Rabu, 15 Juni 2016
Unlock Your Heart IX: Alteration (2)
Satpam yang berjaga di depan pintu masuk langsung berdiri kaget. Ia tidak menyangka akan melihat bosnya tiba-tiba muncul. Terlebih, penampilan lelaki itu bisa dikatakan jauh dari kata rapi. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Selamat malam, Pak."
Antonio hanya membalas dengan anggukan sopan. "Apa ada seseorang yang baru saja lewat sini?"
"Maksud Bapak, Bu Della asisten Bu Rachel?" tanya satpam itu dengan mada bicara yang dibuat perlahan dan hati-hati.
"Ya. Ke mana dia?"
"Tadi katanya, mau mencegat taksi di luar. Saya sudah menawarkan untuk menunggu di sini saja─"
"Terima kasih," ujar Antonio tidak sabar. Ia langsung berjalan menembus hujan. Tidak peduli pada satpam yang berteriak menawarkan payung padanya.
Di tengah gempuran air, Antonio melihat profil Della yang berdiri tidak jauh dari gerbang kantor. Sebuah payung terkembang di atas kepala gadis itu, tidak terlalu berjasa untuk melindunginya dari hujan. Antonio mempercepat langkahnya yang terasa berat. Begitu jarak mereka hanya terpaut beberapa langkah, ia mengulurkan tangan untuk meraih tangan gadis itu dan menariknya dalam pelukan.
"Jangan pergi," bisik Antonio lirih. Ia membenamkan kecupan di rambut Della. Wangi sampo gadis itu seolah mengingatkannya untuk menegaskan untuk siapa kalimatnya tertuju. "Jangan pergi, Della."
"Saya tidak bisa, Pak." Della berusaha menjawab walaupun sedikit tergeragap. Ia beruntung hujan deras meredam pekikan kagetnya tadi.
"Kumohon," pinta Antonio sungguh-sungguh.
"Tapi taksinya sudah menunggu, Pak."
***
Entah apa yang dipikirkan Antonio hingga memutuskan untuk ikut pulang ke flat Della. Sampai-sampai Della harus memberi ongkos tambahan, tidak enak dengan sopir taksi karena jok mobilnya basah. Sementara bosnya itu malah tertidur nyenyak begitu taksi melaju.
Seakan tidak cukup, Antonio kembali melanjutkan tidurnya setelah Della meminjamkan pakaian kering serta kamarnya. Diam-diam, Della mendekat lalu berjongkok di samping tempat tidur. Ini kali kedua ia memerhatikan wajah lelap lelaki itu dalam satu malam.
Rambutnya berantakan jatuh menutupi kening. Kulitnya mulus sewarna minyak zaitun. Ujung alisnya yang menukik sempurna. Bulu matanya yang tebal menyentuh pipi. Hidungnya yang tinggi. Rahang yang tegas. Serta lengkungan bibir yang begitu menggoda untuk dikecup.
Della mengeluarkan ponsel dari balik selimut yang dipegangnya. Ia mengabadikan kesempurnaan paras yang membuat ia jatuh cinta itu ke dalam potret. Mungkin akan ia butuhkan ketika merasa rindu pada sesuatu yang tidak bisa menjadi miliknya.
Jantung Della melonjak naik ke tenggorokannya saat tiba-tiba kelopak mata itu terbuka. Dan sepasang netra abu-abu itu menatap langsung padanya. Cepat-cepat Della bangkit sambil memeluk selimut guna meredam suara debaran yang menggedor kencang dari dalam.
"Anda belum tidur?" Della mengigit bibirnya salah tingkah. "Saya tidak bermaksud mengganggu. Hanya ingin mengambil selimut dari lemari."
Antonio bangkit duduk di tepi tempat tidur.
"Apakah bajunya terasa nyaman?" Della menunjuk kaus anggota pecinta alam miliknya yang sudah kusam dan celana tidur bermotif bintang-bintang yang ujung kelimannya tidak menyentuh mata kaki Antonio. Sepertinya kala itu tas belanjanya tertukar atau memang pramuniaga yang keliru memasukkan barang sehingga Della membawa celana yang ukurannya dua tingkat lebih besar. Tetapi siapa sangka celana itu berguna untuk saat seperti ini. "Maaf kalau tidak sesuai selera fashion Anda. Hanya itu yang saya punya."
"Tidak apa. Ini lebih baik daripada mengenakan kemeja basah."
Della mengangguk kikuk. Dan selanjutnya hanya keheningan yang membentang di antara mereka berdua. Hingga bunyi hujan deras di luar sana terdengar dengan jelas.
Merasa tidak nyaman dengan suasana itu, Della berdeham perlahan. "Anda benar. Saya tidak tahu apa-apa. Dan terlalu naif rasanya kalau saya bicara cinta padahal belum bisa memahami Anda." Ia menelan ludah dan memaksakan senyum untuk menyemangati diri sendiri. "Mungkin tidak tepat untuk mengatakan ini sekarang, tapi saya akan menyerah tentang Anda."
"Apa karena kehadiran Miguel yang membuatmu ingin menyerah?"
"Apa?" seru Della bingung. "Tidak ada hubungannya dengen Miguel."
"Kalau begitu, jangan menyerah." Antonio berkata lirih. Detik berikutnya, ia mengangkat pandangannya dari lantai demi menatap sepasang netra milik Della. "Beri aku waktu. Tapi kumohon jangan menyerah."
"Eh?"
"Nadira bukan mantan kekasihku. Dia tunanganku. Calon istriku." Suara Antonio jauh dari amarah, bahkan tidak ada kesedihan di sana. Seakan-akan ada sebuah keran yang terbuka dan membuang habis emosi dalam dirinya. "Dia meninggal di hari pernikahan kami. Tepat hari ini."
Della tidak bersuara. Ia memilih bungkam karena tidak bisa menemukan kalimat penghiburan yang pantas.
"Aku tidak bisa melupakannya." Antonio memejam rapat-rapat hingga kelopak matanya berkerut. "Setelah itu, aku menjaga jarak dengan adikku. Dia perempuan. Sama seperti ibuku dan Nadira. Dan aku sangat menyayanginya. Aku takut kalau rasa sayangkulah yang membuat perempuan dalam hidupku pergi untuk selamanya."
Della bergerak maju demi menyentuh kedua bahu Antonio yang gemetar. "Tidak perlu melupakan apa pun. Anda juga tidak harus menyiksa diri dengan bermabuk-mabukan. Bukankah itu hanya akan membuat Anda merasa lebih buruk keesokan harinya?"
Antonio membuka mata. Tatapannya tampak rapuh.
"Kita bisa melakukan hal lain sampai hari ini berakhir," tutur Della lalu memutar otaknya dengan cepat untuk mencari saran. "Bagaimana kalau bermain boardgame? Saya punya catur, monopoli, dan ular tangga."
"Kurasa tidak."
"Kalau begitu, bagaimana kalau menonton film?"
"Aku hanya butuh tidur." Bibir Antonio berkedut karena senyum tipisnya. "Selama ini aku sengaja minum sampai mabuk dan tertidur tanpa mengingat apa pun. Ya, tapi seperti katamu tadi, perasaanku lebih buruk ketika bangun."
"Kalau begitu, buat diri Anda senyaman mungkin agar bisa tidur nyenyak. Saya akan tidur di sofa dan tidak akan berisik."
"Maukah kau menemaniku tidur?"
"Ha?" seru Della terkejut. Detik berikutnya, seluruh wajahnya berubah merah karena gambaran adegan penuh gairah muncul dalam benaknya.
"Bukan 'tidur' seperti yang ada di dalam kepalamu," ujar Antonio sambil terkekeh heran.
"Oh," desus Della malu.
"Setelah sekian lama, aku bisa tidur nyenyak ketika berada di dalam taksi tadi. Mungkin karena kau ada di sampingku."
"Bisa saja itu karena taksinya memang nyaman atau cara sopirnya menyetir mobil membuat Anda merasa seperti bayi dalam boks ayunan."
Entah mengapa, kalimat yang diucapkan bernada apa adanya itu justru menggelitik humor Antonio. Lelaki itu tergelak. Sesuatu yang sulit ia lakukan, terutama di hari ini. "Gampang. Nanti kita tinggal menelepon perusahaan taksi itu."
"Oke. Ayo tidur," ujar Della sambil menjatuhkan diri ke atas kasur. "Meskipun sempit, tapi anggap saja sedang di kamar sendiri."
Antonio berbaring di samping Della. Saat bahu mereka bersentuhan, itu menyadarkan Della bahwa tidak ada jarak berarti di antara mereka. Ia bahkan bisa menghidu wangi tubuh Antonio. Saat memikirkan itu, Della merasa pipinya seolah membara.
Tiba-tiba Antonio memiringkan tubuhnya berhadapan dengan Della. "Kalau aku menyayangimu, apakah kau juga akan pergi?"
"Tentu saja tidak," jawab Della tanpa keraguan. Tatapannya lurus ke arah langit-langit kamar. "Saya akan selalu bersama Anda dan membalas semua kasih sayang yang Anda beri."
"Baguslah kalau begi─"
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, terdengar dengkuran halus yang menunjukkan bahwa Antonio sudah tertidur.
Della memberanikan diri untuk menoleh. Sekali lagi, ia bisa melihat dengan jelas wajah tampan itu dari dekat. Kemudian ia meniupkan napas lega. "Syukurlah aku tidak perlu menelepon sopir taksi yang tadi."
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar