Rabu, 25 Mei 2016

Unlock Your Heart VI: Confession (1)



Entah terpengaruh ucapan Romero atau apa, Della memilih gaun berwarna biru dongker untuk pesta peresmian malam ini. Bagian atasnya berbahan brokade menutupi hingga sikunya, sedangkan mulai pinggangnya mengembang rok asimetris yang bagian belakangnya lebih panjang dari bagian depan yang berhenti di atas lutut. Sepasang Stevany berwarna emas menyempurnakan penampilannya.

Setelah memasukkan ponsel, kartu identitas, beberapa lembar uang, serta pulpen dan buku kecilnya ke dalam tas tangan yang sewarna dengan sepatunya, Della bergegas meninggalkan suite-nya. Ia tidak ingin menjadi pihak yang ditunggu oleh bosnya.

Della ingin menunggu tepat di seberang pintu. Sehingga sosok dirinya yang pertama kali akan dilihat Antonio saat keluar dari suite-nya.

Sayangnya, keinginannya itu hanya berakhir sebagai khayalan. Antonio sudah keluar dari suite-nya bersamaan dengan Della yang tengah mengunci pintu. Tetapi kekecewaan Della tidak bertahan lama saat ia melihat Antonio yang juga memilih warna biru dongker untuk setelan jasnya.

"Kalau seperti ini, kita terlihat seperti pasangan, ya, Pak," ucap Della sambil berusaha menyembunyikan senyum.

Antonio mendebas. "Jangan mengatakan hal konyol," ujarnya lantas melirik sekilas.

"Maaf, Pak." Della mengigit bibirnya sambil memutar otak untuk topik pembicaraan. "Tadi saya membaca beberapa artikel dari beberapa media yang memberitakan tentang peresmian hotel ini."

Antonio mengangguk, tanda ia menyimak.

"Semuanya bernada positif."

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Antonio saat mereka sudah berada di dalam lift. "Apa ada yang perlu diperbaiki dari suite itu?"

"Menurut saya, semuanya sempurna, Pak. Cuma rasanya terlalu luas karena ditempati sendirian."

Pintu lift yang bergeser terbuka mengakhiri pembicaraan mereka.

Della berjalan satu langkah di sisi Antonio. Berdua mereka menyusuri koridor yang mengarah langsung ke tempat acara. Hingga tiba-tiba Della terkesiap dan menghilangkan jarak dengan bosnya itu.

"Oh, astaga. Ini kita di dalam laut, Pak?" bisik Della takjub saat bahu mereka bersinggungan.

"Secara teknis, iya," jelas Antonio. "Padahal sebenarnya ini sama seperti akuarium raksasa di tempat wisata."

Mata Della terus mengamati beberapa ikan berwarna cerah yang berenang di sampingnya, lalu bersembunyi di antara rumput laut yang melambai-lambai. Tanpa menyadari bahwa Antonio kembali memberi jarak di antara mereka.
***

Sambutan, pengguntingan pita, ucapan-ucapan selamat hingga menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan dalam seluruh rangkaian resmi acara akhirnya usai. Para tamu undangan dan awak media sudah meninggalkan tempat acara. Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam pembangunan hotel ini melanjutkan acara ke lounge yang terhubung langsung dengan poolside bar.

Della memilih untuk berkeliling menikmati kudapan ringan yang tersedia, tentu saja setelah mendapat izin dari Antonio. Sementara bosnya itu duduk di salah satu kursi nyaman di lounge  ditemani segelas wine.

Kaki Della bergerak meninggalkan lounge bergaya vintage elegan itu dan pindah ke poolside bar yang tampak lebih santai. Ia berhenti di sebuah meja yang menyajikan berbagai macam roti berukuran mungil pada piring bertingkat tiga.

"Bingung?"

Tatapan Della bergerak ke samping untuk menemukan Kania yang tersenyum ke arahnya. Gadis itu mengenakan gaun panjang bergaya mermaid yang warnanya langsung mengingatkan Della pada langit cerah di tepi pantai.

"Iya. Semuanya terlihat enak."

"Pilih roti yang permukaannya bersih dari bintik atau garis hitam," saran Kania sambil mengambil piring pipih kecil dan memindahkan beberapa roti ke sana. "Dan jauhi roti beraroma seperti logam atau jamur."

Della mendengarkan sambil meniru apa yang dilakukan Kania.

"Salah seorang pamanku adalah pembuat roti, beliau yang mengajarkan itu padaku," jelas Kania tanpa terkesan khawatir dianggap sok tahu. "Mau bersantai sedikit di bar?"

"Boleh."

Beberapa menit kemudian, dua gadis itu sudah duduk di kursi tinggi sambil menunggu bartender menyiapkan minuman.

"Jadi, Niken akan menikah, ya?" ucap Kania membuka obrolan.

Della hanya mengangguk karena mulutnya masih mengunyah roti kismis.

"Sudah berapa lama kau menggantikan Niken?"

"Baru satu minggu," ujar Della sambil memgacungkan telunjuknya seolah menunjuk langit malam yang menaungi mereka.

Kania meraih minumannya yang disajikan dalam gelas tinggi. "Kuharap kau betah."

"Tentu saja."

Kening Kania mengernyit heran. "Kau tidak terganggu dengan sikapnya yang muram dan suka marah-marah?"

"Dia bosnya. Kurasa itu wajar."

Kania menjepit sedotan dengan bibirnya yang mengulum tawa kecil. "Selama ini tidak ada sekretaris yang betah bekerja lebih dari satu bulan. Kecuali Niken, tentu saja."

"Mungkin mereka sudah menemukan pekerjaan lain yang lebih cocok."

"Pikiranmu selalu positif, ya," ujar Kania lantas tersenyum.

Bahu Della terangkat sekilas lalu tangannya terulur mengambil donat mini berlapis matcha glaze dan potongan kacang almond.

"Gaun itu pas untukmu."

"Terima kasih."

"Salah satu mantan sekretaris Antonio pernah mengenakan gaun dalam kategori 'memalukan'." Kania membuat tanda kutip di udara untuk kata terakhir dalam kalimatnya. "Itu terjadi saat peresmian apartemen di Singapura. Selesai acara, dia langsung dipecat."

"Memang 'memalukan' seperti apa?"

"Kau bayangkan sendiri, ya. Gaun merah bata dengan bagian dada dan punggung yang terbuka. Belum lagi belahan rok panjangnya yang tersingkap memperlihatkan paha dan betisnya setiap kali dia melangkah."

Kening Della mengernyit saat membayangkan betapa tidak praktisnya gaun itu untuk dikenakan.

"Aku tidak tahu siapa yang ingin digodanya. Tapi mungkin siapa saja tidak masalah karena semua yang hadir di sana pasti bukan orang sembarangan."

"Apa kau juga pernah menjadi sekretaris Pak Antonio?"

Kania menggeleng. "Sejak dulu, aku sudah bekerja di dunia perhotelan. Aku hanya beruntung karena bisa mengenal Antonio yang sangat membantu karierku. Dulu dia bertunangan dengan sahabatku, Nadira. Mereka pasangan serasi. Tapi..."

Jemari Della terhenti satu senti di depan gelasnya yang mulai dipenuhi bintik-bintik air demi mendengar kelanjutan kalimat Kania.

"...kurasa kurang etis kalau aku menceritakan masa lalu temanku," ucap Kania sambil memandangi ujung sedotan dengan tatapan sendu, membiarkan kotak penasaran Della tetap kosong.

Della menyesap lemon squash-nya, menelan pertanyaan yang tersangkut di ujung lidahnya.

"Apa tidak sebaiknya kau segera kembali ke tempat bosmu?"

"Memang kenapa?" Alis Della terangkat, mengikuti arah pembicaraan yang dibelokkan Kania.

"Sebaiknya, kau pastikan dia sedang bersantai. Bukannya malah memulai rapat di tengah pesta ini."

"Ah, benar juga." Della tertawa kecil. "Terima kasih sudah menemaniku mengobrol sambil makan roti. Kita bisa lakukan lagi lain waktu."

"Tentu saja." Kania tersenyum lebar. "Senang bisa mengenalmu, Della."
***

Saat kembali ke lounge, Della mendapati Antonio sudah tidak duduk sendiri. Romero duduk menemaninya. Penampilan arsitek itu didominasi warna hitam yang elegan alih-alih muram. Mulai dari setelan jas, sepatu, hingga kemeja dan dasinya. Tampak sangat kontras dengan penampilan Antonio yang sudah menanggalkan jas dan menyisakan kemeja putihnya.

Della baru menarik kursi untuk duduk saat tiba-tiba musik yang tadinya mengalun pelan digantikan musik bertempo lebih cepat dan bersemangat.

"Wah, sudah waktunya berdansa," gumam Romero bersamaan dengan orang-orang yang menuju ke luar lounge.

"Dansa?" Della berseru antusias. "Ayo, kita berdansa, Pak!"

Antonio menggeleng. "Aku tidak suka berdansa."

"Kalau begitu, dansa denganku saja," tawar Romero sambil bangkit dari duduknya dan menyodorkan lekukan lengannya pada Della. "Boleh, kan, Bos?"

Della menatap ke arah Antonio yang menjawab dengan anggukan kelopak mata. Ia berujar terima kasih lantas mengamit lengan Romero. Mereka mengikuti yang lainnya ke area di dekan kolam renang.

Antonio mengangkat gelas untuk menyesap wine-nya. Sepasang netranya memandangi semua itu dengan perasaan tidak menentu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar