Rabu, 20 Juli 2016

Unlock Your Heart XIV: Dejection (2)


Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, akhirnya Della muncul di ruang makan. Allenia langsung tersenyum. Ia bangkit untuk menyiapkan mangkuk dan sendok.

"Minumlah dulu teh madunya," kata Allenia dari hadapan panci di atas kompor. "Aku memasak bubur ayam dan sup jamur."

Della melirik cepat pada dapurnya yang bersih dan rapi. Keadaan yang membuat ia yakin bahwa memang Allenia yang memasak. Karena kalau Neysa yang berada di dapur, suasananya akan lebih mirip kapal pecah.

Allenia menghidangkan dua mangkuk untuknya dan dua mangkuk untuk Della.

"Kuharap ini bukan makanan yang kau benci."

Della menyendok sup lebih dahulu. Kuah bening yang gurih dan hangat melewati kerongkongannya. Jauh lebih lezat daripada sup yang tadi dipesankan Neysa dari restoran cepat saji. Begitu juga dengan bubur yang lembut menggugah selera.

"Jadi, kenapa kau bisa ada di sini?" Della mengulang pertanyaannya begitu ia dan Allenia selesai dengan hidangan masing-masing.

Allenia mereguk air mineral sebelum memulai pembicaraan dengan Della. "Tadi siang aku ke sini. Neysa yang membukakan pintu."

"Kau tidak masuk kerja?"

Allenia melirik pada ujung sendok. "Tidak. Hem, bos sedang ke luar kota. Untuk cek lokasi."

Della tersenyum keki, lantas menyesap teh madunya. "Ke Mandalika dan Wakatobi?"

Sepasang netra Allenia melebar. "Iya."

"Kau tidak mendampinginya?" Della berusaha keras menahan agar mulutnya tidak menanyakan sesuatu yang jawabannya hanya akan berbalik menyakitinya. "Atau sudah ada orang lain yang mendampinginya ke sana?"

Allenia tersentak lalu mengangguk lirih.

"Jadi, dia pergi bersama Emery, ya." Della langsung menarik kesimpulan.

"Aku sudah bertemu perempuan itu. Dia memang mirip dengan Nadira. Tapi mereka benar-benar orang yang berbeda─"

"Jadi, kau ke sini hanya untuk membahas pacar baru Kakakmu?" sela Della tajam.

Allenia mengatupkan bibirnya dan menggeleng. "Aku ingin menanyakan tentang pengunduran dirimu. Apa itu serius?"

"Iya. Aku tidak punya alasan lagi untuk bekerja di sana."

"Itu berarti kau juga menyerah tentang Kakakku?"

"Maksudmu, kau mau menyalahkan aku?"

Allenia menggeleng. "Ini hanya... terasa seperti bukan dirimu."

"Lalu seperti apa 'diriku', menurutmu? Dia yang meninggalkanku, kau tahu?"

"Ya. Tapi aku tidak menyangka kalian akan berakhir seperti ini. Lagi pula kurasa Kakakku hanya sedang terbuai nostalgia palsu. Cepat atau lambat, dia akan sadar kalau tidak mencintai perempuan itu."

"Dan kau ingin aku menunggu sampai dia sadar." Della merasakan air mata mulai menusuk-nusuk matanya. "Seperti orang bodoh?"

Allenia bungkam. Takut salah bicara. Kendali emosi Della saat ini mirip jembatan gantung yang kayunya sudah lapuk. Ia tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanya saja, ia takut kedua orang itu akan kehilangan kebahagiaan mereka.

"Atau kau takut Kakakmu tidak jadi hadir di pernikahanmu karena putus denganku?" tebak Della mengawur. "Tenang saja, itu tidak akan terjadi, Nina. Kalau memang itu yang kau pikirkan, silakan pergi dari rumahku. Pembicaraan ini tidak ada gunanya."

"Della... bukan begitu maksudku." Allenia berusaha menyentuh tangan Della di seberang meja, berharap temannya itu akan meredakan amarah.

"Keluar!" bentak Della sambil menepis kasar tangan Allenia.

Tanpa kembali berusaha menjelaskan, Allenia bangkit dan menyambar tasnya. Ia mengambil langkah-langkah lebar dan berhenti sejenak di belakang pintu. "Selamat malam," ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan Della yang sudah terisak dengan wajah terbenam pada lengan yang terlipat di atas meja.
***

"Kau yakin itu tidak terlalu pendek?"

Della memandangi Neysa lewat cermin salon lalu menggeleng. Ia justru merasa lebih segar dan bersemangat. Bahkan dunia yang beberapa hari ini terlihat muram, kini mulai dihujani berkas cahaya.

Memang ironis. Berulang kali Antonio meminta ia untuk memotong rambutnya. Tetapi tidak ia lakukan. Kini, ketika hubungan mereka sudah kandas, Della malah tanpa ragu memotong rambut sepunggungnya menjadi model pixie lob.

Neysa mendekat ke sisi Della hingga mereka berbagi cermin yang sama. Ia menatap puas pada rambut hitamnya yang tampak lebih halus dan bervolume setelah berbagai macam perawatan. Ujung-ujungnya sudah dipotong lurus menjadi lebih rapi.

Hari ini Neysa mengajak Della untuk 'menggila'. Mereka berbelanja, makan, dan bersenang-senang seolah hari esok tidak akan tiba.

"Setelah ini, kita mau ke mana?"

Neysa melirik jam tangannya. "Masih cukup waktu untuk menonton film dan karaoke. Kau mau yang mana lebih dulu?"
***

"Sinting! Nanti malam aku pasti insomnia," keluh Neysa sambil mengusap tengkuknya yang masih menggeriap walaupun mereka sudah keluar dari teater.

Della hanya menanggapi dengan tawa kecil sambil membuang wadah popcorn dan gelas soda yang sudah kosong.

"Kau tidak ingin menginap di rumahku malam ini, Della?" tanya Neysa saat mereka berjalan ke loker penitipan untuk mengambil kantung-kantung belanjaan. "Daripada sendirian di flatmu. Bisa saja hantu itu muncul dari kolong tempat tidurmu."

Alih-alih takut karena ucapan Neysa yang sengaja dibuat bernada seram, Della malah tersenyum lebar hingga menyentuh telinganya. "Kurasa hantunya lebih suka muncul dari dalam lemarimu. Hati-hati kalau kau mendengar bunyi ketukan─"

"Della!" potong Neysa buru-buru, tidak mau mendengar lebih. "Ah, sial. Kalau tahu kau akan memilih film horor, seharusnya tadi  kita menonton dulu baru ke karaoke. Jadi, aku punya waktu untuk melupakan wajah hantu itu sebelum pulang ke rumah."

"Tenang, kita masih ada jadwal makan malam, kan?"

Neysa mengangguk sambil mengamati raut wajah Della yang terlihat lebih jelas karena potongan rambutnya. Sudah tampak rona kemerahan yang menyemburat di kedua pipi gadis itu. "Bagaimana? Apa perasaanmu jauh lebih baik sekarang?"

Sebagian dari diri Della masih terasa kosong. Tetapi tidak mungkin ia menggelengkan kepala. Tentu itu akan menyakiti hati sahabatnya. "Ya. Terima kasih. Kau selalu ada setiap kali aku terpuruk."

"Kenapa kau tiba-tiba jadi melankoli begini?"

"Maaf, karena kau harus selalu meminjamkan bahumu untukku."

"Bukan masalah. Asal kau rutin membayar sewa setiap kali menangis di bahuku."

Della terkekeh kecil. "Apa itu boleh dicicil?"

Neysa mengangguk dengan raut yang dibuat serius. "Kau harus mencicilnya dengan persahabatan seumur hidup."
***

Taksi yang mereka tumpangi berhenti di sebuah restoran yang menyajikan makanan western. Bangunan itu berdinding batu bata oranye tampak serasi dengan sinar kekuningan dari lampu dalam corong alumunium yang menggantung pada kabel yang menruntai dari langit-langit teras. Melalui jendela bening besar bisa dilihat kursi-kursi dan meja-meja kayu berkaki pipa besi yang tertata rapi. Beberapa pengunjung duduk di sana sambil menikmati hidangan. Entah itu spageti bersaus napolitan, ayam panggang keju, atau sekadar salad sayur bercampur saus thousand island.

"Kau ingin makan apa?" tanya Neysa saat mereka melangkah beriringan memasuki area restoran. Pintu masuk masih jauh di depan sana tetapi aroma kelezatan sudah menguar di udara.

Della mengangkat bahu. "Mungkin semua yang ada di menu dan sanggup ditampung perutku."

Neys terkekeh. "Kau benar-benar 'menggila' rupanya."

"Lebih dari 'menggila'. Ini bisa disebut sebagai balas dendam," sahut Della lantas ikut tertawa.

Sayangnya, tawa itu tidak berlangsung lebih lama. Bersamaan dengan langkahnya yang terhenti. Otomatis membuat Neysa ikut berhenti beberapa langkah di depannya.

Neysa berbalik dan kembali ke samping Della. Tanpa bertanya, ia mengikuti arah tatapan sedu yang membeku di mata sahabatnya.


Ia tidak bisa memercayai apa yang dilihatnya. Bagaimana tidak? Neysa melihat Antonio sedang melingkarkan lengannya di pinggang seorang gadis berambut panjang menuju pintu masuk restoran. Mereka berdua saling melempar tatapan penuh cinta dan tersenyum bahagia.

"Um... sepertinya kita makan di tempat lain saja. Aku baru ingat di sini... banyak nyamuknya. Kita pindah saja, ya?" ucap Neysa salah tingkah.

"Mereka bahagia. Syukurlah," gumam Della lirih. Tatapannya masih tertuju pada satu titik, tidak terpengaruh pengalihan yang diusahakan Neysa. Hingga pasangan itu menghilang ke dalam restoran.

"Jadi, itu perempuan yang bernama─siapa? Seledri?"

"Emery," ralat Della dengan suara tercekat.

"Nah, iya. Itu maksudku. Kemiri." Neysa mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi. "Sekarang bagaimana kalau kita makan kue dulu? Cakewalkers, mau?"

Della menggeleng. Selera makannya berhamburan di atas tanah. "Kita pulang saja."

Bahu Neysa merosot lemas. Ia menyimpan kembali ponselnya lalu merengkuh sahabatnya dalam keheningan.

"Boleh, ya, aku menginap di rumahmu? Aku takut sendirian. Kau tahu, kan, mungkin saja ada hantu muncul─"

Neysa mengangguk kuat-kuat di lekukan leher Della. Tidak perlu lagi ia mendengar suara memelas dari alasan palsu yang diucapkan sahabatnya yang kembali patah hati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar