Rabu, 22 Juni 2016

Unlock Your Heart X: Illusion (1)


Della tidak bisa tidur.

Bukan karena tidak nyaman harus berbagi kasur dengan orang lain, melainkan ia tidak bisa berhenti memandangi Antonio lalu tahu-tahu sudah pagi. Otot-otot wajah lelaki itu tampak lebih rileks. Seluruh lelahnya meluruh dan digantikan lelap.

Menghindari terbangun dengan suasana canggung, Della memutuskan untuk memasak sarapan. Ia berharap, Antonio bangun ketika semua sudah matang. Sehingga Della bisa memanfaatkan momen makan bersama untuk memperjelas maksud 'jangan menyerah' yang kemarin diucapkan lelaki itu.

Saat Della sedang menampung air untuk memasak sup, tiba-tiba bel flatnya berdering berkali-kali. Hanya satu orang yang melakukan itu. Maka ia bergegas, setengah berlari, menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung menempatkan telunjuk di depan bibir, mencegah Neysa bersikap heboh.

"Tumben kau cepat membukakan pintu," komentar Neysa setengah berbisik. Wajahnya bertabur tanda tanya. "Omong-omong, kau mau joging pakai celemek?"

Kali ini, Della menekankan telunjuknya ke bibir Neysa. "Bosku sedang tidur di dalam."

"Kau benar-benar gila, ha?" Spontan, Neysa berseru dengan kedua mata terbeliak.

Telapak tangan Della membuka cepat untuk membungkam mulut gadis itu. Ia juga merangkul bahu sahabatnya agar tidak berulah. Setelah mereka berada di dapur, Della baru melepas kekangannya.

"Jadi, kau sudah─" Neysa berbisik begitu mulutnya kembali terbebas. Tatapannya bergerak naik-turun penuh kecurigaan.

Della langsung menekankan ujung telunjuknya di kening Neysa, berusaha menghapus pikiran mesum apa pun yang tumbuh di dalam sana.

"Kau akan mendengar ceritanya nanti." Della kembali pada pisau dan sayurannya yang menunggu. "Sekarang duduklah di sana, sementara aku menyelesaikan urusanku di sini."

Melihat benda tajam di tangan Della, mau tidak mau membuat Neysa mengangguk patuh. Ia duduk di kursi makan dan melipat tangan di atas meja. Matanya menatap kagum pada kemampuan Della memotong, meracik bumbu, dan menyiapkan penyajian.

"Apa ini yang akan kau lakukan setiap pagi kalau sudah menjadi seorang istri?"

Della tidak menjawab pertanyaan iseng Neysa. Gadis itu hanya melepas lirikan tajam yang berhasil membuat sahabatnya itu menutup rapat mulutnya.

Setelah semua menu tersaji, Della melepas dan melipat celemeknya lalu duduk di samping Neysa. Ia hendak memulai cerita saat terdengar bunyi pintu kamarnya dibuka. Serentak, kedua gadis itu menoleh dan mendapati Antonio yang berjalan sedikit limbung. Benang-benang jahit di kausnya seperti memberontak  karena otot yang menonjol. Begitu juga dengan celananya yang tampak sempit. Tetapi tidak sedikit pun mengurangi pesonanya.

"Ah, maaf. Apa kami terlalu berisik?" tanya Della sambil berdiri dari kursi. Sekilas, ia sempat melirik Neysa yang tengah ternganga. Sebentar lagi, air liurnya akan menetes.

"Aku mau pulang."

"Apa tidak sebaiknya Anda sarapan dulu?" Della berangsur mendekat.

Antonio melirik meja makan yang penuh hidangan yang menguarkan aroma lezat. "Aku tidak terbiasa sarapan."

"Kalau begitu, setidaknya minum kopi."

Mendengar kata 'kopi', membuat Antonio mempertimbangkan tawaran Della. Sepertinya secangkir kopi buatan Della bisa membuat ia merasa lebih baik.

"Boleh."

Della tidak bisa menahan senyum lebarnya pada persetujuan itu.

Antonio mengikuti Della kembali ke ruang makan yang berbatasan langsung dengan dapur. Ia menurut saat gadis itu mempersilakannya duduk di salah satu kursi.

"Oh, ya, perkenalkan. Ini sahabat saya. Neysa," ucap Della setelah menghidangkan secangkir kopi untuk Antonio.

Neysa menelan ludah sebelum mengulurkan tangan. Saat Antonio menjabat tangannya, gadis itu menyebut namanya dengan suara serak.

"Antonio," balas lelaki itu singkat. Kemudian ia menarik kembali tangannya untuk menggenggam tangkai cangkir. Ia menikmati setiap tetes kopi hingga merasakan seluruh sel di tubuhnya tersadar.

"Della, aku ingin makan sup buatanmu." Tahu-tahu Neysa bersuara. Intonasinya sangat jelas, seolah ia tengah berbicara dengan anak berusia lima tahun. Tetapi perhatiannya tidak berpindah dari Antonio. "Aku yakin ini pasti sangat lezat."

Della menyikut lengan Neysa sambil mendelik penuh peringatan.

Alih-alih memahami peringatan Della, gadis itu malah ikut melebarkan matanya. "Kau sudah susah payah memasak ini sejak pagi. Memangnya tidak boleh kalau aku mencicipinya sedikit? Tolong ambilkan mangkuk."

Sebelum suasana berubah kacau, Della bergegas menuju kabinet dan mengambil apa yang diminta Neysa. Ia bertekad, Neysa akan menyesal sudah bersikap kekanakan seperti ini.

Tiba-tiba Antonio berdeham saat Della sedang mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk. Gadis itu menoleh padanya. "Aku juga mau."

"Ya?"

"Masakanmu."

Untuk sesaat, Della tercenung. "Oh, baik, Pak. Akan segera saya siapkan," sahutnya formal. Ia mengambil satu mangkuk lagi untuk Antonio. Saat itulah ia melihat Neysa mengedipkan satu mata padanya. Ada senyum kemenangan di bibir sahabatnya itu.

Dengan cekatan, Della menyiapkan sarapan untuk tamu istimewanya. Sementara Neysa dipersilakan melayani dirinya sendiri. Tidak lupa, ia sudah melemparkan tatapan peringatan agar sahabatnya itu tidak berucap macam-macam lagi. Tetapi Neysa hanya mengangkat bahu lalu menyantap sarapannya.

Della memandangi Antonio yang hendak mengambil suapan pertamanya. Tetapi lelaki itu mengurungkan niatnya lalu menoleh pada Della.

"Kau juga makanlah."

"Sa-saya?" Della gelagapan karena ditatap secara intens oleh bosnya itu. Tidak ada ekspresi berarti di wajah Antonio. Ia kesulitan mengira-ngira apakah masakan sederhananya cukup menggugah selera atau tidak.

"Ya. Ayo, sarapan bersama."

"Oh, baik, Pak," sahut Della lalu melaksanakan perintah itu.
***

Sudah lama Antonio tidak merasakan sarapan seperti ini. Sejak ibunya meninggal dan sejak impian berumahtangganya hancur berantakan. Di masa lalu, ia sering membayangkan betapa indahnya jika setiap pagi ia bisa menikmati sarapan bersama Nadira. Kehangatan yang tidak bisa diberikan bahkan oleh restoran bintang lima sekali pun. Tetapi pagi ini ia menghadapi hal itu. Duduk bersama di meja makan untuk menyantam nasi merah, sup, telur, dan ikan goreng.

Adik perempuannya memang sering memasak untuknya. Tetapi ia tidak pernah benar-benar menikmati momen seperti ini. Alasan sibuk dengan pekerjaan selalu menjadi perisainya.

Pagi ini berbeda. Ia terbangun karena mencium aroma sedap. Melihat segelas air di atas nakas dan selimut yang melingkupinya, membuat Antonio merasa tercubit. Entah demi apa gadis itu memperlakukannya seolah-olah mereka adalah keluarga.

Antonio meletakkan sendok dan garpu ke atas piring yang sudah kosong. "Terima kasih atas hidangannya."

Della mengangguk sambil tersenyum.

Setelah mengusap bibirnya dengan tisu, Antonio bangkit dari duduk. "Sebaiknya, aku pulang sekarang."

Terburu-buru, Della juga ikut berdiri. Hingga derit kursi menyaingi suaranya. "Biar saya antar."

"Tidak perlu. Aku bisa menyetir sendiri."

Della mengigit bibir. "Tapi kemarin kita ke sini naik taksi, Pak."

Kening Antonio berkerut dalam. Sepertinya ia terlalu mabuk hingga tidak mengingat itu. "Kalau begitu, di mana mobilku?"

"Seharusnya masih di kantor."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan naik taksi."

Ekspresi Della berubah kaget.

"Kenapa?"

"Hem... Baju Anda, Pak."

Antonio menatap turun dan melihat dirinya sendiri. Della benar. Tidak mungkin ia menaiki kendaraan umum dengan penampilan seperti ini. "Di mana pakaianku?"

"Masih basah, Pak," ucap Della dengan nada khawatir. "Sepertinya tidak akan nyaman dikenakan."

Antonio terdiam sejenak dengan ekspresi serius. "Apa kau punya masker dan topi?"

Della mengangguk lalu pergi ke kamar. Tidak sampai lima menit, gadis itu sudah kembali dengan barang yang diminta Antonio.

"Apa kau mengenaliku?" tanya Antonio sambil menunjuk wajahnya yang tersembunyi di balik masker dan bayang-bayang topi bisbol.

Della menggeleng. "Tapi Anda jadi mirip selebriti yang sedang menyamar untuk menghindari penggemar."

"Tidak buruk juga." Antonio menganggut-anggut. "Sekarang aku bisa pulang naik taksi."

"Mari saya temani sampai taksi Anda datang."

Antonio tidak menolak. Ia kemudian menoleh pada gadis lain di ruangan itu. "Permisi."

"Ya. Hati-hati di jalan." Neysa mengangkat cangkir tehnya sebagai ganti lambaian tangan.

Della mengantar Antonio sampai ke tepi jalan utama di depan gedung flat Della.

"Omong-omong, kenapa Anda tidak menelepon sopir saja untuk menjemput?"

Antonio menggeleng. "Aku tidak mau menimbulkan gosip tidak penting di kantor. Itu akan membuatmu tidak nyaman."

Della memahami kekhawatiran Antonio.

"Dan kuharap, temanmu tidak akan salah paham dengan situasi ini."

Tawa kecil lepas dari bibir Della saat teringat ekspresi penasaran Neysa. "Itu tidak akan terjadi, Pak. Akan saya pastikan agar nama baik Pak Antonio tetap terjaga."

Taksi yang dipesan Antonio, berhenti di depan mereka. Lelaki itu naik dan duduk dengan nyaman. "Terima kasih," ucapnya sebelum menutup pintu mobil yang membatasi mereka.

Della hanya membalas dengan lambaian tangan. Hingga mobil itu menghilang di ujung jalan.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar