Rabu, 06 Juli 2016

Unlock Your Heart XII: Question (1)



"Sebelum ini, aku tidak pernah minum kola dengan ukuran gelas sebesar itu. Apalagi ditambah es krim," gerutu Antonio kala teringat makan siang yang tadi ia habiskan bersama Della. "Itu sama saja dengan makan 100 sendok gula."

"Makanan manis adalah yang terbaik untuk dikonsumsi setelah melompat sambil berteriak seperti tadi."

Antonio melirik sinis pada nada bicara Della yang terdengar menyindir. "Belum lagi hamburger yang seperti daging artifisial─"

"Aku yakin mereka menggunakan daging sapi asli," potong Della sambil memasukkan anak kunci ke lubang pintu flatnya.

"Tapi bukan daging segar."

Mereka berdua masuk. Della langsung menekan saklar di dekat pintu dan penerangan langsung membanjiri seluruh ruangan.

"Untuk itulah, kita mengelilingi supermarket. Supaya makanan yang terus kau komentari itu langsung berubah menjadi energi." Della mengepalkan tangan dan menekuk sikunya, persis gaya binaragawan yang sedang memamerkan ototnya. "Sehingga sixpack di perutmu tidak akan hilang."

Alis Antonio spontan berkerut. "Dari mana kau tahu perutku sixpack atau tidak?"

Della mengulum senyum tersipu. "Dilihat sekilas juga sudah ketahuan."

"Kenapa kau terdengar sangat ahli tentang tubuh laki-laki?" tanya Antonio sambil meletakkan kantung belanjaan ke atas meja dapur.

"Kau mengucapkan itu seolah aku ini perempuan mesum."

Ujung alis dan ujung bibir Antonio kompak terangkat dengan humor. "Memangnya tidak?"

Della tergelak sambil berjalan menuju kabinet tempat ia menyimpan cangkir. "Ya. Sedikit."

Antonio menanggapi dengan tawa kecil yang tertahan di tenggorokannya.

"Mau minum?" tawar Della sambil menoleh dan mendapati Antonio sudah duduk di kursi makan yang menghadap langsung ke arah dapur.

"Seharusnya kau menambahkan 'apa' di akhir kalimat."

Della menyunggingkan senyum angkuh. "Aku yang mengatur hari ini, ingat?"

"Lain kali biar aku yang mengatur kencan kita. Kau benar-benar payah."

Tidak kuasa menahan, Della membiarkan senyum melebar hingga nyaris membelah wajahnya saat mendengar 'lain kali' terucap dari bibir Antonio.

"Apa tidak apa-apa kita makan malam di sini?"

"Memang kenapa?" tanya Della sambil meletakkan cangkir ke hadapan Antonio.

"Terima kasih," ucap Antonio seraya mengangguk. "Kalau Neysa datang, dia pasti akan berpikiran macam-macam lagi."

Della terkekeh, sedikit takjub karena Antonio mengingat nama sahabatnya. "Jangan pikirkan Neysa. Aku sudah mengirim pesan agar dia tidak kemari hari ini," ujarnya sambil kembali ke dapur.

Antonio menganggut-anggut sambil mengangkat cangkir. Baru sedikit ia menyesap minumannya, raut wajahnya langsung mengernyit bingung. Ia menjauhkan cangkir dari wajahnya demi bisa memandangi cairan pekat yang tertampung di sana. Seketika itu, ia menyadari bahwa itu bukan kopi melainkan kola.

Dengan ekspresi jengkel, Antonio mendongak protes kepada Della. Jangankan merasa bersalah, gadis itu malah tersenyum usil sambil mengangkat kotak dingin yang masih terisi setengah. "Mau tambah es krim?"
***

"Boleh aku tahu, apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?"

Della mengerling sambil tersenyum malu-malu. "Karena kau tampan dan seksi."

Bibir Antonio sedikit terbuka dan tersenyum heran. Jawaban yang tidak ia sangka. Biasanya, orang tidak akan terang-terangan untuk menyatakan ketertarikan fisik. Mereka akan bersembunyi di balik kata 'baik hati'. Baru kali ini ia menerima jawaban selugas ini.

"Tapi ketampanan dan keseksian ini akan memudar ketika aku menua."

"Tidak akan terjadi."

"Memangnya kau pernah lihat ada pria tua yang tetap tampan?"

"Pernah," jawab Della cepat dan yakin. "Seperti Pak Alex─atasanku saat masih di Divisi Perencanaan."

Tiba-tiba, tawa Antonio meledak hingga seluruh isi flat Della bergetar. "Ternyata seleramu yang seperti itu, ya."

Della yang masih terpana, semakin bertambah heran. "Memang kenapa? Bukan berarti aku menyukai pria berumur yang sudah punya istri. Hanya sebagai gambaran masa depan saja."

"Kau ini selalu penuh kejutan, ya."

"Apa maksudnya?"

Alih-alih menjelaskan, Antonio malah menggerakkan tangannya pada frittata yang sudah tersaji di atas piring. Ia berniat membantu Della memindahkan piring ke meja makan sementara gadis itu merampungkan racikan pastanya.

"Biar aku saja," ujar Antonio sambil menyentuh tepian piring. Bersamaan dengan itu, tangan Della sudah lebih dahulu mendarat di bagian yang sama.

Bukannya menarik tangan sambil tersipu, Della malah menumpangkan tangannya yang lain di atas tangan Antonio, sehingga tangan lelaki itu terperangkap dalam sentuhannya.

"Kau pintar sekali memanfaatkan kesempatan," ujar Antonio sambil menatap Della dengan jenaka.

Della mengunci tatapan abu-abu milik Antonio. "Kata orang, kesempatan bagus tidak datang dua kali."

"Dan sekarang kau mau bermain staring contest denganku?"

"He-em.".

"Kalau aku menang, kau harus bebaskan tanganku."

"Kalau aku yang menang... boleh aku minta first kiss-ku sekarang?"

Antonio mengumpulkan tawanya yang tertahan hingga menjelma embusan napas panjang.

Jarak mereka yang hanya terpaut beberapa senti, membuat Della bisa merasakan tiupan napas Antonio mengenai wajahnya. Tanpa bisa ditahan lagi, kelopak matanya mengepak satu kali. Della langsung mengerang kesal, sementara Antonio terkekeh bangga karena menang.

Della menarik kedua tangannya ke sisi tubuh lalu menyengir seperti kuda. "Boleh tanding ulang?"

Belum sempat Antonio menjawab, tahu-tahu bel flat Della berbunyi. Ia berdecak sebal. "Biar saja. Itu bunyi bel tetangga."

Tetapi bunyi itu kembali terdengar. Kali ini, dengan ritme menyebalkan dan terdengar tidak sabar.

Antonio melipat tangan di depan dada seraya tersenyum maklum. "Sebaiknya kau temui dulu. Siapa tahu itu tamu penting."

Della berbalik menuju pintu dengan langkah-langkah gusar. Sebelum meraih gagang pintu, ia mengintip dahulu lewat lensa cembung di lubang yang terletak setinggi keningnya. Wajah bulat Neysa tampak di sana. Alisnya bertaut, bibirnya mengerucut.

"Mau apa?" tanya Della setelah menarik daun pintu dengan kasar. Ia hanya membuka celah selebar kepalanya.

"Mau mencegahmu berbuat mesum!"

Della mendelik. "Tutup mulutmu! Dasar Beruang Kutub!"

"Buka pintunya, hei, Gorila Hutan!" Neysa mendorong pintu yang ditahan Della dari dalam.

"Pulang sana!"

Mata Neysa menyipit curiga. "Ada siapa di dalam?"

"Tidak ada siapa-siapa. Aku sendirian."

"Bohong!" tuduh Neysa. "Kau bersikap aneh hari ini. Membatalkan jadwal joging kita, bahkan melarangku datang ke sini."

"Lalu kenapa kau datang padahal sudah kularang?"

"Untuk memastikan kau tidak berbuat sesuatu yang memalukan," tukas Neysa sambil mendorong daun pintu.

"Besok saja kau datang lagi!" desis Della dengan sekuat tenaga menahan pintu

Walaupun secara fisik Della lebih kurus ketimbang Neysa, tetapi tenaga gadis itu jauh lebih kuat dibanding sahabatnya. Otot-otot lengannya yang mengeras nyaris berhasil menutup pintu untuk membiarkan Neysa tetap di luar.

"Siapa yang datang?"

Tidak menyangka akan mendengar suara itu di dekat telinganya, pertahanan Della mengendur. Neysa berhasil mendorong pintu hingga menjeblak terbuka. Sementara Della terdorong ke belakang. Beruntung, Antonio dengan sigap menyambut punggung gadis itu yang langsung membentur dada dan perutnya yang kokoh.

Raut bingung dan merasa bersalah di wajah Neysa malah berbalas kerlingan mata Della yang penuh makna. Otaknya yang menangkap kode tersebut membuat kakinya bergegas maju dengan gaya khawatir.

"Astaga, Della! Apa kau baik-baik saja?"

"Aduh," keluh Della sambil menyandarkan kepala pada dada Antonio. "Kepalaku pusing."

"Ya, ampun." Neysa memandang iba pada Della, lalu menampilkan tatapan memohonnya pada Antonio yang juga tampak panik. "Bisa tolong gendong Della ke sofa?"

Antonio mengangguk patuh. Lelaki itu menyusupkan lengannya pada lekukan lutut Della dan menyangga punggung gadis itu dengan tangan satunya. Tanpa diminta, Della langsung melingkarkan tangannya ke bahu Antonio.

Perlahan, Antonio meletakkan tubuh Della ke atas sofa. Gadis itu menyentuh kepala sambil sesekali mengaduh.

"Apa kepalamu sakit sekali?" tanya Antonio dengan raut cemas.

Della menggeleng. "Sekarang sudah lebih baik."

"Syukurlah," desah Antonio tulus. "Sebaiknya, kita makan malam saja lebih dulu. Neysa ikut saja sekalian."

"Wah." Wajah Neysa berbinar senang  "Kebetulan saya tadi buru-buru ke sini jadi belum sempat─"

Sebelum Neysa menyelesaikan kalimatnya, tahu-tahu terdengar suara batuk yang canggung. Della yang sengaja membuat suara itu.

"Maaf, tenggorokanku juga sakit," ucap Della dengan lesu. Tangannya langsung menahan gerakan Antonio yang hendak beranjak untuk mengambilkan air minum.

"Mau kugendong ke ruang makan?"

Della menggeleng. "Nanti saja."

"Hari ini kau masak apa?" tanya Neysa sambil memandang kedua mata Della yang memelotot.

"Fritatta dan pasta." Antonio yang menjawab untuk Della.

"Wah, pantas aromanya enak─"

Della kembali terbatuk-batuk. Kali ini, terlalu keras hingga tenggorokannya terasa perih.

Untung saja, Neysa kembali peka menangkap isyarat dari Della. Ia berdiri dari jongkoknya, kemudian diikuti Antonio.

"Aku baru ingat kalau hari ini Ibuku memasak  makanan favoritku. Jadi, sebaiknya aku cepat pulang."

"Hati-hati di jalan. Nanti kutelepon," ucap Della.

Neysa berjalan kembali menuju pintu yang masih terbuka. Tepat sebelum menarik daun pintu hingga menutup, Neysa memutar kembali tubuhnya menghadap Della. "Jangan lupa pakai pengaman, ya."

Tersentak, Della memelotot sambil melempar bantal sofa ke arah Neysa. Sayangnya, pintu sudah tertutup lebih dahulu sehingga benda lembut itu hanya menubruk permukaan kayu.

"Jangan didengarkan. Dia memang sering berbicara ngawur," ujar Della.

Di luar dugaan, Antonio kembali tergelak. Della ikut tersenyum. Dalam hati ia bertekad agar bisa membuat Antonio tertawa seperti itu lebih sering lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar