Della mengangkat kepala dan menatap langsung pada wajah tampan yang kembali menghiasi mimpi indahnya sepanjang akhir pekan. Ia menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya.
"Dan aku tidak suka menempatkanmu dalam situasi abu-abu. Jadi, biar kuperjelas."
Entah mengapa, Della merasa bibirnya kering. Ia menelan ludah.
"Jangan menyerah tentangku. Untuk itu, aku ingin kita mencoba berada dalam hubungan─"
"Maksudnya, kita pacaran?" sela Della tidak sabar.
Antonio terbatuk satu kali. Secara impulsif, Della menyodorkan segelas air dari atas meja.
"Sekarang aku minta kau atur untuk, hem, kencan pertama kita," lanjut Antonio setelah meneguk cukup air.
Sepasang netra Della berbinar-binar. "Apa ini hak istimewa sebagai kekasih Anda?"
"Ya."
"Kalau Minggu ini, bagaimana?"
"Sepertinya, bisa," jawab Antonio setelah diam selama beberapa detik untuk mengingat jadwal yang ia terima dari Allenia.
"Tempatnya, boleh saya yang memilih?"
"Tentu." Antonio mengangguk mantap. "Boleh di mana saja yang kau suka."
Senyum Della membentang dari telinga kanan ke telinga kirinya. Berbagai macam lokasi dan khayalan romantis berkelebat dalam benaknya.
Angan-angannya terputus saat melihat Antonio menyodorkan sebuah kantung kertas berwarna cokelat. Hari pertama pacaran dan ia sudah mendapat hadiah. Benar-benar beruntung!
"Waktu itu kau pernah bertanya tentang makanan kesukaanku," ucap Antonio saat Della mengintip pemberiannya. "Aku sudah menandai beberapa di sana."
Della menganggut-anggut sambil menghidu bau kertas lama yang menguar dari dalam kantung di pangkuannya. "Terima kasih."
"Kenapa kau masih duduk di situ?"
Alis Della menegak gemas. Lalu ia mulai berlagak memeluk dirinya sendiri sambil mengusap-usap lengannya. "Dingin sekali."
"Dingin?"
"Sikap Anda. Apa selalu seperti ini?" Della bergeser mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arah Antonio. "Tidak ada pelukan kerinduan atau kecupan perpisahan? Supaya saya yakin kalau kita adalah sepasang kekasih."
Antonio menekan ujung telunjuknya ke tengah kening Della. Gerakan gadis itu terhenti dan wajahnya berubah cemberut.
"Aku ada rapat."
"Iya, iya. Saya hanya bercanda, Pak." Della menegakkan tubuhnya kembali kemudian tersenyum jail. "Tidak ada lagi yang mau dibicarakan?"
Antonio menggeleng. "Silakan kembali ke ruanganmu."
Della mengangguk patuh lalu bangkit. Ia menunduk hormat sebelum berjalan ke arah pintu sambil berhitung di dalam hati.
Tiga.
Dua.
Satu.
"Oh, ya, satu lagi."
Yes! Cengiran melebar muncul sekilas di wajah Della, yang langsung berubah menjadi senyum sopan saat ia kembali menghadap Antonio. Jangan sampai terbaca jelas kalau ia sedang membayangkan ada kecupan di keningnya.
"Ya, Pak?"
"Ada syarat yang harus kau patuhi selama menjalin hubungan denganku."
Kedua mata hitam Della melebar.
"Jangan pernah membiarkan dirimu dalam bahaya." Wajah Ibunya dan Nadira terbayang saat ia berkedip. Rahangnya mengatup kencang. "Sekali saja kau terluka, hubungan ini berakhir."
Della langsung mengangguk setuju. Ia tahu betul bahwa Antonio tidak ingin kehilangan lagi. Bisa memahami perasaan itu terasa jauh lebih baik daripada sekadar kecupan.
"Oh, ya, Pak. Saya mau tanya."
Antonio menumpukan sikunya di lengan sofa. "Silakan."
"Boleh tidak sisa makanannya saya bawa pulang?"
***
Hadiah yang diberikan Antonio ternyata sebuah jurnal. Warna kertasnya sudah menguning, seiring dengan waktu yang terus bergerak maju. Potongan-potongan kertas berisi resep makanan dari majalah atau koran tertempel di setiap lembarnya. Ada beberapa coretan revisi yang dibubuhkan di sana, lengkap dengan keterangan mengapa si pemilik buku tidak setuju dengan komposisi atau cara pembuatan disertai petunjuk alternatifnya.
Saat ini, Della sudah berada di flatnya. Ia baru saja selesai makan malam bersama Neysa. Mereka berdua menghabiskan makanan yang dibawa Della dari ruangan Antonio siang tadi. Setelah sahabatnya itu pulang dengan perut kenyang, Della meringkuk di ruang duduk dan langsung terhanyut dalam isi jurnal itu.
Ia mengenakan legging hitam dan kaus santai yang jahitan di kelimnya mulai lepas. Secangkir teh limau menemani kegiatannya.
Della berhenti pada lembar resep kue cokelat. Ada coretan yang menyatakan bahwa teksturnya akan jauh lebih lembut jika dikukus daripada dipanggang. Kemudian lembar berikutnya berisi resep spicy prawn orecchiette. Di situ tertera alternatif untuk mengganti bahan utama dengan daging ikan gurami yang sudah di-fillet dan digoreng tepung karena Nino alergi udang.
Alis Della terangkat. Ibu jarinya mengusap lembut permukaan kertas tepat di bagian yang tertulis 'Nino'. Ini informasi penting bagi dirinya. Beruntung, selama ini ia tidak pernah menghidangkan masakan berbahan dasar udang.
Della melanjutkan ke resep-resep yang lain. Tidak hanya tentang 'Nino', ia juga menemukan catatan tentang 'Nina' yang membenci susu sapi sehingga bahannya harus diganti dengan sari kedelai atau sari almond. Ia terkikik saat teringat wajah Allenia yang mengernyit hanya karena melihat kotak kemasan susu sapi.
Tidak terasa, waktu hampir melewati tengah malam saat Della selesai di halaman terakhir. Air mata menitik di ujung matanya saat ia menguap. Sedikit, ia menyesap teh limaunya yang tersisa setengah sudah tidak lagi hangat.
Setelah menutup jurnal itu, Della membuka kembali halaman pertama setelah kover. Di sana tertulis nama pemilik jurnal itu.
Vanesha Alvarez.
Senyum Della muncul saat memorinya menampilkan sosok wanita itu dari foto yang pernah ia lihat di salah satu sampul majalah. Pemilik senyum teduh nan keibuan.
"Salam kenal, Ibu mertua," gumam Della di antara senyumnya.
***
Della bangun lebih pagi dari biasanya. Tanpa ragu, ia segera beranjak dari tidurnya lalu mandi. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, ia sudah pergi berbelanja bahan masakan.
Pagi itu ia memilih untuk memasak semur daging─salah satu resep yang ditandai oleh Antonio. Dengan sedikit modifikasi, kuah semur menjadi sekental kari india.
Sambil menunggu semur melepaskan uap panas beraroma sedap, Della mencetak nasi merah menjadi bentuk hati lalu meletakkanya ke dalam kotak bento. Kotak yang dibelinya dari toko barang impor Jepang itu memiliki tiga sekat.
Setelah nasi menempati bagian paling luas, Della menyusun beberapa lembar selada sebagai alas. Ia menata telur dadar gulung bercampur irisan wortel, ditambah potongan jamur kancing dan brokoli kukus. Terakhir, ia menyendokkan semur yang sudah tidak panas ke sekat yang masih kosong.
Della sama sekali tidak mengantuk saat akhirnya ia tiba di kantor. Setelah membuat kopi, ia bergegas menuju ruangan Presiden Direktur. Di depan pintu, ia berhenti sejenak untuk mengedipkan kelopak mata kanannya ke arah meja sekretaris. Allenia langsung mengacungkan ibu jari dari balik layar komputer sebagai balasan.
Begitu terdengar suara Antonio yang menyahuti ketukannya, Della melangkah masuk.
"Kopi Anda, Pak."
"Letakkan saja di meja."
Antonio mengembalikan buku yang dipegangnya ke rak lalu mendatangi Della. Ia melihat sebuah kotak bento di samping cangkir kopi yang berada di atas baki.
"Saya juga membuatkan bento. Semoga sesuai selera Anda."
"Kau sudah membaca jurnal ibuku?"
Della mengangguk. "Sepertinya Nyonya Vanesha pintar memasak dan sangat memerhatikan anak-anaknya."
Antonio tersenyum lembut. Ada kenangan yang terpantul di sepasang netra abu-abunya. "Kau benar."
"Saya turut berduka cita atas kepergian beliau."
"Tidak apa-apa." Antonio menyimpan tangannya ke dalam saku celana. "Lagi pula itu sudah lama berlalu."
"Tapi selama apa pun waktu berlalu, saya rasa perasaan sedih karena kehilangan seseorang yang berharga akan tetap sama," ucap Della lalu menjepit lidahnya di antara gigi, gatal karena harus terus berbicara formal walaupun status mereka sudah berubah.
"Begitu, ya?"
Della menggangguk. "Ibu saya pernah bilang kalau saya harus jadi perempuan yang kuat dan tidak mudah menangis. Tapi saat beliau meninggal, saya justru belajar bahwa kesedihan bukan sesuatu yang harus dihindari melainkan dirasakan apa adanya."
Senyum tipis muncul di sudut bibir Antonio. Entah mengapa, ia merasa dimengerti. Bukan hanya mendengar kalimat penghiburan penuh basa-basi. "Terima kasih, Della."
Seperti wabah, senyum itu menular pada Della. "Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Pak."
Antonio hanya menjawab dengan gerakan kelopak mata dan dagunya. Ia memerhatikan setiap langkah yang diambil Della menjauh darinya. Saat itu seolah sekat yang memisahkan mereka tampak jelas. Barier kokoh itu jelas miliknya, bukan Della. Padahal ia sudah menyatakan bahwa hubungan di antara mereka spesial. Tetapi ia hanya terus bermain aman di balik ketakutannya. Seperti pecundang.
"Hem... Della?"
"Ya, Pak?" jawab Della sambil memutar tubuhnya kembali menghadap Antonio.
"Nanti tunggu aku saat jam pulang. Temani aku ke suatu tempat."
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar