Awalnya, Della terfokus pada pengalaman pertamanya menaiki mobil mewah dengan seorang lelaki yang berstatus kekasihnya. Tadi ia bahkan menyesal karena tidak mengelap sol sepatunya dengan tisu basah sebelum memasuki mobil. Ia tidak bisa membiarkan ada debu yang menodai interior mewah dan elegan ini.
Tetapi setelah menyadari sikap Antonio yang kaku, ia mulai bertanya-tanya ke mana mobil ini akan membawa mereka. Lelaki itu duduk tegang di balik kemudi, tampak tidak nyaman. Seolah ada banyak duri yang melapisi jok berwarna abu-abu itu.
Della menekan rasa penasarannya, menunggu Antonio membuka diri terlebih dahulu. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan menerka-nerka berapa harga mobil produksi Tōrus ini. Tetapi itu pertanyaan mudah. Mungkin ia bisa memulai untuk menebak berapa jumlah wajik yang menjadi variasi pola pada bagian tengah jok yang didudukinya.
Tanpa terasa, sudah dua puluh menit berlalu sejak Antonio menghentikan mobilnya di tepi jalan. Berseberangan langsung dengan sebuah gedung apartemen mewah. Yang harga satu unitnya bisa setara sepuluh unit di flat Della.
Lelaki itu masih mencengkeram setir dengan kuat, seolah hendak mencabut benda itu dari tempatnya. Pikiran muramnya menenggelamkan dirinya. Hingga kemudian membenturkan keningnya pada punggung tangannya yang terkepal, lalu mendebas frustrasi.
"Sudah kuduga, aku tidak sanggup." Antonio menggerakkan leher hingga ia bisa menatap Della yang juga tengah memandanginya. "Apa yang harus kulakukan, Della?"
Gadis itu hanya terus menatap matanya, membiarkan Antonio merasakan apa yang seharusnya ia rasakan.
"Di apartemen itu, ada banyak sekali kenangan tentang dia. Kami bahkan berencana tinggal di sana setelah menikah. Tapi itu tidak pernah terwujud."
Perlahan, Della mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu kokoh yang mulai gemetar itu. Ia bisa merasakan dengan jelas beban yang ditanggung lelaki itu sendirian.
"Kenapa orang-orang yang kusayangi harus pergi begitu cepat?" tanya Antonio. "Ibuku dan juga calon istriku. Bahkan aku sampai menjaga jarak dengan adikku, agar dia tidak terkena kutukan yang ada dalam diriku."
Della memajukan tubuhnya lebih dekat, sebisa mungkin merengkuh Antonio ke dalam dekapannya. Ia tidak hanya memeluk dengan lengannya, melainkan juga dengan hatinya. Hingga kehangatan bisa menyentuh luka di jiwa Antonio.
"Aku takut. Kalau aku mencintaimu sepenuh hati, kau juga akan pergi."
Della menggeleng. "Itu tidak akan terjadi. Biar saya yang mematahkan kutukan itu."
***
"Apa kau gila?" desis Antonio melalui sela-sela giginya yang terkatup.
Della memasang senyum lebar lalu berbisik, "Neysa sering berkata bahwa kepanjangan dari nama saya adalah 'definisi dari gilla'."
Saat Antonio mengatakan 'boleh di mana saja', ia membayangkan bioskop, taman bermain, atau makan malam romantis di restoran. Bahkan ketika Della memberi petunjuk kalau tempat kencan mereka akan berkaitan dengan alam, Antonio memikirkan pantai atau kebun apel di mana mereka bisa memetik buah bersama.
Sama sekali ia tidak menduga Della akan membawanya ke tepi tebing curam seperti ini. Sepasang netranya mengedarkan pengamatan pada lanskap di sekelilingnya. Aliran air sewarna pirus membelah tebing di sisi kanan dan kiri seolah bermuara ke langit. Dengan panorama seperti ini, mungkin cocok kalau ia membangun vila atau resort di sebelah─
Antonio merasakan belaian di pipi saat ia hendak menggerakkan kepala.
"Jangan melihat ke bawah," ucap pemilik sentuhan lembut itu.
Keningnya mengernyit pada Della. "Kenapa?"
"Anda akan kehilangan keberanian."
Bibir Antonio menyunggingkan senyum miring. Belum sempat ia melontarkan bantahan, staf yang sejak tadi memasangkan peralatan padanya berseru mantap.
"Yak, selesai!"
Antonio menatap turun pada pergelangan kakinya yang dibalut karet elastis besar. Begitu juga dengan pergelangan kaki Della. Setelah ini mereka akan berbagi tali yang sama.
"Silakan berpelukan," ucap salah seorang staf.
Della yang lebih dahulu membentangkan lengannya. Tidak sedikit pun ada raut tegang di wajah gadis itu. Seolah ini adalah rutinitas sehari-hari.
Antonio menelan ludah. Dalam hati ia mengira-ngira berapa elevasi tebing ini. Apa mungkin lebih tinggi dari lima puluh meter? Bagaimana kalau talinya putus saat mereka melompat? Atau bisa saja─
Dengan perasaan tidak sabar, Della memerangkap Antonio dalam pelukannya. Ia melingkarkan lengan di leher sang Presiden Direktur.
"Peluk pinggang saya," pinta Della.
Antonio mengangguk dan melilit pinggang ramping Della dengan lengannya.
Seharusnya, tadi ia langsung menyeret Della pulang begitu mereka tiba di tempat ini. Tetapi ia tidak mungkin merengek di depan umum seperti ini. Lagi pula, sebagai lelaki ia tidak ingin menarik kata-katanya.
Dalam beberapa hal, gengsi memang lebih mematikan daripada seekor tarantula.
Sekarang sudah sangat terlambat untuk mundur. Yang bisa ia lakukan hanya menghadapi semua ini.
Staf yang tadi memasangkan peralatan untuk Antonio menuntun mereka ke pinggir. Kedua tangan staf itu menempel ke bahu kanan Della dan bahu kiri Antonio. "Setelah hitungan mundur, lompat dengan kepala lebih dulu, ya."
Serempak, Della dan Antonio mengangguk.
"Lima... empat... tiga...."
Refleks, Antonio berteriak sekuat tenaga saat staf itu tiba-tiba mendorong mereka untuk terjun. Padahal hitungan mundur belum selesai.
Antonio merasakan jantungnya ikut melompat dan tertahan di udara. Dengan jelas, Della merasakan debaran Antonio yg memantul-mantul di antara pelukan mereka. Alih-alih merasa prihatin, gadis itu malah terbahak-bahak.
Gravitasi menghantam dan menarik mereka turun. Mereka sudah terjatuh dalam hitungan detik. Ada perasaan ringan yang mengisi rongga-rongga tubuh Antonio. Seolah segala beban menguap tanpa sisa. Ia merasa bebas.
Ternyata ini tidak seburuk yang dibayangkannya.
Mereka terlenting-lenting naik dan turun. Adrenalin mengalir deras dalam darah, membuat tubuh mereka sedikit gemetar. Hingga hanya angin yang menggoyangkan tali ke kanan dan ke kiri. Dengan posisi terbalik, Antonio bisa melihat staf mendekat dengan menaiki perahu berwarna oren.
"Bagaimana perasaan Anda?" tanya Della lalu tertawa kecil.
"Tadi kukira aku akan mati."
"Kematian itu pasti," ucap Della tenang. Seolah kalimat itu tidak bermakna. "Kita menciptakan kenangan agar orang yang sudah pergi bisa terus hidup di dalam hati."
Sampai saat seorang staf menarik mereka turun ke perahu, Antonio masih meresapi kalimat Della.
***
Khusus untuk kencan hari ini, Antonio mengenakan kaus dan celana drawstring. Sesuai permintaan Della. Hanya saja ia tidak menyangka gadis itu akan mengajaknya melakukan olahraga ekstrem seperti ini.
"Bagaimana kencan pertama kita?" tanya Della saat mereka berjalan kembali ke tempat mobil Antonio diparkirkan.
"Cukup mengesankan. Tapi aku tidak mau mengulangi yang seperti itu lagi."
Della tergelak. "Sudah siap untuk destinasi selanjutnya?"
"Kau mau mengajakku ke mana lagi?"
Alih-alih menjawab, Della malah menengadahkan tangan kanannya. "Bolehkah kali ini saya yang menyetir?"
Antonio mempererat genggaman pada kunci mobil dan sepasang netra abu-abunya memicing curiga.
"Saya hanya akan membawa Anda ke tempat makan," ujar Della sambil tertawa-tawa kecil karena memahami prasangka itu. "Apalagi sepertinya Anda masih memerlukan waktu untuk pulih dari shock."
Wajah Antonio yang sedikit pucat dan rambutnya yang masih berantakan, entah mengapa seolah mengundang Della untuk mengulurkan tangan. Sambil sedikit mendongakkan kepala, ia merapikan rambut Antonio. Lalu tangannya membelai turun pada pipi lelaki itu. Kehangatan dari telapak tangan Della menjalar hingga kulit Antonio mendapatkan kembali ronanya.
Dengan tatapan saling terkunci, Antonio menempatkan telapak tangannya di punggung tangan Della yang berdiam di pipinya.
"Tidak perlu," gumam lelaki itu.
Tersentak, Della mengerjap karena merasa baru mendengar penolakan. Tetapi merasakan sentuhan kokoh Antonio yang seakan menahan tangannya untuk tetap di sana, membuat ia dilanda keraguan akan pendengarannya.
"Tidak perlu," ulang Antonio dengan lebih jelas. "Tidak perlu berbicara terlalu formal kalau kita tidak berada di kantor."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar