Rabu, 27 Juli 2016
Unlock Your Heart XV: Rejection (2)
Kedua kakinya terasa lelah dan kulitnya lengket karena keringat tetapi Della merasa awan hitam yang membebani hatinya perlahan sedikit menghilang. Besok ia bisa menata ulang kehidupannya. Senyum tipis di ujung bibir mendampingi langkahnya.
Tidak sampai empat puluh delapan jam ia pergi, siapa sangka koridor menuju unit flatnya kini menjelma kebun bunga. Bunga dari berbagai jenis dan warna dibentuk menjadi buket cantik yang terikat pada sebuah cagak. Gelas sampanye raksasa menopang cagak itu dengan kokoh. Semua bunga itu ditata berderet-deret di samping dinding. Tingginya tepat di bawah hidung Della, sehingga ia bisa dengan mudah menghidu wangi lobularia saat berhenti sejenak di depan bunga kesukaannya itu.
Saat itulah, melalui ekor mata, Della melihat seseorang muncul dari balik buket bunga yang diletakkan paling ujung. Orang itu berjalan dengan langkah mantap, seolah ia adalah Pangeran Musim Semi di antara bunga-bunga setinggi bahunya.
Sepasang netra abu-abu miliknya terarah langsung pada Della. Dan seketika itu juga, angin musim dingin berembus dan mengantarkan gumpalan mendung kembali ke hati Della.
Kini, tiga langkah di hadapan Della, berdiri manusia dalam urutan terakhir yang ingin ia temui di bumi.
Della ingin menanyakan alasan lelaki itu berada di sini. Tetapi ia tahu, sedikit saja ia membuka hati maka semua usahanya untuk bangkit dari kesedihan akan hancur menjadi pasir. Ia menaril napas panjang untuk memantapkan hati, lalu berjalan dengan langkah lebar. Masa bodoh, ia terus melangkah seolah Antonio adalah sosok yang tidak kasatmata.
Tidak ingin kesempatannya hilang, Antonio meletakkan tangannya di bahu Della. Gadis itu menahan langkahnya.
"Apa maumu?" tanya Della ketus. Sekuat tenaga ia menahan nyeri yang menusuk pangkal tenggorokannya.
"Aku mau meminta maaf padamu."
"Tidak perlu ada yang dimaafkan. Aku senang kau bahagia."
Kening Antonio mengernyit pilu. "Jangan mengatakan hal yang menyedihkan begitu."
"Lantas apa yang kau harapkan?" tanya Della sengit. "Terima kasih atas semua bunga-bunga cantik ini. Aku harap kita tetap bisa menjaga hubungan baik ini, walaupun aku sudah mengabaikanmu demi perempuan yang mirip mantan kekasihku." Nada bicaranya sarkastis dibalut pemanis palsu. "Berhentilah berharap. Perasaanku tidak sebercanda itu."
"Aku tahu itu." Suara Antonio berubah serak. "Semua bunga ini wujud dari penyesalanku. Aku sudah sadar, kepadamulah seharusnya hatiku kuberikan."
Della mendengus. "Ini bukan hal besar bagi lelaki kaya sepertimu. Kau bisa saja membeli berhektar-hektar kebun bunga tapi tetap bisa makan dengan layak keesokan harinya."
"Della," mohon Antonio sambil menatap kedua mata Della yang mulai memerah. Ia tahu, gadis itu sekuat tenaga menahan tangis. "Maafkan aku dan kita bisa kembali berbahagia."
"Aku sudah memaafkanmu," tandas Della dengan suara tercekat. "Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi."
***
Tadi Della sudah mengganti gaun hitamnya dengan gaun paling cerah yang ia miliki. Tetapi itu semakin mempertegas raut muramnya. Maka, pilihan akhirnya jatuh pada sebuah gaun berwarna abu-abu. Gaun berkerah shanghai itu tetap memperlihatkan lekuk pinggangnya yang sudah berkurang beberapa sentimeter. Dan juga mengingatkan Della pada warna mata lelaki itu.
Della menggeleng dan berfokus pada bayangannya di cermin. Tidak ada waktu untuk kembali berganti pakaian. Suasana hatinya sedang buruk. Maka pakaian apa pun tetap terlihat menyedihkan baginya. Lagi pula ia tidak ingin membiarkan Miguel menunggu lama. Lelaki itu sudah berbaik hati menyelesaikan satu masalahnya.
Tidak banyak yang Della lakukan pada wajahnya. Hanya concealer untuk menutupi bagian bawah matanya yang menghitam, bedak, dan lipstik berwarna persik segar.
Setelah memeriksa penampilannya sekali lagi, Della meninggalkan flatnya.
Ketika taksi yang Della tumpangi memasuki pelataran parkir restoran yang dimaksud Miguel, ponselnya berdering.
"Ya, Miguel? Aku sudah sampai."
"Della, maaf. Bisa tolong tunggu sebentar?"
Kening Della mengernyit. "Apa ada masalah?"
"Ada klien yang sedikit rewel," bisik Miguel. "Masuk saja dulu. Bilang saja, reservasi atas nama Miguel Vennochio."
"Apa lebih baik kubatalkan saja?" tawar Della. "Kita atur jadwal lagi lain waktu."
"Jangan," cegah Miguel. "Ini hanya terlambat sedikit."
"Oke." Della melirik jam tangannya. "Lima belas menit. Kalau kau tidak datang, aku pulang."
"Lima belas menit itu cukup. Tunggu, ya," sahut Miguel sebelum memutus sambungan.
Della mengembuskan napas kesal sambil menyimpan ponselnya. Ia membayar ongkos taksi lalu bergegas memasuki restoran yang tampak lengang.
***
Api di puncak lilin dalam gelas itu bergoyang-goyang. Beberapa helai lobularia berguguran ke lantai kayu yang dihiasi lampu menyerupai tali. Birai setinggi meja seolah berusaha menghalanginya agar tidak melompat ke danau yang mulai menggelap. Semilir angin membelai langsung pipi dan puncak hidungnya.
Dasar. Lelaki itu benar-benar hendak pamer, rupanya.
Terdengar ketukan langkah yang membuat Della menoleh. Seorang lelaki dengan setelan abu-abu dan buket lobularia di tangannya berjalan mendekat. Senyum di bibirnya, membuat Della ingin mengumpat.
Sial. Della tertawa remeh pada dirinya sendiri. Ia memutar bola mata sambil berdecak kesal. Lain kali, tolong ingatkan ia untuk menendang bokong Miguel.
"Untukmu."
Della hanya memandangi bunga itu tanpa minat. Bisa-bisanya Miguel melakukan hal licik seperti ini padanya?
"Aku senang melihat pilihan warna gaunmu," ucap Antonio lantas duduk di hadapan Della tanpa tahu malu. "Menurutmu, apa itu berarti sesuatu?"
"Menurutku," ujar Della dengan nada tajam. "Sebaiknya kau pergi dari hidupku. Bukankah kau sudah bahagia bersama Nadira? Berhenti mengusikku!"
"Della," panggil Antonio saat melihat gadis itu bangkit dari kursi. "Dengarkan aku dulu."
"Maaf, aku berbeda dari seseorang yang hatinya mudah goyah hanya karena bertemu gadis yang mirip mantan kekasihnya."
"Kau boleh memakiku sesuka hati," kata Antonio sambil berusaha meraih pergelangan tangan Della. "Jadi, tetaplah di sini. Setidaknya tunggu sampai hidangannya datang."
Keras hati, Della berpaling cepat meninggalkan pengatakan romantis itu. Langkahnya lebar dam gusar.
Antonio mengadang jalan Della. "Aku aku antar kau pulang."
Sekuat tenaga, Della mendorong bahu Antonio untuk menyingkir. Kedua mata yang memerah dan bibir yang terkunci itu memberi jawaban jelas untuk Antonio.
Namun, ia tidak akan menyerah.
***
Kewaspadaan Della meruncing. Kedua matanya melirik ke kanan dengan tajam lalu bergerak untuk mengawasi bagian kiri. Dengan hati-hati, ia menoleh sambil berharap punggungnya bisa mengintai bagian belakang.
"Della!"
Seruan yang disertai guncangan di tangannya itu langsung memutus siaga yang dibangun Della sejak pagi. Ia menatap dengan raut maaf kepada Neysa yang berbalas binar prihatin di kedua mata sahabatnya itu.
"Apa... kau masih memikirkan mantan, hem, bosmu?"
Della mengembuskan napas berat sambil menunduk sendu. "Bagaimana aku bisa tidak memikirkannya? Dia muncul di mana-mana! Bahkan aku tidak akan kaget kalau dia muncul di sini."
"Dia menguntitmu?" tanya Neysa dengan hidung mengernyit.
Della mengangguk geram, cengkeramannya mengetat pada garpu di tangannya. "Dia berlari di sampingku saat aku joging pagi, tiba-tiba menggantikan kasir supermarket tempatku mengantri, bahkan dia muncul saat aku sedang membuang sampah."
"Apa yang dia katakan padamu?"
"Tidak ada." Della menggeleng. "Dia cuma memastikan kalau aku menyadari keberadaannya. Setelah kami saling pandang, dia tersenyum lalu pergi begitu saja."
Neysa mengerjap, lantas memandang Della seolah kewarasan gadis itu lenyap. "Kau yakin itu bukan bagian dari khayalanmu? Maksudku, hem, kau tahu, beberapa orang seolah-olah melihat semua wajah berubah menjadi seseorang yang mereka rindukan?"
Della menatap Neysa tajam, lalu mengalihkan pandangan seraya mendebas keras. Melihat otot-otot tangan sahabatnya yang menonjol keluar karena menggenggam garpu terlalu erat, Neysa melirik piringnya yang sudah kosong. Benda pipih itu mungkin bisa jadi perisai kalau-kalau ada garpu melayang ke arahnya.
"Kalau aku melihatnya lagi, akan aku pastikan kalau dia nyata," tekad Della dengan sepasang netra membara.
"Hem, mau es krim?" Neysa mendorong minumannya ke hadapan Della.
Bara di kedua mata Della perlahan meredup. Ia meletakkan garpu kembali ke atas piring, lalu mengambil sendok teh bergagang panjang untuk menyendok es krim cokelat yang mengapung di atas jus stroberi yang masih utuh itu. Diam-diam, Neysa mengembuskan napas lega saat pengalihannya berhasil.
"Jadi, bagaimana interviumu tadi?"
Della mengangkat bahu, pandangannya tertuju pada es krim yang sedikit meleleh dan bercampur dengan jus. "Entahlah. Doakan saja aku lolos."
"Tentu saja. Kau pasti senang bekerja di sini."
Della menganggut-anggut. "Di sini ada kau dan kantinnya menyediakan makanan lezat."
"Kau belum menyebutkan bagian terbaiknya."
Della mengigit ujung sendok karena bingung. "Apa?"
Tubuh Neysa condong ke depan dan telunjuknya mengisyaratkan agar Della melakukan hal yang sama. "Di sini banyak karyawan-karyawan tampan," bisiknya lantas terkikik kecil. "Salah satunya sedang duduk di arah jam sembilanmu."
Unlock Your Heart XV: Rejection (1)
"Kau tampak cantik dengan gaya rambut baru," puji Niken sambil menyambut kedatangan Della. Mereka saling mempertemukan pipi masing-masing sebelum Della berganti menjabat tangan Reza sebagai bentuk ucapan selamat.
Della tidak datang sendiri, tentu saja. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan. Ada Neysa yang bersedia menemaninya.
Bukan bunga atau pita yang mendominasi dekorasi pernikahan Niken dan Reza, melainkan foto. Kentara sekali pasangan itu sangat menghargai kenangan yang mereka miliki. Semua itu tercetak dalam lembar-lembar yang disusun layaknya tirai. Foto-foto lain yang lebih terkonsep dipajang dalam pigura-pigura di atas meja.
"Omong-omong, apa kau bergurau saat berkata kalau berpacaran dengan Pak Antonio?"
"Ha?" Della enggan menjawab topik itu.
"Waktu kita ketemu di Cakewalkers." Niken berusaha mengingatkan, keliru menangkap kebingungan Della.
"Kami sudah berakhir," ucap Della dingin.
Glabela Niken berkerut. "Secepat itu?"
Della tidak menjawab.
"Kau tahu tidak? Tadi Pak Antonio datang ke sini. Aku sampai terkejut."
Sepasang netra Della melebar. Ia bahkan masih bisa melihat keterkejutan itu tersisa di wajah Niken.
"Yang lebih mengejutkan lagi, gadis yang datang bersamanya sangat mirip dengan mantan tunangannya."
Della mengerjap. Benar-benar tidak ada celah baginya untuk memenangkan hati lelaki itu.
***
"Kenapa lewat jalan yang susah kalau ada yang mudah?" tanya Miguel sambil berusaha menyejajarkan langkah dengan Della.
"Yang mudah tidak selalu menyenangkan."
"Pemerintah sudah berbaik hati mengelola tempat ini agar mudah dilewati wisatawan. Di sebelah sana, ada tangga-tangga dengan pemandangan alam yang indah. Lebih romantis daripada jalanan terjal di sini."
"Kalau begitu, kau saja yang lewat jalur itu─" Tahu-tahu, Della menahan gerak kakinya demi tersenyum langsung kepada Miguel. Bukan senyum manis, tentu saja. Melainkan senyum ejekan saat ia menyelesaikan kalimatnya. "─Princess Miguelita."
"Ah, sial. Aku benci nama itu."
"Aku bisa memanggilmu begitu selamanya."
"Omong-omong, aku suka gaya rambutmu yang baru." Miguel mengalihkan topik.
"Kau sudah mengatakannya tadi."
"Benarkah? Itu pasti karena aku benar-benar menyukainya."
Tidak ada lagi yang bersuara setelah itu. Della dan Miguel sama-sama menikmati pemandangan di sekeliling mereka. Pohon-pohon pinus yang menjulang. Wangi embun yang membelai indra penciuman. Angin lembut yang berembus tenang. Sesekali mereka harus tetap memerhatikan langkah agar tidak tersandung batu atau pun sulur akar pohon.
Dari kejauhan, mulai terdengar gemercak air yang memanjakan telinga. Lebih indah daripada musik klasik mana pun. Kedua kaki Della semakin bersemangat saat mereka bergerak menanjak.
"Aku tidak menyangka kau mau menyanggupi ajakanku yang mendadak," ucap Della ketika tanah yang ia pijak mulai landai.
"Tidak ada kucing yang menolak kalau disodori ikan." Miguel mengerling pada Della yang cemberut. "Apalagi kalau ikannya secantik putri duyung."
Della hanya mendengkus. Sama sekali mengabaikan gombalan Miguel. Ia terus berjalan sambil mengusap keringat di keningnya dengan punggung tangan. Lalu tiba-tiba, entah bagaimana, langkahnya terselip hingga apa yang dipijaknya mendadak longsor. Beruntung, tubuhnya tertahan sesuatu hingga tidak terperosok bebas.
Della mengatur napas yang sempat tertahan akibat syok. Untuk beberapa detik, lututnya terasa lemas seperti terbuat dari kapas. Ia menatap ngeri pada semak-semak yang mungkin menyembunyikan baruh di baliknya.
"Kau tidak apa-apa?"
Suara Miguel memulihkan kesadaran Della. Detik yang sama, ia mendapati tangan lelaki itu melingkar di pinggangnya.
"Terima kasih," ucap Della sambil melepaskan diri.
"Sampai detik ini, aku masih berharap kalau ajakanmu hari ini tercipta karena kau berniat membuka kesempatan untuk kita berdua."
"Jangan mimpi." Della mengibaskan tangan di depan wajah Miguel dan kembali berjalan ke tujuan mereka. "Menerima kembali lelaki yang sudah menolakku itu sama saja dengan mengunyah kembali permen karet bekas yang sudah jatuh ke lumpur."
Miguel meringis keki di samping Della. "Analogi yang buruk. Aku tidak suka disamakan dengan permen karet bekas."
"Begitu juga denganku. Aku tidak suka disamakan dengan ikan." Della melirik sinis. "Dan kukira kau cukup cerdas untuk tidak menyamakan dirimu dengan kucing yang tidak berakal."
"Lalu kenapa kau tiba-tiba meneleponku tadi pagi?"
"Untuk berjaga-jaga."
"Dari apa?"
"Dari diriku sendiri." Della mengangkat pundak. "Ada begitu banyak tebing curam di sini. Aku hanya ingin memastikan aku bisa pulang dalam keadaan hidup."
"Hei, hei. Kau tidak mungkin seputusasa itu hanya karena Nino, kan?"
Della kembali menghentikan langkah dan tersenyum muram. "Jadi, berita itu sudah diketahui semua orang, ya?"
"Ya." Miguel mengangguk dengan tidak enak hati. "Dia mengenalkan 'Nadira' pada keluargaku."
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Della setelah itu. Gadis itu hanya terus berjalan seolah suara air sudah menghipnotisnya. Begitu tiba di hadapan air terjun, ia langsung berseru senang. Tidak peduli pada beberapa pasang mata yang menatap heran padanya. Mereka yang sampai ke sini tanpa tetesan keringat, tidak akan memahami perasaan seperti baru saja menjadi juara lomba memasak setelah bersaing dengan koki-koki kelas dunia.
Ia berharap, semakin lebar senyumnya, semakin menipis lapisan kesedihan yang menumpuk karena Antonio.
***
Della memanggul kembali ransel yang tadi ia letakkan di atas batu besar yang kering. Ia menyempatkan diri untuk berterimakasih pada Miguel yang berbaik hati menjaga tas itu untuknya sementara ia asyik bermain air.
"Kau tidak berfoto?"
Della menggeleng. "Aku tidak membawa ponsel atau pun kamera."
"Kau bisa pakai ini," ujar Miguel sambil menawarkan ponselnya.
Sekali lagi, Della menggeleng. "Aku tidak bermaksud mengabadikan momen apa pun hari ini.
"Oke." Miguel menyimpan kembali telepon genggamnya. "Setelah ini, kita mau ke mana?"
Tanpa suara, Della hanya mengarahkan telunjuknya ke bagian atas air terjun.
Kedua mata Miguel yang terarah pada ujung jari Della langsung melebar. "Kau sungguh berniat naik sampai puncak?"
Della tersenyum dan menganggut-anggut.
"Apa kau gila? Air terjun ini punya tujuh tingkat."
"Kau bukan yang pertama mengatakan itu, Princess Miguelita," gerutu Della. "Ayo, jalan."
"Memangnya kau tidak bekerja besok?"
"Aku sudah mengundurkan diri," jawab Della ringan.
"Apa? Ya, Tuhan. Kau benar-benar sudah gila!"
"Itu keputusan terbaik yang bisa kupilih saat ini." Della menggenggam erat tali ransel yang menggantung di kedua bahunya. "Untuk itu, hari ini aku ingin melepaskan semua perasaan. Supaya besok aku bisa memulai hidupku kembali."
"Kau bisa mengajak aku menjadi bagian dari hidup barumu," ucap Miguel sambil tersenyum miring. "Obat terbaik untuk patah hati adalah menemukan cinta yang baru."
"Terima kasih atas tawarannya. Tapi aku sedang tidak ingin mencintai siapa pun selain diriku sendiri."
"Kau ini kejam sekali," ujar Miguel dengan gaya merajuk. "Aku menolakmu satu kali dan kau menolakku tiga kali. Kurasa itu keterlaluan. Aku bukan pewaris perusahaan. Tapi setidaknya aku sukses, tampan, dan seksi. Di mana lagi kau bisa menemukan lelaki sepertiku?"
Lagi-lagi, Della hanya menjawab dengan senyum. Mungkin kunci yang pernah menutup rapat hati Antonio, kini juga mengunci hatinya.
***
"Apa kau yakin?" Miguel mengalihkan tatapannya dari kertas menuju wajah Della. "Ini jumlah yang banyak. Apalagi saat ini kau sedang tidak bekerja."
Delle mengangguk sambil mengencangkan tali sepatu. "Aku kasihan padanya. Tapi aku tidak mau dia datang menemuiku lagi. Jadi, kurasa ini harga yang pantas untuk itu."
Miguel termenung sejenak di atas batu besar yang didudukinya sebelum kemudian mengangguk setuju. "Baiklah. Aku akan mengurus semua ini. Akan kupastikan ayahmu tidak akan melanggar perjanjian."
Senyum lega terbit di wajah Della yang berlumur keringat. "Kau yang terbaik, Miguel. Terima kasih. Akan kutransfer biayanya."
"Tidak perlu."
"Santai saja. Tabunganku masih cukup untuk membayarmu."
"Aku tidak menerima uang untuk ini."
Della menaikkan satu alisnya.
"Bagaimana dengan makan malam?"
***
Angin pantai membelai helai rambut panjangnya. Membuat ujung gaunnya berkibar-kibar. Langkahnya sesekali terbenam dalam pasir saat ia menghampiri seorang lelaki.
Pandangan lelaki itu terlempar jauh hingga batas horizon. Kedua tangan tersimpan dalam saku celana selututnya.
"Nino."
Lelaki itu menoleh dan tersenyum. Suara yang berpadu merdu dengan angin.
"Semua sudah selesai?"
Antonio mengangguk. "Terima kasih sudah membukakan hatiku yang terkunci, Emery."
***
Rabu, 20 Juli 2016
Unlock Your Heart XIV: Dejection (2)
Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, akhirnya Della muncul di ruang makan. Allenia langsung tersenyum. Ia bangkit untuk menyiapkan mangkuk dan sendok.
"Minumlah dulu teh madunya," kata Allenia dari hadapan panci di atas kompor. "Aku memasak bubur ayam dan sup jamur."
Della melirik cepat pada dapurnya yang bersih dan rapi. Keadaan yang membuat ia yakin bahwa memang Allenia yang memasak. Karena kalau Neysa yang berada di dapur, suasananya akan lebih mirip kapal pecah.
Allenia menghidangkan dua mangkuk untuknya dan dua mangkuk untuk Della.
"Kuharap ini bukan makanan yang kau benci."
Della menyendok sup lebih dahulu. Kuah bening yang gurih dan hangat melewati kerongkongannya. Jauh lebih lezat daripada sup yang tadi dipesankan Neysa dari restoran cepat saji. Begitu juga dengan bubur yang lembut menggugah selera.
"Jadi, kenapa kau bisa ada di sini?" Della mengulang pertanyaannya begitu ia dan Allenia selesai dengan hidangan masing-masing.
Allenia mereguk air mineral sebelum memulai pembicaraan dengan Della. "Tadi siang aku ke sini. Neysa yang membukakan pintu."
"Kau tidak masuk kerja?"
Allenia melirik pada ujung sendok. "Tidak. Hem, bos sedang ke luar kota. Untuk cek lokasi."
Della tersenyum keki, lantas menyesap teh madunya. "Ke Mandalika dan Wakatobi?"
Sepasang netra Allenia melebar. "Iya."
"Kau tidak mendampinginya?" Della berusaha keras menahan agar mulutnya tidak menanyakan sesuatu yang jawabannya hanya akan berbalik menyakitinya. "Atau sudah ada orang lain yang mendampinginya ke sana?"
Allenia tersentak lalu mengangguk lirih.
"Jadi, dia pergi bersama Emery, ya." Della langsung menarik kesimpulan.
"Aku sudah bertemu perempuan itu. Dia memang mirip dengan Nadira. Tapi mereka benar-benar orang yang berbeda─"
"Jadi, kau ke sini hanya untuk membahas pacar baru Kakakmu?" sela Della tajam.
Allenia mengatupkan bibirnya dan menggeleng. "Aku ingin menanyakan tentang pengunduran dirimu. Apa itu serius?"
"Iya. Aku tidak punya alasan lagi untuk bekerja di sana."
"Itu berarti kau juga menyerah tentang Kakakku?"
"Maksudmu, kau mau menyalahkan aku?"
Allenia menggeleng. "Ini hanya... terasa seperti bukan dirimu."
"Lalu seperti apa 'diriku', menurutmu? Dia yang meninggalkanku, kau tahu?"
"Ya. Tapi aku tidak menyangka kalian akan berakhir seperti ini. Lagi pula kurasa Kakakku hanya sedang terbuai nostalgia palsu. Cepat atau lambat, dia akan sadar kalau tidak mencintai perempuan itu."
"Dan kau ingin aku menunggu sampai dia sadar." Della merasakan air mata mulai menusuk-nusuk matanya. "Seperti orang bodoh?"
Allenia bungkam. Takut salah bicara. Kendali emosi Della saat ini mirip jembatan gantung yang kayunya sudah lapuk. Ia tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanya saja, ia takut kedua orang itu akan kehilangan kebahagiaan mereka.
"Atau kau takut Kakakmu tidak jadi hadir di pernikahanmu karena putus denganku?" tebak Della mengawur. "Tenang saja, itu tidak akan terjadi, Nina. Kalau memang itu yang kau pikirkan, silakan pergi dari rumahku. Pembicaraan ini tidak ada gunanya."
"Della... bukan begitu maksudku." Allenia berusaha menyentuh tangan Della di seberang meja, berharap temannya itu akan meredakan amarah.
"Keluar!" bentak Della sambil menepis kasar tangan Allenia.
Tanpa kembali berusaha menjelaskan, Allenia bangkit dan menyambar tasnya. Ia mengambil langkah-langkah lebar dan berhenti sejenak di belakang pintu. "Selamat malam," ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan Della yang sudah terisak dengan wajah terbenam pada lengan yang terlipat di atas meja.
***
"Kau yakin itu tidak terlalu pendek?"
Della memandangi Neysa lewat cermin salon lalu menggeleng. Ia justru merasa lebih segar dan bersemangat. Bahkan dunia yang beberapa hari ini terlihat muram, kini mulai dihujani berkas cahaya.
Memang ironis. Berulang kali Antonio meminta ia untuk memotong rambutnya. Tetapi tidak ia lakukan. Kini, ketika hubungan mereka sudah kandas, Della malah tanpa ragu memotong rambut sepunggungnya menjadi model pixie lob.
Neysa mendekat ke sisi Della hingga mereka berbagi cermin yang sama. Ia menatap puas pada rambut hitamnya yang tampak lebih halus dan bervolume setelah berbagai macam perawatan. Ujung-ujungnya sudah dipotong lurus menjadi lebih rapi.
Hari ini Neysa mengajak Della untuk 'menggila'. Mereka berbelanja, makan, dan bersenang-senang seolah hari esok tidak akan tiba.
"Setelah ini, kita mau ke mana?"
Neysa melirik jam tangannya. "Masih cukup waktu untuk menonton film dan karaoke. Kau mau yang mana lebih dulu?"
***
"Sinting! Nanti malam aku pasti insomnia," keluh Neysa sambil mengusap tengkuknya yang masih menggeriap walaupun mereka sudah keluar dari teater.
Della hanya menanggapi dengan tawa kecil sambil membuang wadah popcorn dan gelas soda yang sudah kosong.
"Kau tidak ingin menginap di rumahku malam ini, Della?" tanya Neysa saat mereka berjalan ke loker penitipan untuk mengambil kantung-kantung belanjaan. "Daripada sendirian di flatmu. Bisa saja hantu itu muncul dari kolong tempat tidurmu."
Alih-alih takut karena ucapan Neysa yang sengaja dibuat bernada seram, Della malah tersenyum lebar hingga menyentuh telinganya. "Kurasa hantunya lebih suka muncul dari dalam lemarimu. Hati-hati kalau kau mendengar bunyi ketukan─"
"Della!" potong Neysa buru-buru, tidak mau mendengar lebih. "Ah, sial. Kalau tahu kau akan memilih film horor, seharusnya tadi kita menonton dulu baru ke karaoke. Jadi, aku punya waktu untuk melupakan wajah hantu itu sebelum pulang ke rumah."
"Tenang, kita masih ada jadwal makan malam, kan?"
Neysa mengangguk sambil mengamati raut wajah Della yang terlihat lebih jelas karena potongan rambutnya. Sudah tampak rona kemerahan yang menyemburat di kedua pipi gadis itu. "Bagaimana? Apa perasaanmu jauh lebih baik sekarang?"
Sebagian dari diri Della masih terasa kosong. Tetapi tidak mungkin ia menggelengkan kepala. Tentu itu akan menyakiti hati sahabatnya. "Ya. Terima kasih. Kau selalu ada setiap kali aku terpuruk."
"Kenapa kau tiba-tiba jadi melankoli begini?"
"Maaf, karena kau harus selalu meminjamkan bahumu untukku."
"Bukan masalah. Asal kau rutin membayar sewa setiap kali menangis di bahuku."
Della terkekeh kecil. "Apa itu boleh dicicil?"
Neysa mengangguk dengan raut yang dibuat serius. "Kau harus mencicilnya dengan persahabatan seumur hidup."
***
Taksi yang mereka tumpangi berhenti di sebuah restoran yang menyajikan makanan western. Bangunan itu berdinding batu bata oranye tampak serasi dengan sinar kekuningan dari lampu dalam corong alumunium yang menggantung pada kabel yang menruntai dari langit-langit teras. Melalui jendela bening besar bisa dilihat kursi-kursi dan meja-meja kayu berkaki pipa besi yang tertata rapi. Beberapa pengunjung duduk di sana sambil menikmati hidangan. Entah itu spageti bersaus napolitan, ayam panggang keju, atau sekadar salad sayur bercampur saus thousand island.
"Kau ingin makan apa?" tanya Neysa saat mereka melangkah beriringan memasuki area restoran. Pintu masuk masih jauh di depan sana tetapi aroma kelezatan sudah menguar di udara.
Della mengangkat bahu. "Mungkin semua yang ada di menu dan sanggup ditampung perutku."
Neys terkekeh. "Kau benar-benar 'menggila' rupanya."
"Lebih dari 'menggila'. Ini bisa disebut sebagai balas dendam," sahut Della lantas ikut tertawa.
Sayangnya, tawa itu tidak berlangsung lebih lama. Bersamaan dengan langkahnya yang terhenti. Otomatis membuat Neysa ikut berhenti beberapa langkah di depannya.
Neysa berbalik dan kembali ke samping Della. Tanpa bertanya, ia mengikuti arah tatapan sedu yang membeku di mata sahabatnya.
Ia tidak bisa memercayai apa yang dilihatnya. Bagaimana tidak? Neysa melihat Antonio sedang melingkarkan lengannya di pinggang seorang gadis berambut panjang menuju pintu masuk restoran. Mereka berdua saling melempar tatapan penuh cinta dan tersenyum bahagia.
"Um... sepertinya kita makan di tempat lain saja. Aku baru ingat di sini... banyak nyamuknya. Kita pindah saja, ya?" ucap Neysa salah tingkah.
"Mereka bahagia. Syukurlah," gumam Della lirih. Tatapannya masih tertuju pada satu titik, tidak terpengaruh pengalihan yang diusahakan Neysa. Hingga pasangan itu menghilang ke dalam restoran.
"Jadi, itu perempuan yang bernama─siapa? Seledri?"
"Emery," ralat Della dengan suara tercekat.
"Nah, iya. Itu maksudku. Kemiri." Neysa mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi. "Sekarang bagaimana kalau kita makan kue dulu? Cakewalkers, mau?"
Della menggeleng. Selera makannya berhamburan di atas tanah. "Kita pulang saja."
Bahu Neysa merosot lemas. Ia menyimpan kembali ponselnya lalu merengkuh sahabatnya dalam keheningan.
"Boleh, ya, aku menginap di rumahmu? Aku takut sendirian. Kau tahu, kan, mungkin saja ada hantu muncul─"
Neysa mengangguk kuat-kuat di lekukan leher Della. Tidak perlu lagi ia mendengar suara memelas dari alasan palsu yang diucapkan sahabatnya yang kembali patah hati.
Unlock Your Heart XIV: Dejection (1)
Della tidak biasanya seperti ini. Bahkan ia sampai tidak lagi mengenali dirinya sendiri.
Sosok berpenampilan rapi dan terawat yang biasa membalas tatapannya di cermin, kini lenyap. Seseorang dengan rambut kusut yang diikat asal, wajah pucat, dan hidung merah yang sesekali meneteskan ingus menggantikan sosok itu. Ia juga belum mandi selama lima hari terakhir, sehingga wujudnya semakin menyedihkan.
Dan Della tidak peduli. Sungguh-sungguh tidak peduli. Entah influenza atau makhluk luar angkasa yang menyerangnya, tidak ada bedanya.
Keadaan tempat tinggalnya juga tidak jauh berbeda dari penampilannya. Flat yang biasa dalam keadaan bersih dan wangi itu kini telah tiada. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari televisi yang menyala tanpa suara. Meja dan lantainya dipenuhi kemasan makanan cepat saji, kotak piza, dan botol-botol soda.
Setelah menutup pintu kamar mandi, ia kembali menuju sofa yang menjadi singgasananya. Ia tidur dan makan di atas sofa panjang itu. Dan hanya pergi untuk buang air atau mengambil makanan yang diantarkan kurir.
Tidak ada lagi wangi bebungaan yang menyembur dari pengharum ruangan. Yang tersisa hanya bau keju busuk dan nasi basi. Bukan masalah besar bagi Della karena hidungnya tersumbat. Ia seharusnya bersyukur karena masih bisa bernapas.
Sepasang netra Della menatap kosong pada film bergenre komedi di televisi. Humor yang biasa membuat ia tertawa, kini terasa hambar. Bibirnya bahkan sedikit pun tidak terangkat naik.
Ini bukan patah hatinya yang pertama. Berkali-kali ia menerima harapan palsu dan perasaan yang tidak berbalas. Ternyata semua pengalaman patah hati itu tidak membantunya untuk melewati saat-saat seperti ini.
Della kembali merebahkan diri di atas sofa. Memang tidak semewah sofa suite saat ia menginap di Bali. Tetapi ini sudah menjadi tempat ternyaman untuk ia beristirahat.
Tangan Della hendak menarik selimut untuk melingkupi dirinya saat tiba-tiba terdengar bunyi gedoran di pintu flatnya.
Ia memutuskan untuk mengabaikan gedoran itu lalu bergelung di dalam selimut.
Gedoran itu terdengar lagi. Kali ini, lebih keras.
Dan lagi. Diikuti teriakan khas yang sudah sangat dikenalnya.
"Della! Buka pintunya! Aku tahu kau di dalam!"
Itu Neysa, tentu saja.
"Della, kau mendengarku?"
Alih-alih menyambut tamunya, Della malah menarik bantal yang menyangga kepalanya untuk menutupi telinganya yang berdenging.
"Kalau kau tidak mau membukanya, aku akan mendobrak pintu ini!" rengek Neysa dibumbui sedikit ancaman. "Kau tahu, aku tidak main-main!"
Susah payah, Della membawa tubuhnya bangkit kembali dari sofa. Ia menyeret langkah gontainya di atas lantai yang seolah dipenuhi duri. Semoga saja para tetangga flatnya sudah berangkat ke kantor masing-masing sehingga tidak perlu muncul rumor bahwa salah seorang penghuni di sini memiliki utang ratusan juta.
Della membuka pintu sambil memaksakan senyum malas. Sekilas, ia memerhatikan penampilan Neysa yang mengenakan kemeja putih, rok span hitam selutut, dan sepasang sepatu hak tinggi berwarna hitam. Tas tangan hijau keberuntungannya tersampir di lengannya.
"Astaga!" Hanya pekikan ngeri yang keluar dari bibir Neysa. "Apa yang terjadi padamu?"
Della tidak menjawab. Ia tidak memiliki energi untuk itu. Tanpa berusaha menunggu Neysa masuk, ia membiarkan pintu terbuka dan berbalik kembali pada sofanya.
Seluruh wajahnya terbenam di bantal, tetapi Della masih bisa mendengar langkah kaki Neysa memasuki flatnya. Ia bisa membayangkan ekspresi prihatin di wajah sahabatnya saat melihat semua ini.
"Della?" panggil Neysa dengan kekhawatiran yang menyelimuti suaranya. Della bisa merasakan sofa yang terpisit saat Neysa duduk di sampingnya. Setelah beberapa detik tidak mendapat tanggapan, suaranya kembali meninggi. "Astaga, Della! Kenapa kau tidak menghubungiku dan menceritakan apa yang terjadi? Apa kau sudah tidak menganggapku sebagai sahabat?"
Mendengar nada frustrasi di akhir kalimat Neysa, membuat Della mendongakkan kepalanya yang terasa berat. "Aku hanya sedang flu."
"Itu bukan alasan," ucap Neysa lalu detik berikutnya ia sadar ini bukan saatnya untuk menghakimi. "Jadi, karena itu kau tidak masuk kerja?"
Della menggeleng. "Aku sudah mengundurkan diri."
Neysa menatap seolah Della sudah tidak waras. Tetapi lagi-lagi ia berusaha mengendalikan diri. Tidak ingin mengantarkan badai pada kapal yang nyaris karam. Hal semacam itu bisa dibahas lain kali. Yang terpenting saat ini adalah keadaan sahabatnya.
"Apa yang kau lakukan?" pekik Della saat Neysa bangkit dari duduknya dan langsung menuju jendela yang tertutup kelambu.
"Kuharap kau belum berubah menjadi vampire," jawab Neysa lantas menarik kain penutup itu ke samping.
Spontan, Della langsung menutup matanya dengan tangan.
"Sekarang pergilah mandi air hangat. Yang lama. Sampai semua kesedihanmu mengalir jauh ke selokan," ucap Neysa sambil mengutip botol-botol soda ke dalam kantung plastik yang entah sejak kapan terkepal di dekat kaki meja.
Della bergeming. Ia hanya memandangi Neysa yang sesekali mengernyit karena aroma tidak sedap dari tumpukan kekacauan yang diciptakan Della.
"Kau mau aku menggendongmu ke kamar mandi?" tanya Neysa saat melihat Della masih belum beranjak dari sofa.
Della tertawa kecil dan singkat. Hingga hanya menyisakan senyum miris. Ia bahkan lupa rasanya tertawa.
Sebelum Neysa melemparkan omelan lagi, Della berdiri dan melangkah ke arah kamarnya. Beberapa senti di depan pintu, ia berhenti.
"Neysa," panggilnya tanpa menolehkan kepala tetapi ia tahu sahabatnya mendengar walaupun tidak menjawab. "Terima kasih, ya."
***
Perlahan, kedua kelopak mata Della terbuka. Kepalanya sudah tidak terasa berat walaupun pening masih tersisa. Perasaannya jauh lebih baik sekarang. Ia tidak sedang berbaring di sofa melainkan tempat tidurnya. Selimut yang baru diambil dari lemari menutupi tubuhnya hingga batas leher dan kepalanya disangga bantal empuk.
Della memiringkan tubuhnya lalu bangkit untuk duduk di tepi tempat tidur. Ia meneguk air dari gelas di atas nakas. Ponselnya diletakkan di samping gelas dalam keadaan menyala dan baterai terisi penuh. Sambil berusaha melenyapkan harapan, ia menekan tombol yang membuat layarnya menyala. Angka 19.25 terpampang menunjukkan waktu. Tetapi tetap saja tidak ada notifikasi pesan atau panggilan dari kontak yang ditunggunya.
Senyum sedu muncul di bibir Della. Ia melempar benda pipih itu ke atas tempat tidur. Seharusnya, ia sadar kalau sudah dilupakan.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka penuh kehati-hatian. Perlahan membawa serta sinar lampu dari ruang tengah. Ia mengira akan melihat Neysa. Tetapi yang muncul malah Allenia Alvarez.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Della ketus. Ia sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun yang akan mengingatkannya pada Antonio.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Allenia lembut, mengabaikan sikap Della yang seperti induk kucing baru melahirkan.
"Di mana Neysa?"
"Sudah pulang tadi sore. Katanya, dia mau mempersiapkan diri untuk panggilan interviu besok pagi."
Hening merambat cepat dalam keremangan kamar Della.
"Apa kau sudah lapar? Makan malam sudah siap," ucap Allenia berusaha mengisi kekosongan.
Della tidak menjawab.
"Aku akan menunggumu di ruang makan," pungkas Allenia kemudian meninggalkan kamar dalam keadaan pintu tetap terbuka.
***
Rabu, 13 Juli 2016
Unlock Your Heart XIII: Neglection (2)
"Sudah buat janji?"
Della merasakan tatapan penuh selidik dari petugas keamanan di hadapannya. Bukan salah pria itu. Dengan hoodie kebesaran dan tudung yang menutupi kepalanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Apalagi jika ia mengunjungi rumah yang lebih cocok disebut istana ini.
"Belum."
"Ada keperluan apa dengan Pak Antonio?"
Della mengangkat kantong kertas yang ia bawa. "Cuma mau mengembalikan barang."
Waspada, pria berusia setengah abad itu mengulurkan tangan. "Biar saya periksa dulu."
Tepat saat itu, seberkas sinar panjang menyoroti mereka dari arah belakang. Della menoleh dan mendapati sebuah mobil berhenti di depan gerbang. Sedan bergaya elegan yang biasa dikendarai Antonio. Satpam di hadapannya bergegas masuk ke pos jaganya. Perlahan, gerbang tinggi itu bergerak membuka.
Mobil itu tidak bergerak maju. Pintu bagian pengemudi justru terbuka. Seseorang turun dari kendaraan mewah itu.
"Della?"
Bukan Antonio, melainkan Allenia.
"Oh. Hai, Nina," sahut Della sambil mengangkat tangannya setinggi dada. Setengah malas, setengah kecewa.
Ini sudah malam. Namun penampilan Allenia sama seperti yang biasa Della lihat dikantor. Setelan mewah, rambut digelung rapi, dan parfum beraroma stroberi berpadu vanili. Yang tidak biasa hanya kedua mata yang berbinar khawatir.
"Apa kau sakit sampai tidak masuk hari ini?"
Jantung Della berdebar kuat di dalam rongga dadanya. Ia mengangkat tatapannya dari ujung Stevany yang dikenakan Allenia. "Apa kau pulang bersama Antonio?"
Allenia melirik mobil di belakangnya. "Tidak. Aku sendiri. Kakakku sudah pulang lebih dulu menggunakan mobil lamanya."
Napas Della berembus berat. "Bisa tolong suruh dia keluar? Aku perlu bicara."
"Dia tidak pulang ke rumah."
Kelopak mata Della mengerjap tidak mengerti.
"Kemarin Kakakku pulang larut malam. Waktu kutanya, dia bilang baru saja dari apartemen bersama Nadira."
Ekspresi Della membeku. Begitu mudah Antonio mengajak gadis itu ke apartemennya. Tempat yang tidak sanggup Antonio datangi. Bahkan bersama Della. Karena tempat itu penuh dengan kenangan bersama Nadira.
Allenia menggigit bibir. "Apa 'Nadira' itu bukan kau?"
Della tersenyum miris, lantas menggeleng. "Lebih baik aku ke apartemennya sekarang."
"Biar aku antar."
Lagi, Della menggeleng. "Taksiku menunggu."
***
Di depan pintu lobi apartemen itu, keberanian Della menyusut.
Ia sedikit menyesal sudah menolak tawaran Allenia. Ternyata merenung sendiri di kursi penumpang sama sekali tidak menjernihkan pikirannya. Berbagai spekulasi yang mampir justru mengecilkan nyalinya.
Gelisah, ia meremas udara kuat-kuat. Namun Della malah merasakan tubuhnya gemetar. Entah karena kekhawatiran pada probabilitas Antonio akan mengusirnya atau semata karena lapar.
Benar juga. Della menyentuh perutnya yang terasa kosong. Kapan kali terakhir ia makan?
Della bersandar pada dinding marmer yang dingin. Ia memainkan ponsel untuk mengumpulkan keberanian saat tiba-tiba sesuatu mengirimkan solusi ke benaknya.
***
Pengecut.
Della memaki dirinya sendiri. Tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan tindakannya kali ini.
Alih-alih mendatangi langsung apartemen Antonio, Della malah menghubungi nomor kurir yang menyerempetnya tempo hari. Meskipun risikonya, Della tidak bisa menuntut penjelasan langsung dari lelaki itu.
Della ingin mendengar Antonio mengatakan langsung di hadapannya. Bahwa lelaki itu tidak mencintainya. Bahwa Antonio kini bahagia bersama Nadira-nya. Bahwa sebaiknya Della menyingkir dari pandangannya.
Namun ia terlalu takut mendengar suara seksi Antonio mengucapkan hal menyakitkan seperti itu. Terutama jika teringat Antonio yang mengabaikannya pada hari di mana mereka bertemu dengan 'Nadira'.
Nyeri di hati Della menggelinding secepat bola salju yang menuruni bukit. Semakin lama, semakin banyak duri yang berkumpul pada gumpalan itu. Menyiksanya dari dalam.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Serta merta membuat Della menegakkan punggung dari tiang lampu tempat ia bersandar. Sinar terang di pelataran parkir itu menyorot ke bawah. Tepat pada Della dan vespa berwarna french rose milik gadis bernama Ruri itu.
"Bagaimana?" tanya Della ambigu. Ia membiarkan rasa penarasan terlalu mendorongnya.
"Sudah saya antar, Kak," jawab Ruri sambil mengangkat kedua ibu jarinya.
"Siapa yang menerima?"
"Seorang perempuan berambut panjang."
Della merasa oksigen di sekitarnya menipis. "Bukan laki-laki bermata abu-abu?"
Ruri mengerjap. Ia memastikan bahwa daya penglihatannya masih berfungsi normal. Tidak mungkin ia keliru membedakan sosok perempuan dan laki-laki. Detik berikutnya, gadis itu menggeleng hingga helm catok di kepalanya ikut bergoyang─yang mulai longgar akibat busanya menipis. "Dia tadi juga menyebut namanya."
"Siapa?"
"Emery."
Emery. Napas Della berembus berat. Berusaha ikhlas. "Sekarang antar aku pulang, ya."
"Eh, maaf, Kak." Ruri menyengir maaf. "Sesuai yang tertulis di kartu nama, saya tidak menerima pengantaran makhluk hidup."
"Aku bukan makhluk hidup," ucap Della dingin. "Manusia tidak bisa hidup dengan hati yang hancur."
Della tidak tahu, seseorang yang pernah menghancurkan hatinya sedang menunggu di depan pintu flatnya.
***
"Kau tidak pesan apa-apa?" tanya pria yang duduk di hadapan Della setelah menyesap kopi.
Della hanya menggeleng.
"Papa dengar, kau bekerja di Alva Nation Development. Apa posisimu di sana? Pasti gaji bulananmu sangat besar, ya."
Senyum tipis membayang di bibir Della. Ia tidak menyangka justru kalimat itu yang muncul di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. Pasti ada alasan khusus mengapa jumlah pendapatan Della jauh lebih penting daripada keadaannya.
"Jadi, ada apa?"
"Papa tidak menyangka kau masih bisa mengenali Papa setelah sekian lama kita terpisah." Kedua mata pria itu berbinar-binar. "Padahal sudah lebih dari dua puluh tahun, ya."
"Ada apa?" ulang Della, mengabaikan basa-basi ayahnya.
Binar di mata ayahnnya meredup. "Sifatmu persis Mamamu. Tidak sabar."
"Mama tirimu─" Ayahnya melirik ragu pada Della sebelum melanjutkan ucapannya yang terputus. "Dia menikah dengan Papa, jadi dia juga Mamamu."
Della berdecak.
"Dia pergi." Ayahnya mengusap wajah dengan kasar. "Dia meninggalkan Papa."
Detik-detik bergulir dalam keheningan yang terasa panjang. Setidaknya, bagi Della.
Della mengigit ujung lidahnya yang terasa gatal. "Apa Anda mencintai dia?"
"Sangat." Ayahnya menunduk dalam. "Papa rela meninggalkan kalian demi dia."
Della tersenyum. Getir. "Sekarang apa yang Anda rasakan? Sedih?"
Pria itu terdiam. Lama. Seolah pertanyaan yang diajukan Della berasal dari kertas ujian.
"Lebih dari itu," jawab ayahnya pada akhirnya. "Papa merasa kacau. Apalagi saat ini, usaha Papa sedang menurun karena ditipu karyawan. Dan Mama tirimu ternyata memiliki utang besar atas nama Papa."
Kepala Della menganggut-anggut, paham ke mana arah pembicaraan ini. Ia mengangkat tangan hingga waitress berseragam nuansa pelangi menghampirinya. Bukan kopi atau teh yang ia minta, melainkan kertas dan pulpen.
Kebingungan merambati wajah ayahnya. Bahkan ketika Della meletakkan alat tulis itu ke hadapannya.
"Tulis nomor dan rekening Anda di sini," pinta Della.
Ayahnya menurut.
"Berapa yang Anda butuhkan?" tanya Della sambil menyimpan kertas itu ke dalam saku celananya.
"300... eh, 100 juta saja cukup," ujar ayahnya. "Dan cobalah untuk memanggilku 'papa'. Kita bisa memperbaiki semua dari awal."
Lagi-lagi, Della membuang napas panjang. Ia bangkit dari duduknya. Ayahnya mengikuti gerakan itu.
"Kau mau ke mana?" Ayahnya mencengkeram pergelangan tangan Della.
"Minggu depan pengacara yang akan mengurus ini semua."
"Pengacara?" Ayahnya mendelik. Terkejut. Genggamannya di tangan Della mengetat. "Kau mau menuntut Papa kandungmu sendiri?"
Della menggeleng. Ia menarik tangannya dari cengkeraman telapak tangan yang terasa kasar itu. "Papa harus menandatangani surat perjanjian."
"Kau tidak percaya pada Papamu sendiri? Papa pasti kembalikan uangmu."
"Anda boleh ambil uangnya, tapi tolong jangan temui saya lagi," ucap Della, dingin.
Lemas, kedua tangan ayahnya terkulai di sisi tubuh.
"Permisi."
Della baru akan melangkah saat tiba-tiba ia mendengar gumaman ayahnya.
"Mamamu membesarkanmu dengan buruk. Tidak menyesal aku meninggalkan kalian─"
"Tolong berhenti bicara buruk tentang ibu saya kalau Anda masih butuh uangnya."
"Memang benar, kan? Mamamu ridak mengajarimu cara menghormati papa."
"Anda sendiri apa pernah hadir sebagai ayah dalam hidup saya?" Della menatap turun pada pria itu. "Selama hidup saya, Anda tidak pernah ada. Dan akan begitu untuk seterusnya."
Unlock Your Heart XIII: Neglection (1)
Setengah berlari, Della tergesa-gesa kembali ke kantor. Tadi ia sudah separuh perjalanan saat tiba-tiba menyadari bahwa ponselnya tertinggal di Cakewalkers─tempat ia menghabiskan jam makan siangnya bersama Niken. Pendahulunya itu mengajak bertemu untuk memberikan undangan pernikahan.
Della terpaksa berjalan kembali menuju toko kue itu. Beruntung, ia berpapasan dengan Niken yang hendak mengantarkan benda itu ke kantor. Memahami kesibukan Della, calon pengantin itu tidak menahannya lebih lama setelah Della berucap terima kasih.
Sambil melirik jam tangan, Della berbelok ke kanan. Ia memasuki jalan yang lebih kecil dari jalan utama yang dilalui banyak orang. Ini adalah jalur tercepat antara kantornya dan Cakewalkers yang diberitahukan Niken padanya.
Berbeda dengan jalan utama yang selalu dipadati kendaraan-kendaraan seperti mobil pribadi maupun mobil perusahaan, jalan ini hanya sesekali dilewati motor yang terkadang dipacu melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan. Itu membuat ia harus ekstra hati-hati dan tidak boleh terlena dengan kenyamanan yang ditawarkan tetumbuhan yang menghiasi tepi jalan.
Della mengisi paru-parunya dengan banyak oksigen segar di sekitarnya saat tiba-tiba ia mendengar suara serupa rengekan. Ternyata itu berasal dari seekor anak kucing yang meringkuk di tengah jalan. Kucing kecil itu kembali mengeong dengan suara parau. Sepertinya tadi makhluk mungil itu hendak menyeberang tetapi terkejut karena motor yang tiba-tiba melintas.
Mengabaikan spekulasinya sendiri, Della menoleh ke kanan lalu ke kiri. Setelah memastikan jalanan akan terus lengang selama beberapa menit ke depan, ia bergegas mengangkat kucing itu dan membuai dalam genggaman. Tepat saat itulah teriakan menggema di antara ranting dan dedaunan.
"Awas, awas! Minggir!"
Tidak terelakkan, skuter berwarna french rose itu memelesat ke arah Della yang terpaku pada aspal tempatnya berdiri.
***
Tirai biru muda yang membatasi Della dengan apa pun di luar sana, tiba-tiba diselak dengan kasar hingga beberapa kait terlepas dari relnya. Seseorang menghambur masuk dengan raut pucat seperti habis melihat hantu.
"Oh, hei, Beer Hug."
Alih-alih menyusutkan kepanikan di wajah tampan itu, sapaan ringan dan santai yang dilontarkan Della malah membuat Antonio semakin khawatir.
"Apa kau baik-baik saja?" Sepasang netra Antonio memindai cepat, mencari-cari bekas luka di seluruh permukaan kulit Della. "Bagian mana yang terasa sakit?"
Bukannya menjawab, Della malah terkekeh geli. "Kau benar-benar mengkhawatirkanku, ya?"
Kedua alis tebal Antonio berkerut tidak senang. "Aku harus menemui dokter. Kau harus dirontgen, juga CT scan─"
Cepat-cepat Della mencekal pergelangan tangan Antonio yang hendak melaksanakan niatnya.
Sentuhan lembut itu membuat Antonio menghentikan langkah dan berbalik. Della sedang mengurai senyum penuh makna.
"Aku tidak apa-apa. Sungguh."
Ketegangan di seluruh tubuh Antonio meluruh. Ia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Della yang duduk di tepi tempat tidur.
"Hanya ada lecet-lecet sedikit." Della menunjukkan kulitnya yang tadi tergesek aspal. Lalu memperlihatkan pangkal ibu jarinya. "Dan luka cakaran karena kucing yang kupegang terkejut dan ketakutan."
Antonio mengamati semua luka itu, memastikan tidak ada infeksi atau sesuatu yang serius.
"Hanya luka kecil. Dicium juga sembuh."
Sekilas, Antonio melirik naik untuk menatap ekspresi Della yang penuh humor. Tanpa dinyana, ia kemudian menunduk dan mengecup luka-luka yang diperlihatkan Della.
Della merasa jantungnya memompa seluruh darah ke wajah. Ia menelan luda. Gugup.
Antonio kembali menatap Della. "Sudah kucium tapi tidak sembuh."
"Keliru. Seharusnya kau mencium di sini," ujar Della sambil menunjuk bibirnya.
Alis Antonio terangkat sebal. "Jangan membodohiku."
Tawa Della semakin melebar. "Ah, sial. Tidak seru."
"Apa kau baru saja mengumpat?" Antonio menarik napas.
Sekejap, Della mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Sepertinya kau salah dengar," elak Della. "Omong-omong bagaimana kau bisa ada di sini?"
"Naik mobil," jawab Antonio acuh tidak acuh. Ia sibuk memandangi ujung telunjuknya yang membelai lembut punggung tangan Della.
"Maksudku," ralat Della dengan kekesalan yang tertahan. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
"Bu Rachel yang memberitahuku."
Della menganggut-anggut mengerti. Tadi ia memang mengirim pesan singkat kepada Rachel. Permohonan maaf bahwa ia tidak bisa kembali tepat waktu. Sebenarnya, tadi ia berniat langsung kembali ke kantor, tetapi dokter dan perawat dengan penuh perhatian memintanya untuk beristirahat sejenak. Sehingga ia memutuskan untuk mengirim pesan tambahan yang menyatakan bahwa ia harus beristirahat setelah mengalami kecelakaan.
"Di mana orang yang menabrakmu?"
"Aku menyuruhnya pulang," jawab Della ringan. "Dia bekerja sebagai kurir dan ada paket yang harus diantarnya tepat waktu."
Antonio bersedekap tidak tenang. "Kau ini naif sekali."
"Lagi pula sebenarnya, dia yang mengalami kerugian lebih banyak. Motornya lecet, jam kerjanya terpotong karena ia mengantarku ke sini, dan tadi kulihat ia jalan terpincang-pincang."
"Itu tidak bisa menjadi alasan kau membiarkan dia lari dari tanggung jawab."
"Dia juga memberiku kartu namanya."
Antonio memegang kartu itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Alisnya terangkat sangsi menatap huruf-huruf dan angka-angka yang ditulis secara manual itu. "Ini bisa saja palsu," ujarnya lantas mendebas keras. "Ayo kuantar kau pulang."
"Pulang? Ini masih siang. Seharusnya kita kembali ke kantor."
Antonio menggeleng lalu bangkit dari kursi. "Kau harus istirahat."
"Aku baik-baik saja. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."
Antonio menggelangan jemarinya pada tangan Della. "Kau bisa menyelesaikannya besok."
"Aku bukan lagi sekretarismu. Sekarang aku asisten General Manager," tukas Della sambil menarik kuat tangannya.
"Aku tidak mengatakan ini sebagai bosmu. Tapi sebagai kekasihmu."
***
"Pernikahan Niken sebentar lagi, kan?" tanya Antonio sambil menarik keluar salah satu troli yang tersusun rapi sebelum pintu masuk.
"Kau mau datang?" tanya Della sambil memandang iri pada pegangan troli yang digenggam erat Antonio.
Entah sejak kapan, Antonio baru menyadari kalau supermarket bisa jadi salah satu tempat yang menyenangkan. "Kau tidak ada sesuatu yang ingin dibeli?" balasnya tanpa menjawab.
"Mungkin kado," sahut Della sambil berhenti di depan rak yang menampilkan peralatan makan berbahan keramik.
Kening Antonio berkerut. "Kau tidak butuh gaun atau sepatu?"
"Aku punya banyak gaun dan sepatu cantik yang dihadiahkan seseorang padaku," jawab Della sambil mengerling penuh makna. Ia menunjukkan kepalan tangannya. "Harga yang pantas untuk tulang-tulang jariku."
"Mereka pasti lelah, ya, mengetik nominal besar dan kontrak-kontrak skala internasional."
Della menurunkan tangannya dengan canggung karena Antonio ternyata tidak menggengam tangannya seperti yang ia harapkan. "Bukan mengetik tapi mengetuk."
"Mengetuk pintu saja kau protes?"
"Tidak. Kalau aku tidak perlu menghafalkan sepuluh kode ketukan. Syukurlah, Allenia cepat menghafal itu."
Secara tiba-tiba, Antonio berhenti melangkah. Roda troli berhenti berputar. Waktu di sekeliling Della seolah berhenti berputar. Hingga tanpa sadar membuat ia menahan napas.
Hingga kemudian tawa Antonio menggema di koridor rak-rak minuman dalam kemasan. Beberapa perempuan yang berada dalam radius terdekat langsung menoleh dan tanpa sadar menyunggingkan senyum. Kontras dengan bibir Della yang merengut.
"Jadi, kau selama menjadi sekretarisku menghafalkan sepuluh jenis ketukan sebelum masuk ke ruanganku?" Antonio meringkas keluhan Della dalam satu kalimat, lalu kembali tertawa saat gadis di sampingnya mengangguk.
Biasanya, Della merasa senang setiap kali mendengar Antonio tertawa. Tetapi saat ini ia benar-benar ingin menyumpal bibir seksi itu dengan botol-botol plastik berisi teh yang berjajar pada rak di depan mereka. Sebenarnya, apa yang lucu?
"Padahal itu hanya keusilanku saat masih menjadi Wakil Direktur," jelas Antonio sambil menahan-nahan tawanya. "Aku sengaja ingin mengerjai Manuel yang menjadi sekretarisku waktu itu."
"Ha?" Mulut Della menganga dengan kesal.
"Aku tidak menyangka kalau dia menjadikan itu warisan turun temurun kepada sekretaris-sekretaris selanjutnya."
"Ah, sial," geram Della saat wajah Manuel yang sedang tersenyum miring muncul di benaknya.
Tiba-tiba terdengar bunyi kelontang dari rak yang berhadapan dengan punggung mereka.
"Aduh. Ya, ampun," keluh seseorang dengan suara sopran yang lembut.
Pemilik suara itu tampak terbungkuk-bungkuk mengejar kaleng minuman bersoda yang menggelinding setelah tergelincir dari genggamannya. Gadis itu tampak mendesah lega saat kaleng yang dikejarnya tertahan roda troli di depan Della.
Antonio memungut kaleng itu dari lantai dan menyerahkan kepada gadis yang mengenakan jumpsuit panjang berbahan sifon itu. Senyum muncul di wajah gadis itu saat ia menegakkan tubuh dan menerima kaleng berwarna magenta yang membuat ia bertingkah konyol.
"Terima kasih," ujarnya penuh syukur untuk sesaat. Detik berikutnya, ia merasa ngeri karena dua orang yang berdiri di belakang troli itu malah menatapnya dengan kedua mata membeliak. Seolah ia adalah hantu gentayangan.
Della menelan ludah. Sosok yang selama ini hanya dilihatnya dari lembar-lembar foto dan artikel, kini muncul secara nyata. Tentu bukan hanya ia yang terperangah, lelaki di sampingnya menunjukkan reaksi yang jauh lebih dari sekadar terkejut.
"Nadira?"
***
Rabu, 06 Juli 2016
Unlock Your Heart XII: Question (2)
Tepuk tangan meriah menggema di Grand Ballroom Hotel Empire Castle begitu Antonio mengakhiri kata sambutannya. Ia turun dari podium dan lanjut berfoto dengan jajaran direksi, petinggi perusahaan, serta para pejabat di bidang ekonomi. Setelah itu, ia turun dari panggung dan digantikan pengisi acara yang akan menghibur undangan yang memadati ballroom untuk merayakan ulang tahun Alva Nation Development.
Sementara para karyawan menikmati hidangan sambil mendengar suara merdu penyanyi dari atas panggung, Antonio bergegas menuju ruangan VIP yang hanya boleh dimasuki oleh petinggi perusahaan dan tamu-tamu penting saja.
"Bukankah seharusnya aku mendengar sesuatu darimu?" tanya Antonio pada Della yang berjalan di sampingnya.
"Kata-kata Anda tadi sangat bagus, Pak." Della mengacungkan kedua ibu jarinya ke udara. Mudah saja ia menangkap maksud Antonio. Dasar lelaki haus pujian! "Terutama kalimat penutup Anda. Itu pasti membakar semangat para karyawan untuk bekerja lebih giat lagi."
Antonio mengerucutkan bibir sambil menganggut-anggutkan kepala. Di ujung koridor sudah tampak dua orang pramupintu yang bertugas di depan ruangan yang mereka tuju. Tiba-tiba Della bergerak maju dan menghadang langkah Antonio.
"Sebentar. Dasimu miring ke kanan sejauh, hem, lima milimeter," ucap Della sambil merapikan dasi Antonio.
"Apa kau baru saja meniruku?"
"Hanya perasaanmu saja." Della tertawa kecil. "Aku senang kau memilih dasi burgundi ini."
"Kemarin, kan, kau sendiri yang menyiapkan dasi dan setelan abu-abu yang kupakai ini."
"Aku menyiapkan dasi berwarna maroon, burgundi, dan carmine. Tapi kau memilih warna burgundi yang serasi dengan gaun yang kukenakan hari ini." Della tersenyum simpul penuh makna. "Menurutmu, apa itu berarti sesuatu?"
Antonio tersenyum miring. "Itu berarti muslihatmu berhasil."
Satu alis Della terangkat.
"Kau sengaja mengatur agar aku memilih dasi ini. Dua pilihan yang lain tampak kusut dan posisinya tidak rapi."
Cengiran muncul di wajah Della. "Ternyata kau menyadarinya."
"Tentu saja." Kedua ujung bibir Antonio melengkung naik, membuat Della meremas gaunnya untuk berpegangan agar tidak terjatuh dalam pesona lelaki itu. "Justru kurasa kau yang belum sadar?"
"Tentang apa?"
"Ayahku hadir dalam acara kali ini."
***
Dalam hitungan detik, Antonio sudah asyik mengobrol dengan beberapa koleganya. Meski topik pembicaraan mereka tidak jauh berbeda dengan yang Della dengar di ruang rapat. Seputar profit, lokasi, dan kerja sama.
Sebenarnya, apa isi pikiran lelaki itu selain tentang pekerjaan? Della berharap sosoknya ada di sana. Walaupun hanya muncul beberapa detik dalam sehari.
Perlahan, Della memisahkan diri. Ia menjauh dari kumpulan lelaki beraroma mahal itu menuju salah satu meja saji di sudut ruangan yang lengang. Gelas-gelas tinggi berisi campuran air limau, soda, dan es batu menggoda dahaganya. Ia mengambil satu gelas dan meneguk perlahan tanpa menggunakan sedotan. Sama sekali mengabaikan kemungkinan noda lipstik akan tertinggal di bibir gelas kristal itu.
Della berbalik dan seketika terkesiap. Pegangannya goyah hingga membuat gelasnya miring. Beberapa tetes air membasahi dagunya. Cepat-cepat, ia menyambar tisu dari meja.
Sama sekali tidak menyangka Alex sedang berdiri tiga langkah darinya.
"Della." Pria bersetelan abu-abu gelap itu mengulum senyum geli. "Lama tidak bertemu."
"Pak Alex." Della berusaha menguasai diri. Ia mengangguk sopan setelah menyeka bibir. "Eh, maaf, Pak."
Alex mengangkat satu gelas minuman dari meja. Gerakannya begitu elegan dan berwibawa. "Kudengar, kau sekarang menjadi asisten General Manager."
Della tersenyum seraya mengangguk. "Perintah langsung dari Pak Antonio."
"Ada di sini rupanya."
Suara lelaki yang namanya baru saja disebutkan Della, tiba-tiba terdengar di dekatnya. Ia menoleh demi mendapati Antonio tengah menuju ke arahnya.
Della mengulum senyum malu. Kehadiran Della sudah mempengaruhi lelaki itu. Terang-terangan, Antonio mencarinya. Bahkan Alex pun pasti langsung menyadari ada hubungan istimewa di antara mereka.
"Sementara aku menghadapi para kapitalis itu sendiri, Papa malah bersembunyi di sini."
Alex terkekeh. "Itu memang tugasmu sebagai Presiden Direktur, Nino."
Della terbatuk. Seolah ada sebutir limau yang tersangkut di tenggorokannya.
Apa ia baru saja mendengar Antonio menyebut kata 'papa'?
***
"Jadi, apa benar Pak Alex itu pemilik AND?" tanya Della sambil mengerjap pada Antonio yang duduk menyetir di sampingnya. Pertanyaan yang sejak tadi mengganjal pikiran selama pesta berlangsung. "Yang berarti, adalah ayahmu?"
"Ya."
"Secara rahasia?"
Antonio mengangguk sambil menghentikan mobil karena lampu lalu lintas berubah dari hijau ke kuning.
"Seperti mata-mata?"
"Mungkin."
"Aduh!" seru Della tiba-tiba.
Antonio menoleh cemas padahal mobil sudah kembali melaju. Ia melihat ada jejak cubit di pergelangan tangan Della. "Kenapa?"
"Cuma memastikan ini bukan mimpi."
"Aku saja masih heran," sahut Antonio sambil memutar roda kemudi untuk berbelok. "Bukannya menikmati masa tua dengan bersantai atau berlibur, Pak Tua itu malah mengisi jabatan Kepala Divisi secara bergantian."
"Kenapa kau terdengar ketus begitu? Apa Beliau pernah berkomentar tentangku?"
Antonio menggeleng. "Karena kekasihku pernah mengatakan bahwa Pak Tua itu tampan."
Della tidak bisa tidak terbahak mendengar itu. Hingga tanpa ia sadari kalau Antonio sudah menghentikan mobil di depan flatnya.
Cepat benar waktu berlalu.
Tawa Della berangsur-angsur lenyap dan digantikan keheningan. Hanya terdengar musik lembut dan deru halus karena Antonio sengaja tidak memadamkan mesin.
"Kenapa tidak turun?"
Della memeluk diri sendiri sambil bergidik. "Dingin."
"Aku bisa meminjamkan jasku."
Della menahan gerakan Antonio. "Apa benar aku ini kekasihmu?"
Glabela Antonio berkerut. "Memang kenapa?"
"Kau tidak pernah memelukku lagi seperti malam itu... saat hujan deras... atau saat kita melom─"
Cepat-cepat, Antonio merengkuh Della. Sebelum gadis itu berujar lebih panjang.
Dengan senang hati, Della membenamkan wajah di bahu Antonio. Menghidu wangi yang ia sukai. "mulai hari ini aku akan memanggilmu sebagai 'Beer Hug'."
Antonio melepas pelukannya. "Apa kau baru saja menyamakanku dengan 'beruang'?"
Della tidak menjawab dan malah membenamkan wajahnya di dada Antonio. Hingga hanya terdengar gumaman yang tidak jelas.
"Tapi pelafalanmu itu keliru. Seharusnya 'bear' bukan 'beer'."
Della mengangkat wajahnya. "Sejak awal aku memang menyebut 'beer'."
Rahang Antonio melebar dan untuk sesaat berubah kaku. "Aku masih bisa menoleransi 'beruang'. Tapi 'bir'?" Ia menggeleng kesal. "Sama sekali tidak manis."
"Memang tidak." Della menumpukan dagu di bahu Antonio. "Kau tidak manis, tapi memabukkan."
Unlock Your Heart XII: Question (1)
"Sebelum ini, aku tidak pernah minum kola dengan ukuran gelas sebesar itu. Apalagi ditambah es krim," gerutu Antonio kala teringat makan siang yang tadi ia habiskan bersama Della. "Itu sama saja dengan makan 100 sendok gula."
"Makanan manis adalah yang terbaik untuk dikonsumsi setelah melompat sambil berteriak seperti tadi."
Antonio melirik sinis pada nada bicara Della yang terdengar menyindir. "Belum lagi hamburger yang seperti daging artifisial─"
"Aku yakin mereka menggunakan daging sapi asli," potong Della sambil memasukkan anak kunci ke lubang pintu flatnya.
"Tapi bukan daging segar."
Mereka berdua masuk. Della langsung menekan saklar di dekat pintu dan penerangan langsung membanjiri seluruh ruangan.
"Untuk itulah, kita mengelilingi supermarket. Supaya makanan yang terus kau komentari itu langsung berubah menjadi energi." Della mengepalkan tangan dan menekuk sikunya, persis gaya binaragawan yang sedang memamerkan ototnya. "Sehingga sixpack di perutmu tidak akan hilang."
Alis Antonio spontan berkerut. "Dari mana kau tahu perutku sixpack atau tidak?"
Della mengulum senyum tersipu. "Dilihat sekilas juga sudah ketahuan."
"Kenapa kau terdengar sangat ahli tentang tubuh laki-laki?" tanya Antonio sambil meletakkan kantung belanjaan ke atas meja dapur.
"Kau mengucapkan itu seolah aku ini perempuan mesum."
Ujung alis dan ujung bibir Antonio kompak terangkat dengan humor. "Memangnya tidak?"
Della tergelak sambil berjalan menuju kabinet tempat ia menyimpan cangkir. "Ya. Sedikit."
Antonio menanggapi dengan tawa kecil yang tertahan di tenggorokannya.
"Mau minum?" tawar Della sambil menoleh dan mendapati Antonio sudah duduk di kursi makan yang menghadap langsung ke arah dapur.
"Seharusnya kau menambahkan 'apa' di akhir kalimat."
Della menyunggingkan senyum angkuh. "Aku yang mengatur hari ini, ingat?"
"Lain kali biar aku yang mengatur kencan kita. Kau benar-benar payah."
Tidak kuasa menahan, Della membiarkan senyum melebar hingga nyaris membelah wajahnya saat mendengar 'lain kali' terucap dari bibir Antonio.
"Apa tidak apa-apa kita makan malam di sini?"
"Memang kenapa?" tanya Della sambil meletakkan cangkir ke hadapan Antonio.
"Terima kasih," ucap Antonio seraya mengangguk. "Kalau Neysa datang, dia pasti akan berpikiran macam-macam lagi."
Della terkekeh, sedikit takjub karena Antonio mengingat nama sahabatnya. "Jangan pikirkan Neysa. Aku sudah mengirim pesan agar dia tidak kemari hari ini," ujarnya sambil kembali ke dapur.
Antonio menganggut-anggut sambil mengangkat cangkir. Baru sedikit ia menyesap minumannya, raut wajahnya langsung mengernyit bingung. Ia menjauhkan cangkir dari wajahnya demi bisa memandangi cairan pekat yang tertampung di sana. Seketika itu, ia menyadari bahwa itu bukan kopi melainkan kola.
Dengan ekspresi jengkel, Antonio mendongak protes kepada Della. Jangankan merasa bersalah, gadis itu malah tersenyum usil sambil mengangkat kotak dingin yang masih terisi setengah. "Mau tambah es krim?"
***
"Boleh aku tahu, apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?"
Della mengerling sambil tersenyum malu-malu. "Karena kau tampan dan seksi."
Bibir Antonio sedikit terbuka dan tersenyum heran. Jawaban yang tidak ia sangka. Biasanya, orang tidak akan terang-terangan untuk menyatakan ketertarikan fisik. Mereka akan bersembunyi di balik kata 'baik hati'. Baru kali ini ia menerima jawaban selugas ini.
"Tapi ketampanan dan keseksian ini akan memudar ketika aku menua."
"Tidak akan terjadi."
"Memangnya kau pernah lihat ada pria tua yang tetap tampan?"
"Pernah," jawab Della cepat dan yakin. "Seperti Pak Alex─atasanku saat masih di Divisi Perencanaan."
Tiba-tiba, tawa Antonio meledak hingga seluruh isi flat Della bergetar. "Ternyata seleramu yang seperti itu, ya."
Della yang masih terpana, semakin bertambah heran. "Memang kenapa? Bukan berarti aku menyukai pria berumur yang sudah punya istri. Hanya sebagai gambaran masa depan saja."
"Kau ini selalu penuh kejutan, ya."
"Apa maksudnya?"
Alih-alih menjelaskan, Antonio malah menggerakkan tangannya pada frittata yang sudah tersaji di atas piring. Ia berniat membantu Della memindahkan piring ke meja makan sementara gadis itu merampungkan racikan pastanya.
"Biar aku saja," ujar Antonio sambil menyentuh tepian piring. Bersamaan dengan itu, tangan Della sudah lebih dahulu mendarat di bagian yang sama.
Bukannya menarik tangan sambil tersipu, Della malah menumpangkan tangannya yang lain di atas tangan Antonio, sehingga tangan lelaki itu terperangkap dalam sentuhannya.
"Kau pintar sekali memanfaatkan kesempatan," ujar Antonio sambil menatap Della dengan jenaka.
Della mengunci tatapan abu-abu milik Antonio. "Kata orang, kesempatan bagus tidak datang dua kali."
"Dan sekarang kau mau bermain staring contest denganku?"
"He-em.".
"Kalau aku menang, kau harus bebaskan tanganku."
"Kalau aku yang menang... boleh aku minta first kiss-ku sekarang?"
Antonio mengumpulkan tawanya yang tertahan hingga menjelma embusan napas panjang.
Jarak mereka yang hanya terpaut beberapa senti, membuat Della bisa merasakan tiupan napas Antonio mengenai wajahnya. Tanpa bisa ditahan lagi, kelopak matanya mengepak satu kali. Della langsung mengerang kesal, sementara Antonio terkekeh bangga karena menang.
Della menarik kedua tangannya ke sisi tubuh lalu menyengir seperti kuda. "Boleh tanding ulang?"
Belum sempat Antonio menjawab, tahu-tahu bel flat Della berbunyi. Ia berdecak sebal. "Biar saja. Itu bunyi bel tetangga."
Tetapi bunyi itu kembali terdengar. Kali ini, dengan ritme menyebalkan dan terdengar tidak sabar.
Antonio melipat tangan di depan dada seraya tersenyum maklum. "Sebaiknya kau temui dulu. Siapa tahu itu tamu penting."
Della berbalik menuju pintu dengan langkah-langkah gusar. Sebelum meraih gagang pintu, ia mengintip dahulu lewat lensa cembung di lubang yang terletak setinggi keningnya. Wajah bulat Neysa tampak di sana. Alisnya bertaut, bibirnya mengerucut.
"Mau apa?" tanya Della setelah menarik daun pintu dengan kasar. Ia hanya membuka celah selebar kepalanya.
"Mau mencegahmu berbuat mesum!"
Della mendelik. "Tutup mulutmu! Dasar Beruang Kutub!"
"Buka pintunya, hei, Gorila Hutan!" Neysa mendorong pintu yang ditahan Della dari dalam.
"Pulang sana!"
Mata Neysa menyipit curiga. "Ada siapa di dalam?"
"Tidak ada siapa-siapa. Aku sendirian."
"Bohong!" tuduh Neysa. "Kau bersikap aneh hari ini. Membatalkan jadwal joging kita, bahkan melarangku datang ke sini."
"Lalu kenapa kau datang padahal sudah kularang?"
"Untuk memastikan kau tidak berbuat sesuatu yang memalukan," tukas Neysa sambil mendorong daun pintu.
"Besok saja kau datang lagi!" desis Della dengan sekuat tenaga menahan pintu
Walaupun secara fisik Della lebih kurus ketimbang Neysa, tetapi tenaga gadis itu jauh lebih kuat dibanding sahabatnya. Otot-otot lengannya yang mengeras nyaris berhasil menutup pintu untuk membiarkan Neysa tetap di luar.
"Siapa yang datang?"
Tidak menyangka akan mendengar suara itu di dekat telinganya, pertahanan Della mengendur. Neysa berhasil mendorong pintu hingga menjeblak terbuka. Sementara Della terdorong ke belakang. Beruntung, Antonio dengan sigap menyambut punggung gadis itu yang langsung membentur dada dan perutnya yang kokoh.
Raut bingung dan merasa bersalah di wajah Neysa malah berbalas kerlingan mata Della yang penuh makna. Otaknya yang menangkap kode tersebut membuat kakinya bergegas maju dengan gaya khawatir.
"Astaga, Della! Apa kau baik-baik saja?"
"Aduh," keluh Della sambil menyandarkan kepala pada dada Antonio. "Kepalaku pusing."
"Ya, ampun." Neysa memandang iba pada Della, lalu menampilkan tatapan memohonnya pada Antonio yang juga tampak panik. "Bisa tolong gendong Della ke sofa?"
Antonio mengangguk patuh. Lelaki itu menyusupkan lengannya pada lekukan lutut Della dan menyangga punggung gadis itu dengan tangan satunya. Tanpa diminta, Della langsung melingkarkan tangannya ke bahu Antonio.
Perlahan, Antonio meletakkan tubuh Della ke atas sofa. Gadis itu menyentuh kepala sambil sesekali mengaduh.
"Apa kepalamu sakit sekali?" tanya Antonio dengan raut cemas.
Della menggeleng. "Sekarang sudah lebih baik."
"Syukurlah," desah Antonio tulus. "Sebaiknya, kita makan malam saja lebih dulu. Neysa ikut saja sekalian."
"Wah." Wajah Neysa berbinar senang "Kebetulan saya tadi buru-buru ke sini jadi belum sempat─"
Sebelum Neysa menyelesaikan kalimatnya, tahu-tahu terdengar suara batuk yang canggung. Della yang sengaja membuat suara itu.
"Maaf, tenggorokanku juga sakit," ucap Della dengan lesu. Tangannya langsung menahan gerakan Antonio yang hendak beranjak untuk mengambilkan air minum.
"Mau kugendong ke ruang makan?"
Della menggeleng. "Nanti saja."
"Hari ini kau masak apa?" tanya Neysa sambil memandang kedua mata Della yang memelotot.
"Fritatta dan pasta." Antonio yang menjawab untuk Della.
"Wah, pantas aromanya enak─"
Della kembali terbatuk-batuk. Kali ini, terlalu keras hingga tenggorokannya terasa perih.
Untung saja, Neysa kembali peka menangkap isyarat dari Della. Ia berdiri dari jongkoknya, kemudian diikuti Antonio.
"Aku baru ingat kalau hari ini Ibuku memasak makanan favoritku. Jadi, sebaiknya aku cepat pulang."
"Hati-hati di jalan. Nanti kutelepon," ucap Della.
Neysa berjalan kembali menuju pintu yang masih terbuka. Tepat sebelum menarik daun pintu hingga menutup, Neysa memutar kembali tubuhnya menghadap Della. "Jangan lupa pakai pengaman, ya."
Tersentak, Della memelotot sambil melempar bantal sofa ke arah Neysa. Sayangnya, pintu sudah tertutup lebih dahulu sehingga benda lembut itu hanya menubruk permukaan kayu.
"Jangan didengarkan. Dia memang sering berbicara ngawur," ujar Della.
Di luar dugaan, Antonio kembali tergelak. Della ikut tersenyum. Dalam hati ia bertekad agar bisa membuat Antonio tertawa seperti itu lebih sering lagi.
***
Langganan:
Postingan (Atom)