Rabu, 08 Juni 2016

Unlock Your Heart VIII: Reunion (1)


Della mengerjap bingung.

Ruangan itu ramai, tetapi ia merasa terasing. Tidak terlihat seorang pun yang ia kenal. Kalau tahu begini, lebih baik ia duduk di luar bersama gadis berkebaya yang tadi mengantarnya. 

Della menatap undangan di tangannya sambil mengembuskan napas berat, lalu menyimpan benda itu ke tas tangan. Ia sudah berada di sini. Tidak ada salahnya untuk sedikit menikmati pesta. Yang penting, tugasnya untuk mengantarkan hadiah atas nama Antonio Alvarez sudah terlaksana. Maka, ia mulai melangkah ke meja-meja bundar yang menyediakan berbagai jenis hidangan.

Beruntung, Della mengenakan gaun berwarna dadu pemberian Antonio. Kali ini tentu saja tanpa celana tidur dan sandal hotel. Seperti sebelumnya. Warna lembut yang serasi dengan dekorasi ruangan ini, membuat penampilan Della tidak mencolok.

Dalam hati, Della ikut menyendandungkan lagu romantis yang dinyanyikan seorang lelaki di atas panggung. Ia mengambil satu potong puding cokelat, lalu duduk di hadapan meja yang dihiasi buket mawar. Sambil menghidu wangi mawar segar, Della mengusap taplak satin yang melapisi meja. 

Senyum menarik sudut bibirnya naik. Kira-kira, seperti apa ya pernikahannya nanti?

"Nino juga tidak datang ke sini?"

Telinga Della menegak pada suara sopran yang berasal dari arah jam empat. Ia menahan diri agar tidak menoleh.

"Kurasa tidak." Suara lain menyahuti. "Bayang-bayang Nadira yang menghalanginya. Dia tidak akan sudi datang ke acara pernikahan sebelum berdamai dengan masa lalu."

"Sayang sekali." Suara pertama kembali terdengar diikuti helaan napas. "Padahal banyak yang bersedia menjadi Nyonya Alvarez."

"Termasuk kau?"

Gadis itu terkikik. "Pasti kau juga."

"Tidak. Aku tidak mau bersaing dengan orang yang sudah meninggal."

Mendengar kalimat itu, hati Della seperti dihunjam dari dalam.
***

Sekuat tenaga, Della menahan godaan dari sofa yang didudukinya. Sofa panjang berwarna biru muda dengan motif bunga-bunga itu terasa lebih nyaman daripada kasur di kamarnya. Kalau lengah sedikit saja, ia pasti sudah tertidur nyenyak di ruang tamu ini.  Untuk mencegah dirinya bertindak memalukan, ia mulai memerhatikan sekelilingnya. Lukisan-lukisan yang dipajang di dinding, bunga di dalam vas, hingga meja di hadapannya yang entah mengapa sengaja dibuat agar terlihat lusuh tetapi sama sekali tidak seperti barang rongsokan.

"Kau benar-benar datang, Della."

Mendengar suara tuan rumah yang sudah mengundangnya, serta-merta ia berdiri dan mengangguk dengan sopan. "Selamat siang, Bu Rachel."

"Jangan formal begitu. Ini bukan di kantor," ujar Rachel lalu tersenyum lebar. "Kau bisa memanggilku 'Mammiel'."

"Ah, saya rasa itu... " Della mengerutkan bahu dengan canggung. 

"Santai saja." Rachel mengusap punggung Della untuk meyakinkan. "Aku masih harus menyelesaikan masakanku di dapur. Kau mau ikut?"

"Bolehkah?"

"Kenapa masih kaku begitu?" Rachel menderaikan tawa anggunnya. "Anggap saja kau sedang menemanimu ibumu memasak."

Otot-otot wajah Della sedikit mengendur sehingga ia bisa tersenyum tanpa takut bersikap tidak sopan. Ia terus menjaga jarak satu langkah di belakang Rachel. Wanita itu memimpin jalan hingga mereka tiba di dapur berdinding hijau telur bebek.

Lampu gantung di tengah ruangan serta pemilihan cat berwarna kusam membuat dapur itu tampak ketinggalan zaman. Padahal peralatannya menggunakan teknologi termutakhir. Tidak heran kalau dinding dan lantainya tidak mengenal calit gosong atau percikan noda saus.

"Kau duduk saja di situ." Rachel menunjuk kursi kayu di samping bufet. "Sebentar lagi selesai, kok."

"Tolong izinkan saya membantu, Mammiel."

Rachel memandang Della sekilas, lalu membuka pintu kabinet dan mengeluarkan sehelai celemek bersih yang masih terlipat rapi. "Kalau begitu pakai ini. Dress-mu sangat cantik. Sayang kalau kotor terciprat saus."

"Terima kasih." Della mengenakan celemek polkadot itu di atas dress sifon berkerah tingginya, lalu bergegas mendampingi Rachel di depan kompor.

"Apa kau memiliki alergi terhadap makanan laut seperti udang, misalnya?"

Della menggeleng. "Saya cocok hampir dengan semua makanan."

Rachel mendesah lega. "Syukurlah. Hari ini aku memasak bisque," ujarnya sambil menunjuk ke panci yang menampung masakan berkuah jingga kecokelatan.

Aroma udang yang gurih menyapa indra Della dan menggelitik rasa laparnya. "Wah, pasti lezat. Selain sukses berkarier, Mammiel juga pintar memasak."

Rachel terkekeh bangga. "Aku memasak hanya karena hobi. Setidaknya, itu yang ingin kulakukan setelah pensiun nanti."

Della mengernyit. "Anda akan pensiun?"

"Aku memang belum menyatakan secara resmi, baru berdiskusi dengan Presdir. Sebenarnya, pemindahan tugasmu menjadi asistenku itu karena kau akan ditunjuk untuk menggantikanku. Cuma tidak kusangka akan secepat ini."

Della hanya ternganga. Bingung harus memberi tanggapan seperti apa.

"Aku sudah terlalu tua, Nak. Ini saat yang tepat untuk pensiun. Sudah saatnya anak muda yang menjalankan tugasku," ujar Rachel sambil merunduk sebentar pada oven yang mengurung ayam panggangnya. "Padahal aku berharap kita bisa bekerja bersama lebih lama."

"Saya harap juga begitu."

"Omong-omong, siapa yang kemarin malam datang mewakili Nino ke pernikahan?"

"Saya, Mammiel."

"Ah. Kenapa aku tidak melihatmu?"

Apa yang Della dengar tentang Antonio, kembali terngiang di benaknya. "Saya memang cuma sebentar di sana."

"Wah, tamu kehormatan kita sudah datang rupanya."

Manuel muncul dengan rambut masih basah sehabis mandi. Lelaki itu tampak santai dengan sweter putih gading dan celana jogger hitam. Sepasang netranya yang tegas menatap langsung pada Della, hingga membuat pipi gadis itu merona.

Alih-alih senyuman, ia malah mendapat ketukan sudip kayu di puncak kepala sebagai balasan. "Berapa kali kubilang, keringkan rambutmu dengan benar."

Manuel mengernyit nyeri sambil mengusap-usap kepala. "Tadi aku buru-buru mandi karena mendengar Della sudah datang."

Rachel berkacak pinggang. "Alasan ditolak."

Denting oven menginterupsi perdebatan itu. Untuk sesaat.

"Ah, sudah matang," seru Rachel senang. "Ayo, Manuel. Ambil itu dan buat dirimu berguna."

Berdecak, Manuel berpura-pura kesal. Walaupun instruksi Ibunya tidak spesifik, tetapi ia bisa langsung memahami. Dengan cepat, ia mengenakan sarung tangan oven dan mengeluarkan ayam dari laci pemanggang. Aroma bawang putih dan mentega membumbung bersama uap hangat.

"Sepertinya terlalu banyak mentega yang dioleskan," komentar Manuel seperti juri lomba memasak.

Rachel mengibaskan tangan tidak setuju. "Justru itu yang membuat rasanya gurih."

Della terkekeh pelan melihat keakraban antara Ibu dan anak itu. Padahal di kantor mereka selalu menjaga sikap sopan sebagai Wakil Direktur dan General Manager.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang gegas dari luar dapur. 

"Mammiel! Ayamnya sudah matang, ya?"

Seorang lelaki melanda masuk. Ekspresinya tampak senang karena menghidu aroma makanan kesukaannya. Keringat bercucuran di tubuhnya hingga membasahi setelan sportwear sewarna madu yang dikenakannya.

Dengan mudah, perhatiannya tertuju pada Della yang berdiri di sisi Manuel. Bersamaan dengan kedua matanya yang melebar, raut Della juga berubah terkejut hingga tanpa sadar gadis itu menyerukan namanya.

"Miguel?"

"Della!" serunya takjub. Lalu dengan langkah lebar, Miguel menghampiri Della dan langsung membuka lebar lengannya.

Seperti deja vu, sudip yang sebelumnya mendarat di kepala Manuel, kini hinggap di punggung tangan Miguel. Lelaki itu menarik kembali tangannya sambil mengaduh kesakitan.

"Berani-beraninya kau mau memeluk seorang gadis dengan tubuh penuh keringat begitu," omel Rachel sambil memukulkan kembali sudipnya ke bahu, punggung, dan betis Miguel. "Jangan cuma ototmu yang kau latih, otakmu juga."

"Tapi, Mam─"

"Alasan ditolak." Rachel terus mengayunkan senjata sambil menggiring anak lelakinya meninggalkan dapur. "Cepat sana mandi."

Keriuhan yang diciptakan Ibu dan anak itu menghilang di pintu dapur.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar