Rabu, 13 Juli 2016

Unlock Your Heart XIII: Neglection (1)


Setengah berlari, Della tergesa-gesa kembali ke kantor. Tadi ia sudah separuh perjalanan saat tiba-tiba menyadari bahwa ponselnya tertinggal di Cakewalkers─tempat ia menghabiskan jam makan siangnya bersama Niken. Pendahulunya itu mengajak bertemu untuk memberikan undangan pernikahan.

Della terpaksa berjalan kembali menuju toko kue itu. Beruntung, ia berpapasan dengan Niken yang hendak mengantarkan benda itu ke kantor. Memahami kesibukan Della, calon pengantin itu tidak menahannya lebih lama setelah Della berucap terima kasih.

Sambil melirik jam tangan, Della berbelok ke kanan. Ia memasuki jalan yang lebih kecil dari jalan utama yang dilalui banyak orang. Ini adalah jalur tercepat antara kantornya dan Cakewalkers yang diberitahukan Niken padanya.

Berbeda dengan jalan utama yang selalu dipadati kendaraan-kendaraan seperti mobil pribadi maupun mobil perusahaan, jalan ini hanya sesekali dilewati motor yang terkadang dipacu melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan. Itu membuat ia harus ekstra hati-hati dan tidak boleh terlena dengan kenyamanan yang ditawarkan tetumbuhan yang menghiasi tepi jalan.

Della mengisi paru-parunya dengan banyak oksigen segar di sekitarnya saat tiba-tiba ia mendengar suara serupa rengekan. Ternyata itu berasal dari seekor anak kucing yang meringkuk di tengah jalan. Kucing kecil itu kembali mengeong dengan suara parau. Sepertinya tadi makhluk mungil itu hendak menyeberang tetapi terkejut karena motor yang tiba-tiba melintas.

Mengabaikan spekulasinya sendiri, Della menoleh ke kanan lalu ke kiri. Setelah memastikan jalanan akan terus lengang selama beberapa menit ke depan, ia bergegas mengangkat kucing itu dan membuai dalam genggaman. Tepat saat itulah teriakan menggema di antara ranting dan dedaunan.

"Awas, awas! Minggir!"

Tidak terelakkan, skuter berwarna french rose itu memelesat ke arah Della yang terpaku pada aspal tempatnya berdiri.
***

Tirai biru muda yang membatasi Della dengan apa pun di luar sana, tiba-tiba diselak dengan kasar hingga beberapa kait terlepas dari relnya. Seseorang menghambur masuk dengan raut pucat seperti habis melihat hantu.

"Oh, hei, Beer Hug."

Alih-alih menyusutkan kepanikan di wajah tampan itu, sapaan ringan dan santai yang dilontarkan Della malah membuat Antonio semakin khawatir.

"Apa kau baik-baik saja?" Sepasang netra Antonio memindai cepat, mencari-cari bekas luka di seluruh permukaan kulit Della. "Bagian mana yang terasa sakit?"

Bukannya menjawab, Della malah terkekeh geli. "Kau benar-benar mengkhawatirkanku, ya?"

Kedua alis tebal Antonio berkerut tidak senang. "Aku harus menemui dokter. Kau harus dirontgen, juga CT scan─"

Cepat-cepat Della mencekal pergelangan tangan Antonio yang hendak melaksanakan niatnya.

Sentuhan lembut itu membuat Antonio menghentikan langkah dan berbalik. Della sedang mengurai senyum penuh makna.

"Aku tidak apa-apa. Sungguh."

Ketegangan di seluruh tubuh Antonio meluruh. Ia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Della yang duduk di tepi tempat tidur.

"Hanya ada lecet-lecet sedikit." Della menunjukkan kulitnya yang tadi tergesek aspal. Lalu memperlihatkan pangkal ibu jarinya. "Dan luka cakaran karena kucing yang kupegang terkejut dan ketakutan."

Antonio mengamati semua luka itu, memastikan tidak ada infeksi atau sesuatu yang serius.

"Hanya luka kecil. Dicium juga sembuh."

Sekilas, Antonio melirik naik untuk menatap ekspresi Della yang penuh humor. Tanpa dinyana, ia kemudian menunduk dan mengecup luka-luka yang diperlihatkan Della.

Della merasa jantungnya memompa seluruh darah ke wajah. Ia menelan luda. Gugup.

Antonio kembali menatap Della. "Sudah kucium tapi tidak sembuh."

"Keliru. Seharusnya kau mencium di sini," ujar Della sambil menunjuk bibirnya.

Alis Antonio terangkat sebal. "Jangan membodohiku."

Tawa Della semakin melebar. "Ah, sial. Tidak seru."

"Apa kau baru saja mengumpat?" Antonio menarik napas.

Sekejap, Della mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Sepertinya kau salah dengar," elak Della. "Omong-omong bagaimana kau bisa ada di sini?"

"Naik mobil," jawab Antonio acuh tidak acuh. Ia sibuk memandangi ujung telunjuknya yang membelai lembut punggung tangan Della.

"Maksudku," ralat Della dengan kekesalan yang tertahan. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"

"Bu Rachel yang memberitahuku."

Della menganggut-anggut mengerti. Tadi ia memang mengirim pesan singkat kepada Rachel. Permohonan maaf bahwa ia tidak bisa kembali tepat waktu. Sebenarnya, tadi ia berniat langsung kembali ke kantor, tetapi dokter dan perawat dengan penuh perhatian memintanya untuk beristirahat sejenak. Sehingga ia memutuskan untuk mengirim pesan tambahan yang menyatakan bahwa ia harus beristirahat setelah mengalami kecelakaan.

"Di mana orang yang menabrakmu?"

"Aku menyuruhnya pulang," jawab Della ringan. "Dia bekerja sebagai kurir dan ada paket yang harus diantarnya tepat waktu."

Antonio bersedekap tidak tenang. "Kau ini naif sekali."

"Lagi pula sebenarnya, dia yang mengalami kerugian lebih banyak. Motornya lecet, jam kerjanya terpotong karena ia mengantarku ke sini, dan tadi kulihat ia jalan terpincang-pincang."

"Itu tidak bisa menjadi alasan kau membiarkan dia lari dari tanggung jawab."

"Dia juga memberiku kartu namanya."

Antonio memegang kartu itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Alisnya terangkat sangsi menatap huruf-huruf dan angka-angka yang ditulis secara manual itu. "Ini bisa saja palsu," ujarnya lantas mendebas keras. "Ayo kuantar kau pulang."

"Pulang? Ini masih siang. Seharusnya kita kembali ke kantor."

Antonio menggeleng lalu bangkit dari kursi. "Kau harus istirahat."

"Aku baik-baik saja. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."

Antonio menggelangan jemarinya pada tangan Della. "Kau bisa menyelesaikannya besok."

"Aku bukan lagi sekretarismu. Sekarang aku asisten General Manager," tukas Della sambil menarik kuat tangannya.

"Aku tidak mengatakan ini sebagai bosmu. Tapi sebagai kekasihmu."
***

"Pernikahan Niken sebentar lagi, kan?" tanya Antonio sambil menarik keluar salah satu troli yang tersusun rapi sebelum pintu masuk.

"Kau mau datang?" tanya Della sambil memandang iri pada pegangan troli yang digenggam erat Antonio.

Entah sejak kapan, Antonio baru menyadari kalau supermarket bisa jadi salah satu tempat yang menyenangkan. "Kau tidak ada sesuatu yang ingin dibeli?" balasnya tanpa menjawab.

"Mungkin kado," sahut Della sambil berhenti di depan rak yang menampilkan peralatan makan berbahan keramik.

Kening Antonio berkerut. "Kau tidak butuh gaun atau sepatu?"

"Aku punya banyak gaun dan sepatu cantik yang dihadiahkan seseorang padaku," jawab Della sambil mengerling penuh makna. Ia menunjukkan kepalan tangannya. "Harga yang pantas untuk tulang-tulang jariku."

"Mereka pasti lelah, ya, mengetik nominal besar dan kontrak-kontrak skala internasional."

Della menurunkan tangannya dengan canggung karena Antonio ternyata tidak menggengam tangannya seperti yang ia harapkan. "Bukan mengetik tapi mengetuk."

"Mengetuk pintu saja kau protes?"

"Tidak. Kalau aku tidak perlu menghafalkan sepuluh kode ketukan. Syukurlah, Allenia cepat menghafal itu."

Secara tiba-tiba, Antonio berhenti melangkah. Roda troli berhenti berputar. Waktu di sekeliling Della seolah berhenti berputar. Hingga tanpa sadar membuat ia menahan napas.

Hingga kemudian tawa Antonio menggema di koridor rak-rak minuman dalam kemasan. Beberapa perempuan yang berada dalam radius terdekat langsung menoleh dan tanpa sadar menyunggingkan senyum. Kontras dengan bibir Della yang merengut.

"Jadi, kau selama menjadi sekretarisku menghafalkan sepuluh jenis ketukan sebelum masuk ke ruanganku?" Antonio meringkas keluhan Della dalam satu kalimat, lalu kembali tertawa saat gadis di sampingnya mengangguk.

Biasanya, Della merasa senang setiap kali mendengar Antonio tertawa. Tetapi saat ini ia benar-benar ingin menyumpal bibir seksi itu dengan botol-botol plastik berisi teh yang berjajar pada rak di depan mereka. Sebenarnya, apa yang lucu?

"Padahal itu hanya keusilanku saat masih menjadi Wakil Direktur," jelas Antonio sambil menahan-nahan tawanya. "Aku sengaja ingin mengerjai Manuel yang menjadi sekretarisku waktu itu."

"Ha?" Mulut Della menganga dengan kesal.

"Aku tidak menyangka kalau dia menjadikan itu warisan turun temurun kepada sekretaris-sekretaris selanjutnya."

"Ah, sial," geram Della saat wajah Manuel yang sedang tersenyum miring muncul di benaknya.

Tiba-tiba terdengar bunyi kelontang dari rak yang berhadapan dengan punggung mereka.

"Aduh. Ya, ampun," keluh seseorang dengan suara sopran yang lembut.

Pemilik suara itu tampak terbungkuk-bungkuk mengejar kaleng minuman bersoda yang menggelinding setelah tergelincir dari genggamannya. Gadis itu tampak mendesah lega saat kaleng yang dikejarnya tertahan roda troli di depan Della.

Antonio memungut kaleng itu dari lantai dan menyerahkan kepada gadis yang mengenakan jumpsuit panjang berbahan sifon itu. Senyum muncul di wajah gadis itu saat ia menegakkan tubuh dan menerima kaleng berwarna magenta yang membuat ia bertingkah konyol.

"Terima kasih," ujarnya penuh syukur untuk sesaat. Detik berikutnya, ia merasa ngeri karena dua orang yang berdiri di belakang troli itu malah menatapnya dengan kedua mata membeliak. Seolah ia adalah hantu gentayangan.

Della menelan ludah. Sosok yang selama ini hanya dilihatnya dari lembar-lembar foto dan artikel, kini muncul secara nyata. Tentu bukan hanya ia yang terperangah, lelaki di sampingnya menunjukkan reaksi yang jauh lebih dari sekadar terkejut.

"Nadira?"
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar