"Tangkapan besar!"
Saat masuk kembali ke flatnya, Della disambut jeritan antusias Neysa. Gadis itu menatapnya seperti anak anjing yang menunggu induknya pulang.
"Sarapanmu sudah selesai?"
"Sudah. Aku juga sudah mencuci piring. Jadi, kau tidak punya alasan untuk menunda ceritamu."
Oh, tidak. Della mengempaskan diri ke sofa yang berada di ruang duduk. Televisi di depan mereka sedang menayangkan berita pagi. "Jadi tidak kita joging?" Della masih berusaha membuat Neysa melupakan rasa penasarannya.
Neysa duduk di samping Della. "Sepertinya kita tunda dulu saja. Kita bisa menonton film atau kau ceritakan saja apa yang terjadi? Telingaku sudah gatal."
Della mendebas lalu menempatkan kepalanya ke sandaran sofa. "Nanti saja, ya. Sekarang aku butuh tidur."
"Oh, oh." Neysa berlagak terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Apa semalam kau harus begadang untuk melakukan sesuatu?"
Mendengar nada mesum dalam kalimat sahabatnya, membuat Della kembali menegakkan posisi duduknya. Kedua matanya memelotot kesal. Tetapi ia tahu itu tidak akan bisa membuat Neysa berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Mau tidak mau, ia harus menunda tidurnya demi bercerita kepada gadis yang penuh rasa ingin tahu itu.
"Sebelum aku bercerita, bisa tidak kau bersihkan dulu isi pikiranmu?"
***
Della hanya bisa menahan napas saat Antonio menyentuh garis wajahnya. Jantungnya berdebar heboh saat pikiran liarnya berlompatan dalam jarak yang semakin menipis. Wangi amber yang maskulin mengusik indra penciumannya.
"Akhirnya, aku sadar kalau aku jatuh cinta padamu," bisik Antonio di telinga Della.
Napas Della berlomba saat suara bariton itu membelai pendengarannya. Sekujur tubuhnya langsung terasa lemas. Ingin sekali rasanya, ia bersandar dalam pelukan lelaki di hadapannya.
Kemudian Antonio sedikit menjauh hanya demi kembali menghapus jarak di antara mereka. Saat bibir lelaki itu mengecup bibirnya, rasanya seperti yang ia bayangkan selama ini. Ia memang belum pernah berciuman dengan lelaki lain sebelum ini, tetapi ia yakin tidak ada bibir lain yang membuatnya mabuk kepayang seperti milik Antonio. Rasanya lembut dan sedikit ada rasa pahit, sisa dari kopi yang biasa diminum lelaki itu.
Perlahan, ciuman itu semakin menuntut. Della tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menjawab ciuman itu. Tanpa ragu.
Hingga kemudian dering alarm menyentaknya kembali ke dunia nyata. Kalang kabut, mata Della terbuka. Napasnya memburu dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Ia menjilat bibir dan menelan ludah untuk merasakan sisa mimpinya yang terasa nyata.
Oh, tidak. Della melirik ke arah kemeja dan celana Antonio yang tergantung rapi di depan lemarinya, lengkap dengan plastik pembungkus berlogo penatu kilat. Setelan itu terpajang di sana sepanjang akhir pekan. Mungkin itu yang membuat ia bermimpi seperti tadi. Della membenamkan wajah ke bantal, ingin menyembunyikan rasa malunya. Apalagi wangi tubuh Antonio masih tersisa di seprai dan bantalnya.
Alarm berbunyi kembali, membuat Della berdecak kesal. Ia menyeret paksa dirinya untuk bangkit menuju kamar mandi.
***
Telepon internal kantor berbunyi ketika Della tengah menyatukan kertas dokumen menggunakan stapler. Ia mengangkat gagang dan menjepitnya di antara bahu dan telinga, sementara tangannya terus bekerja menyimpan tumpukan kertas itu ke dalam map.
"Halo?"
"Della, Pak Antonio memintamu ke ruangannya. Sekarang."
Tanpa menunggu jawaban dari Della, Allenia langsung memutus sambungan. Della berdecak. Sifat serupa yang dimiliki Antonio. Like brother, like sister.
Setelah selesai dengan perkerjaannya, Della berpamitan pada Rachel. Wanita itu hanya membalas dengan anggukam singkat.
Della meninggalkan ruang General Manager sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia berusaha menumpas satu per satu spekulasi yang muncul. Sebelum mengetuk daun pintu yang kokoh itu, ia menyempatkan diri mengintip ke mantan kubikel kerjanya. Tidak banyak yang berubah, kecuali Allenia yang kini duduk di balik meja.
"Nina─eh, Allenia, sebenarnya ada apa?" tanya Della setengah berbisik seolah ia sedang membagikan rahasia. "Kenapa tiba-tiba─"
Gelengan kepala Allenia memotong kalimat Della. "Sebaiknya, kau langsung masuk saja."
Kening Della mengernyit pada bibir Allenia yang berusaha keras menyembunyikan senyum. Itu sebuah senyum geli yang terasa janggal.
Belum sempat Della membuka mulut untuk bertanya, Allenia sudah mengepalkan kedua tangan di depan dada dengan gaya bersemangat. Bibirnya yang berpoles lipstik Avrodiz warna mauve berujar tanpa suara. "Good luck."
Kerutan di kening Della semakin dalam. Ia berbalik dengan cepat seraya mengatur napasnya. Setibanya ia di depan pintu ruangan Presiden Direktur, Della mendebas berat lalu mengetuk dengan kode pengantaran kopi.
"Masuk."
Della masuk dan mendapati Antonio sedang berdiri di tepi jendela yang menampilkan pemandangan puncak-puncak gedung yang seolah berlomba ingin menyentuh langit. Hanya dengan melihat sosok lelaki itu dari belakang seperti ini, entah mengapa jantung Della berdebar tidak menentu. Seakan-akan sorotan matahari dari luar menyatu dengan pesona yang memancar dari sosok Antonio hingga menciptakan siluet yang menawan.
Rambutnya yang rapi, pundaknya yang tegap, punggungnya yang kokoh, serta sepasang kakinya yang seksi selalu tampak sempurna asalkan tidak ada impresi yang mengisyaratkan kesepian. Dan Della ingin menjadi pengusir rasa kesepian itu.
"Silakan duduk, Della," ujar Antonio saat berbalik dan berjalan menuju sofa.
Antonio duduk di sofa single di kepala meja. Diikuti Della yang menempati sofa panjang di samping. Seperti saat dahulu ia sering mendampingi Antonio memimpin pertemuan.
"Hari ini, aku ingin mengajakmu makan siang. Tapi karena setelah ini ada rapat yang harus kuhadiri, jadi aku memesan makanan dari luar," jelas Antonio. "Aku tidak tahu kau suka makanan apa, jadi aku pesan ini semua."
Sepasang netra Della mengerjap takjub. Pertama, baru kali ini Antonio mengucapkan kalimat panjang yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kedua, berbagai jenis hidangan yang tersaji di atas meja. Sumber aroma sedap yang tadi langsung menyapa indranya saat membuka pintu. Tetapi karena sosok Antonio yang tampak lebih menarik, ia mengabaikan aroma itu walaupun lambungnya meronta.
Setidaknya ada sepuluh hidangan berbeda yang berada di hadapannya sekarang. Mulai dari tumisan sayur, salmon saus lemon, sate ayam, hingga bulgogi. Della mengamati semua itu dengan tampang lapar.
"Saya rasa ini terlalu banyak untuk dihabiskan berdua," ucap Della sebelum air liurnya membanjiri kantor Antonio.
"Tidak perlu dihabiskan. Makan saja secukupnya," tandas Antonio lantas mengambil piring kosong. Dengan isyarat mata, ia menyuruh Della mengambil piring yang satunya.
Selama beberapa menit, mereka menyantap makanan masing-masing dalam diam. Antonio tampak santai sementara Della kesulitan menelan makanannya. Bukan karena kurang lezat, tetapi selera makannya tiba-tiba menurun drastis akibat benaknya yang kembali menerbangkan balon-balon penuh spekulasi.
Detik demi detik berlalu hingga akhirnya piring mereka kosong. Kontras dengan piring-piring lain yang masih penuh di atas meja.
Della mengusap bibirnya dengan tisu lalu mendahului Antonio buka suara. "Itu... jas Bapak masih ada di penatu," ujar Della beralasan. Itu satu-satunya dugaan terkuat saat ini.
"Aku bukan mau menagih jasku. Masih ada banyak jas lain untuk dipakai."
Kepala Della tertunduk, menyembunyikan senyum malu.
"Aku serius dengan ucapanku waktu itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar