Rabu, 15 Juni 2016
Unlock Your Heart IX: Alteration (1)
"Apa Kakakmu ada di ruangannya?"
Allenia mengangkat kepala dari layar demi menatap Della. "Ya. Tapi sedang ada tamu."
Della mengangguk mengerti. Mungkin pertemuan dengan investor yang tidak jarang datang dari luar negeri.
"Masak apa hari ini?" tanya Allenia sambil melirik kotak yang diletakkan Della ke meja.
"Spageti saus rendang."
Allenia menelan ludah. "Apa kau buatkan untukku juga?"
Tepat saat itu, pintu berdaun ganda di samping mereka terbuka. Cepat-cepat, Della berpindah ke sisi Allenia. Ia menyiapkan senyum terbaiknya demi menyambut Antonio.
Tetapi seseorang yang muncul justru membuat kedua mata Della melebar. Tamu itu bukan investor asing seperti yang Della kira.
"Aku baru saja mau ke ruanganmu," ucap Miguel sambil menghampiri meja sekretaris. "Kau seruangan dengan Mammiel, kan?"
"Ah. Iya."
"Aku sengaja datang untuk mengajakmu makan siang," ujar Miguel santai. "Tapi tidak sopan rasanya kalau aku tidak menyapa tuan rumah dulu."
Antonio mengangkat alisnya senatural mungkin. Meski enggan mengakui, ia sedikit terusik dengan fakta keakraban Miguel dan Della.
"Kau tahu, kemarin dia baru menolakku," ucap Miguel sambil mencondongkan diri ke arah Antonio. "Dengan alasan konyol."
Della menggigit bibir, menunggu reaksi Antonio.
"Katanya, dia sudah menyukai lelaki lain di kantor ini," lanjut Miguel walaupun tidak ada yang bertanya. "Tapi sejak tadi kuperhatikan, tidak ada lelaki yang melebihi ketampananku. Kau sengaja bohong untuk balas dendam, ya?" tuduh Miguel.
"Tidak," sangkal Della cepat. Ia harus segera menyeret Miguel pergi. Sebelum pengacara tampan itu berkata lebih banyak. "Ayo, cepat kita berangkat makan siang."
Seringai muncul di bibir Miguel. "Wah, kau sudah tidak sabar rupanya."
***
Della memijat lembut otot-otot lehernya yang terasa kaku. Seluruh tulangnya seolah akan rontok, tetapi ia lega karena pekerjaannya sudah selesai. Ia bisa menikmati akhir pekan dengan tenang dan menyambut Senin dengan senang. Sambil menunggu layar komputer padam, ia menyimpan berkas-berkas ke dalam map dan mengembalikannya ke rak. Setelah mejanya tidak lagi berantakan, ia bergegas meninggalkan ruang kerjanya.
Suasana di luar sangat lengang dan hening. Della melirik jarum pendek jam tangannya yang hampir menyentuh angka sembilan. Pantas saja. Pasti semua orang sudah pulang. Hanya menyisakan dirinya yang lembur sendirian.
Della hendak menekan tombol lift saat tiba-tiba indranya mendengar suara rintihan. Ia mengedarkan pandangan tetapi tidak menemukan siapa pun di sana. Alih-alih kabur meninggalkan kantor, Della malah menjauhi lift untuk mencari sumber suara. Seperti yang dilakukan tokoh dalam film horor.
Dalam keheningan lantai dua puluh satu, seluruh indra Della semakin menajam. Sayup-sayup, suara rintihan itu kembali terdengar. Dan sepertinya berasal dari ruangan Antonio.
Untuk menuntaskan rasa penasarannya, Della mengetuk pintu berdaun ganda tersebut. Ia menunggu selama beberapa jenak, tetapi tidak ada jawaban. Maka, ia memutuskan untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu.
Perhatian Della langsung tertuju pada sofa tempat Antonio biasa menerima tamu atau melakukan rapat kecil. Dengan tengkuk bertumpu pada lengan sofa, lelaki itu berbaring di sana. Ia tidak mengenakan jas dan dasinya. Hanya menyisakan kemeja yang berantakan. Gelas kristal dengan es batu yang mencair serta botol wiski yang nyaris kosong diletakkan di atas meja di hadapannya.
Della memberanikan diri untuk maju lebih dekat. Dada lelaki itu naik dan turun dengan teratur. Wajahnya tampak sangat lelah. Dan kalau Della tidak salah melihat, ada jejak air mata yang mengering di pipi tampan itu.
Kilat menyambar dari luar jendela. Della sadar bahwa ia harus bergegas pulang. Sebelum itu, ia mengambil selimut dari lemari di samping kulkas di sudut ruangan. Semua ia lakukan dengan sangat perlahan hingga tidak menimbulkan bunyi apa pun.
Setelah menyelimuti Antonio, Della lantas berbalik hendak pergi. Hingga tiba-tiba langkahnya terhenti karena Antonio menggengam erat pergelangan tangannya.
"Mau ke mana?"
Melihat kelopak mata Antonio yang masih terpejam, Della bersuara dengan ragu-ragu. "Hem... pulang."
Antonio melepas genggamannya lalu sambil bangkit ia melingkarkan lengan di pinggang Della yang ramping. Gadis itu langsung limbung dan jatuh ke atas sofa. Sebagian tubuhnya jatuh ke pangkuan lelaki itu. Seketika itu juga, seluruh kepalanya terasa panas.
"Jangan pergi," pinta Antonio dengan suara serak. "Temani aku, Nadira."
Mendengar nama itu, membuat napas Della tercekat. Ia menepuk lembut tangan Antonio di pinggangnya. "Pak Antonio. Ini saya, hem, Della."
Untuk sesaat, Della mengira Antonio tidak mendengarnya. Tetapi detik berikutnya, kedua mata lelaki itu terbuka. Nyalang, sedikit kemerahan, merefleksikan luka di hatinya.
Cepat-cepat, Della mengangkat tubuh sambil merapikan blus dan roknya. Padahal yang berantakan bukan penampilannya, melainkan perasaannya.
"Siapa yang mengizinkanmu masuk?" tanya Antonio dengan suara menyaingi halilintar.
"Tadi saya mengetuk pintu tapi Bapak tidak menjawab─"
Penjelasan Della terhenti karena Antonio mengangkat sebelah alisnya dengan sinis. Della menelan ludah susah payah karena entah mengapa ia merasa seolah tercekik.
"Jadi, menurutmu, karena aku tidak menjawab maka sah-sah saja untuk berbuat lancang?"
"Tadi... saya kira Bapak sedang sakit."
Sepasang netra abu-abu itu menatap Della sengit. "Kenapa jam segini kau masih ada di kantor?" Antonio menuangan seluruh wiski yang tersisa di dalam botol.
"Saya baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan."
Antonio mereguk wiski sampai habis. "Itulah kenapa kubilang kerjamu sangat lamban."
Benang kesabaran yang sejak tadi ditahan Della, tiba-tiba terputus. "Kenapa Anda selalu menyalahkan orang lain untuk menutupi ketidakberdayaan Anda sendiri?"
"Omong kosong macam apa itu?"
"Sebenarnya, Anda hanya malu karena terlihat menyedihkan seperti ini."
Antonio mempererat cengkeraman pada gelasnya, seolah ia ingin meremukkan benda itu.
"Untuk menutupi itu, Anda menyalahkan saya."
"Tutup mulutmu atau─"
"Atau apa?" potong Della dengan nada menantang. "Memang apa yang sanggup dilakukan seseorang yang terjebak masa lalunya?"
"Diam!" bentak Antonio sambil melempar gelasnya. "Kau tidak tahu apa-apa."
Della berjengit kaget saat gelas membentur dinding dan hancur berkeping-keping. Tetapi ia sama sekali tidak berubah gentar. "Saya tahu," ucapnya mantap. "Anda selalu meminta sekretaris untuk memotong pendek rambut mereka karena melihat perempuan berambut panjang hanya akan mengingatkan pada mantan kekasih Anda yang bernama... Nadira." Ia mengucapkan nama itu dengan penuh penekanan.
Kedua mata Antonio membeliak seolah oksigen di sekitarnya menyusut drastis. "Keluar," desisinya penuh amarah.
Della mengangkat dagunya tinggi. "Memang itu yang ingin saya lakukan sejak tadi."
***
Sepeninggal Della, Antonio mengambil gelas baru dari lemari kayu. Ia menyiramkan wiski pada es batu yang diletakkannya di dalam gelas. Sambil menyesap minumannya, ia melempar pandangan keluar jendela yang kini tertutup hujan yang serupa tirai kelabu.
Antonio menghirup napas dalam-dalam. Aroma air hujan bercampur dengan wangi wiski dalam gelas kristalnya. Tidak biasanya ia membiarkan diri mereguk minuman itu. Tetapi hari ini adalah pengecualian.
Ia tidak peduli kalau minuman itu merusak levernya. Ia tidak peduli kalau ia kehilangan kendali atas dirinya. Ia hanya peduli bagaimana melewati malam ini tanpa merasa kembali hancur.
Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, membuat perasaannya tidak tenang. Bukan di benaknya, melainkan di sudut kecil dalam hatinya. Sekuat tenaga ia berusaha menghalau desakan itu. Padahal hatinya sudah menutup diri dari perasaan itu sejak lama.
Ia berbalik dan memandang ruang kerjanya yang kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Selain dirinya sendiri dalam keadaan menyedihkan. Tepat seperti yang dikatakan Della.
Gadis itu seakan-akan bisa melihat ke dalam jiwa Antonio. Benteng tinggi yang selama ini mengelilinginya, berubah menjadi kaca bening di hadapan Della. Tetapi sekarang, tidak ada Della. Mantan sekretarisnya itu sudah pergi. Mungkin sedang dalam perjalanan pulang di tengah hujan deras ini.
Antonio menelan ludah. Sama seperti malam ini, hujan juga turun hari itu.
Seketika, penyesalan justru memberi hatinya cahaya terang. Sehingga ia sadar bahwa ia tidak ingin itu terjadi lagi. Ia tidak ingin merasakan kehilangan untuk kesekian kali. Kehilangan seseorang yang dicintainya sepenuh hati.
Dengan langkah gegas, Antonio meninggalkan ruang kerjanya dengan hati terus berharap.
Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada Della.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar