Della menghabiskan jam istirahatnya di staff lounge. Berbeda dengan kafetaria di lantai bawah yang penuh sesak, tempat ini jauh lebih lengang. Tidak ada deretan kursi plastik mengapit meja panjang, yang ada justru kursi-kursi empuk dan sofa-sofa panjang yang memanjakan punggung setelah lelah bekerja. Bahkan tersedia kursi pijat di beberapa sudut.
Sayangnya, Della tidak bisa menikmati fasilitas yang disediakan. Ia hanya duduk di salah satu kursi di dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan hutan beton bertingkat. Sesekali ia mendebas sambil memandangi kotak bento yang diapit telepon genggam dan cangkir teh di atas meja bundar.
"Permisi. Apa kursi ini kosong?"
"Kursi lain masih banyak yang kosong," gerutu Della dengan suara yang bisa didengar jelas oleh orang yang berbasa-basi dengannya.
"Tapi aku mau duduk di sini bersamamu," ucap Allenia sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Della.
Della mencibir sambil melempar pandangan keluar jendela. Ia memerhatikan jalanan yang ramai di bawah sana. Orang-orang berpakaian formal memenuhi trotoar, sesekali menghindar karena pengendara motor yang sengaja naik ke area pejalan kaki demi menghindari jalanan yang dipadati mobil.
"Tidak sopan memandangi orang seperti itu," ucap Della tanpa menolehkan kepala. Tetapi ia bisa merasakan Allenia yang menatapnya terang-terangan.
Allenia tertawa kecil. "Maaf. Aku hanya tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu dalam keadaan seperti ini."
"Maksudmu, dalam keadaan kau tiba-tiba merebut pekerjaanku?"
"Tadi kau bilang, ini bukan salahku."
Della mengangkat bahu. "Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin kau sengaja balas dendam karena dulu Pak Aldi lebih perhatian padaku."
Kedua alis Allenia terangkat selingar. Tidak menyangka bahwa Della akan mengungkit masa lalu mereka yang pernah sama-sama menyukai guru fisika semasa SMA.
Tahu-tahu Della tergelak seolah ada yang sedang menggelitiki pinggangnya. "Sangat konyol. Sebenarnya, apa yang dulu kau pikirkan? Sampai menyukai guru muda yang ternyata sudah punya tunangan."
Kali ini, alis Allenia berjengit kesal. "Katakan itu juga pada dirimu sendiri."
"Aku tidak akan menjadi rival cintamu kalau saja kau mengenalkan aku pada kakakmu sejak dulu."
Allenia terkekeh. "Asal kau tahu, kau bukan tipe perempuan yang disukai kakakku."
Alih-alih membalas, Della malah mendebas kecewa. Kepalanya tertunduk dengan sepasang alis melengkung turun. "Kau benar. Pantas saja Pak Antonio menyingkirkanku jauh-jauh."
Allenia menelan ludah, merasa bersalah. "Jabatan asisten General Manager itu memang seperti terlalu dipaksakan. Tapi aku yakin maksud Kakakku tidaklah buruk."
Della hanya mendengkus tanpa memberi balasan.
"Omong-omong, kau tidak makan?" tanya Allenia kemudian sambil memitar dagu ke kotak bento milik Della.
Della menggeleng. "Sebenarnya, aku membuat ini untuk Pak Antonio. Tapi karena hari ini aku bukan lagi sekretarisnya, aku takut akan ditolak."
"Kalau begitu, buat aku saja."
Kedua mata Della mengerjap sangsi. "Kau mau?"
Allenia mengangguk yakin. "Kebetulan aku sangar lapar. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan karena harus menyiapkan berkas rapat. Dan roti isi salmon pedas yang kumakan sambil bekerja tadi, hanya membuatku harus minum bergelas-gelas air."
"Baiklah kalau kau memaksa," ujar Della sambil membuka tutup kotak dan mendorongnya ke hadapan Allenia.
"Wah," desah Allenia takjub saat aroma lezat menyapa indranya. Ia mengamati tumisan sayur, tahu goreng, dan bola-bola daging yang mendampingi nasi merah mengisi setiap sekat kotak. Satu suap mendarat di lidahnya yang langsung merasa dimanjakan.
"Minum?" tawar Della sambil mengangsurkan susu sapi dalam kemasan kotak.
Allenia langsung mengernyit seolah melihat semangkuk belatung. Ia menggeleng lalu kembali dengan suapan selanjutnya. "Di mana kau membeli ini?"
Salah satu sudut bibir Della terangkat. "Aku memasaknya sendiri."
Bibir Allenia ternganga. "Dan kau setiap hari memberikan masakanmu untuk kakakku?"
"Ya." Della menumpukan sikunya ke atas meja. "Aku ingin menunjukkan kalau aku menjadi istrinya, dia tidak akan kelaparan."
Tanpa bisa ditahan, Allenia tergelak. Beruntung, ia sudah menelan kunyahannya sehingga tidak perlu tersedak. "Sekarang aku baru percaya kau benar-benar Dellani Mahara Sang Kekasih Impian."
Sudut bibir Della yang lainnya ikut naik karena geli mendengar julukan yang ia terima semasa SMA.
"Sikap galak dan minder sangat tidak cocok dengan dirimu," lanjut Allenia lalu memakan satu bola daging. "Kau yang gigih dan penuh percaya diri jauh lebih baik."
"Wah, aku merasa tersanjung mendapat pujian dari High School Princess."
Allenia mengulum senyum. "Mau mendengar pujian lain? Kau satu-satunya sekretaris yang mampu mengusik Kakakku."
Kedua alis Della saling bertemu.
"Selain Manuel dan Niken, semua sekretaris tidak ada yang bertahan lebih dari dua bulan."
"Manuel pernah menjadi sekretaris Pak Antonio?"
"Ya. Mereka cocok karena sudah berteman lama," ucap Allenia. "Sedangkan Niken tipikal gadis pekerja keras yang melakukan semua tugasnya sebaik mungkin. Tapi kau... benar-benar kejadian langka."
"Bisa kau permudah ceritamu? Sebelum jam istirahat berakhir."
Susah payah, Allenia menahan tawa kecil sambil sibuk mengunyah. "Baru kali ini ada yang berhasil mengusik Kakakku. Hingga membuat dia kembali mengajakku berbicara."
"Apa hubungan kalian kurang baik?"
"Tidak juga. Tapi entah kenapa, tiba-tiba dia mulai menghindariku seolah aku mengidap penyakit menular." Senyum sumir muncul di bibir Allenia. "Kemarin aku benar-benar kaget saat dia memintaku menjadi sekretarisnya."
"Apa Pak Antonio mengatakan sesuatu tentang kesalahan fatal yang kulakukan?"
"Kalau kau melakukan kesalahan pasti kau sudah dipecat," jawab Allenia.
"Lalu kenapa aku dipindah secara mendadak? Bahkan aku tidak diminta membimbingmu untuk masa transisi."
"Aku berasumsi kalau kakakku 'takut' serangan perhatian darimu akan menghancurkan kunci yang menutup rapat hatinya."
"Apa kau sedang berpuisi, Nina?"
"Aku serius." Allenia memicingkan mata untuk mendukung kata-katanya. "Dan tolong jangan memanggilku dengan nama itu lagi."
"Kenapa?"
"Aku hanya ingin menjaga perasaannya." Raut Allenia berubah sendu. "Nino dan Nina adalah nama panggilan yang diberi nenek kami. Dan setelah kejadian itu, sepertinya kakakku membenci panggilan itu."
"Apa 'kejadian itu' nerhubungan dengan seorang gadis bernama Nadira?"
"Kau tahu?"
"Aku mendengar beberapa orang menyebut namanya." Della menyesap tehnya sedikit. "Tapi sebanyak apapun aku mencari, sangat sedikit informasi yang bisa kudapatkan. Hanya beberapa foto dan riwayat pendidikannya. Sebenarnya ada apa? Dia mengkhianati kakakmu?"
Allenia menggigit bibir. "Sebaiknya, kau mendengar langsung ceritanya dari kakakku."
Della tidak memaksa.
"Aku percaya kau bisa membuka kembali hati Kakakku. Dan aku berharap dia bersedia datang ke pernikahanku nanti."
"Pernikahan? Memangnya ada yang bersedia menikahimu?" gurau Della sarkastik.
"Kalau kukenalkan padamu, nanti kau langsung jatuh cinta."
"Itu akan terjadi kalau kekasihmu lebih baik dari Pak Antonio."
"Katakan kau bercanda."
Della menyengir kuda. "Jangan khawatir, aku tidak berminat menjadi rival cintamu lagi. Sekarang aku hanya akan berusaha menjadi kakak iparmu."
"Itu akan terjadi kalau kau bisa membuat dia menikahimu."
"Kita lihat saja nanti." Sepasang netra Della berkobar semangat. "Omong-omong tentang pernikahan, akhir minggu ini ada pernikahan yang harus dihadiri Pak Antonio."
Allenia mengangguk. "Aku sudah melihatnya di jadwal yang kau tulis. Anak dari Direktur Roncla Construction, kan?"
"Pak Antonio memintaku hadir mewakilinya. Itu berarti akan menajadi tugasmu."
"Hem, bagaimana kalau kau saja yang datang? Anggap saja tugas terakhirmu." Allenia tersenyum keki.
"Kuharap ada alasan bagus untuk itu."
"Sebelumnya, aku pernah hampir bertunangan dengan anak Direktur itu."
"Ah, aku paham." Della tersenyum mengerti. Pasti tidak nyaman rasanya bertemu dalam suasana seperti itu. "Tapi Nina─um, maksudku Allenia. Apa kau sudah menghafal sepuluh kode ketukan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar