Rabu, 13 Juli 2016

Unlock Your Heart XIII: Neglection (2)



 "Sudah buat janji?"

Della merasakan tatapan penuh selidik dari petugas keamanan di hadapannya. Bukan salah pria itu. Dengan hoodie kebesaran dan tudung yang menutupi kepalanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Apalagi jika ia mengunjungi rumah yang lebih cocok disebut istana ini.

"Belum."

"Ada keperluan apa dengan Pak Antonio?"

Della mengangkat kantong kertas yang ia bawa. "Cuma mau mengembalikan barang."

Waspada, pria berusia setengah abad itu mengulurkan tangan. "Biar saya periksa dulu."

Tepat saat itu, seberkas sinar panjang menyoroti mereka dari arah belakang. Della menoleh dan mendapati sebuah mobil berhenti di depan gerbang.  Sedan bergaya elegan yang biasa dikendarai Antonio. Satpam di hadapannya bergegas masuk ke pos jaganya. Perlahan, gerbang tinggi itu bergerak membuka.

Mobil itu tidak bergerak maju. Pintu bagian pengemudi justru terbuka. Seseorang turun dari kendaraan mewah itu.

"Della?"

Bukan Antonio, melainkan Allenia.

"Oh. Hai, Nina," sahut Della sambil mengangkat tangannya setinggi dada. Setengah malas, setengah kecewa.

Ini sudah malam. Namun penampilan Allenia sama seperti yang biasa Della lihat dikantor. Setelan mewah, rambut digelung rapi, dan parfum beraroma stroberi berpadu vanili. Yang tidak biasa hanya kedua mata yang berbinar khawatir.

"Apa kau sakit sampai tidak masuk hari ini?"

Jantung Della berdebar kuat di dalam rongga dadanya. Ia mengangkat tatapannya dari ujung Stevany yang dikenakan Allenia. "Apa kau pulang bersama Antonio?"

Allenia melirik mobil di belakangnya. "Tidak. Aku sendiri. Kakakku sudah pulang lebih dulu menggunakan mobil lamanya."

Napas Della berembus berat. "Bisa tolong suruh dia keluar? Aku perlu bicara."

"Dia tidak pulang ke rumah."

Kelopak mata Della mengerjap tidak mengerti.

"Kemarin Kakakku pulang larut malam. Waktu kutanya, dia bilang baru saja dari apartemen bersama Nadira."

Ekspresi Della membeku. Begitu mudah Antonio mengajak gadis itu ke apartemennya. Tempat yang tidak sanggup Antonio datangi. Bahkan bersama Della. Karena tempat itu penuh dengan kenangan bersama Nadira.

Allenia menggigit bibir. "Apa 'Nadira' itu bukan kau?"

Della tersenyum miris, lantas menggeleng. "Lebih baik aku ke apartemennya sekarang."

"Biar aku antar."

Lagi, Della menggeleng. "Taksiku menunggu."
***

Di depan pintu lobi apartemen itu, keberanian Della menyusut.

Ia sedikit menyesal sudah menolak tawaran Allenia. Ternyata merenung sendiri di kursi penumpang sama sekali tidak menjernihkan pikirannya. Berbagai spekulasi yang mampir justru mengecilkan nyalinya.

Gelisah, ia meremas udara kuat-kuat. Namun Della malah merasakan tubuhnya gemetar. Entah karena kekhawatiran pada probabilitas Antonio akan mengusirnya atau semata karena lapar.

Benar juga. Della menyentuh perutnya yang terasa kosong. Kapan kali terakhir ia makan?

Della bersandar pada dinding marmer yang dingin. Ia memainkan ponsel untuk mengumpulkan keberanian saat tiba-tiba sesuatu mengirimkan solusi ke benaknya.
***

Pengecut.

Della memaki dirinya sendiri. Tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan tindakannya kali ini.

Alih-alih mendatangi langsung apartemen Antonio, Della malah menghubungi nomor kurir yang menyerempetnya tempo hari. Meskipun risikonya, Della tidak bisa menuntut penjelasan langsung dari lelaki itu.

Della ingin mendengar Antonio mengatakan langsung di hadapannya. Bahwa lelaki itu tidak mencintainya. Bahwa Antonio kini bahagia bersama Nadira-nya. Bahwa sebaiknya Della menyingkir dari pandangannya.

Namun ia terlalu takut mendengar suara seksi Antonio mengucapkan hal menyakitkan seperti itu. Terutama jika teringat Antonio yang mengabaikannya pada hari di mana mereka bertemu dengan 'Nadira'.

Nyeri di hati Della menggelinding secepat bola salju yang menuruni bukit. Semakin lama, semakin banyak duri yang berkumpul pada gumpalan itu. Menyiksanya dari dalam.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Serta merta membuat Della menegakkan punggung dari tiang lampu tempat ia bersandar. Sinar terang di pelataran parkir itu menyorot ke bawah. Tepat pada Della dan vespa berwarna french rose milik gadis bernama Ruri itu.

"Bagaimana?" tanya Della ambigu. Ia membiarkan rasa penarasan terlalu mendorongnya.

"Sudah saya antar, Kak," jawab Ruri sambil mengangkat kedua ibu jarinya.

"Siapa yang menerima?"

"Seorang perempuan berambut panjang."

Della merasa oksigen di sekitarnya menipis. "Bukan laki-laki bermata abu-abu?"

Ruri mengerjap. Ia memastikan bahwa daya penglihatannya masih berfungsi normal. Tidak mungkin ia keliru membedakan sosok perempuan dan laki-laki. Detik berikutnya, gadis itu menggeleng hingga helm catok di kepalanya ikut bergoyang─yang mulai longgar akibat busanya menipis. "Dia tadi juga menyebut namanya."

"Siapa?"

"Emery."

Emery. Napas Della berembus berat. Berusaha ikhlas. "Sekarang antar aku pulang, ya."

"Eh, maaf, Kak." Ruri menyengir maaf. "Sesuai yang tertulis di kartu nama, saya tidak menerima pengantaran makhluk hidup."

"Aku bukan makhluk hidup," ucap Della dingin. "Manusia tidak bisa hidup dengan hati yang hancur."

Della tidak tahu, seseorang yang pernah menghancurkan hatinya sedang menunggu di depan pintu flatnya.
***

"Kau tidak pesan apa-apa?" tanya pria yang duduk di hadapan Della setelah menyesap kopi.

Della hanya menggeleng.

"Papa dengar, kau bekerja di Alva Nation Development. Apa posisimu di sana? Pasti gaji bulananmu sangat besar, ya."

Senyum tipis membayang di bibir Della. Ia tidak menyangka justru kalimat itu yang muncul di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. Pasti ada alasan khusus mengapa jumlah pendapatan Della jauh lebih penting daripada keadaannya.

"Jadi, ada apa?"

"Papa tidak menyangka kau masih bisa mengenali Papa setelah sekian lama kita terpisah." Kedua mata pria itu berbinar-binar. "Padahal sudah lebih dari dua puluh tahun, ya."

"Ada apa?" ulang Della, mengabaikan basa-basi ayahnya.

Binar di mata ayahnnya meredup. "Sifatmu persis Mamamu. Tidak sabar."

"Mama tirimu─" Ayahnya melirik ragu pada Della sebelum melanjutkan ucapannya yang terputus. "Dia menikah dengan Papa, jadi dia juga Mamamu."

Della berdecak.

"Dia pergi." Ayahnya mengusap wajah dengan kasar. "Dia meninggalkan Papa."

Detik-detik bergulir dalam keheningan yang terasa panjang. Setidaknya, bagi Della.

Della mengigit ujung lidahnya yang terasa gatal. "Apa Anda mencintai dia?"

"Sangat." Ayahnya menunduk dalam. "Papa rela meninggalkan kalian demi dia."

Della tersenyum. Getir. "Sekarang apa yang Anda rasakan? Sedih?"

Pria itu terdiam. Lama. Seolah pertanyaan yang diajukan Della berasal dari kertas ujian.

"Lebih dari itu," jawab ayahnya pada akhirnya. "Papa merasa kacau. Apalagi saat ini, usaha Papa sedang menurun karena ditipu karyawan. Dan Mama tirimu ternyata memiliki utang besar atas nama Papa."

Kepala Della menganggut-anggut, paham ke mana arah pembicaraan ini. Ia mengangkat tangan hingga waitress berseragam nuansa pelangi menghampirinya. Bukan kopi atau teh yang ia minta, melainkan kertas dan pulpen.

Kebingungan merambati wajah ayahnya. Bahkan ketika Della meletakkan alat tulis itu ke hadapannya.

"Tulis nomor dan rekening Anda di sini," pinta Della.

Ayahnya menurut.

"Berapa yang Anda butuhkan?" tanya Della sambil menyimpan kertas itu ke dalam saku celananya.

"300... eh, 100 juta saja cukup," ujar ayahnya. "Dan cobalah untuk memanggilku 'papa'. Kita bisa memperbaiki semua dari awal."

Lagi-lagi, Della membuang napas panjang. Ia bangkit dari duduknya. Ayahnya mengikuti gerakan itu.

"Kau mau ke mana?" Ayahnya mencengkeram pergelangan tangan Della.

"Minggu depan pengacara yang akan mengurus ini semua."

"Pengacara?" Ayahnya mendelik. Terkejut. Genggamannya di tangan Della mengetat. "Kau mau menuntut Papa kandungmu sendiri?"

Della menggeleng. Ia menarik tangannya dari cengkeraman telapak tangan yang terasa kasar itu. "Papa harus menandatangani surat perjanjian."

"Kau tidak percaya pada Papamu sendiri? Papa pasti kembalikan uangmu."

"Anda boleh ambil uangnya, tapi tolong jangan temui saya lagi," ucap Della, dingin.

Lemas, kedua tangan ayahnya terkulai di sisi tubuh.

"Permisi."

Della baru akan melangkah saat tiba-tiba ia mendengar gumaman ayahnya.

"Mamamu membesarkanmu dengan buruk. Tidak menyesal aku meninggalkan kalian─"

"Tolong berhenti bicara buruk tentang ibu saya kalau Anda masih butuh uangnya."

"Memang benar, kan? Mamamu ridak mengajarimu cara menghormati papa."

"Anda sendiri apa pernah hadir sebagai ayah dalam hidup saya?" Della menatap turun pada pria itu. "Selama hidup saya, Anda tidak pernah ada. Dan akan begitu untuk seterusnya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar