Rabu, 08 Juni 2016

Unlock Your Heart VIII: Reunion (2)



Mengabaikan tingkah konyol keluarganya, Manuel memandangi wajah Della yang justru tampak tertarik dengan pemandangan itu. Senyum menarik otot-otot wajahnya, seolah ia sedang melihat bentangan salju setelah seumur hidup tinggal di negara tropis.

"Aku tidak menyangka kau akan datang."

Tersentak, Della menoleh dengan kedua alis terangkat. Lupa kalau masih ada Manuel di ruangan itu. Untuk mengalihkan keterkejutannya, ia menyentuh pita yang mengikat rambutnya. Benda cantik yang tidak bisa ia kenakan ke kantor.

"Sulit untuk menolak undangan Bu Rachel."

"Apa kau tahu tujuan Mam─Ibuku mengundangmu?"

"Untuk makan malam."

Manuel tersenyum simpul. "Ibuku menyukaimu. Setiap ada kesempatan, Mammiel selalu membicarakanmu. Betapa senangnya kalau Della adalah anaknya. Atau setidaknya menjadi menantunya. Dan hal semacam itu."

Kerutan samar muncul di kedua alis Della.

"Kau tahu ke mana arahnya?" tanya Manuel retorik. "Pernikahan. Ibuku ingin menjodohkan kita. Mengundangmu makan malam adalah salah satu langkah pentingnya."

"Kurasa itu cuma ungkapan seorang ibu yang ingin memiliki anak perempuan."

"Naif." Bibir Manuel semakin menipis karena senyum. "Tapi aku tidak keberatan dengan niat Ibuku."

Bibir Della mengerucut turun. "Maaf. Tapi aku keberatan," ucapnya sambil mengangkat tangan seperti sedang mengajukan pendapat saat rapat. "Sudah ada seseorang yang kusukai."

Senyum Manuel menjelma tawa. "Aku tahu. Antonio, kan?"

Otomatis, Della tersipu dengan kedua pipi  memerah.

"Untuk yang satu itu, kurasa kau harus berjuang lebih keras."

Lekat-lekat, Della menatap wajah Manuel. "Memang kenapa?"

Menghindar, Manuel malah mengalihkan pandangan pada panci-panci yang tergantung di dinding. Sepasang netranya bergetar karena teringat pada hal tragis yang pernah disaksikannya di masa lalu. "Mungkin saja hatinya masih terkunci rapat untuk apa pun yang berkaitan dengan  afeksi."

"Kalau begitu, aku tinggal menemukan kunci untuk membuka hatinya."

"Semangat yang bagus."

Della tersenyum berterimakasih.

"Sambil menunggu, mau menata ayam panggang ke piring saji?" tawar Manuel. "Ibuku memang sengaja meninggalkan kita agar bisa berduaan. Sekaligus ingin menginterogasi Miguel yang ternyata sudah mengenalmu."

Begitu Della mengangguk, Manuel melangkah ke lemari kayu di sudut ruangan. Lelaki itu kembali dengan sebuah piring berbentuk heksagon dengan lebar tiga puluh sentimeter.

"Bagaimana kalian saling mengenal?" Manuel mulai mengiris-iris lemon yang akam digunakan sebagai garnish. "Kau dan Miguel."

"Aku mengenalnya di kampus."

"Memangnya kau juga kuliah hukum? Bukannya lulusan ekonomi?"

"Kami sama-sama anggota klub pecinta alam."

Bibir Manuel membulat. "Sepertinya kalian cukup dekat."

Della berdeham salah tingkah. Untuk mengalihkan perhatian, ia mengambil daun peterseli dari keranjang stainless dan membelai tanaman perdu itu dengan ujung jari. "Sebenarnya, dulu aku pernah menyatakan perasaan pada Miguel tapi ditolak."

"Wah." Manuel berdecak sambil menggeleng-geleng. Perhatiannya beralih dari lemon─yang sudah diiris dengan ketebalan seragam─kepada Della. "Selain naif, kau juga agresif, ya. Pasti sulit menjalin hubungan denganmu."

Alis Della terangkat heran. "Apa maksudnya?"

"Biasanya, perempuan suka menebar kode. Tapi kau malah menulisnya jelas-jelas di depan keningmu. Sebagai lelaki, aku pasti bingung."

"Yang membingungkan justru lelaki sepertimu. Protes karena tidak bisa memecahkan kode dari perempuan, tapi menuduhku agresif karena ingin memperjelas status." Kesal, secara refleks Della memukulkan apa yang dipegangnya ke bahu Manuel.

"Hei, tidak baik melakukan itu pada makanan."

Tersadar, Della menunduk dan mendapati daun peterseli dalam genggamannya. Titik-titik air di dedaunan itu malah memberinya gagasan lain. "Benar juga. Maaf, ya," ucap Della sambil mengiraikan peterseli ke arah Manuel.

"Aduh. Airnya," protes Manuel sambil memejamkan mata kaget.

"Memang kenapa airnya?" Della berpura-pura bodoh sambil kembali mengibaskan tangan. Ini cukup mengingatkannya pada pompon yang dipegangnya sebagai anggota cheerleader sekolah.

Manuel mengusap wajahnya yang kembali terciprat air. "Cepat sekali kau menduplikat sikap menyebalkan Mammiel. Kalian cocok sebagai ibu dan anak."

Mendengar itu, Della malah mengipasi Manuel hingga lebih banyak air dari peterseli yang mengenai wajah lelaki itu. "Kuharap air ini akan memurnikan jiwamu yang berani-beraninya meyandingkan kata 'menyebalkan' dan 'Mammiel' dalam satu kalimat."

"Kau membuat ini terasa seperti eksorsis," gerutu Manuel sambil berlari menghindar tetapi Della tetap mengibaskan peterseli padanya.

Diam-diam, Rachel mengulum senyum saat menyaksikan itu semua dari balik tirai pembatas dapur.
***

Makan malam itu berlangsung meriah. Selain karena Rachel yang memperlakukan Della selayak anaknya sendiri, Samuel Vinocchito alias Pappiel juga sesekali melontarkan humor ala bapak-bapak yang membuat seisi ruang makan tergelak─antara terpaksa atau takut merasa durhaka.

Della duduk di sisi Rachel, berseberangan langsung dengan Miguel. Sedangkan Manuel duduk bersebelahan dengan adiknya. Samuel duduk di bagian kepala meja seperti kepala keluarga pada umumnya.

Seusai menikmati santapan lezat itu, Miguel meminta Della untuk menemaninya berjalan-jalan santai. Lelaki itu berdalih ingin membakar kalori lebih cepat.

Miguel tidak berhenti memandangi Della seolah jika ia berkedip lebih dari satu detik, maka gadis itu akan hilang dari hadapannya. Itu terus berlangsung sejak di ruang makan, bahkan ketika para pelayan menghidangkan masakan Rachel ke atas meja. Hingga kini mereka berada di taman, Miguel tidak membiarkan dirinya lengah. "Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi," katanya kemudian.

Della mengangguk lantas terkekeh. "Ya. Kau sudah mengatakan itu sebanyak tujuh kali."

"Benarkah?" seru Miguel lalu ikut tertawa kecil. "Aku cuma masih sulit percaya."

"Sama."

"Siapa sangka kau akhirnya bekerja di perusahaan yang sama dengan Mammiel dan Manuel." Miguel mendesah takjub. "Kalau tahu begini, seharusnya aku tidak menolak saran Mammiel untuk melamar sebagai tim hukum AND."

"Kenapa kau tolak?"

"Cuma tentang ego. Aku tidak ingin orang-orang berpikir kalau aku diterima karena punya relasi dengan elite perusahaan."

"Yakin sekali kau akan diterima."

"Tentu saja." Kepercayaandiri Miguel sama sekali tidak mengalami penyusutan. "Di mana lagi mereka bisa menemukan pengacara cerdas, kompeten, tampan, dan seksi seperti aku?" tanyanya retorik sambil menunjuk kepala, wajah, dan otot perutnya secara berurutan.

Della tertawa sinis. "Aku heran apa yang dulu membuatku sampai rela menyatakan cinta kepadamu."

"Dan sejak saat itu kau terus menghindariku."

"Apa yang kauharapkan?" cibir Della. "Terus menempelimu seperti anak anjing padahal sudah ditolak?"

"Aku menolak bukan karena tidak menyukaimu─"

"Karena usiaku lebih tua," tukas Della.

Miguel mengangguk. "Selebihnya, aku menyukaimu. Kau cantik dan menyenangkan untuk diajak mengobrol dalam topik apa pun. Jadi, saat aku terus-terusan menghindariku, aku benar-benar merasa kehilangan."

"Tunggu dulu, bukankah seharusnya kau memanggilku dengan sebutan 'kakak'?"

Tawa Miguel berderai. "Itu, kan, saat aku masih mahasiswa tingkat pertama. Sekarang kita sudah sama-sama dewasa. Lebih baik aku memanggilmu─" Miguel berdeham. "─baby," lanjutnya dengan suara dibuat serak.

Della menggeleng. Bahkan demi memperkuat penolakan, ia menggoyangkan telunjuknya.

"Kenapa? Seharusnya kau senang karena cintamu akhirnya berbalas."

"Sekarang aku sudah mencintai orang lain."

Kening Miguel mengernyit. "Seseorang di kantormu?"

Della mengangguk.

"Kau pasti bercanda." Kedua mata Miguel memicing sangsi. Tidak mungkin ada lelaki yang lebih baik dariku."

"Nyatanya ada."

"Siapa dia? Aku jadi ingin melihatnya langsung."

"Nona Dellani, ayo kuantar pulang."

Walaupun namanya tidak disebut, Miguel ikut menoleh pada Manuel yang berdiri di teras rumah.

"Kau sudah dijemput sopirmu, tuh," bisik Miguel usil.

"Aku mendengarnya, Miguel."

"Itu bagus. Kau tidak harus mengunjungi dokter THT minggu ini."

Della tergelak senang bisa menyaksikan perdebatan saudara seperti ini. Sesuatu yang tidak pernah ia alami. "Aku pulang dulu, ya," pamit Della. "Pastikan lain kali kau bersikap sopan pada perempuan-yang-lebih-tua ini."

"Aku tidak akan memanggilmu 'kakak'," tolak Miguel. Ia menoleh ke arah Manuel yang masih menunggu Della yang sedang menuju teras. "Pastikan kau mengantar pacarku dengan selamat, ya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar