Rabu, 01 Juni 2016

Unlock Your Heart VII: Invitation (1)


Seminggu setelah kepulangan mereka dari Bali, Della nyaris berada di ambang batas kewarasannya. Dengan jelas, ia merasa Antonio sengaja ingin menyiksanya. Ia melewati satu pekan penuh seperti berada dalam neraka.

Antonio menegur keterlambatannya padahal ia datang tepat waktu. Antonio menghina pekerjaannya yang tanpa cela. Antonio mengajukan komplain pada  kopi buatannya yang takarannya berkurang sepuluh mililiter dari seharusnya.

Bahkan, kemarin─di Minggu yang biasanya tenang, tahu-tahu Antonio menginterupsi kegiatan jogingnya bersama Neysa dengan meminta revisi dokumen untuk rapat Jumat depan. Dan sebelum memutus sambungan telepon, bosnya itu menegaskan agar Della harus sudah mengirim surelnya sebelum jam sepuluh pagi. Tidak berhenti sampai di situ, malam hari ketika Della sudah siap hendak tidur, Antonio kembali meneleponnya hanya untuk meminta salinan jadwal untuk dua bulan ke depan.

Pagi ini, dengan seluruh akal sehatnya yang masih tersisa, Della datang ke kantor. Tetapi apa yang ia lihat di kubikel kerjanya, membuat isi kraniumnya seolah ingin meledak.

"Siapa kau?" tanya Della ketus pada seorang gadis yang duduk di depan komputernya, seolah itu adalah tempat kerjanya.

Gadis itu tersenyum hingga menyentuh netra abu-abunya yang berbinar. Tidak ada raut tersinggung pada sikap galak Della. Rambut cokelatnya yang digelung rapi ke belakang kepala, tampak berkilau seolah rutin mendapat perawatan salon. Bibir penuh di atas kulit sewarna zaitun. Entah mengapa, Della merasa familier dengan keelokan yang dihadapinya.

Sementara Della menggali ingatan, gadis itu berdiri dan mengulurkan tangan. Tinggi mereka yang setara, membuat kedua mata mereka beradu.

"Saya Allenia. Mulai hari ini─"

"Nina?" seru Della ketika akhirnya menemukan siapa orang yang dihadapinya. Ia adalah gadis yang menadapat julukan 'High School Princess' semasa mereka sekolah.

Allenia terkekeh lalu sedikit menjulurkan ujung lidahnya. "Kukira kau tidak akan mengenaliku."

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Pundak Allenia terangkat. "Bekerja."

"Tapi ini, kan, meja kerjaku."

"Ah, benar juga." Allenia mengambil amplop putih dari meja dan menyerahkan pada Della. "Ini surat pemindahanmu."

Della menerima amplop itu dengan kening mengernyit dalam.

"Hei, sampai kapan kalian mau mengobrol di sana?"

Mendengar suara itu, pikiran Della yang sudah kusut, sekarang semakin semrawut. Suara yang dalam satu minggu terakhir berubah setajam trisula.

Della berbalik dengan cepat. Urat kekesalan di kepalanya menegang tanpa bisa dicegah. "Apa maksudnya ini, Pak?" tanyanya sambil mengacungkan amplop ke depan wajah Antonio. Persetan dengan sopan santun.

Antonio mendongak dengan congkak. "Kurasa kau bisa membaca dengan kemampuanmu sendiri."

"Iya. Ini surat pemindahan. Tapi kenapa?"

"Sesuai yang tertulis di situ. Mulai hari ini kau bekerja sebagai asisten General Manager."

Posisi itu tidak pernah ada sebelumnya.

"Tolong katakan, apa kesalahan saya?"

Antonio tersenyum miring. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sudah menunggu Della bertanya seperti itu. "Kerjamu lamban. Sebagai pemimpin perusahaan, aku tidak bisa bekerja dengan ritme yang lelet seperti itu."

Rahang Della nyaris terjatuh mendengar alasan yang tidak masuk akal itu.

"Mau sampai kapan kau melamun? Cepat pindahkan barang-barangmu agar tidak menggangu kinerja sekretarisku," tandas Antonio lalu bergerak menuju ruangannya. Tetapi tangannya terhenti di udara, beberapa senti sebelum menyentuh gagang pintu. Ia menoleh lewat bahunya. "Oh, iya, segera antarkan kopiku."

"Baik, Kak─eh, Pak. Akan segera saya siapkan," sahut Allenia.

"Tidak usah." Antonio menggeleng pada Allenia. "Biar dia saja."

"Saya sedang merasa sangat marah pada Bapak," ucap Della dengan puncak kepala yang nyaris berasap. "Bagaimana kalau saya bubuhkan racun di kopi Bapak?"

Alih-alih gentar, Antonio malah melengkungkan senyum menantang. "Coba saja kalau berani."
***

Menolak bantuan Allenia, Della merangkum sendiri barang-barangnya ke dalam kotak. Ia memeluk kotak itu sementara matanya mengamati barang kali ada yang tertinggal.

"Della, maaf, ya, sudah mengambil posisimu," ujar Allenia sambil menggeser kursi putarnya.

Della menggeleng. "Bukan salahmu," ujarnya lalu mengambil langkah menuju ruang kerjanya yang baru.

Benak Della tidak juga berhenti meneriakinya dengan berbagai macam alasan yang mungkin menjadi penyebab berubahnya sikap Antonio. Saat ia merasa gerbang asmara bersama Antonio mulai terbuka, entah mengapa justru lelaki itu berusaha menutup paksa akses yang susah payah ia ciptakan. Apa mungkin Antonio mulai terusik dengan serangan langsung yang ia curahkan?

"Butuh bantuan?"

Della tersentak pada sapaan mendadak itu. Manuel berdiri di hadapannya sambil tersenyum tipis. Dasi terakota lelaki itu tampak serasi dengan setelan kemeja biru tua yang dikenakannya, membuat Wakil Direktur itu terlihat lebih memesona.

"Oh, tidak perlu," tolak Della dengan halus sambil membalas senyum Manuel. "Tidak berat, kok."

"Kalau begitu, aku akan menemanimu."

"Memangnya kau tidak sibuk?" tanya Della saat mereka mulai berdampingan.

Manuel menggeleng. "Rapat dimulai masih tiga puluh menit lagi."

"Benar juga." Bagaimana mungkin semudah ini Della melupakan jadwal yang ia atur untuk Antonio? Sepertinya isi kepalanya sudah terlampau kacau.

"Jadi, mulai hari ini kau menjadi asisten General Manager, ya?"

Della mengangkat pundak. "Aku juga tidak terlalu yakin. Ini terlalu mendadak."

"Aku juga kaget. Bahkan Antonio tidak sempat merekrut sekretaris pengganti dan meminta adiknya mengisi posisi itu untuk sementara."

"Adik?" Kelopak mata Della melebar. "Nina itu adik Pak Antonio?" tanyanya, setengah takjub setengah antusias.

Manuel mengangguk. "Kau sudah pernah mengenal Nina?"

Pantas saja mereka sama-sama memiliki visual yang menawan. "Kami satu sekolah saat SMA."

Mereka berhenti di depan sebuah cermin besar yang terbagi menjadi beberapa bagian. Satu bagian yang dipasangi gagang stainless dan tertera papan bertuliskan 'General Manager' menunjukkan bahwa itu berfungsi sebagai pintu.

Manuel mengetuk pantulan sosok mereka berdua. "Silakan, ruang kerjamu yang baru," ucapnya sambil membukakan pintu.

Seorang wanita yang tampak baru menginjak pertengah usia empat puluhan menyambut kedatangannya dengan lengan terbuka lebar. "Selamat datang, Della."

Della meletakkan kotak barangnya ke meja yang dikeliingi sofa berwarna blewah, sebelum mendekap wanita itu dengan hangat. "Terima kasih, Bu Rachel," ujarnya saat pipi mereka saling menempel. "Mohon bimbingannya."

Dengan jarak sedekat ini, Della tidak bisa langsung mengalihkan padangannya dari Rachel. Wanita itu memiliki kulit yang halus dan segar. Tanpa gurat-gurat usia yang biasa muncul di usianya saat ini. Belum lagi aura keibuannya yang membuat Della merasa nyaman.

"Boleh saya bertanya?"

"Silakan," jawab Rachel ramah meskipun keningnya berkerut heran.

"Apa benar Anda sudah berusia lebih dari enam puluh tahun?" Della menggigit bibirnya. "Itu yang saya dengar. Maaf, kalau tidak sopan. Tapi menurut saya, Anda tidak terlihat setua itu. Malah seperti dua puluh tahun lebih muda. Saya harap, saya bisa secantik Bu Rachel saat nanti saya seusia Anda."

Rachel terkekeh mendengar pujian terang-terangan itu. Ekspresi kagum yang meledak-ledak di sepasang netra Della membuktikan ucapan itu bukan hanya bualan. "Umurku rahasia," ucapnya sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. "Yang jelas, seharusnya aku sudah duduk diam di rumah bermain bersama cucuku. Bukan begitu, Manuel?"

Mendengar namanya disebut, Manuel berdeham. "Aku akan kembali ke ruanganku. Rapat sebentar lagi dimulai."

"Dasar anak nakal," gerutu Rachel saat Manuel menghilang di balik pintu. "Selalu saja menghindar."

"Anda... Ibunya Pak Manuel?"

Rachel mengangguk. "Tapi aku bisa pastikan Manuel berada di posisinya sekarang ini karena kerja keras dan kemampuannya sendiri. Bukan karena dia anakku atau karena berteman dengan Nino─maksudku, Pak Antonio."

Della menganggut-anggut. Fakta lain yang ia ketahui hari ini. Mungkin setelah ini ia tidak akan terkejut kalau ternyata Matteo adalah ayah kandungnya. Ia langsung tersenyum miris pada hal yang mustahil itu.

"Tidak heran Pak Manuel tampan begitu. Ternyata Ibunya secantik Bu Rachel."

Rachel tergelak sambil menempelkan telapak tangan ke pipinya. "Kau gadis yang baik. Ibumu pasti senang memiliki anak perempuan sepertimu."

"Ibu saya sudah lama meninggal," sahut Della ringan.

Raut prihatin langsung melumuri wajah Rachel. "Pasti sangat berat untukmu selama ini," ucap wanita itu sambil memeluk bahu Della.

"Terima kasih, Bu Rachel."

"Ayo, sini." Rachel menghela Della ke sebuah meja yang dilengkapi layar tipis komputer serta kursi putar berwarna abu-abu. "Ini meja kerjamu. Baru datang tadi pagi."

Samar-samar, masih tercium aroma pelitur yang bercampur pewangi ruangan.

"Semoga kau betah, ya." Rachel tersenyum. "Aku senang akhirnya bisa membagi ruangan ini dengan seseorang. Ada baiknya juga, Antonio membuat keputusan mendadak."

"Sepertinya, saya jadi orang terakhir yang tahu," gumam Della. "Apa Pak Antonio semarah itu, ya?"

"Selama ini, Antonio tidak pernah memutuskan sesuatu hanya berdasar emosi." Rachel menyentuh bahu Della dengan hangat. "Mungkin dia menilai kau berpotensi menjadi General Manager yang baik."

"Saya rasa, Pak Antonio membenci saya."

"Itu tidak mungkin." Rachel mengibaskan tangan di udara. "Kecuali kalau kau jatuh cinta padanya."

"Saya memang jatuh cinta," aku Della tanpa beban.

Rachel berdeham sambil melenturkan otot wajahnya yang sejenak terasa kaku. "Selamat berjuang untuk itu," ucap Rachel dengan cepat lalu kembali berdeham ringan. "Oh iya, Della, kalau aku mengundangmu ke rumahku, apa kau bersedia datang?"

Kening Della mengernyit pada perubahan topik itu.

"Kau bisa datang untuk makan siang atau makan malam," lanjut Rachel. "Aku tidak punya anak perempuan, jadi─"

"Tentu saja saya akan datang."

Rachel tersenyum. "Kau benar-benar tahu cara membuat wanita tua ini senang."
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar