Rabu, 11 Mei 2016

Unlock Your Heart IV: Cogitation (1)


Sekali lagi, Della mematut bayangannya di cermin. Hanya untuk memastikan penampilannya sesempurna mungkin. Ia tidak ingin mendengar omelan meluncur dari bibir seksi yang selalu terbayang dalam benaknya yang delusif.

Della menatap puas gaya rambut barunya. Hari ini ia mengepang rambutnya dari kanan menyamping hingga ke kiri dan menguntir bagian ujung menjadi sanggul kecil di belakang telinga kirinya.

Ia sengaja, tentu saja. Demi menghindari komentar tentang gelungan rambutnya yang miring sekian milimeter. Kalau letaknya di pinggir begini, tidak ada celah untuk itu. Sekalian saja supaya bosnya melihat bahwa memiliki rambut panjang itu menyenangkan karena bisa ditata dengan berbagai macam gaya. Jadi, Della tidak perlu menggunakan rambut tambahan di hari pernikahannya nanti.

Pikiran itu sukses membuat sudut-sudut bibirnya tergoda untuk menampilkan sebuah senyuman. Bahkan dering ponsel yang mengusik khayalannya, tidak kuasa menghapus senyum dari wajah Della.

“Halo?” sapa Della sambil menempelkan ponselnya ke telinga tanpa melihat siapa yang menelepon. Karena ia sudah tahu pasti siapa orang yang bisa meneleponnya sepagi ini.

Siapa lagi kalau bukan Neysa?

“Della! Apa kau ada waktu nanti malam? Setelah kau pulang dari kantor tentu saja. Aku ingin mengajakmu makan malam bersama keluargaku juga. Kalau kau terlalu lelah, Kak Dewa dan Kak Winda bersedia menjemputmu.  Mereka baru saja membeli mobil baru, kau tahu?” ucap Neysa lantas terkikik jail.

Nah, benar, kan? Mana ada orang lain di muka bumi ini yang memiliki suara melengking seperti ini? Apalagi jika sedang merasa bahagia, Neysa suka berbicara seolah titik dan koma belum ditemukan oleh para ilmuwan.

“Oke, oke. Jadi, ini makan malam untuk merayakan mobil baru Kak Winda?”  Della bertanya sambil melumuri bulu matanya dengan maskara.

“Tentu saja bukan,” sahut Neysa sambil mencebik kesal.

Della bisa membayangkan dengan jelas wajah sahabatnya memberengut di seberang sana. Ia memang sengaja melakukannya. Dengan begitu, Neysa akan berbicara dengan jeda yang lebih manusiawi.

“Lalu apa? Perayaan anniversary pernikahan Kak Dewa dan Kak Winda?” goda Della lagi. Ia menyembunyikan seringai jail di wajahnya. Sementara matanya melirik penuh arti pada nakas di samping tempat tidurnya.

“Apa kau lupa?” Neysa masih berseru tidak percaya. “Untuk merayakan kelulusanku. Aku akan menghadapi ujian skripsi siang ini, Della.”

“Oh, ya?” seru Della dengan suara takjub yang dibuat-buat. “Jadi, aku harus datang jam berapa?”

Hening sejenak. Sebelum kemudian terdengar suara ketus beberapa detik sebelum telepon terputus.

“Jam tujuh.”

Della memandang geli pada layar ponselnya. Kemudian memasukkan benda itu ke dalam tas, diikuti sebuah kotak putih berhias pita biru yang sejak seminggu lalu bertengger di atas nakas.
***

Della mengetuk pintu berdaun ganda itu sesuai dengan kode ketukan pengantar kopi. Dan jawabannya langsung terdengar sedetik kemudian.

“Selamat pagi,” sapa Della dengan senyuman lebar. Tangannya bergerak memindahkan apa yang dibawanya di atas nampan ke atas meja. "Silakan kopi Anda, Pak.”

“Apa ini yang kaubawa?” tanya Antonio ketus alih-alih membalas sapaan Della.

“Kopi, Pak.”

“Bukan yang itu.”

“Oh? Roti, Pak.”

“Kaupikir aku bodoh? Aku tahu itu roti. Tapi untuk apa ada di sini? Aku tidak memintanya.”

“Itu karena saya pikir sarapan hanya dengan secangkir kopi itu tidak baik bagi kesehatan. Jadi, saya bawakan roti untuk Anda.”

Untuk sesaat, Antonio terdiam. Raut wajah lelaki tu mengeras seperti bongkahan es di kutub. Mengabaikan Della yang menatapnya salah tingkah.

“Ada apa, Pak?” tanya Della takut-takut. “Apa Anda kurang menyukai roti dengan selai stroberi? Atau ada makanan lain yang Anda sukai untuk sarapan? Saya bersedia memasak─”

“Urus saja pekerjaanmu, Dellani Mahara,” sela Antonio kemudian. Suaranya tersirat nada pengusiran yang keras.
***

Sial. Antonio mendesah kesal beberapa saat setelah Della meninggalkan ruangannya. Wajah gadis itu menampilkan beragam ekspresi yang bercampur. Entah itu kebingungan, terkejut, atau justru terluka.

Tetapi Antonio tidak peduli. Lagipula untuk apa ia peduli? Della memang pantas mendapatkan yang lebih buruk darinya. Karena gadis itu sudah mengusik luka yang dikuburnya dalam-dalam.

Antonio meraih cangkir dan menyesap kopinya perlahan. Ia berharap perasaannya lebih baik setelah kafeina itu menjalari tenggorokannya. Tetapi sayangnya, justru sekelebat kenangan malah berputar dalam benaknya tanpa diminta.

‘Kau ingin roti dengan selai cokelat atau selai stroberi?’ tanya suara lembut itu membelai telinganya.

‘Tidak, terima kasih. Kopi saja cukup untukku,’ jawabnya tanpa mengangkat wajah dari koran yang dibacanya. Sebagai bukti, ia lantas menyesap kopi yang tadi dihidangkan gadis pemilik suara yang lembut itu.

Bukannya menerima, gadis itu malah berdiri galak sambil berkacak pinggang di hadapannya. Ia menengadah dengan bibir berkedut geli, membalas tatapan mata gadis itu.

‘Sudah berapa kali kubilang.’ Kali ini suara gadis itu terdengar menajam di telinganya. Yang justru mengundang senyum jenaka di wajahnya. ‘Sarapan hanya dengan secangkir kopi itu tidak baik untuk kesehatanmu, Nino.’

‘Ya, ya.’ Ia meletakkan korannya ke atas meja lalu mengangkat tangan tanda menyerah. Ia perlahan berdiri berhadapan dengan gadis itu lalu berbisik. ’Aku ingin selai stroberi saja. Karena warnanya serupa bibirmu.’

Antonio tersentak kuat dari perangkap memori itu. Karena cangkir porselen yang dipegangnya, sedikit miring dan menumpahkan isinya ke atas tangan Antonio. Ia memekik tertahan saat merasakan punggung tangannya seperti membara. Bersamaan dengan ujung lengan kemejanya yang berubah kecokelatan.
***

Della menelan ludah. Ini terasa seperti mimpi. Ia berharap bisa mendengar suara Neysa yang berusaha membangunkan ia dari tidurnya. Tetapi suara cempreng sahabatnya itu justru tidak muncul saat dibutuhkan.

Sekali lagi, Della memandang Antonio yang sedang menanyakan sesuatu tentang anggaran keuangan. Lalu pandangannya beralih pada lawan bicara bosnya, yaitu Wakil Direktur bernama Manuel. Lelaki yang kemarin diperkenalkan Matteo padanya.

Pemandangan yang tersaji membuat Della bertanya-tanya, apakah ada syarat khusus bahwa lelaki yang bekerja di perusahaan ini harus berkharisma dan berparas memesona?

Manuel bertubuh jangkung dan tampak kokoh karena rutin berolahraga. Ia memiliki sepasang netra cokelat terang yang tampak selalu berbinar. Ditambah senyum yang sesekali muncul di sudut bibirnya, membuat ia terlihat lebih santai sekaligus walaupun sedang mengenakan pakaian formal. Senyum yang tetap mengusik memori Della.

Berbeda jauh dengan Antonio yang tampak dingin dan serius. Seolah tidak ada hal lain yang ia pikirkan selain bekerja.

"Bagaimana menurutmu, Nona Dellani Mahara?"

Suara itu menunjukkan otoritas, tetapi diucapkan dengan nada yang santai. Bukan milik Antonio, melainkan Manuel.

Della mematung. Hanya sepasang kelopak matanya yang mengerjap begitu sadar dua lelaki tengah menatap ke arahnya.

Ia mengalihkan tatapan dari Manuel yang duduk bersebarangan dengannya di sofa panjang. Kini, ia memandang Antonio yang duduk di sofa single sambil mengangkat satu alisnya, seolah sedang menunggu.

Kepercayaandirinya hampir menguap habis di bawah tatapan kedua bos besar itu. Nyaris saja ia bangkit dan berlari kabur dari hadapan dua makhluk tampan yang menjadi penyebab ia melamun selama rapat kecil ini berlangsung. Terlebih, karena ia tidak memiliki petunjuk apa pun tentang pertanyaan yang diajukan Manuel untuknya.

Della berdeham. "Terima kasih sudah meminta saya untuk berpendapat, Pak Manuel. Tapi menurut saya, Pak Antonio yang lebih berhak," ujarnya sambil tersenyum hormat dan melirik ke arah Antonio.

Beruntung, Antonio tidak berusaha memperpanjang penderitaan Della dan langsung menyatakan argumennya.

Tidak mau mengulang kesalahan yang sama, Della benar-benar menyimak dan mencatat poin-poin penting dalam ucapan Antonio dan Manuel. Dalam beberapa kesempatan, ia menyadari bahwa Manuel melirik ke arahnya seolah ingin menelanjangi isi kepalanya. Hingga akhirnya rapat selesai dan Della merasa ia bisa kembali bernapas lega.

"Tadi itu cara mengelak yang cerdas."

Suara Manuel menahan niat Della untuk kembali ke mejanya. Saat ini mereka sudah berada di luar ruangan Antonio.

"Maaf?"

Manuel mengulas senyum yang lagi-lagi terasa familier bagi Della. Tetapi ia yakin belum pernah bertemu Manuel di luar perusahaan ini. "Tadi waktu aku memintamu berpendapat. Sebenarnya, aku penasaran apa yang kau pikirkan selama rapat?"

Tiba-tiba, tenggorokan Della terasa gatal. "Saya tidak─"

"Tidak apa-apa." Manuel tertawa. "Santai saja. Tapi wajahmu yang sedang bingung terlihat menggemaskan."

Jantung Della memompa lebih banyak darah ke wajahnya.

"Senang bekerja denganmu, Nona Dellani," ucap Manuel sambil menepuk lembut lengan sekretaris Antonio itu, lalu ia berbalik menuju ruangannya sendiri.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar