumi.
“Kau terlalu berlebihan."
Saat ini mereka berdua tengah menikmati istirahat siang yang santai di pantri. Awalnya, Niken hendak mengajak Della makan siang di luar kantor. Tetapi ternyata Della sudah menyiapkan makanan untuk mereka berdua.
“Asal kau tahu, selama ini Pak Antonio tidak pernah meminta kopi kedua. Aku tidak tahu lagi jika dia menyuruh sopirnya membeli kopi di luar. Tapi—hem, masakanmu enak juga,” ujar Niken saat satu suapan mendarat dalam mulutnya.
“Benarkah?” Mata Della berkilat-kilat senang.
Niken menganggukkan kepala. Mulutnya masih sibuk mengunyah. Sementara sendok di tangannya sudah menyiapkan suapan selanjutnya.
“Rasa asam manisnya pas. Juga tidak terlalu asin,” ucap Niken seperti seorang pakar kuliner. “Dan aku masih tidak percaya ini bukan daging ayam melainkan... tahu?”
Della membenarkan tebakan Niken. “Ya. Tahu susu.”
Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. “Berjanjilah kau akan membagi resepnya padaku.”
Della terkekeh melihat ekspresi seniornya itu. “Tentu saja. Tapi aku sendiri juga masih belajar. Masih perlu banyak latihan.”
Gadis ini pasti dikaruniai sepasang tangan ajaib, pikir Niken. “Memang kau latihan memasak demi siapa? Kekasihmu?” goda Niken sambil tersenyum jail.
Della menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya, bertingkah seolah-olah malu. “Untuk calonku.”
“Dan siapakah itu?” Niken bertanya dengan jenaka.
“Kau juga tahu dia. Dia si bos besar. Antonio Álvar—“
“Jangan!” sela Niken cepat. Binar humor di wajah gadis itu menghilang dalam sekejap.
Hal yang sama juga terjadi pada Della. Kedutan tawa di bibirnya sirna seketika digantikan ekspresi bingung yang kentara. “Ada apa ini? Jangan bilang kau juga jatuh cinta padanya?” tebak Della sambil memaksakan tawa. Berusaha sia-sia mengembalikan nuansa santai di antara mereka.
“Tidak. Tapi yang penting, jangan sampai kau jatuh cinta padanya.”
“Memangnya kenapa?” Della masih menuntut Niken untuk memenuhi rasa penasarannya.
“Karena kau yang akan terluka.”
Baru saja Della membuka mulut, hendak meminta penjelasan lebih. Tetapi pintu pantri terbuka dan seseorang masuk di antara pembicaraan mereka.
Alis Matteo terangkat heran. Tidak menyangka akan melihat kedua gadis yang langsung bangkit dari duduk. "Ke mana office boy yang bertugas di pantri hari ini?"
"Semuanya sedang keluar, Pak. Mungkin membeli makan siang," jawab Niken.
Matteo mendebas lantas menatap jam tangannya. "Niken, bisa tolong belikan kopi yang biasa? Untukku dan Manuel."
"Oh, kalau kopi, biar saya buatkan, Pak," sahut Della lantas tersenyum.
Kening Matteo berkerut sangsi. "Oke. Tolong antar ke ruangan saya, ya."
“Baik, Pak,” sahut Della bersalut keceriaan semu. Di balik topeng itu, ia masih bertanya-tanya mengapa Niken melarangnya untuk jatuh cinta.
***
Della memindahkan dua cangkir kopi dari baki ke atas meja yang dikelilingi sofa-sofa kosong. Matteo tampak sibuk di balik mejanya. Tadi pria itu hanya menyapa singkat pada kedatangan Della. Berinisiatif, ia mendekat pada meja kerja Direktur Personalia itu.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"
Pria itu mengangkat wajah lalu tersenyum. Beberapa kerutan muncul di sudut matanya. Sementara sepasang netra itu berbinar arif. Sorot khas seorang pria dewasa yang hanya bisa didapat dari memaknai pengalaman hidup. Tatapan yang hilang dari hidup Della sejak lama.
Della menelan salivanya. Tatapan seorang ayah.
"Terima kasih, Della." Matteo mempertahankan senyumnya. "Maaf sudah mengganggu waktu kerjamu. Kuharap, Antonio tidak keberatan."
Della menggeleng sambil memulas senyum di bibirnya. "Beruntung sekali saya memiliki senior yang kompeten dalam pekerjaan ini."
Matteo tertawa renyah. "Kau ini pintar memuji, ya."
"Terima kasih, Pak." Della memperat cengkeramannya pada tepian baki. "Kalau begitu, saya pamit. Saya harus kembali berjuang menjadi sekretaris yang kompeten seperti senior saya."
"Baiklah." Matteo menganggut lalu tiba-tiba alisnya menegak ketika teringat sesuatu. "Atau tunggu sebentar lagi. Sebaiknya kau bertemu dulu dengannya."
"Siapa?"
"Wakil direktur kita. Pak Manuel."
Tepat saat itu, terdengar ketukan pada daun pintu yang terbuka setengah. Papan kayu bercat gelap itu berayun, dibuka lebih lebar. Bersamaan dengan rahang Della yang nyaris jatuh ke lantai.
Apa ada dewa yang baru saja turun dari kahyangan?
Kedatangan lelaki itu sangat mendadak. Hingga Della tidak sempat mengira-ngira seperti apa wujud orang yang menjabat sebagai Wakil Direktur di perusahaan ini. Seperti anak panah yang dilepaskan tiba-tiba, sosok itu muncul dan menghantam Della dengan pesonanya.
Selama beberapa detik, Della masih terbius. Bahkan ketika lelaki itu mengulurkan tangan setelah Matteo mewakilinya untuk memperkenalkan diri. Seperti robot yang digerakkan mesin, Della menjabat tangan itu sambil menyebut nama lengkapnya.
"Ini sekretaris yang akan menggantikan Niken."
Manuel tersenyum. "Salam kenal, Nona Dellani Mahara."
Senyum itu. Entah mengapa terasa tidak asing. Seolah Della sudah pernah melihatnya berkali-kali sebelum ini. Tetapi di mana dan kapan?
Tiba-tiba, sepasang netra abu-abu muncul di benaknya tanpa diminta. Sorot tajam itu seolah memberi peringatan. Della mengerjap. Benar. Ia harus fokus. Jangan mudah jatuh cinta pada lelaki lain. Ia tidak mau menjadi calon kekasih yang tidak setia.
Della menarik kembali tangannya. Ia mengatupkan bibir lalu tersenyum santun. "Senang bertemu Anda, Pak Manuel."
Bibir penuh lelaki itu tersungging. "Kau akan selalu senang. Setelah ini, kita akan lebih sering bertemu."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar