Rabu, 20 Juli 2016
Unlock Your Heart XIV: Dejection (1)
Della tidak biasanya seperti ini. Bahkan ia sampai tidak lagi mengenali dirinya sendiri.
Sosok berpenampilan rapi dan terawat yang biasa membalas tatapannya di cermin, kini lenyap. Seseorang dengan rambut kusut yang diikat asal, wajah pucat, dan hidung merah yang sesekali meneteskan ingus menggantikan sosok itu. Ia juga belum mandi selama lima hari terakhir, sehingga wujudnya semakin menyedihkan.
Dan Della tidak peduli. Sungguh-sungguh tidak peduli. Entah influenza atau makhluk luar angkasa yang menyerangnya, tidak ada bedanya.
Keadaan tempat tinggalnya juga tidak jauh berbeda dari penampilannya. Flat yang biasa dalam keadaan bersih dan wangi itu kini telah tiada. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari televisi yang menyala tanpa suara. Meja dan lantainya dipenuhi kemasan makanan cepat saji, kotak piza, dan botol-botol soda.
Setelah menutup pintu kamar mandi, ia kembali menuju sofa yang menjadi singgasananya. Ia tidur dan makan di atas sofa panjang itu. Dan hanya pergi untuk buang air atau mengambil makanan yang diantarkan kurir.
Tidak ada lagi wangi bebungaan yang menyembur dari pengharum ruangan. Yang tersisa hanya bau keju busuk dan nasi basi. Bukan masalah besar bagi Della karena hidungnya tersumbat. Ia seharusnya bersyukur karena masih bisa bernapas.
Sepasang netra Della menatap kosong pada film bergenre komedi di televisi. Humor yang biasa membuat ia tertawa, kini terasa hambar. Bibirnya bahkan sedikit pun tidak terangkat naik.
Ini bukan patah hatinya yang pertama. Berkali-kali ia menerima harapan palsu dan perasaan yang tidak berbalas. Ternyata semua pengalaman patah hati itu tidak membantunya untuk melewati saat-saat seperti ini.
Della kembali merebahkan diri di atas sofa. Memang tidak semewah sofa suite saat ia menginap di Bali. Tetapi ini sudah menjadi tempat ternyaman untuk ia beristirahat.
Tangan Della hendak menarik selimut untuk melingkupi dirinya saat tiba-tiba terdengar bunyi gedoran di pintu flatnya.
Ia memutuskan untuk mengabaikan gedoran itu lalu bergelung di dalam selimut.
Gedoran itu terdengar lagi. Kali ini, lebih keras.
Dan lagi. Diikuti teriakan khas yang sudah sangat dikenalnya.
"Della! Buka pintunya! Aku tahu kau di dalam!"
Itu Neysa, tentu saja.
"Della, kau mendengarku?"
Alih-alih menyambut tamunya, Della malah menarik bantal yang menyangga kepalanya untuk menutupi telinganya yang berdenging.
"Kalau kau tidak mau membukanya, aku akan mendobrak pintu ini!" rengek Neysa dibumbui sedikit ancaman. "Kau tahu, aku tidak main-main!"
Susah payah, Della membawa tubuhnya bangkit kembali dari sofa. Ia menyeret langkah gontainya di atas lantai yang seolah dipenuhi duri. Semoga saja para tetangga flatnya sudah berangkat ke kantor masing-masing sehingga tidak perlu muncul rumor bahwa salah seorang penghuni di sini memiliki utang ratusan juta.
Della membuka pintu sambil memaksakan senyum malas. Sekilas, ia memerhatikan penampilan Neysa yang mengenakan kemeja putih, rok span hitam selutut, dan sepasang sepatu hak tinggi berwarna hitam. Tas tangan hijau keberuntungannya tersampir di lengannya.
"Astaga!" Hanya pekikan ngeri yang keluar dari bibir Neysa. "Apa yang terjadi padamu?"
Della tidak menjawab. Ia tidak memiliki energi untuk itu. Tanpa berusaha menunggu Neysa masuk, ia membiarkan pintu terbuka dan berbalik kembali pada sofanya.
Seluruh wajahnya terbenam di bantal, tetapi Della masih bisa mendengar langkah kaki Neysa memasuki flatnya. Ia bisa membayangkan ekspresi prihatin di wajah sahabatnya saat melihat semua ini.
"Della?" panggil Neysa dengan kekhawatiran yang menyelimuti suaranya. Della bisa merasakan sofa yang terpisit saat Neysa duduk di sampingnya. Setelah beberapa detik tidak mendapat tanggapan, suaranya kembali meninggi. "Astaga, Della! Kenapa kau tidak menghubungiku dan menceritakan apa yang terjadi? Apa kau sudah tidak menganggapku sebagai sahabat?"
Mendengar nada frustrasi di akhir kalimat Neysa, membuat Della mendongakkan kepalanya yang terasa berat. "Aku hanya sedang flu."
"Itu bukan alasan," ucap Neysa lalu detik berikutnya ia sadar ini bukan saatnya untuk menghakimi. "Jadi, karena itu kau tidak masuk kerja?"
Della menggeleng. "Aku sudah mengundurkan diri."
Neysa menatap seolah Della sudah tidak waras. Tetapi lagi-lagi ia berusaha mengendalikan diri. Tidak ingin mengantarkan badai pada kapal yang nyaris karam. Hal semacam itu bisa dibahas lain kali. Yang terpenting saat ini adalah keadaan sahabatnya.
"Apa yang kau lakukan?" pekik Della saat Neysa bangkit dari duduknya dan langsung menuju jendela yang tertutup kelambu.
"Kuharap kau belum berubah menjadi vampire," jawab Neysa lantas menarik kain penutup itu ke samping.
Spontan, Della langsung menutup matanya dengan tangan.
"Sekarang pergilah mandi air hangat. Yang lama. Sampai semua kesedihanmu mengalir jauh ke selokan," ucap Neysa sambil mengutip botol-botol soda ke dalam kantung plastik yang entah sejak kapan terkepal di dekat kaki meja.
Della bergeming. Ia hanya memandangi Neysa yang sesekali mengernyit karena aroma tidak sedap dari tumpukan kekacauan yang diciptakan Della.
"Kau mau aku menggendongmu ke kamar mandi?" tanya Neysa saat melihat Della masih belum beranjak dari sofa.
Della tertawa kecil dan singkat. Hingga hanya menyisakan senyum miris. Ia bahkan lupa rasanya tertawa.
Sebelum Neysa melemparkan omelan lagi, Della berdiri dan melangkah ke arah kamarnya. Beberapa senti di depan pintu, ia berhenti.
"Neysa," panggilnya tanpa menolehkan kepala tetapi ia tahu sahabatnya mendengar walaupun tidak menjawab. "Terima kasih, ya."
***
Perlahan, kedua kelopak mata Della terbuka. Kepalanya sudah tidak terasa berat walaupun pening masih tersisa. Perasaannya jauh lebih baik sekarang. Ia tidak sedang berbaring di sofa melainkan tempat tidurnya. Selimut yang baru diambil dari lemari menutupi tubuhnya hingga batas leher dan kepalanya disangga bantal empuk.
Della memiringkan tubuhnya lalu bangkit untuk duduk di tepi tempat tidur. Ia meneguk air dari gelas di atas nakas. Ponselnya diletakkan di samping gelas dalam keadaan menyala dan baterai terisi penuh. Sambil berusaha melenyapkan harapan, ia menekan tombol yang membuat layarnya menyala. Angka 19.25 terpampang menunjukkan waktu. Tetapi tetap saja tidak ada notifikasi pesan atau panggilan dari kontak yang ditunggunya.
Senyum sedu muncul di bibir Della. Ia melempar benda pipih itu ke atas tempat tidur. Seharusnya, ia sadar kalau sudah dilupakan.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka penuh kehati-hatian. Perlahan membawa serta sinar lampu dari ruang tengah. Ia mengira akan melihat Neysa. Tetapi yang muncul malah Allenia Alvarez.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Della ketus. Ia sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun yang akan mengingatkannya pada Antonio.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Allenia lembut, mengabaikan sikap Della yang seperti induk kucing baru melahirkan.
"Di mana Neysa?"
"Sudah pulang tadi sore. Katanya, dia mau mempersiapkan diri untuk panggilan interviu besok pagi."
Hening merambat cepat dalam keremangan kamar Della.
"Apa kau sudah lapar? Makan malam sudah siap," ucap Allenia berusaha mengisi kekosongan.
Della tidak menjawab.
"Aku akan menunggumu di ruang makan," pungkas Allenia kemudian meninggalkan kamar dalam keadaan pintu tetap terbuka.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar