Rabu, 27 Juli 2016

Unlock Your Heart XV: Rejection (1)



"Kau tampak cantik dengan gaya rambut baru," puji Niken sambil menyambut kedatangan Della. Mereka saling mempertemukan pipi masing-masing sebelum Della berganti menjabat tangan Reza sebagai bentuk ucapan selamat.

Della tidak datang sendiri, tentu saja. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan. Ada Neysa yang bersedia menemaninya.

Bukan bunga atau pita yang mendominasi dekorasi pernikahan Niken dan Reza, melainkan foto. Kentara sekali pasangan itu sangat menghargai kenangan yang mereka miliki. Semua itu tercetak dalam lembar-lembar yang disusun layaknya tirai. Foto-foto lain yang lebih terkonsep dipajang dalam pigura-pigura di atas meja.

"Omong-omong, apa kau bergurau saat berkata kalau berpacaran dengan Pak Antonio?"

"Ha?" Della enggan menjawab topik itu.

"Waktu kita ketemu di Cakewalkers." Niken berusaha mengingatkan, keliru menangkap kebingungan Della.

"Kami sudah berakhir," ucap Della dingin.

Glabela Niken berkerut. "Secepat itu?"

Della tidak menjawab.

"Kau tahu tidak? Tadi Pak Antonio datang ke sini. Aku sampai terkejut."

Sepasang netra Della melebar. Ia bahkan masih bisa melihat keterkejutan itu tersisa di wajah Niken.

"Yang lebih mengejutkan lagi, gadis yang datang bersamanya sangat mirip dengan mantan tunangannya."

Della mengerjap. Benar-benar tidak ada celah baginya untuk memenangkan hati lelaki itu.
***

"Kenapa lewat jalan yang susah kalau ada yang mudah?" tanya Miguel sambil berusaha menyejajarkan langkah dengan Della.

"Yang mudah tidak selalu menyenangkan."

"Pemerintah sudah berbaik hati mengelola tempat ini agar mudah dilewati wisatawan. Di sebelah sana, ada tangga-tangga dengan pemandangan alam yang indah. Lebih romantis daripada jalanan terjal di sini."

"Kalau begitu, kau saja yang lewat jalur itu─" Tahu-tahu, Della menahan gerak kakinya demi tersenyum langsung kepada Miguel. Bukan senyum manis, tentu saja. Melainkan senyum ejekan saat ia menyelesaikan kalimatnya. "─Princess Miguelita."

"Ah, sial. Aku benci nama itu."

"Aku bisa memanggilmu begitu selamanya."

"Omong-omong, aku suka gaya rambutmu yang baru." Miguel mengalihkan topik.

"Kau sudah mengatakannya tadi."

"Benarkah? Itu pasti karena aku benar-benar menyukainya."

Tidak ada lagi yang bersuara setelah itu. Della dan Miguel sama-sama menikmati pemandangan di sekeliling mereka. Pohon-pohon pinus yang menjulang. Wangi embun yang membelai indra penciuman. Angin lembut yang berembus tenang. Sesekali mereka harus tetap memerhatikan langkah agar tidak tersandung batu atau pun sulur akar pohon.

Dari kejauhan, mulai terdengar gemercak air yang memanjakan telinga. Lebih indah daripada musik klasik mana pun. Kedua kaki Della semakin bersemangat saat mereka bergerak menanjak.

"Aku tidak menyangka kau mau menyanggupi ajakanku yang mendadak," ucap Della ketika tanah yang ia pijak mulai landai.

"Tidak ada kucing yang menolak kalau disodori ikan." Miguel mengerling pada Della yang cemberut. "Apalagi kalau ikannya secantik putri duyung."

Della hanya mendengkus. Sama sekali mengabaikan gombalan Miguel. Ia terus berjalan sambil mengusap keringat di keningnya dengan punggung tangan. Lalu tiba-tiba, entah bagaimana, langkahnya terselip hingga apa yang dipijaknya mendadak longsor. Beruntung, tubuhnya tertahan sesuatu hingga tidak terperosok bebas.

Della mengatur napas yang sempat tertahan akibat syok. Untuk beberapa detik, lututnya terasa lemas seperti terbuat dari kapas. Ia menatap ngeri pada semak-semak yang mungkin menyembunyikan baruh di baliknya.

"Kau tidak apa-apa?"

Suara Miguel memulihkan kesadaran Della. Detik yang sama, ia mendapati tangan lelaki itu melingkar di pinggangnya.

"Terima kasih," ucap Della sambil melepaskan diri.

"Sampai detik ini, aku masih berharap kalau ajakanmu hari ini tercipta karena kau berniat membuka kesempatan untuk kita berdua."

"Jangan mimpi." Della mengibaskan tangan di depan wajah Miguel dan kembali berjalan ke tujuan mereka. "Menerima kembali lelaki yang sudah menolakku itu sama saja dengan mengunyah kembali permen karet bekas yang sudah jatuh ke lumpur."

Miguel meringis keki di samping Della. "Analogi yang buruk. Aku tidak suka disamakan dengan permen karet bekas."

"Begitu juga denganku. Aku tidak suka disamakan dengan ikan." Della melirik sinis. "Dan kukira kau cukup cerdas untuk tidak menyamakan dirimu dengan kucing yang tidak berakal."

"Lalu kenapa kau tiba-tiba meneleponku tadi pagi?"

"Untuk berjaga-jaga."

"Dari apa?"

"Dari diriku sendiri." Della mengangkat pundak. "Ada begitu banyak tebing curam di sini. Aku hanya ingin memastikan aku bisa pulang dalam keadaan hidup."

"Hei, hei. Kau tidak mungkin seputusasa itu hanya karena Nino, kan?"

Della kembali menghentikan langkah dan tersenyum muram. "Jadi, berita itu sudah diketahui semua orang, ya?"

"Ya." Miguel mengangguk dengan tidak enak hati. "Dia mengenalkan 'Nadira' pada keluargaku."

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Della setelah itu. Gadis itu hanya terus berjalan seolah suara air sudah menghipnotisnya. Begitu tiba di hadapan air terjun, ia langsung berseru senang. Tidak peduli pada beberapa pasang mata yang menatap heran padanya. Mereka yang sampai ke sini tanpa tetesan keringat, tidak akan memahami perasaan seperti baru saja menjadi juara lomba memasak setelah bersaing dengan koki-koki kelas dunia.

Ia berharap, semakin lebar senyumnya, semakin menipis lapisan kesedihan yang menumpuk karena Antonio.
***

Della memanggul kembali ransel yang tadi ia letakkan di atas batu besar yang kering. Ia menyempatkan diri untuk berterimakasih pada Miguel yang berbaik hati menjaga tas itu untuknya sementara ia asyik bermain air.

"Kau tidak berfoto?"

Della menggeleng. "Aku tidak membawa ponsel atau pun kamera."

"Kau bisa pakai ini," ujar Miguel sambil menawarkan ponselnya.

Sekali lagi, Della menggeleng. "Aku tidak bermaksud mengabadikan momen apa pun hari ini.

"Oke." Miguel menyimpan kembali telepon genggamnya. "Setelah ini, kita mau ke mana?"

Tanpa suara, Della hanya mengarahkan telunjuknya ke bagian atas air terjun.

Kedua mata Miguel yang terarah pada ujung jari Della langsung melebar. "Kau sungguh berniat naik sampai puncak?"

Della tersenyum dan menganggut-anggut.

"Apa kau gila? Air terjun ini punya tujuh tingkat."

"Kau bukan yang pertama mengatakan itu, Princess Miguelita," gerutu Della. "Ayo, jalan."

"Memangnya kau tidak bekerja besok?"

"Aku sudah mengundurkan diri," jawab Della ringan.

"Apa? Ya, Tuhan. Kau benar-benar sudah gila!"

"Itu keputusan terbaik yang bisa kupilih saat ini." Della menggenggam erat tali ransel yang menggantung di kedua bahunya. "Untuk itu, hari ini aku ingin melepaskan semua perasaan. Supaya besok aku bisa memulai hidupku kembali."

"Kau bisa mengajak aku menjadi bagian dari hidup barumu," ucap Miguel sambil tersenyum miring. "Obat terbaik untuk patah hati adalah menemukan cinta yang baru."

"Terima kasih atas tawarannya. Tapi aku sedang tidak ingin mencintai siapa pun selain diriku sendiri."

"Kau ini kejam sekali," ujar Miguel dengan gaya merajuk. "Aku menolakmu satu kali dan kau menolakku tiga kali. Kurasa itu keterlaluan. Aku bukan pewaris perusahaan. Tapi setidaknya aku sukses, tampan, dan seksi. Di mana lagi kau bisa menemukan lelaki sepertiku?"

Lagi-lagi, Della hanya menjawab dengan senyum. Mungkin kunci yang pernah menutup rapat hati Antonio, kini juga mengunci hatinya.
***

"Apa kau yakin?" Miguel mengalihkan tatapannya dari kertas menuju wajah Della. "Ini jumlah yang banyak. Apalagi saat ini kau sedang tidak bekerja."

Delle mengangguk sambil mengencangkan tali sepatu. "Aku kasihan padanya. Tapi aku tidak mau dia datang menemuiku lagi. Jadi, kurasa ini harga yang pantas untuk itu."

Miguel termenung sejenak di atas batu besar yang didudukinya sebelum kemudian mengangguk setuju. "Baiklah. Aku akan mengurus semua ini. Akan kupastikan ayahmu tidak akan melanggar perjanjian."

Senyum lega terbit di wajah Della yang berlumur keringat. "Kau yang terbaik, Miguel. Terima kasih. Akan kutransfer biayanya."

"Tidak perlu."

"Santai saja. Tabunganku masih cukup untuk membayarmu."

"Aku tidak menerima uang untuk ini."

Della menaikkan satu alisnya.

"Bagaimana dengan makan malam?"
***

Angin pantai membelai helai rambut panjangnya. Membuat ujung gaunnya berkibar-kibar. Langkahnya sesekali terbenam dalam pasir saat ia menghampiri seorang lelaki.

Pandangan lelaki itu terlempar jauh hingga batas horizon. Kedua tangan tersimpan dalam saku celana selututnya.

"Nino."

Lelaki itu menoleh dan tersenyum. Suara yang berpadu merdu dengan angin.

"Semua sudah selesai?"

Antonio mengangguk. "Terima kasih sudah membukakan hatiku yang terkunci, Emery."

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar