Rabu, 29 Juni 2016

Unlock Your Heart XI: Gravitation (2)


Awalnya, Della terfokus pada pengalaman pertamanya menaiki mobil mewah dengan seorang lelaki yang berstatus kekasihnya. Tadi ia bahkan menyesal karena tidak mengelap sol sepatunya dengan tisu basah sebelum memasuki mobil. Ia tidak bisa membiarkan ada debu yang menodai interior mewah dan elegan ini.

Tetapi setelah menyadari sikap Antonio yang kaku, ia mulai bertanya-tanya ke mana mobil ini akan membawa mereka. Lelaki itu duduk tegang di balik kemudi, tampak tidak nyaman. Seolah ada banyak duri yang melapisi jok berwarna abu-abu itu.

Della menekan rasa penasarannya, menunggu Antonio membuka diri terlebih dahulu. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan menerka-nerka berapa harga mobil produksi Tōrus ini. Tetapi itu pertanyaan mudah. Mungkin ia bisa memulai untuk menebak berapa jumlah wajik yang menjadi variasi pola pada bagian tengah jok yang didudukinya.

Tanpa terasa, sudah dua puluh menit berlalu sejak Antonio menghentikan mobilnya di tepi jalan. Berseberangan langsung dengan sebuah gedung apartemen mewah. Yang harga satu unitnya bisa setara sepuluh unit di flat Della.

Lelaki itu masih mencengkeram setir dengan kuat, seolah hendak mencabut benda itu dari tempatnya. Pikiran muramnya menenggelamkan dirinya. Hingga kemudian membenturkan keningnya pada punggung tangannya yang terkepal, lalu mendebas frustrasi.

"Sudah kuduga, aku tidak sanggup." Antonio menggerakkan leher hingga ia bisa menatap Della yang juga tengah memandanginya. "Apa yang harus kulakukan, Della?"

Gadis itu hanya terus menatap matanya, membiarkan Antonio merasakan apa yang seharusnya ia rasakan.

"Di apartemen itu, ada banyak sekali kenangan tentang dia. Kami bahkan berencana tinggal di sana setelah menikah. Tapi itu tidak pernah terwujud."

Perlahan, Della mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu kokoh yang mulai gemetar itu. Ia bisa merasakan dengan jelas beban yang ditanggung lelaki itu sendirian.

"Kenapa orang-orang yang kusayangi harus pergi begitu cepat?" tanya Antonio. "Ibuku dan juga calon istriku. Bahkan aku sampai menjaga jarak dengan adikku, agar dia tidak terkena kutukan yang ada dalam diriku."

Della memajukan tubuhnya lebih dekat, sebisa mungkin merengkuh Antonio ke dalam dekapannya. Ia tidak hanya memeluk dengan lengannya, melainkan juga dengan hatinya. Hingga kehangatan bisa menyentuh luka di jiwa Antonio.

"Aku takut. Kalau aku mencintaimu sepenuh hati, kau juga akan pergi."

Della menggeleng. "Itu tidak akan terjadi. Biar saya yang mematahkan kutukan itu."
***

"Apa kau gila?" desis Antonio melalui sela-sela giginya yang terkatup.

Della memasang senyum lebar lalu berbisik, "Neysa sering berkata bahwa kepanjangan dari nama saya adalah 'definisi dari gilla'."

Saat Antonio mengatakan 'boleh di mana saja', ia membayangkan bioskop, taman bermain, atau makan malam romantis di restoran. Bahkan ketika Della memberi petunjuk kalau tempat kencan mereka akan berkaitan dengan alam, Antonio memikirkan pantai atau kebun apel di mana mereka bisa memetik buah bersama.

Sama sekali ia tidak menduga Della akan membawanya ke tepi tebing curam seperti ini. Sepasang netranya mengedarkan pengamatan pada lanskap di sekelilingnya. Aliran air sewarna pirus membelah tebing di sisi kanan dan kiri seolah bermuara ke langit. Dengan panorama seperti ini, mungkin cocok kalau ia membangun vila atau resort di sebelah─

Antonio merasakan belaian di pipi saat ia hendak menggerakkan kepala.

"Jangan melihat ke bawah," ucap pemilik sentuhan lembut itu.

Keningnya mengernyit pada Della. "Kenapa?"

"Anda akan kehilangan keberanian."

Bibir Antonio menyunggingkan senyum miring. Belum sempat ia melontarkan bantahan, staf yang sejak tadi memasangkan peralatan padanya berseru mantap.

"Yak, selesai!"

Antonio menatap turun pada pergelangan kakinya yang dibalut karet elastis besar. Begitu juga dengan pergelangan kaki Della. Setelah ini mereka akan berbagi tali yang sama.

"Silakan berpelukan," ucap salah seorang staf.

Della yang lebih dahulu membentangkan lengannya. Tidak sedikit pun ada raut tegang di wajah gadis itu. Seolah ini adalah rutinitas sehari-hari.

Antonio menelan ludah. Dalam hati ia mengira-ngira berapa elevasi tebing ini. Apa mungkin lebih tinggi dari lima puluh meter? Bagaimana kalau talinya putus saat mereka melompat? Atau bisa saja─

Dengan perasaan tidak sabar, Della memerangkap Antonio dalam pelukannya. Ia melingkarkan lengan di leher sang Presiden Direktur.

"Peluk pinggang saya," pinta Della.

Antonio mengangguk dan melilit pinggang ramping Della dengan lengannya.

Seharusnya, tadi ia langsung menyeret Della pulang begitu mereka tiba di tempat ini. Tetapi ia tidak mungkin merengek di depan umum seperti ini. Lagi pula, sebagai lelaki ia tidak ingin menarik kata-katanya.

Dalam beberapa hal, gengsi memang lebih mematikan daripada seekor tarantula.

Sekarang sudah sangat terlambat untuk mundur. Yang bisa ia lakukan hanya menghadapi semua ini.

Staf yang tadi memasangkan peralatan untuk Antonio menuntun mereka ke pinggir. Kedua tangan staf itu menempel ke bahu kanan Della dan bahu kiri Antonio. "Setelah hitungan mundur, lompat dengan kepala lebih dulu, ya."

Serempak, Della dan Antonio mengangguk.

"Lima... empat... tiga...."

Refleks, Antonio berteriak sekuat tenaga saat staf itu tiba-tiba mendorong mereka untuk terjun. Padahal hitungan mundur belum selesai.

Antonio merasakan jantungnya ikut melompat dan tertahan di udara. Dengan jelas, Della merasakan debaran Antonio yg memantul-mantul di antara pelukan mereka. Alih-alih merasa prihatin, gadis itu malah terbahak-bahak.

Gravitasi menghantam dan menarik mereka turun. Mereka sudah terjatuh dalam hitungan detik. Ada perasaan ringan yang mengisi rongga-rongga tubuh Antonio. Seolah segala beban menguap tanpa sisa. Ia merasa bebas.

Ternyata ini tidak seburuk yang dibayangkannya.

Mereka terlenting-lenting naik dan turun. Adrenalin mengalir deras dalam darah, membuat tubuh mereka sedikit gemetar. Hingga hanya angin yang menggoyangkan tali ke kanan dan ke kiri. Dengan posisi terbalik, Antonio bisa melihat staf mendekat dengan menaiki perahu berwarna oren.

"Bagaimana perasaan Anda?" tanya Della lalu tertawa kecil.

"Tadi kukira aku akan mati."

"Kematian itu pasti," ucap Della tenang. Seolah kalimat itu tidak bermakna. "Kita menciptakan kenangan agar orang yang sudah pergi bisa terus hidup di dalam hati."

Sampai saat seorang staf menarik mereka turun ke perahu, Antonio masih meresapi kalimat Della.
***

Khusus untuk kencan hari ini, Antonio mengenakan kaus dan celana drawstring. Sesuai permintaan Della. Hanya saja ia tidak menyangka gadis itu akan mengajaknya melakukan olahraga ekstrem seperti ini.

"Bagaimana kencan pertama kita?" tanya Della saat mereka berjalan kembali ke tempat mobil Antonio diparkirkan.

"Cukup mengesankan. Tapi aku tidak mau mengulangi yang seperti itu lagi."

Della tergelak. "Sudah siap untuk destinasi selanjutnya?"

"Kau mau mengajakku ke mana lagi?"

Alih-alih menjawab, Della malah menengadahkan tangan kanannya. "Bolehkah kali ini saya yang menyetir?"

Antonio mempererat genggaman pada kunci mobil dan sepasang netra abu-abunya memicing curiga.

"Saya hanya akan membawa Anda ke tempat makan," ujar Della sambil tertawa-tawa kecil karena memahami prasangka itu. "Apalagi sepertinya Anda masih memerlukan waktu untuk pulih dari shock."

Wajah Antonio yang sedikit pucat dan rambutnya yang masih berantakan, entah mengapa seolah mengundang Della untuk mengulurkan tangan. Sambil sedikit mendongakkan kepala, ia merapikan rambut Antonio. Lalu tangannya membelai turun pada pipi lelaki itu. Kehangatan dari telapak tangan Della menjalar hingga kulit Antonio mendapatkan kembali ronanya.

Dengan tatapan saling terkunci, Antonio menempatkan telapak tangannya di punggung tangan Della yang berdiam di pipinya.

"Tidak perlu," gumam lelaki itu.

Tersentak, Della mengerjap karena merasa baru mendengar penolakan. Tetapi merasakan sentuhan kokoh Antonio yang seakan menahan tangannya untuk tetap di sana, membuat ia dilanda keraguan akan pendengarannya.

"Tidak perlu," ulang Antonio dengan lebih jelas. "Tidak perlu berbicara terlalu formal kalau kita tidak berada di kantor."



Unlock Your Heart XI: Gravitation (1)


Della mengangkat kepala dan menatap langsung pada wajah tampan yang kembali menghiasi mimpi indahnya sepanjang akhir pekan. Ia menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya.

"Dan aku tidak suka menempatkanmu dalam situasi abu-abu. Jadi, biar kuperjelas."

Entah mengapa, Della merasa bibirnya kering. Ia menelan ludah.

"Jangan menyerah tentangku. Untuk itu, aku ingin kita mencoba berada dalam hubungan─"

"Maksudnya, kita pacaran?" sela Della tidak sabar.

Antonio terbatuk satu kali. Secara impulsif, Della menyodorkan segelas air dari atas meja.

"Sekarang aku minta kau atur untuk, hem, kencan pertama kita," lanjut Antonio setelah meneguk cukup air.

Sepasang netra Della berbinar-binar. "Apa ini hak istimewa sebagai kekasih Anda?"

"Ya."

"Kalau Minggu ini, bagaimana?"

"Sepertinya, bisa," jawab Antonio setelah diam selama beberapa detik untuk mengingat jadwal yang ia terima dari Allenia.

"Tempatnya, boleh saya yang memilih?"

"Tentu." Antonio mengangguk mantap. "Boleh di mana saja yang kau suka."

Senyum Della membentang dari telinga kanan ke telinga kirinya. Berbagai macam lokasi dan khayalan romantis berkelebat dalam benaknya.

Angan-angannya terputus saat melihat Antonio menyodorkan sebuah kantung kertas berwarna cokelat. Hari pertama pacaran dan ia sudah mendapat hadiah. Benar-benar beruntung!

"Waktu itu kau pernah bertanya tentang makanan kesukaanku," ucap Antonio saat Della mengintip pemberiannya. "Aku sudah menandai beberapa di sana."

Della menganggut-anggut sambil menghidu bau kertas lama yang menguar dari dalam kantung di pangkuannya. "Terima kasih."

"Kenapa kau masih duduk di situ?"

Alis Della menegak gemas. Lalu ia mulai berlagak memeluk dirinya sendiri sambil mengusap-usap lengannya. "Dingin sekali."

"Dingin?"

"Sikap Anda. Apa selalu seperti ini?" Della bergeser mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arah Antonio. "Tidak ada pelukan kerinduan atau kecupan perpisahan? Supaya saya yakin kalau kita adalah sepasang kekasih."

Antonio menekan ujung telunjuknya ke tengah kening Della. Gerakan gadis itu terhenti dan wajahnya berubah cemberut.

"Aku ada rapat."

"Iya, iya. Saya hanya bercanda, Pak." Della menegakkan tubuhnya kembali kemudian tersenyum jail. "Tidak ada lagi yang mau dibicarakan?"

Antonio menggeleng. "Silakan kembali ke ruanganmu."

Della mengangguk patuh lalu bangkit. Ia menunduk hormat sebelum berjalan ke arah pintu sambil berhitung di dalam hati.

Tiga.

Dua.

Satu.

"Oh, ya, satu lagi."

Yes! Cengiran melebar muncul sekilas di wajah Della, yang langsung berubah menjadi senyum sopan saat ia kembali menghadap Antonio. Jangan sampai terbaca jelas kalau ia sedang membayangkan ada kecupan di keningnya.

"Ya, Pak?"

"Ada syarat yang harus kau patuhi selama menjalin hubungan denganku."

Kedua mata hitam Della melebar.

"Jangan pernah membiarkan dirimu dalam bahaya." Wajah Ibunya dan Nadira terbayang saat ia berkedip. Rahangnya mengatup kencang. "Sekali saja kau terluka, hubungan ini berakhir."

Della langsung mengangguk setuju. Ia tahu betul bahwa Antonio tidak ingin kehilangan lagi. Bisa memahami perasaan itu terasa jauh lebih baik daripada sekadar kecupan.

"Oh, ya, Pak. Saya mau tanya."

Antonio menumpukan sikunya di lengan sofa. "Silakan."

"Boleh tidak sisa makanannya saya bawa pulang?"
***

Hadiah yang diberikan Antonio ternyata sebuah jurnal. Warna kertasnya sudah menguning, seiring dengan waktu yang terus bergerak maju. Potongan-potongan kertas berisi resep makanan dari majalah atau koran tertempel di setiap lembarnya. Ada beberapa coretan revisi yang dibubuhkan di sana, lengkap dengan keterangan mengapa si pemilik buku tidak setuju dengan komposisi atau cara pembuatan disertai petunjuk alternatifnya.

Saat ini, Della sudah berada di flatnya. Ia baru saja selesai makan malam bersama Neysa. Mereka berdua menghabiskan makanan yang dibawa Della dari ruangan Antonio siang tadi. Setelah sahabatnya itu pulang dengan perut kenyang, Della meringkuk di ruang duduk dan langsung terhanyut dalam isi jurnal itu.

Ia mengenakan legging hitam dan kaus santai yang jahitan di kelimnya mulai lepas. Secangkir teh limau menemani kegiatannya.

Della berhenti pada lembar resep kue cokelat. Ada coretan yang menyatakan bahwa teksturnya akan jauh lebih lembut jika dikukus daripada dipanggang. Kemudian lembar berikutnya berisi resep spicy prawn orecchiette. Di situ tertera alternatif untuk mengganti bahan utama dengan daging ikan gurami yang sudah di-fillet dan digoreng tepung karena Nino alergi udang.

Alis Della terangkat. Ibu jarinya mengusap lembut permukaan kertas tepat di bagian yang tertulis 'Nino'. Ini informasi penting bagi dirinya. Beruntung, selama ini ia tidak pernah menghidangkan masakan berbahan dasar udang.

Della melanjutkan ke resep-resep yang lain. Tidak hanya tentang 'Nino', ia juga menemukan catatan tentang 'Nina' yang membenci susu sapi sehingga bahannya harus diganti dengan sari kedelai atau sari almond. Ia terkikik saat teringat wajah Allenia yang mengernyit hanya karena melihat kotak kemasan susu sapi.

Tidak terasa, waktu hampir melewati tengah malam saat Della selesai di halaman terakhir. Air mata menitik di ujung matanya saat ia menguap. Sedikit, ia menyesap teh limaunya yang tersisa setengah sudah tidak lagi hangat.

Setelah menutup jurnal itu, Della membuka kembali halaman pertama setelah kover. Di sana tertulis nama pemilik jurnal itu.

Vanesha Alvarez.

Senyum Della muncul saat memorinya menampilkan sosok wanita itu dari foto yang pernah ia lihat di salah satu sampul majalah. Pemilik senyum teduh nan keibuan.

"Salam kenal, Ibu mertua," gumam Della di antara senyumnya.
***

Della bangun lebih pagi dari biasanya. Tanpa ragu, ia segera beranjak dari tidurnya lalu mandi. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, ia sudah pergi berbelanja bahan masakan.

Pagi itu ia memilih untuk memasak semur daging─salah satu resep yang ditandai oleh Antonio. Dengan sedikit modifikasi, kuah semur menjadi sekental kari india.

Sambil menunggu semur melepaskan uap panas beraroma sedap, Della mencetak nasi merah menjadi bentuk hati lalu meletakkanya ke dalam kotak bento. Kotak yang dibelinya dari toko barang impor Jepang itu memiliki tiga sekat.

Setelah nasi menempati bagian paling luas, Della menyusun beberapa lembar selada sebagai alas. Ia menata telur dadar gulung bercampur irisan wortel, ditambah potongan jamur kancing dan brokoli kukus. Terakhir, ia menyendokkan semur yang sudah tidak panas ke sekat yang masih kosong.

Della sama sekali tidak mengantuk saat akhirnya ia tiba di kantor. Setelah membuat kopi, ia bergegas menuju ruangan Presiden Direktur. Di depan pintu, ia berhenti sejenak untuk mengedipkan kelopak mata kanannya ke arah meja sekretaris. Allenia langsung mengacungkan ibu jari dari balik layar komputer sebagai balasan.

Begitu terdengar suara Antonio yang menyahuti ketukannya, Della melangkah masuk.

"Kopi Anda, Pak."

"Letakkan saja di meja."

Antonio mengembalikan buku yang dipegangnya ke rak lalu mendatangi Della. Ia melihat sebuah kotak bento di samping cangkir kopi yang berada di atas baki.

"Saya juga membuatkan bento. Semoga sesuai selera Anda."

"Kau sudah membaca jurnal ibuku?"

Della mengangguk. "Sepertinya Nyonya Vanesha pintar memasak dan sangat memerhatikan anak-anaknya."

Antonio tersenyum lembut. Ada kenangan yang terpantul di sepasang netra abu-abunya. "Kau benar."

"Saya turut berduka cita atas kepergian beliau."

"Tidak apa-apa." Antonio menyimpan tangannya ke dalam saku celana. "Lagi pula itu sudah lama berlalu."

"Tapi selama apa pun waktu berlalu, saya rasa perasaan sedih karena kehilangan seseorang yang berharga akan tetap sama," ucap Della lalu menjepit lidahnya di antara gigi, gatal karena harus terus berbicara formal walaupun status mereka sudah berubah.

"Begitu, ya?"

Della menggangguk. "Ibu saya pernah bilang kalau saya harus jadi perempuan yang kuat dan tidak mudah menangis. Tapi saat beliau meninggal, saya justru belajar bahwa kesedihan bukan sesuatu yang harus dihindari melainkan dirasakan apa adanya."

Senyum tipis muncul di sudut bibir Antonio. Entah mengapa, ia merasa dimengerti. Bukan hanya mendengar kalimat penghiburan penuh basa-basi.  "Terima kasih, Della."

Seperti wabah, senyum itu menular pada Della. "Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Pak."

Antonio hanya menjawab dengan gerakan kelopak mata dan dagunya. Ia memerhatikan setiap langkah yang diambil Della menjauh darinya. Saat itu seolah sekat yang memisahkan mereka tampak jelas. Barier kokoh itu jelas miliknya, bukan Della. Padahal ia sudah menyatakan bahwa hubungan di antara mereka spesial. Tetapi ia hanya terus bermain aman di balik ketakutannya. Seperti pecundang.

"Hem... Della?"

"Ya, Pak?" jawab Della sambil memutar tubuhnya kembali menghadap Antonio.

"Nanti tunggu aku saat jam pulang. Temani aku ke suatu tempat."
***


Rabu, 22 Juni 2016

Unlock Your Heart X: Illusion (2)


"Tangkapan besar!"

Saat masuk kembali ke flatnya, Della disambut jeritan antusias Neysa. Gadis itu menatapnya seperti anak anjing yang menunggu induknya pulang.

"Sarapanmu sudah selesai?"

"Sudah. Aku juga sudah mencuci piring. Jadi, kau tidak punya alasan untuk menunda ceritamu."

Oh, tidak. Della mengempaskan diri ke sofa yang berada di ruang duduk. Televisi di depan mereka sedang menayangkan berita pagi. "Jadi tidak kita joging?" Della masih berusaha membuat Neysa melupakan rasa penasarannya.

Neysa duduk di samping Della. "Sepertinya kita tunda dulu saja. Kita bisa menonton film atau kau ceritakan saja apa yang terjadi? Telingaku sudah gatal."

Della mendebas lalu menempatkan kepalanya ke sandaran sofa. "Nanti saja, ya. Sekarang aku butuh tidur."

"Oh, oh." Neysa berlagak terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Apa semalam kau harus begadang untuk melakukan sesuatu?"

Mendengar nada mesum dalam kalimat sahabatnya, membuat Della kembali menegakkan posisi duduknya. Kedua matanya memelotot kesal. Tetapi ia tahu itu tidak akan bisa membuat Neysa berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Mau tidak mau, ia harus menunda tidurnya demi bercerita kepada gadis yang penuh rasa ingin tahu itu.

"Sebelum aku bercerita, bisa tidak kau bersihkan dulu isi pikiranmu?"
***

Della hanya bisa menahan napas saat Antonio menyentuh garis wajahnya. Jantungnya berdebar heboh saat pikiran liarnya berlompatan dalam jarak yang semakin menipis. Wangi amber yang maskulin mengusik indra penciumannya.

"Akhirnya, aku sadar kalau aku jatuh cinta padamu," bisik Antonio di telinga Della.

Napas Della berlomba saat suara bariton itu membelai pendengarannya. Sekujur tubuhnya  langsung terasa lemas. Ingin sekali rasanya, ia bersandar dalam pelukan lelaki di hadapannya.

Kemudian Antonio sedikit menjauh hanya demi kembali menghapus jarak di antara mereka. Saat bibir lelaki itu mengecup bibirnya, rasanya seperti yang ia bayangkan selama ini. Ia memang belum pernah berciuman dengan lelaki lain sebelum ini, tetapi ia yakin tidak ada bibir lain yang membuatnya mabuk kepayang seperti milik Antonio. Rasanya lembut dan sedikit ada rasa pahit, sisa dari kopi yang biasa diminum lelaki itu.

Perlahan, ciuman itu semakin menuntut. Della tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menjawab ciuman itu. Tanpa ragu.

Hingga kemudian dering alarm menyentaknya kembali ke dunia nyata.  Kalang kabut, mata Della terbuka. Napasnya memburu dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Ia menjilat bibir dan menelan ludah untuk merasakan sisa mimpinya yang terasa nyata.

Oh, tidak. Della melirik ke arah kemeja dan celana Antonio yang tergantung rapi di depan lemarinya, lengkap dengan plastik pembungkus berlogo penatu kilat. Setelan itu terpajang di sana sepanjang akhir pekan. Mungkin itu yang membuat ia bermimpi seperti tadi. Della membenamkan wajah ke bantal, ingin menyembunyikan rasa malunya. Apalagi wangi tubuh Antonio masih tersisa di seprai dan bantalnya.

Alarm berbunyi kembali, membuat Della berdecak kesal. Ia menyeret paksa dirinya untuk bangkit menuju kamar mandi.
***

Telepon internal kantor berbunyi ketika Della tengah menyatukan kertas dokumen menggunakan stapler. Ia mengangkat gagang dan menjepitnya di antara bahu dan telinga, sementara tangannya terus bekerja menyimpan tumpukan kertas itu ke dalam map.

"Halo?"

"Della, Pak Antonio memintamu ke ruangannya. Sekarang."

Tanpa menunggu jawaban dari Della, Allenia langsung memutus sambungan. Della berdecak. Sifat serupa yang dimiliki Antonio. Like brother, like sister.

Setelah selesai dengan perkerjaannya, Della berpamitan pada Rachel. Wanita itu hanya membalas dengan anggukam singkat.

Della meninggalkan ruang General Manager sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia berusaha menumpas satu per satu spekulasi yang muncul. Sebelum mengetuk daun pintu yang kokoh itu, ia menyempatkan diri mengintip ke mantan kubikel kerjanya. Tidak banyak yang berubah, kecuali Allenia yang kini duduk di balik meja.

"Nina─eh, Allenia, sebenarnya ada apa?" tanya Della setengah berbisik seolah ia sedang membagikan rahasia. "Kenapa tiba-tiba─"

Gelengan kepala Allenia memotong kalimat Della. "Sebaiknya, kau langsung masuk saja."

Kening Della mengernyit pada bibir Allenia yang berusaha keras menyembunyikan senyum. Itu sebuah senyum geli yang terasa janggal.

Belum sempat Della membuka mulut untuk bertanya, Allenia sudah mengepalkan kedua tangan di depan dada dengan gaya bersemangat. Bibirnya yang berpoles lipstik Avrodiz warna mauve berujar tanpa suara. "Good luck."

Kerutan di kening Della semakin dalam. Ia berbalik dengan cepat seraya mengatur napasnya. Setibanya ia di depan pintu ruangan Presiden Direktur, Della mendebas berat lalu mengetuk dengan kode pengantaran kopi.

"Masuk."

Della masuk dan mendapati Antonio sedang berdiri di tepi jendela yang menampilkan pemandangan puncak-puncak gedung yang seolah berlomba ingin menyentuh langit. Hanya dengan melihat sosok lelaki itu dari belakang seperti ini, entah mengapa jantung Della berdebar tidak menentu. Seakan-akan sorotan matahari dari luar menyatu dengan pesona yang memancar dari sosok Antonio hingga menciptakan siluet yang menawan.

Rambutnya yang rapi, pundaknya yang tegap, punggungnya yang kokoh, serta sepasang kakinya yang seksi selalu tampak sempurna asalkan tidak ada impresi yang mengisyaratkan kesepian. Dan Della ingin menjadi pengusir rasa kesepian itu.

"Silakan duduk, Della," ujar Antonio saat berbalik dan berjalan menuju sofa.

Antonio duduk di sofa single di kepala meja. Diikuti Della yang menempati sofa panjang di samping. Seperti saat dahulu ia sering mendampingi Antonio memimpin pertemuan.

"Hari ini, aku ingin mengajakmu makan siang. Tapi karena setelah ini ada rapat yang harus kuhadiri, jadi aku memesan makanan dari luar," jelas Antonio. "Aku tidak tahu kau suka makanan apa, jadi aku pesan ini semua."

Sepasang netra Della mengerjap takjub. Pertama, baru kali ini Antonio mengucapkan kalimat panjang yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kedua, berbagai jenis hidangan yang tersaji di atas meja. Sumber aroma sedap yang tadi langsung menyapa indranya saat membuka pintu. Tetapi karena sosok Antonio yang tampak lebih menarik, ia mengabaikan aroma itu walaupun lambungnya meronta.

Setidaknya ada sepuluh hidangan berbeda yang berada di hadapannya sekarang. Mulai dari tumisan sayur, salmon saus lemon, sate ayam, hingga bulgogi. Della mengamati semua itu dengan tampang lapar.

"Saya rasa ini terlalu banyak untuk dihabiskan berdua," ucap Della sebelum air liurnya membanjiri kantor Antonio.

"Tidak perlu dihabiskan. Makan saja secukupnya," tandas Antonio lantas mengambil piring kosong. Dengan isyarat mata, ia menyuruh Della mengambil piring yang satunya.

Selama beberapa menit, mereka menyantap makanan masing-masing dalam diam. Antonio tampak santai sementara Della kesulitan menelan makanannya. Bukan karena kurang lezat, tetapi selera makannya tiba-tiba menurun drastis akibat benaknya yang kembali menerbangkan balon-balon penuh spekulasi.

Detik demi detik berlalu hingga akhirnya piring mereka kosong. Kontras dengan piring-piring lain yang masih penuh di atas meja.

Della mengusap bibirnya dengan tisu lalu mendahului Antonio buka suara. "Itu... jas Bapak masih ada di penatu," ujar Della beralasan. Itu satu-satunya dugaan terkuat saat ini.

"Aku bukan mau menagih jasku. Masih ada banyak jas lain untuk dipakai."

Kepala Della tertunduk, menyembunyikan senyum malu.

"Aku serius dengan ucapanku waktu itu."


Unlock Your Heart X: Illusion (1)


Della tidak bisa tidur.

Bukan karena tidak nyaman harus berbagi kasur dengan orang lain, melainkan ia tidak bisa berhenti memandangi Antonio lalu tahu-tahu sudah pagi. Otot-otot wajah lelaki itu tampak lebih rileks. Seluruh lelahnya meluruh dan digantikan lelap.

Menghindari terbangun dengan suasana canggung, Della memutuskan untuk memasak sarapan. Ia berharap, Antonio bangun ketika semua sudah matang. Sehingga Della bisa memanfaatkan momen makan bersama untuk memperjelas maksud 'jangan menyerah' yang kemarin diucapkan lelaki itu.

Saat Della sedang menampung air untuk memasak sup, tiba-tiba bel flatnya berdering berkali-kali. Hanya satu orang yang melakukan itu. Maka ia bergegas, setengah berlari, menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung menempatkan telunjuk di depan bibir, mencegah Neysa bersikap heboh.

"Tumben kau cepat membukakan pintu," komentar Neysa setengah berbisik. Wajahnya bertabur tanda tanya. "Omong-omong, kau mau joging pakai celemek?"

Kali ini, Della menekankan telunjuknya ke bibir Neysa. "Bosku sedang tidur di dalam."

"Kau benar-benar gila, ha?" Spontan, Neysa berseru dengan kedua mata terbeliak.

Telapak tangan Della membuka cepat untuk membungkam mulut gadis itu. Ia juga merangkul bahu sahabatnya agar tidak berulah. Setelah mereka berada di dapur, Della baru melepas kekangannya.

"Jadi, kau sudah─" Neysa berbisik begitu mulutnya kembali terbebas. Tatapannya bergerak naik-turun penuh kecurigaan.

Della langsung menekankan ujung telunjuknya di kening Neysa, berusaha menghapus pikiran mesum apa pun yang tumbuh di dalam sana.

"Kau akan mendengar ceritanya nanti." Della kembali pada pisau dan sayurannya yang menunggu. "Sekarang duduklah di sana, sementara aku menyelesaikan urusanku di sini."

Melihat benda tajam di tangan Della, mau tidak mau membuat Neysa mengangguk patuh. Ia duduk di kursi makan dan melipat tangan di atas meja. Matanya menatap kagum pada kemampuan Della memotong, meracik bumbu, dan menyiapkan penyajian.

"Apa ini yang akan kau lakukan setiap pagi kalau sudah menjadi seorang istri?"

Della tidak menjawab pertanyaan iseng Neysa. Gadis itu hanya melepas lirikan tajam yang berhasil membuat sahabatnya itu menutup rapat mulutnya.

Setelah semua menu tersaji, Della melepas dan melipat celemeknya lalu duduk di samping Neysa. Ia hendak memulai cerita saat terdengar bunyi pintu kamarnya dibuka. Serentak, kedua gadis itu menoleh dan mendapati Antonio yang berjalan sedikit limbung. Benang-benang jahit di kausnya seperti memberontak  karena otot yang menonjol. Begitu juga dengan celananya yang tampak sempit. Tetapi tidak sedikit pun mengurangi pesonanya.

"Ah, maaf. Apa kami terlalu berisik?" tanya Della sambil berdiri dari kursi. Sekilas, ia sempat melirik Neysa yang tengah ternganga. Sebentar lagi, air liurnya akan menetes.

"Aku mau pulang."

"Apa tidak sebaiknya Anda sarapan dulu?" Della berangsur mendekat.

Antonio melirik meja makan yang penuh hidangan yang menguarkan aroma lezat. "Aku tidak terbiasa sarapan."

"Kalau begitu, setidaknya minum kopi."

Mendengar kata 'kopi', membuat Antonio mempertimbangkan tawaran Della. Sepertinya secangkir kopi buatan Della bisa membuat ia merasa lebih baik.

"Boleh."

Della tidak bisa menahan senyum lebarnya pada persetujuan itu.

Antonio mengikuti Della kembali ke ruang makan yang berbatasan langsung dengan dapur. Ia menurut saat gadis itu mempersilakannya duduk di salah satu kursi.

"Oh, ya, perkenalkan. Ini sahabat saya. Neysa," ucap Della setelah menghidangkan secangkir kopi untuk Antonio.

Neysa menelan ludah sebelum mengulurkan tangan. Saat Antonio menjabat tangannya, gadis itu menyebut namanya dengan suara serak.

"Antonio," balas lelaki itu singkat. Kemudian ia menarik kembali tangannya untuk menggenggam tangkai cangkir. Ia menikmati setiap tetes kopi hingga merasakan seluruh sel di tubuhnya tersadar.

"Della, aku ingin makan sup buatanmu." Tahu-tahu Neysa bersuara. Intonasinya sangat jelas, seolah ia tengah berbicara dengan anak berusia lima tahun. Tetapi perhatiannya tidak berpindah dari Antonio. "Aku yakin ini pasti sangat lezat."

Della menyikut lengan Neysa sambil mendelik penuh peringatan.

Alih-alih memahami peringatan Della, gadis itu malah ikut melebarkan matanya. "Kau sudah susah payah memasak ini sejak pagi. Memangnya tidak boleh kalau aku mencicipinya sedikit? Tolong ambilkan mangkuk."

Sebelum suasana berubah kacau, Della bergegas menuju kabinet dan mengambil apa yang diminta Neysa. Ia bertekad, Neysa akan menyesal sudah bersikap kekanakan seperti ini.

Tiba-tiba Antonio berdeham saat Della sedang mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk. Gadis itu menoleh padanya. "Aku juga mau."

"Ya?"

"Masakanmu."

Untuk sesaat, Della tercenung. "Oh, baik, Pak. Akan segera saya siapkan," sahutnya formal. Ia mengambil satu mangkuk lagi untuk Antonio. Saat itulah ia melihat Neysa mengedipkan satu mata padanya. Ada senyum kemenangan di bibir sahabatnya itu.

Dengan cekatan, Della menyiapkan sarapan untuk tamu istimewanya. Sementara Neysa dipersilakan melayani dirinya sendiri. Tidak lupa, ia sudah melemparkan tatapan peringatan agar sahabatnya itu tidak berucap macam-macam lagi. Tetapi Neysa hanya mengangkat bahu lalu menyantap sarapannya.

Della memandangi Antonio yang hendak mengambil suapan pertamanya. Tetapi lelaki itu mengurungkan niatnya lalu menoleh pada Della.

"Kau juga makanlah."

"Sa-saya?" Della gelagapan karena ditatap secara intens oleh bosnya itu. Tidak ada ekspresi berarti di wajah Antonio. Ia kesulitan mengira-ngira apakah masakan sederhananya cukup menggugah selera atau tidak.

"Ya. Ayo, sarapan bersama."

"Oh, baik, Pak," sahut Della lalu melaksanakan perintah itu.
***

Sudah lama Antonio tidak merasakan sarapan seperti ini. Sejak ibunya meninggal dan sejak impian berumahtangganya hancur berantakan. Di masa lalu, ia sering membayangkan betapa indahnya jika setiap pagi ia bisa menikmati sarapan bersama Nadira. Kehangatan yang tidak bisa diberikan bahkan oleh restoran bintang lima sekali pun. Tetapi pagi ini ia menghadapi hal itu. Duduk bersama di meja makan untuk menyantam nasi merah, sup, telur, dan ikan goreng.

Adik perempuannya memang sering memasak untuknya. Tetapi ia tidak pernah benar-benar menikmati momen seperti ini. Alasan sibuk dengan pekerjaan selalu menjadi perisainya.

Pagi ini berbeda. Ia terbangun karena mencium aroma sedap. Melihat segelas air di atas nakas dan selimut yang melingkupinya, membuat Antonio merasa tercubit. Entah demi apa gadis itu memperlakukannya seolah-olah mereka adalah keluarga.

Antonio meletakkan sendok dan garpu ke atas piring yang sudah kosong. "Terima kasih atas hidangannya."

Della mengangguk sambil tersenyum.

Setelah mengusap bibirnya dengan tisu, Antonio bangkit dari duduk. "Sebaiknya, aku pulang sekarang."

Terburu-buru, Della juga ikut berdiri. Hingga derit kursi menyaingi suaranya. "Biar saya antar."

"Tidak perlu. Aku bisa menyetir sendiri."

Della mengigit bibir. "Tapi kemarin kita ke sini naik taksi, Pak."

Kening Antonio berkerut dalam. Sepertinya ia terlalu mabuk hingga tidak mengingat itu. "Kalau begitu, di mana mobilku?"

"Seharusnya masih di kantor."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan naik taksi."

Ekspresi Della berubah kaget.

"Kenapa?"

"Hem... Baju Anda, Pak."

Antonio menatap turun dan melihat dirinya sendiri. Della benar. Tidak mungkin ia menaiki kendaraan umum dengan penampilan seperti ini. "Di mana pakaianku?"

"Masih basah, Pak," ucap Della dengan nada khawatir. "Sepertinya tidak akan nyaman dikenakan."

Antonio terdiam sejenak dengan ekspresi serius. "Apa kau punya masker dan topi?"

Della mengangguk lalu pergi ke kamar. Tidak sampai lima menit, gadis itu sudah kembali dengan barang yang diminta Antonio.

"Apa kau mengenaliku?" tanya Antonio sambil menunjuk wajahnya yang tersembunyi di balik masker dan bayang-bayang topi bisbol.

Della menggeleng. "Tapi Anda jadi mirip selebriti yang sedang menyamar untuk menghindari penggemar."

"Tidak buruk juga." Antonio menganggut-anggut. "Sekarang aku bisa pulang naik taksi."

"Mari saya temani sampai taksi Anda datang."

Antonio tidak menolak. Ia kemudian menoleh pada gadis lain di ruangan itu. "Permisi."

"Ya. Hati-hati di jalan." Neysa mengangkat cangkir tehnya sebagai ganti lambaian tangan.

Della mengantar Antonio sampai ke tepi jalan utama di depan gedung flat Della.

"Omong-omong, kenapa Anda tidak menelepon sopir saja untuk menjemput?"

Antonio menggeleng. "Aku tidak mau menimbulkan gosip tidak penting di kantor. Itu akan membuatmu tidak nyaman."

Della memahami kekhawatiran Antonio.

"Dan kuharap, temanmu tidak akan salah paham dengan situasi ini."

Tawa kecil lepas dari bibir Della saat teringat ekspresi penasaran Neysa. "Itu tidak akan terjadi, Pak. Akan saya pastikan agar nama baik Pak Antonio tetap terjaga."

Taksi yang dipesan Antonio, berhenti di depan mereka. Lelaki itu naik dan duduk dengan nyaman. "Terima kasih," ucapnya sebelum menutup pintu mobil yang membatasi mereka.

Della hanya membalas dengan lambaian tangan. Hingga mobil itu menghilang di ujung jalan.
***


Rabu, 15 Juni 2016

Unlock Your Heart IX: Alteration (2)



Satpam yang berjaga di depan pintu masuk langsung berdiri kaget. Ia tidak menyangka akan melihat bosnya tiba-tiba muncul. Terlebih, penampilan lelaki itu bisa dikatakan jauh dari kata rapi. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Selamat malam, Pak."

Antonio hanya membalas dengan anggukan sopan. "Apa ada seseorang yang baru saja lewat sini?"

"Maksud Bapak, Bu Della asisten Bu Rachel?" tanya satpam itu dengan mada bicara yang dibuat perlahan dan hati-hati.

"Ya. Ke mana dia?"

"Tadi katanya, mau mencegat taksi di luar. Saya sudah menawarkan untuk menunggu di sini saja─"

"Terima kasih," ujar Antonio tidak sabar. Ia langsung berjalan menembus hujan. Tidak peduli pada satpam yang berteriak menawarkan payung padanya.

Di tengah gempuran air, Antonio melihat profil Della yang berdiri tidak jauh dari gerbang kantor. Sebuah payung terkembang di atas kepala gadis itu, tidak terlalu berjasa untuk melindunginya dari hujan. Antonio mempercepat langkahnya yang terasa berat. Begitu jarak mereka hanya terpaut beberapa langkah, ia mengulurkan tangan untuk meraih tangan gadis itu dan menariknya dalam pelukan.

"Jangan pergi," bisik Antonio lirih. Ia membenamkan kecupan di rambut Della. Wangi sampo gadis itu seolah mengingatkannya untuk menegaskan untuk siapa kalimatnya tertuju. "Jangan pergi, Della."

"Saya tidak bisa, Pak." Della  berusaha menjawab walaupun sedikit tergeragap. Ia beruntung hujan deras meredam pekikan kagetnya tadi.

"Kumohon," pinta Antonio sungguh-sungguh.

"Tapi taksinya sudah menunggu, Pak."
***

Entah apa yang dipikirkan Antonio hingga memutuskan untuk ikut pulang ke flat Della. Sampai-sampai Della harus memberi ongkos tambahan, tidak enak dengan sopir taksi karena jok mobilnya  basah. Sementara bosnya itu malah tertidur nyenyak begitu taksi melaju.

Seakan tidak cukup, Antonio kembali melanjutkan tidurnya setelah Della meminjamkan pakaian kering serta kamarnya. Diam-diam, Della mendekat lalu berjongkok di samping tempat tidur. Ini kali kedua ia memerhatikan wajah lelap lelaki itu dalam satu malam.

Rambutnya berantakan jatuh menutupi kening. Kulitnya mulus sewarna minyak zaitun. Ujung alisnya yang menukik sempurna. Bulu matanya yang tebal menyentuh pipi. Hidungnya yang tinggi. Rahang yang tegas. Serta lengkungan bibir yang begitu menggoda untuk dikecup.

Della mengeluarkan ponsel dari balik selimut yang dipegangnya. Ia mengabadikan kesempurnaan paras yang membuat ia jatuh cinta itu ke dalam potret. Mungkin akan ia butuhkan ketika merasa rindu pada sesuatu yang tidak bisa menjadi miliknya.

Jantung Della melonjak naik ke tenggorokannya saat tiba-tiba kelopak mata itu terbuka. Dan sepasang netra abu-abu itu menatap langsung padanya. Cepat-cepat Della bangkit sambil memeluk selimut guna meredam suara debaran yang menggedor kencang dari dalam.

"Anda belum tidur?" Della mengigit bibirnya salah tingkah. "Saya tidak bermaksud mengganggu. Hanya ingin mengambil selimut dari lemari."

Antonio bangkit duduk di tepi tempat tidur.

"Apakah bajunya terasa nyaman?" Della menunjuk kaus anggota pecinta alam miliknya yang sudah kusam dan celana tidur bermotif bintang-bintang yang ujung kelimannya tidak menyentuh mata kaki Antonio. Sepertinya kala itu tas belanjanya tertukar atau memang pramuniaga yang keliru memasukkan barang sehingga Della membawa celana yang ukurannya dua tingkat lebih besar. Tetapi siapa sangka celana itu berguna untuk saat seperti ini. "Maaf kalau tidak sesuai selera fashion Anda. Hanya itu yang saya punya."

"Tidak apa. Ini lebih baik daripada mengenakan kemeja basah."

Della mengangguk kikuk. Dan selanjutnya hanya keheningan yang membentang di antara mereka berdua. Hingga bunyi hujan deras di luar sana terdengar dengan jelas.

Merasa tidak nyaman dengan suasana itu, Della berdeham perlahan. "Anda benar. Saya tidak tahu apa-apa. Dan terlalu naif rasanya kalau saya bicara cinta padahal belum bisa memahami Anda." Ia menelan ludah dan memaksakan senyum untuk menyemangati diri sendiri. "Mungkin tidak tepat untuk mengatakan ini sekarang, tapi saya akan menyerah tentang Anda."

"Apa karena kehadiran Miguel yang membuatmu ingin menyerah?"

"Apa?" seru Della bingung. "Tidak ada hubungannya dengen Miguel."

"Kalau begitu, jangan menyerah." Antonio berkata lirih. Detik berikutnya, ia mengangkat pandangannya dari lantai demi menatap sepasang netra milik Della. "Beri aku waktu. Tapi kumohon jangan menyerah."

"Eh?"

"Nadira bukan mantan kekasihku. Dia tunanganku. Calon istriku." Suara Antonio jauh dari amarah, bahkan tidak ada kesedihan di sana. Seakan-akan ada sebuah keran yang terbuka dan membuang habis emosi dalam dirinya. "Dia meninggal di hari pernikahan kami. Tepat hari ini."

Della tidak bersuara. Ia memilih bungkam karena tidak bisa menemukan kalimat penghiburan yang pantas.

"Aku tidak bisa melupakannya." Antonio memejam rapat-rapat hingga kelopak matanya berkerut. "Setelah itu, aku menjaga jarak dengan adikku. Dia perempuan. Sama seperti ibuku dan Nadira. Dan aku sangat menyayanginya. Aku takut kalau rasa sayangkulah yang membuat perempuan dalam hidupku pergi untuk selamanya."

Della bergerak maju demi menyentuh kedua bahu Antonio yang gemetar. "Tidak perlu melupakan apa pun. Anda juga tidak harus menyiksa diri dengan bermabuk-mabukan. Bukankah itu hanya akan membuat Anda merasa lebih buruk keesokan harinya?"

Antonio membuka mata. Tatapannya tampak rapuh.

"Kita bisa melakukan hal lain sampai hari ini berakhir," tutur Della lalu memutar otaknya dengan cepat untuk mencari saran. "Bagaimana kalau bermain boardgame? Saya punya catur, monopoli, dan ular tangga."

"Kurasa tidak."

"Kalau begitu, bagaimana kalau menonton film?"

"Aku hanya butuh tidur." Bibir Antonio berkedut karena senyum tipisnya. "Selama ini aku sengaja minum sampai mabuk dan tertidur tanpa mengingat apa pun. Ya, tapi seperti katamu tadi, perasaanku lebih buruk ketika bangun."

"Kalau begitu, buat diri Anda senyaman mungkin agar bisa tidur nyenyak. Saya akan tidur di sofa dan tidak akan berisik."

"Maukah kau menemaniku tidur?"

"Ha?" seru Della terkejut. Detik berikutnya, seluruh wajahnya berubah merah karena gambaran adegan penuh gairah muncul dalam benaknya.

"Bukan 'tidur' seperti yang ada di dalam kepalamu," ujar Antonio sambil terkekeh heran.

"Oh," desus Della malu.

"Setelah sekian lama, aku bisa tidur nyenyak ketika berada di dalam taksi tadi. Mungkin karena kau ada di sampingku."

"Bisa saja itu karena taksinya memang nyaman atau cara sopirnya menyetir mobil membuat Anda merasa seperti bayi dalam boks ayunan."

Entah mengapa, kalimat yang diucapkan bernada apa adanya itu justru menggelitik humor Antonio. Lelaki itu tergelak. Sesuatu yang sulit ia lakukan, terutama di hari ini. "Gampang. Nanti kita tinggal menelepon perusahaan taksi itu."

"Oke. Ayo tidur," ujar Della sambil menjatuhkan diri ke atas kasur. "Meskipun sempit, tapi anggap saja sedang di kamar sendiri."

Antonio berbaring di samping Della. Saat bahu mereka bersentuhan, itu menyadarkan Della bahwa tidak ada jarak berarti di antara mereka. Ia bahkan bisa menghidu wangi tubuh Antonio. Saat memikirkan itu, Della merasa pipinya seolah membara.

Tiba-tiba Antonio memiringkan tubuhnya berhadapan dengan Della. "Kalau aku menyayangimu, apakah kau juga akan pergi?"

"Tentu saja tidak," jawab Della tanpa keraguan. Tatapannya lurus ke arah langit-langit kamar. "Saya akan selalu bersama Anda dan membalas semua kasih sayang yang Anda beri."

"Baguslah kalau begi─"

Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, terdengar dengkuran halus yang menunjukkan bahwa Antonio sudah tertidur.

Della memberanikan diri untuk menoleh. Sekali lagi, ia bisa melihat dengan jelas wajah tampan itu dari dekat. Kemudian ia meniupkan napas lega. "Syukurlah aku tidak perlu menelepon sopir taksi yang tadi."
***

Unlock Your Heart IX: Alteration (1)



"Apa Kakakmu ada di ruangannya?"

Allenia mengangkat kepala dari layar demi menatap Della. "Ya. Tapi sedang ada tamu."

Della mengangguk mengerti. Mungkin pertemuan dengan investor yang tidak jarang datang dari luar negeri.

"Masak apa hari ini?" tanya Allenia sambil melirik kotak yang diletakkan Della ke meja.

"Spageti saus rendang."

Allenia menelan ludah. "Apa kau buatkan untukku juga?"

Tepat saat itu, pintu berdaun ganda di samping mereka terbuka. Cepat-cepat, Della berpindah ke sisi Allenia. Ia menyiapkan senyum terbaiknya demi menyambut Antonio.

Tetapi seseorang yang muncul justru membuat kedua mata Della melebar. Tamu itu bukan investor asing seperti yang Della kira.

"Aku baru saja mau ke ruanganmu," ucap Miguel sambil menghampiri meja sekretaris. "Kau seruangan dengan Mammiel, kan?"

"Ah. Iya."

"Aku sengaja datang untuk mengajakmu makan siang," ujar Miguel santai. "Tapi tidak sopan rasanya kalau aku tidak menyapa tuan rumah dulu."

Antonio mengangkat alisnya senatural mungkin. Meski enggan mengakui, ia sedikit terusik dengan fakta  keakraban Miguel dan Della.

"Kau tahu, kemarin dia baru menolakku," ucap Miguel sambil mencondongkan diri ke arah Antonio. "Dengan alasan konyol."

Della menggigit bibir, menunggu reaksi Antonio.

"Katanya, dia sudah menyukai lelaki lain di kantor ini," lanjut Miguel walaupun tidak ada yang bertanya. "Tapi sejak tadi kuperhatikan, tidak ada lelaki yang melebihi ketampananku. Kau sengaja bohong untuk balas dendam, ya?" tuduh Miguel.

"Tidak," sangkal Della cepat. Ia harus segera menyeret Miguel pergi. Sebelum pengacara tampan itu berkata lebih banyak. "Ayo, cepat kita berangkat makan siang."

Seringai muncul di bibir Miguel. "Wah, kau sudah tidak sabar rupanya."
***

Della memijat lembut otot-otot lehernya yang terasa kaku. Seluruh tulangnya seolah akan rontok, tetapi ia lega karena pekerjaannya sudah selesai. Ia bisa menikmati akhir pekan dengan tenang dan menyambut Senin dengan senang. Sambil menunggu layar komputer padam, ia menyimpan berkas-berkas ke dalam map dan mengembalikannya ke rak. Setelah mejanya tidak lagi berantakan, ia bergegas meninggalkan ruang kerjanya.

Suasana di luar sangat lengang dan hening. Della melirik jarum pendek jam tangannya yang hampir menyentuh angka sembilan. Pantas saja. Pasti semua orang sudah pulang. Hanya menyisakan dirinya yang lembur sendirian.

Della hendak menekan tombol lift saat tiba-tiba indranya mendengar suara rintihan. Ia mengedarkan pandangan tetapi tidak menemukan siapa pun di sana. Alih-alih kabur meninggalkan kantor, Della malah menjauhi lift untuk mencari sumber suara. Seperti yang dilakukan tokoh dalam film horor.

Dalam keheningan lantai dua puluh satu, seluruh indra Della semakin menajam. Sayup-sayup, suara rintihan itu kembali terdengar. Dan sepertinya berasal dari ruangan Antonio.

Untuk menuntaskan rasa penasarannya, Della mengetuk pintu berdaun ganda tersebut. Ia menunggu selama beberapa jenak, tetapi tidak ada jawaban. Maka, ia memutuskan untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu.

Perhatian Della langsung tertuju pada sofa tempat Antonio biasa menerima tamu atau melakukan rapat kecil. Dengan tengkuk bertumpu pada lengan sofa, lelaki itu berbaring di sana. Ia tidak mengenakan jas dan dasinya. Hanya menyisakan kemeja yang berantakan. Gelas kristal dengan es batu yang mencair serta botol wiski yang nyaris kosong diletakkan di atas meja di hadapannya.

Della memberanikan diri untuk maju lebih dekat. Dada lelaki itu naik dan turun dengan teratur. Wajahnya tampak sangat lelah. Dan kalau Della tidak salah melihat, ada jejak air mata yang mengering di pipi tampan itu.

Kilat menyambar dari luar jendela. Della sadar bahwa ia harus bergegas pulang. Sebelum itu, ia mengambil selimut dari lemari di samping kulkas di sudut ruangan. Semua ia lakukan dengan sangat perlahan hingga tidak menimbulkan bunyi apa pun.

Setelah menyelimuti Antonio, Della lantas berbalik hendak pergi. Hingga tiba-tiba langkahnya terhenti karena Antonio menggengam erat pergelangan tangannya.

"Mau ke mana?"

Melihat kelopak mata Antonio yang masih terpejam, Della bersuara dengan ragu-ragu. "Hem... pulang."

Antonio melepas genggamannya lalu sambil bangkit ia melingkarkan lengan di pinggang Della yang ramping. Gadis itu langsung limbung dan jatuh ke atas sofa. Sebagian tubuhnya jatuh ke pangkuan lelaki itu. Seketika itu juga, seluruh kepalanya terasa panas.

"Jangan pergi," pinta Antonio dengan suara serak. "Temani aku, Nadira."

Mendengar nama itu, membuat napas Della tercekat. Ia menepuk lembut tangan Antonio di pinggangnya. "Pak Antonio. Ini saya, hem, Della."

Untuk sesaat, Della mengira Antonio tidak mendengarnya. Tetapi detik berikutnya, kedua mata lelaki itu terbuka. Nyalang, sedikit kemerahan, merefleksikan luka di hatinya.

Cepat-cepat, Della mengangkat tubuh sambil merapikan blus dan roknya. Padahal yang berantakan bukan penampilannya, melainkan perasaannya.

"Siapa yang mengizinkanmu masuk?" tanya Antonio dengan suara menyaingi halilintar.

"Tadi saya mengetuk pintu tapi Bapak tidak menjawab─"

Penjelasan Della terhenti karena Antonio mengangkat sebelah alisnya dengan sinis. Della menelan ludah susah payah karena entah mengapa ia merasa seolah tercekik.

"Jadi, menurutmu, karena aku tidak menjawab maka sah-sah saja untuk berbuat lancang?"

"Tadi... saya kira Bapak sedang sakit."

Sepasang netra abu-abu itu menatap Della sengit. "Kenapa jam segini kau masih ada di kantor?" Antonio menuangan seluruh wiski yang tersisa di dalam botol.

"Saya baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan."

Antonio mereguk wiski sampai habis. "Itulah kenapa kubilang kerjamu sangat lamban."

Benang kesabaran yang sejak tadi ditahan Della, tiba-tiba terputus. "Kenapa Anda selalu menyalahkan orang lain untuk menutupi ketidakberdayaan Anda sendiri?"

"Omong kosong macam apa itu?"

"Sebenarnya, Anda hanya malu karena terlihat menyedihkan seperti ini."

Antonio mempererat cengkeraman pada gelasnya, seolah ia ingin meremukkan benda itu.

"Untuk menutupi itu, Anda menyalahkan saya."

"Tutup mulutmu atau─"

"Atau apa?" potong Della dengan nada menantang. "Memang apa yang sanggup dilakukan seseorang yang terjebak masa lalunya?"

"Diam!" bentak Antonio sambil melempar gelasnya. "Kau tidak tahu apa-apa."

Della berjengit kaget saat gelas membentur dinding dan hancur berkeping-keping. Tetapi ia sama sekali tidak berubah gentar. "Saya tahu," ucapnya mantap. "Anda selalu meminta sekretaris untuk memotong pendek rambut mereka karena melihat perempuan berambut panjang hanya akan mengingatkan pada mantan kekasih Anda yang bernama... Nadira." Ia mengucapkan nama itu dengan penuh penekanan.

Kedua  mata Antonio membeliak seolah oksigen di sekitarnya menyusut drastis. "Keluar," desisinya penuh amarah.

Della mengangkat dagunya tinggi. "Memang itu yang ingin saya lakukan sejak tadi."
***

Sepeninggal Della, Antonio mengambil gelas baru dari lemari kayu. Ia menyiramkan wiski pada es batu yang diletakkannya di dalam gelas. Sambil menyesap minumannya, ia melempar pandangan keluar jendela yang kini tertutup hujan yang serupa tirai kelabu.

Antonio menghirup napas dalam-dalam.  Aroma air hujan bercampur dengan wangi wiski dalam gelas kristalnya. Tidak biasanya ia membiarkan diri mereguk minuman itu. Tetapi hari ini adalah pengecualian.

Ia tidak peduli kalau minuman itu  merusak levernya. Ia tidak peduli kalau ia kehilangan kendali atas dirinya.  Ia hanya peduli bagaimana melewati malam ini tanpa merasa kembali hancur.

Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, membuat perasaannya tidak tenang. Bukan di benaknya, melainkan di sudut kecil dalam hatinya. Sekuat tenaga ia berusaha menghalau desakan itu. Padahal hatinya sudah menutup diri dari perasaan itu sejak lama.

Ia berbalik dan memandang ruang kerjanya yang kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Selain dirinya sendiri dalam keadaan menyedihkan. Tepat seperti yang dikatakan Della.

Gadis itu seakan-akan bisa melihat ke dalam jiwa Antonio. Benteng tinggi yang selama ini mengelilinginya, berubah menjadi kaca bening di hadapan Della. Tetapi sekarang, tidak ada Della. Mantan sekretarisnya itu sudah pergi. Mungkin sedang dalam perjalanan pulang di tengah hujan deras ini.

Antonio menelan ludah. Sama seperti malam ini, hujan juga turun hari itu.

Seketika, penyesalan justru memberi hatinya cahaya terang. Sehingga ia sadar bahwa ia tidak ingin itu terjadi lagi. Ia tidak ingin merasakan kehilangan untuk kesekian kali. Kehilangan seseorang yang dicintainya sepenuh hati.

Dengan langkah gegas, Antonio meninggalkan ruang kerjanya dengan hati terus berharap.

Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada Della.
***

Rabu, 08 Juni 2016

Unlock Your Heart VIII: Reunion (2)



Mengabaikan tingkah konyol keluarganya, Manuel memandangi wajah Della yang justru tampak tertarik dengan pemandangan itu. Senyum menarik otot-otot wajahnya, seolah ia sedang melihat bentangan salju setelah seumur hidup tinggal di negara tropis.

"Aku tidak menyangka kau akan datang."

Tersentak, Della menoleh dengan kedua alis terangkat. Lupa kalau masih ada Manuel di ruangan itu. Untuk mengalihkan keterkejutannya, ia menyentuh pita yang mengikat rambutnya. Benda cantik yang tidak bisa ia kenakan ke kantor.

"Sulit untuk menolak undangan Bu Rachel."

"Apa kau tahu tujuan Mam─Ibuku mengundangmu?"

"Untuk makan malam."

Manuel tersenyum simpul. "Ibuku menyukaimu. Setiap ada kesempatan, Mammiel selalu membicarakanmu. Betapa senangnya kalau Della adalah anaknya. Atau setidaknya menjadi menantunya. Dan hal semacam itu."

Kerutan samar muncul di kedua alis Della.

"Kau tahu ke mana arahnya?" tanya Manuel retorik. "Pernikahan. Ibuku ingin menjodohkan kita. Mengundangmu makan malam adalah salah satu langkah pentingnya."

"Kurasa itu cuma ungkapan seorang ibu yang ingin memiliki anak perempuan."

"Naif." Bibir Manuel semakin menipis karena senyum. "Tapi aku tidak keberatan dengan niat Ibuku."

Bibir Della mengerucut turun. "Maaf. Tapi aku keberatan," ucapnya sambil mengangkat tangan seperti sedang mengajukan pendapat saat rapat. "Sudah ada seseorang yang kusukai."

Senyum Manuel menjelma tawa. "Aku tahu. Antonio, kan?"

Otomatis, Della tersipu dengan kedua pipi  memerah.

"Untuk yang satu itu, kurasa kau harus berjuang lebih keras."

Lekat-lekat, Della menatap wajah Manuel. "Memang kenapa?"

Menghindar, Manuel malah mengalihkan pandangan pada panci-panci yang tergantung di dinding. Sepasang netranya bergetar karena teringat pada hal tragis yang pernah disaksikannya di masa lalu. "Mungkin saja hatinya masih terkunci rapat untuk apa pun yang berkaitan dengan  afeksi."

"Kalau begitu, aku tinggal menemukan kunci untuk membuka hatinya."

"Semangat yang bagus."

Della tersenyum berterimakasih.

"Sambil menunggu, mau menata ayam panggang ke piring saji?" tawar Manuel. "Ibuku memang sengaja meninggalkan kita agar bisa berduaan. Sekaligus ingin menginterogasi Miguel yang ternyata sudah mengenalmu."

Begitu Della mengangguk, Manuel melangkah ke lemari kayu di sudut ruangan. Lelaki itu kembali dengan sebuah piring berbentuk heksagon dengan lebar tiga puluh sentimeter.

"Bagaimana kalian saling mengenal?" Manuel mulai mengiris-iris lemon yang akam digunakan sebagai garnish. "Kau dan Miguel."

"Aku mengenalnya di kampus."

"Memangnya kau juga kuliah hukum? Bukannya lulusan ekonomi?"

"Kami sama-sama anggota klub pecinta alam."

Bibir Manuel membulat. "Sepertinya kalian cukup dekat."

Della berdeham salah tingkah. Untuk mengalihkan perhatian, ia mengambil daun peterseli dari keranjang stainless dan membelai tanaman perdu itu dengan ujung jari. "Sebenarnya, dulu aku pernah menyatakan perasaan pada Miguel tapi ditolak."

"Wah." Manuel berdecak sambil menggeleng-geleng. Perhatiannya beralih dari lemon─yang sudah diiris dengan ketebalan seragam─kepada Della. "Selain naif, kau juga agresif, ya. Pasti sulit menjalin hubungan denganmu."

Alis Della terangkat heran. "Apa maksudnya?"

"Biasanya, perempuan suka menebar kode. Tapi kau malah menulisnya jelas-jelas di depan keningmu. Sebagai lelaki, aku pasti bingung."

"Yang membingungkan justru lelaki sepertimu. Protes karena tidak bisa memecahkan kode dari perempuan, tapi menuduhku agresif karena ingin memperjelas status." Kesal, secara refleks Della memukulkan apa yang dipegangnya ke bahu Manuel.

"Hei, tidak baik melakukan itu pada makanan."

Tersadar, Della menunduk dan mendapati daun peterseli dalam genggamannya. Titik-titik air di dedaunan itu malah memberinya gagasan lain. "Benar juga. Maaf, ya," ucap Della sambil mengiraikan peterseli ke arah Manuel.

"Aduh. Airnya," protes Manuel sambil memejamkan mata kaget.

"Memang kenapa airnya?" Della berpura-pura bodoh sambil kembali mengibaskan tangan. Ini cukup mengingatkannya pada pompon yang dipegangnya sebagai anggota cheerleader sekolah.

Manuel mengusap wajahnya yang kembali terciprat air. "Cepat sekali kau menduplikat sikap menyebalkan Mammiel. Kalian cocok sebagai ibu dan anak."

Mendengar itu, Della malah mengipasi Manuel hingga lebih banyak air dari peterseli yang mengenai wajah lelaki itu. "Kuharap air ini akan memurnikan jiwamu yang berani-beraninya meyandingkan kata 'menyebalkan' dan 'Mammiel' dalam satu kalimat."

"Kau membuat ini terasa seperti eksorsis," gerutu Manuel sambil berlari menghindar tetapi Della tetap mengibaskan peterseli padanya.

Diam-diam, Rachel mengulum senyum saat menyaksikan itu semua dari balik tirai pembatas dapur.
***

Makan malam itu berlangsung meriah. Selain karena Rachel yang memperlakukan Della selayak anaknya sendiri, Samuel Vinocchito alias Pappiel juga sesekali melontarkan humor ala bapak-bapak yang membuat seisi ruang makan tergelak─antara terpaksa atau takut merasa durhaka.

Della duduk di sisi Rachel, berseberangan langsung dengan Miguel. Sedangkan Manuel duduk bersebelahan dengan adiknya. Samuel duduk di bagian kepala meja seperti kepala keluarga pada umumnya.

Seusai menikmati santapan lezat itu, Miguel meminta Della untuk menemaninya berjalan-jalan santai. Lelaki itu berdalih ingin membakar kalori lebih cepat.

Miguel tidak berhenti memandangi Della seolah jika ia berkedip lebih dari satu detik, maka gadis itu akan hilang dari hadapannya. Itu terus berlangsung sejak di ruang makan, bahkan ketika para pelayan menghidangkan masakan Rachel ke atas meja. Hingga kini mereka berada di taman, Miguel tidak membiarkan dirinya lengah. "Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi," katanya kemudian.

Della mengangguk lantas terkekeh. "Ya. Kau sudah mengatakan itu sebanyak tujuh kali."

"Benarkah?" seru Miguel lalu ikut tertawa kecil. "Aku cuma masih sulit percaya."

"Sama."

"Siapa sangka kau akhirnya bekerja di perusahaan yang sama dengan Mammiel dan Manuel." Miguel mendesah takjub. "Kalau tahu begini, seharusnya aku tidak menolak saran Mammiel untuk melamar sebagai tim hukum AND."

"Kenapa kau tolak?"

"Cuma tentang ego. Aku tidak ingin orang-orang berpikir kalau aku diterima karena punya relasi dengan elite perusahaan."

"Yakin sekali kau akan diterima."

"Tentu saja." Kepercayaandiri Miguel sama sekali tidak mengalami penyusutan. "Di mana lagi mereka bisa menemukan pengacara cerdas, kompeten, tampan, dan seksi seperti aku?" tanyanya retorik sambil menunjuk kepala, wajah, dan otot perutnya secara berurutan.

Della tertawa sinis. "Aku heran apa yang dulu membuatku sampai rela menyatakan cinta kepadamu."

"Dan sejak saat itu kau terus menghindariku."

"Apa yang kauharapkan?" cibir Della. "Terus menempelimu seperti anak anjing padahal sudah ditolak?"

"Aku menolak bukan karena tidak menyukaimu─"

"Karena usiaku lebih tua," tukas Della.

Miguel mengangguk. "Selebihnya, aku menyukaimu. Kau cantik dan menyenangkan untuk diajak mengobrol dalam topik apa pun. Jadi, saat aku terus-terusan menghindariku, aku benar-benar merasa kehilangan."

"Tunggu dulu, bukankah seharusnya kau memanggilku dengan sebutan 'kakak'?"

Tawa Miguel berderai. "Itu, kan, saat aku masih mahasiswa tingkat pertama. Sekarang kita sudah sama-sama dewasa. Lebih baik aku memanggilmu─" Miguel berdeham. "─baby," lanjutnya dengan suara dibuat serak.

Della menggeleng. Bahkan demi memperkuat penolakan, ia menggoyangkan telunjuknya.

"Kenapa? Seharusnya kau senang karena cintamu akhirnya berbalas."

"Sekarang aku sudah mencintai orang lain."

Kening Miguel mengernyit. "Seseorang di kantormu?"

Della mengangguk.

"Kau pasti bercanda." Kedua mata Miguel memicing sangsi. Tidak mungkin ada lelaki yang lebih baik dariku."

"Nyatanya ada."

"Siapa dia? Aku jadi ingin melihatnya langsung."

"Nona Dellani, ayo kuantar pulang."

Walaupun namanya tidak disebut, Miguel ikut menoleh pada Manuel yang berdiri di teras rumah.

"Kau sudah dijemput sopirmu, tuh," bisik Miguel usil.

"Aku mendengarnya, Miguel."

"Itu bagus. Kau tidak harus mengunjungi dokter THT minggu ini."

Della tergelak senang bisa menyaksikan perdebatan saudara seperti ini. Sesuatu yang tidak pernah ia alami. "Aku pulang dulu, ya," pamit Della. "Pastikan lain kali kau bersikap sopan pada perempuan-yang-lebih-tua ini."

"Aku tidak akan memanggilmu 'kakak'," tolak Miguel. Ia menoleh ke arah Manuel yang masih menunggu Della yang sedang menuju teras. "Pastikan kau mengantar pacarku dengan selamat, ya."

Unlock Your Heart VIII: Reunion (1)


Della mengerjap bingung.

Ruangan itu ramai, tetapi ia merasa terasing. Tidak terlihat seorang pun yang ia kenal. Kalau tahu begini, lebih baik ia duduk di luar bersama gadis berkebaya yang tadi mengantarnya. 

Della menatap undangan di tangannya sambil mengembuskan napas berat, lalu menyimpan benda itu ke tas tangan. Ia sudah berada di sini. Tidak ada salahnya untuk sedikit menikmati pesta. Yang penting, tugasnya untuk mengantarkan hadiah atas nama Antonio Alvarez sudah terlaksana. Maka, ia mulai melangkah ke meja-meja bundar yang menyediakan berbagai jenis hidangan.

Beruntung, Della mengenakan gaun berwarna dadu pemberian Antonio. Kali ini tentu saja tanpa celana tidur dan sandal hotel. Seperti sebelumnya. Warna lembut yang serasi dengan dekorasi ruangan ini, membuat penampilan Della tidak mencolok.

Dalam hati, Della ikut menyendandungkan lagu romantis yang dinyanyikan seorang lelaki di atas panggung. Ia mengambil satu potong puding cokelat, lalu duduk di hadapan meja yang dihiasi buket mawar. Sambil menghidu wangi mawar segar, Della mengusap taplak satin yang melapisi meja. 

Senyum menarik sudut bibirnya naik. Kira-kira, seperti apa ya pernikahannya nanti?

"Nino juga tidak datang ke sini?"

Telinga Della menegak pada suara sopran yang berasal dari arah jam empat. Ia menahan diri agar tidak menoleh.

"Kurasa tidak." Suara lain menyahuti. "Bayang-bayang Nadira yang menghalanginya. Dia tidak akan sudi datang ke acara pernikahan sebelum berdamai dengan masa lalu."

"Sayang sekali." Suara pertama kembali terdengar diikuti helaan napas. "Padahal banyak yang bersedia menjadi Nyonya Alvarez."

"Termasuk kau?"

Gadis itu terkikik. "Pasti kau juga."

"Tidak. Aku tidak mau bersaing dengan orang yang sudah meninggal."

Mendengar kalimat itu, hati Della seperti dihunjam dari dalam.
***

Sekuat tenaga, Della menahan godaan dari sofa yang didudukinya. Sofa panjang berwarna biru muda dengan motif bunga-bunga itu terasa lebih nyaman daripada kasur di kamarnya. Kalau lengah sedikit saja, ia pasti sudah tertidur nyenyak di ruang tamu ini.  Untuk mencegah dirinya bertindak memalukan, ia mulai memerhatikan sekelilingnya. Lukisan-lukisan yang dipajang di dinding, bunga di dalam vas, hingga meja di hadapannya yang entah mengapa sengaja dibuat agar terlihat lusuh tetapi sama sekali tidak seperti barang rongsokan.

"Kau benar-benar datang, Della."

Mendengar suara tuan rumah yang sudah mengundangnya, serta-merta ia berdiri dan mengangguk dengan sopan. "Selamat siang, Bu Rachel."

"Jangan formal begitu. Ini bukan di kantor," ujar Rachel lalu tersenyum lebar. "Kau bisa memanggilku 'Mammiel'."

"Ah, saya rasa itu... " Della mengerutkan bahu dengan canggung. 

"Santai saja." Rachel mengusap punggung Della untuk meyakinkan. "Aku masih harus menyelesaikan masakanku di dapur. Kau mau ikut?"

"Bolehkah?"

"Kenapa masih kaku begitu?" Rachel menderaikan tawa anggunnya. "Anggap saja kau sedang menemanimu ibumu memasak."

Otot-otot wajah Della sedikit mengendur sehingga ia bisa tersenyum tanpa takut bersikap tidak sopan. Ia terus menjaga jarak satu langkah di belakang Rachel. Wanita itu memimpin jalan hingga mereka tiba di dapur berdinding hijau telur bebek.

Lampu gantung di tengah ruangan serta pemilihan cat berwarna kusam membuat dapur itu tampak ketinggalan zaman. Padahal peralatannya menggunakan teknologi termutakhir. Tidak heran kalau dinding dan lantainya tidak mengenal calit gosong atau percikan noda saus.

"Kau duduk saja di situ." Rachel menunjuk kursi kayu di samping bufet. "Sebentar lagi selesai, kok."

"Tolong izinkan saya membantu, Mammiel."

Rachel memandang Della sekilas, lalu membuka pintu kabinet dan mengeluarkan sehelai celemek bersih yang masih terlipat rapi. "Kalau begitu pakai ini. Dress-mu sangat cantik. Sayang kalau kotor terciprat saus."

"Terima kasih." Della mengenakan celemek polkadot itu di atas dress sifon berkerah tingginya, lalu bergegas mendampingi Rachel di depan kompor.

"Apa kau memiliki alergi terhadap makanan laut seperti udang, misalnya?"

Della menggeleng. "Saya cocok hampir dengan semua makanan."

Rachel mendesah lega. "Syukurlah. Hari ini aku memasak bisque," ujarnya sambil menunjuk ke panci yang menampung masakan berkuah jingga kecokelatan.

Aroma udang yang gurih menyapa indra Della dan menggelitik rasa laparnya. "Wah, pasti lezat. Selain sukses berkarier, Mammiel juga pintar memasak."

Rachel terkekeh bangga. "Aku memasak hanya karena hobi. Setidaknya, itu yang ingin kulakukan setelah pensiun nanti."

Della mengernyit. "Anda akan pensiun?"

"Aku memang belum menyatakan secara resmi, baru berdiskusi dengan Presdir. Sebenarnya, pemindahan tugasmu menjadi asistenku itu karena kau akan ditunjuk untuk menggantikanku. Cuma tidak kusangka akan secepat ini."

Della hanya ternganga. Bingung harus memberi tanggapan seperti apa.

"Aku sudah terlalu tua, Nak. Ini saat yang tepat untuk pensiun. Sudah saatnya anak muda yang menjalankan tugasku," ujar Rachel sambil merunduk sebentar pada oven yang mengurung ayam panggangnya. "Padahal aku berharap kita bisa bekerja bersama lebih lama."

"Saya harap juga begitu."

"Omong-omong, siapa yang kemarin malam datang mewakili Nino ke pernikahan?"

"Saya, Mammiel."

"Ah. Kenapa aku tidak melihatmu?"

Apa yang Della dengar tentang Antonio, kembali terngiang di benaknya. "Saya memang cuma sebentar di sana."

"Wah, tamu kehormatan kita sudah datang rupanya."

Manuel muncul dengan rambut masih basah sehabis mandi. Lelaki itu tampak santai dengan sweter putih gading dan celana jogger hitam. Sepasang netranya yang tegas menatap langsung pada Della, hingga membuat pipi gadis itu merona.

Alih-alih senyuman, ia malah mendapat ketukan sudip kayu di puncak kepala sebagai balasan. "Berapa kali kubilang, keringkan rambutmu dengan benar."

Manuel mengernyit nyeri sambil mengusap-usap kepala. "Tadi aku buru-buru mandi karena mendengar Della sudah datang."

Rachel berkacak pinggang. "Alasan ditolak."

Denting oven menginterupsi perdebatan itu. Untuk sesaat.

"Ah, sudah matang," seru Rachel senang. "Ayo, Manuel. Ambil itu dan buat dirimu berguna."

Berdecak, Manuel berpura-pura kesal. Walaupun instruksi Ibunya tidak spesifik, tetapi ia bisa langsung memahami. Dengan cepat, ia mengenakan sarung tangan oven dan mengeluarkan ayam dari laci pemanggang. Aroma bawang putih dan mentega membumbung bersama uap hangat.

"Sepertinya terlalu banyak mentega yang dioleskan," komentar Manuel seperti juri lomba memasak.

Rachel mengibaskan tangan tidak setuju. "Justru itu yang membuat rasanya gurih."

Della terkekeh pelan melihat keakraban antara Ibu dan anak itu. Padahal di kantor mereka selalu menjaga sikap sopan sebagai Wakil Direktur dan General Manager.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang gegas dari luar dapur. 

"Mammiel! Ayamnya sudah matang, ya?"

Seorang lelaki melanda masuk. Ekspresinya tampak senang karena menghidu aroma makanan kesukaannya. Keringat bercucuran di tubuhnya hingga membasahi setelan sportwear sewarna madu yang dikenakannya.

Dengan mudah, perhatiannya tertuju pada Della yang berdiri di sisi Manuel. Bersamaan dengan kedua matanya yang melebar, raut Della juga berubah terkejut hingga tanpa sadar gadis itu menyerukan namanya.

"Miguel?"

"Della!" serunya takjub. Lalu dengan langkah lebar, Miguel menghampiri Della dan langsung membuka lebar lengannya.

Seperti deja vu, sudip yang sebelumnya mendarat di kepala Manuel, kini hinggap di punggung tangan Miguel. Lelaki itu menarik kembali tangannya sambil mengaduh kesakitan.

"Berani-beraninya kau mau memeluk seorang gadis dengan tubuh penuh keringat begitu," omel Rachel sambil memukulkan kembali sudipnya ke bahu, punggung, dan betis Miguel. "Jangan cuma ototmu yang kau latih, otakmu juga."

"Tapi, Mam─"

"Alasan ditolak." Rachel terus mengayunkan senjata sambil menggiring anak lelakinya meninggalkan dapur. "Cepat sana mandi."

Keriuhan yang diciptakan Ibu dan anak itu menghilang di pintu dapur.
***

Rabu, 01 Juni 2016

Unlock Your Heart VII: Invitation (2)




Della menghabiskan jam istirahatnya di staff lounge. Berbeda dengan kafetaria di lantai bawah yang penuh sesak, tempat ini jauh lebih lengang. Tidak ada deretan kursi plastik mengapit meja panjang, yang ada justru kursi-kursi empuk dan sofa-sofa panjang yang memanjakan punggung setelah lelah bekerja. Bahkan tersedia kursi pijat di beberapa sudut.

Sayangnya, Della tidak bisa menikmati fasilitas yang disediakan. Ia hanya duduk di salah satu kursi di dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan hutan beton bertingkat. Sesekali ia mendebas sambil memandangi kotak bento yang diapit telepon genggam dan cangkir teh di atas meja bundar.

"Permisi. Apa kursi ini kosong?"

"Kursi lain masih banyak yang kosong," gerutu Della dengan suara yang bisa didengar jelas oleh orang yang berbasa-basi dengannya.

"Tapi aku mau duduk di sini bersamamu," ucap Allenia sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Della.

Della mencibir sambil melempar pandangan keluar jendela. Ia memerhatikan jalanan yang ramai di bawah sana. Orang-orang berpakaian formal memenuhi trotoar, sesekali menghindar karena pengendara motor yang sengaja naik ke area pejalan kaki demi menghindari jalanan yang dipadati mobil.

"Tidak sopan memandangi orang seperti itu," ucap Della tanpa menolehkan kepala. Tetapi ia bisa merasakan Allenia yang menatapnya terang-terangan.

Allenia tertawa kecil. "Maaf. Aku hanya tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu dalam keadaan seperti ini."

"Maksudmu, dalam keadaan kau tiba-tiba merebut pekerjaanku?"

"Tadi kau bilang, ini bukan salahku."

Della mengangkat bahu. "Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin kau sengaja balas dendam karena dulu Pak Aldi lebih perhatian padaku."

Kedua alis Allenia terangkat selingar. Tidak menyangka bahwa Della akan mengungkit masa lalu mereka yang pernah sama-sama menyukai guru fisika semasa SMA.

Tahu-tahu Della tergelak seolah ada yang sedang menggelitiki pinggangnya. "Sangat konyol. Sebenarnya, apa yang dulu kau pikirkan? Sampai menyukai guru muda yang ternyata sudah punya tunangan."

Kali ini, alis Allenia berjengit kesal. "Katakan itu juga pada dirimu sendiri."

"Aku tidak akan menjadi rival cintamu kalau saja kau mengenalkan aku pada kakakmu sejak dulu."

Allenia terkekeh. "Asal kau tahu, kau bukan tipe perempuan yang disukai kakakku."

Alih-alih membalas, Della malah mendebas kecewa. Kepalanya tertunduk dengan sepasang alis melengkung turun. "Kau benar. Pantas saja Pak Antonio menyingkirkanku jauh-jauh."

Allenia menelan ludah, merasa bersalah. "Jabatan asisten General Manager itu memang seperti terlalu dipaksakan. Tapi aku yakin maksud Kakakku tidaklah buruk."

Della hanya mendengkus tanpa memberi balasan.

"Omong-omong, kau tidak makan?" tanya Allenia kemudian sambil memitar dagu ke kotak bento milik Della.

Della menggeleng. "Sebenarnya, aku membuat ini untuk Pak Antonio. Tapi karena hari ini aku bukan lagi sekretarisnya, aku takut akan ditolak."

"Kalau begitu, buat aku saja."

Kedua mata Della mengerjap sangsi. "Kau mau?"

Allenia mengangguk yakin. "Kebetulan aku sangar lapar. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan karena harus menyiapkan berkas rapat. Dan roti isi salmon pedas yang kumakan sambil bekerja tadi, hanya membuatku harus minum bergelas-gelas air."

"Baiklah kalau kau memaksa," ujar Della sambil membuka tutup kotak dan mendorongnya ke hadapan Allenia.

"Wah," desah Allenia takjub saat aroma lezat menyapa indranya. Ia mengamati tumisan sayur, tahu goreng, dan bola-bola daging yang mendampingi nasi merah mengisi setiap sekat kotak. Satu suap mendarat di lidahnya yang langsung merasa dimanjakan.

"Minum?" tawar Della sambil mengangsurkan susu sapi dalam kemasan kotak.

Allenia langsung mengernyit seolah melihat semangkuk belatung. Ia menggeleng lalu kembali dengan suapan selanjutnya. "Di mana kau membeli ini?"

Salah satu sudut bibir Della terangkat. "Aku memasaknya sendiri."

Bibir Allenia ternganga. "Dan kau setiap hari memberikan masakanmu untuk kakakku?"

"Ya." Della menumpukan sikunya ke atas meja. "Aku ingin menunjukkan kalau aku menjadi istrinya, dia tidak akan kelaparan."

Tanpa bisa ditahan, Allenia tergelak. Beruntung, ia sudah menelan kunyahannya sehingga tidak perlu tersedak. "Sekarang aku baru percaya kau benar-benar Dellani Mahara Sang Kekasih Impian."

Sudut bibir Della yang lainnya ikut naik karena geli mendengar julukan yang ia terima semasa SMA.

"Sikap galak dan minder sangat tidak cocok dengan dirimu," lanjut Allenia lalu memakan satu bola daging. "Kau yang gigih dan penuh percaya diri jauh lebih baik."

"Wah, aku merasa tersanjung mendapat pujian dari High School Princess."

Allenia mengulum senyum. "Mau mendengar pujian lain? Kau satu-satunya sekretaris yang mampu mengusik Kakakku."

Kedua alis Della saling bertemu.

"Selain Manuel dan Niken, semua sekretaris tidak ada yang bertahan lebih dari dua bulan."

"Manuel pernah menjadi sekretaris Pak Antonio?"

"Ya. Mereka cocok karena sudah berteman lama," ucap Allenia. "Sedangkan Niken tipikal gadis pekerja keras yang melakukan semua tugasnya sebaik mungkin. Tapi kau... benar-benar kejadian langka."

"Bisa kau permudah ceritamu? Sebelum jam istirahat berakhir."

Susah payah, Allenia menahan tawa kecil sambil sibuk mengunyah. "Baru kali ini ada yang berhasil mengusik Kakakku. Hingga membuat dia kembali mengajakku berbicara."

"Apa hubungan kalian kurang baik?"

"Tidak juga. Tapi entah kenapa, tiba-tiba dia mulai menghindariku seolah aku mengidap penyakit menular." Senyum sumir muncul di bibir Allenia. "Kemarin aku benar-benar kaget saat dia memintaku menjadi sekretarisnya."

"Apa Pak Antonio mengatakan sesuatu tentang kesalahan fatal yang kulakukan?"

"Kalau kau melakukan kesalahan pasti kau sudah dipecat," jawab Allenia.

"Lalu kenapa aku dipindah secara mendadak? Bahkan aku tidak diminta  membimbingmu untuk masa transisi."

"Aku berasumsi kalau kakakku 'takut'  serangan perhatian darimu akan menghancurkan kunci yang menutup rapat hatinya."

"Apa kau sedang berpuisi, Nina?"

"Aku serius." Allenia memicingkan mata untuk mendukung kata-katanya. "Dan tolong jangan memanggilku dengan nama itu lagi."

"Kenapa?"

"Aku hanya ingin menjaga perasaannya." Raut Allenia berubah sendu. "Nino dan Nina adalah nama panggilan yang diberi nenek kami. Dan setelah kejadian itu, sepertinya kakakku membenci panggilan itu."

"Apa 'kejadian itu' nerhubungan dengan seorang gadis bernama Nadira?"

"Kau tahu?"

"Aku mendengar beberapa orang menyebut namanya." Della menyesap tehnya sedikit. "Tapi sebanyak apapun aku mencari, sangat sedikit informasi yang bisa kudapatkan. Hanya beberapa foto dan riwayat pendidikannya. Sebenarnya ada apa? Dia mengkhianati kakakmu?"

Allenia menggigit bibir. "Sebaiknya, kau mendengar langsung ceritanya dari kakakku."

Della tidak memaksa.

"Aku percaya kau bisa membuka kembali hati Kakakku. Dan aku berharap dia bersedia datang ke pernikahanku nanti."

"Pernikahan? Memangnya ada yang bersedia menikahimu?" gurau Della sarkastik.

"Kalau kukenalkan padamu, nanti kau langsung jatuh cinta."

"Itu akan terjadi kalau kekasihmu lebih baik dari Pak Antonio."

"Katakan kau bercanda."

Della menyengir kuda. "Jangan khawatir, aku tidak berminat menjadi rival cintamu lagi. Sekarang aku hanya akan berusaha menjadi kakak iparmu."

"Itu akan terjadi kalau kau bisa membuat dia menikahimu."

"Kita lihat saja nanti." Sepasang netra Della berkobar semangat. "Omong-omong tentang pernikahan, akhir minggu ini ada pernikahan yang harus dihadiri Pak Antonio."

Allenia mengangguk. "Aku sudah melihatnya di jadwal yang kau tulis. Anak dari Direktur Roncla Construction, kan?"

"Pak Antonio memintaku hadir mewakilinya. Itu berarti akan menajadi tugasmu."

"Hem, bagaimana kalau kau saja yang datang? Anggap saja tugas terakhirmu." Allenia tersenyum keki.

"Kuharap ada alasan bagus untuk itu."

"Sebelumnya, aku pernah hampir bertunangan dengan anak Direktur itu."

"Ah, aku paham." Della tersenyum mengerti. Pasti tidak nyaman rasanya bertemu dalam suasana seperti itu. "Tapi Nina─um, maksudku Allenia. Apa kau sudah menghafal sepuluh kode ketukan?"

Unlock Your Heart VII: Invitation (1)


Seminggu setelah kepulangan mereka dari Bali, Della nyaris berada di ambang batas kewarasannya. Dengan jelas, ia merasa Antonio sengaja ingin menyiksanya. Ia melewati satu pekan penuh seperti berada dalam neraka.

Antonio menegur keterlambatannya padahal ia datang tepat waktu. Antonio menghina pekerjaannya yang tanpa cela. Antonio mengajukan komplain pada  kopi buatannya yang takarannya berkurang sepuluh mililiter dari seharusnya.

Bahkan, kemarin─di Minggu yang biasanya tenang, tahu-tahu Antonio menginterupsi kegiatan jogingnya bersama Neysa dengan meminta revisi dokumen untuk rapat Jumat depan. Dan sebelum memutus sambungan telepon, bosnya itu menegaskan agar Della harus sudah mengirim surelnya sebelum jam sepuluh pagi. Tidak berhenti sampai di situ, malam hari ketika Della sudah siap hendak tidur, Antonio kembali meneleponnya hanya untuk meminta salinan jadwal untuk dua bulan ke depan.

Pagi ini, dengan seluruh akal sehatnya yang masih tersisa, Della datang ke kantor. Tetapi apa yang ia lihat di kubikel kerjanya, membuat isi kraniumnya seolah ingin meledak.

"Siapa kau?" tanya Della ketus pada seorang gadis yang duduk di depan komputernya, seolah itu adalah tempat kerjanya.

Gadis itu tersenyum hingga menyentuh netra abu-abunya yang berbinar. Tidak ada raut tersinggung pada sikap galak Della. Rambut cokelatnya yang digelung rapi ke belakang kepala, tampak berkilau seolah rutin mendapat perawatan salon. Bibir penuh di atas kulit sewarna zaitun. Entah mengapa, Della merasa familier dengan keelokan yang dihadapinya.

Sementara Della menggali ingatan, gadis itu berdiri dan mengulurkan tangan. Tinggi mereka yang setara, membuat kedua mata mereka beradu.

"Saya Allenia. Mulai hari ini─"

"Nina?" seru Della ketika akhirnya menemukan siapa orang yang dihadapinya. Ia adalah gadis yang menadapat julukan 'High School Princess' semasa mereka sekolah.

Allenia terkekeh lalu sedikit menjulurkan ujung lidahnya. "Kukira kau tidak akan mengenaliku."

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Pundak Allenia terangkat. "Bekerja."

"Tapi ini, kan, meja kerjaku."

"Ah, benar juga." Allenia mengambil amplop putih dari meja dan menyerahkan pada Della. "Ini surat pemindahanmu."

Della menerima amplop itu dengan kening mengernyit dalam.

"Hei, sampai kapan kalian mau mengobrol di sana?"

Mendengar suara itu, pikiran Della yang sudah kusut, sekarang semakin semrawut. Suara yang dalam satu minggu terakhir berubah setajam trisula.

Della berbalik dengan cepat. Urat kekesalan di kepalanya menegang tanpa bisa dicegah. "Apa maksudnya ini, Pak?" tanyanya sambil mengacungkan amplop ke depan wajah Antonio. Persetan dengan sopan santun.

Antonio mendongak dengan congkak. "Kurasa kau bisa membaca dengan kemampuanmu sendiri."

"Iya. Ini surat pemindahan. Tapi kenapa?"

"Sesuai yang tertulis di situ. Mulai hari ini kau bekerja sebagai asisten General Manager."

Posisi itu tidak pernah ada sebelumnya.

"Tolong katakan, apa kesalahan saya?"

Antonio tersenyum miring. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sudah menunggu Della bertanya seperti itu. "Kerjamu lamban. Sebagai pemimpin perusahaan, aku tidak bisa bekerja dengan ritme yang lelet seperti itu."

Rahang Della nyaris terjatuh mendengar alasan yang tidak masuk akal itu.

"Mau sampai kapan kau melamun? Cepat pindahkan barang-barangmu agar tidak menggangu kinerja sekretarisku," tandas Antonio lalu bergerak menuju ruangannya. Tetapi tangannya terhenti di udara, beberapa senti sebelum menyentuh gagang pintu. Ia menoleh lewat bahunya. "Oh, iya, segera antarkan kopiku."

"Baik, Kak─eh, Pak. Akan segera saya siapkan," sahut Allenia.

"Tidak usah." Antonio menggeleng pada Allenia. "Biar dia saja."

"Saya sedang merasa sangat marah pada Bapak," ucap Della dengan puncak kepala yang nyaris berasap. "Bagaimana kalau saya bubuhkan racun di kopi Bapak?"

Alih-alih gentar, Antonio malah melengkungkan senyum menantang. "Coba saja kalau berani."
***

Menolak bantuan Allenia, Della merangkum sendiri barang-barangnya ke dalam kotak. Ia memeluk kotak itu sementara matanya mengamati barang kali ada yang tertinggal.

"Della, maaf, ya, sudah mengambil posisimu," ujar Allenia sambil menggeser kursi putarnya.

Della menggeleng. "Bukan salahmu," ujarnya lalu mengambil langkah menuju ruang kerjanya yang baru.

Benak Della tidak juga berhenti meneriakinya dengan berbagai macam alasan yang mungkin menjadi penyebab berubahnya sikap Antonio. Saat ia merasa gerbang asmara bersama Antonio mulai terbuka, entah mengapa justru lelaki itu berusaha menutup paksa akses yang susah payah ia ciptakan. Apa mungkin Antonio mulai terusik dengan serangan langsung yang ia curahkan?

"Butuh bantuan?"

Della tersentak pada sapaan mendadak itu. Manuel berdiri di hadapannya sambil tersenyum tipis. Dasi terakota lelaki itu tampak serasi dengan setelan kemeja biru tua yang dikenakannya, membuat Wakil Direktur itu terlihat lebih memesona.

"Oh, tidak perlu," tolak Della dengan halus sambil membalas senyum Manuel. "Tidak berat, kok."

"Kalau begitu, aku akan menemanimu."

"Memangnya kau tidak sibuk?" tanya Della saat mereka mulai berdampingan.

Manuel menggeleng. "Rapat dimulai masih tiga puluh menit lagi."

"Benar juga." Bagaimana mungkin semudah ini Della melupakan jadwal yang ia atur untuk Antonio? Sepertinya isi kepalanya sudah terlampau kacau.

"Jadi, mulai hari ini kau menjadi asisten General Manager, ya?"

Della mengangkat pundak. "Aku juga tidak terlalu yakin. Ini terlalu mendadak."

"Aku juga kaget. Bahkan Antonio tidak sempat merekrut sekretaris pengganti dan meminta adiknya mengisi posisi itu untuk sementara."

"Adik?" Kelopak mata Della melebar. "Nina itu adik Pak Antonio?" tanyanya, setengah takjub setengah antusias.

Manuel mengangguk. "Kau sudah pernah mengenal Nina?"

Pantas saja mereka sama-sama memiliki visual yang menawan. "Kami satu sekolah saat SMA."

Mereka berhenti di depan sebuah cermin besar yang terbagi menjadi beberapa bagian. Satu bagian yang dipasangi gagang stainless dan tertera papan bertuliskan 'General Manager' menunjukkan bahwa itu berfungsi sebagai pintu.

Manuel mengetuk pantulan sosok mereka berdua. "Silakan, ruang kerjamu yang baru," ucapnya sambil membukakan pintu.

Seorang wanita yang tampak baru menginjak pertengah usia empat puluhan menyambut kedatangannya dengan lengan terbuka lebar. "Selamat datang, Della."

Della meletakkan kotak barangnya ke meja yang dikeliingi sofa berwarna blewah, sebelum mendekap wanita itu dengan hangat. "Terima kasih, Bu Rachel," ujarnya saat pipi mereka saling menempel. "Mohon bimbingannya."

Dengan jarak sedekat ini, Della tidak bisa langsung mengalihkan padangannya dari Rachel. Wanita itu memiliki kulit yang halus dan segar. Tanpa gurat-gurat usia yang biasa muncul di usianya saat ini. Belum lagi aura keibuannya yang membuat Della merasa nyaman.

"Boleh saya bertanya?"

"Silakan," jawab Rachel ramah meskipun keningnya berkerut heran.

"Apa benar Anda sudah berusia lebih dari enam puluh tahun?" Della menggigit bibirnya. "Itu yang saya dengar. Maaf, kalau tidak sopan. Tapi menurut saya, Anda tidak terlihat setua itu. Malah seperti dua puluh tahun lebih muda. Saya harap, saya bisa secantik Bu Rachel saat nanti saya seusia Anda."

Rachel terkekeh mendengar pujian terang-terangan itu. Ekspresi kagum yang meledak-ledak di sepasang netra Della membuktikan ucapan itu bukan hanya bualan. "Umurku rahasia," ucapnya sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. "Yang jelas, seharusnya aku sudah duduk diam di rumah bermain bersama cucuku. Bukan begitu, Manuel?"

Mendengar namanya disebut, Manuel berdeham. "Aku akan kembali ke ruanganku. Rapat sebentar lagi dimulai."

"Dasar anak nakal," gerutu Rachel saat Manuel menghilang di balik pintu. "Selalu saja menghindar."

"Anda... Ibunya Pak Manuel?"

Rachel mengangguk. "Tapi aku bisa pastikan Manuel berada di posisinya sekarang ini karena kerja keras dan kemampuannya sendiri. Bukan karena dia anakku atau karena berteman dengan Nino─maksudku, Pak Antonio."

Della menganggut-anggut. Fakta lain yang ia ketahui hari ini. Mungkin setelah ini ia tidak akan terkejut kalau ternyata Matteo adalah ayah kandungnya. Ia langsung tersenyum miris pada hal yang mustahil itu.

"Tidak heran Pak Manuel tampan begitu. Ternyata Ibunya secantik Bu Rachel."

Rachel tergelak sambil menempelkan telapak tangan ke pipinya. "Kau gadis yang baik. Ibumu pasti senang memiliki anak perempuan sepertimu."

"Ibu saya sudah lama meninggal," sahut Della ringan.

Raut prihatin langsung melumuri wajah Rachel. "Pasti sangat berat untukmu selama ini," ucap wanita itu sambil memeluk bahu Della.

"Terima kasih, Bu Rachel."

"Ayo, sini." Rachel menghela Della ke sebuah meja yang dilengkapi layar tipis komputer serta kursi putar berwarna abu-abu. "Ini meja kerjamu. Baru datang tadi pagi."

Samar-samar, masih tercium aroma pelitur yang bercampur pewangi ruangan.

"Semoga kau betah, ya." Rachel tersenyum. "Aku senang akhirnya bisa membagi ruangan ini dengan seseorang. Ada baiknya juga, Antonio membuat keputusan mendadak."

"Sepertinya, saya jadi orang terakhir yang tahu," gumam Della. "Apa Pak Antonio semarah itu, ya?"

"Selama ini, Antonio tidak pernah memutuskan sesuatu hanya berdasar emosi." Rachel menyentuh bahu Della dengan hangat. "Mungkin dia menilai kau berpotensi menjadi General Manager yang baik."

"Saya rasa, Pak Antonio membenci saya."

"Itu tidak mungkin." Rachel mengibaskan tangan di udara. "Kecuali kalau kau jatuh cinta padanya."

"Saya memang jatuh cinta," aku Della tanpa beban.

Rachel berdeham sambil melenturkan otot wajahnya yang sejenak terasa kaku. "Selamat berjuang untuk itu," ucap Rachel dengan cepat lalu kembali berdeham ringan. "Oh iya, Della, kalau aku mengundangmu ke rumahku, apa kau bersedia datang?"

Kening Della mengernyit pada perubahan topik itu.

"Kau bisa datang untuk makan siang atau makan malam," lanjut Rachel. "Aku tidak punya anak perempuan, jadi─"

"Tentu saja saya akan datang."

Rachel tersenyum. "Kau benar-benar tahu cara membuat wanita tua ini senang."
***