Rabu, 31 Agustus 2016

Unlock Your Heart: Epilogue



"Kenapa dia... perempuan?"

Della memutar bola mata. "Tentu saja karena dia bukan laki-laki."

Antonio menelan ludah sambil memandangi bayi yang tertidur pulas di boks. Napasnya teratur dan tenang. Rona kemerahan mewarnai kedua pipi tembamnya.

"Sampai kapan kau mau berdiri di sana?" gerutu Della heran melihat Antonio terus menjaga jarak dari anak mereka.

"Aku... tidak mau mengganggunya."

Perlahan, Della menurunkan kedua kakinya dari tempat tidur. Dengan sigap, Antonio bergerak maju untuk membantu istrinya.

"Seharusnya, kau jangan bergerak terlalu banyak dulu."

"Tidak apa-apa. Aku sudah cukup istirahat, kok."

Walaupun hanya beberapa langkah, Antonio tetap memapah Della menuju boks bayi mereka. Seolah merasa sedang diperhatikan, bayi mungil itu menggeliat lalu tiba-tiba menangis. Otomatis, raut wajah Antonio berubah kaku.

"Apa aku menganggu?"

Della tersenyum maklum. "Tentu saja tidak," ujarnya sambil menggeleng.

"Lalu kenapa dia menangis?"

 "Semua bayi pasti menangis. Itu cara mereka berkomunikasi." Della merunduk lalu membuai bayi itu dalam gendongan. Dalam sekejap, tangisan itu lenyap. Perlahan, makhluk mungil itu kembali dalam lelapnya. "Dia hanya butuh ditenangkan."

Antonio menatap takjub senyuman yang muncul di wajah Della kala menatap anak mereka. Senyum yang dahulu selalu ia lihat setiap kali ibunya menatap padanya.

"Kau terlihat sudah ahli menangani bayi."

Della tersenyum miring. "Hanya sering membaca tentang ilmu parenting. Kau mau menggendongnya?"

Sekujur tubuh Antonio sekaku semen yang mengering. Ia menggeleng wagu. "Aku takut akan menyakitinya."

"Itu tidak akan terjadi." Della berusaha menenangkan. "Ayo atur tanganmu."

Antonio menelan ludah dengan panik. "Kau yakin?"

Della memahami ketakutan yang terpancar di sepasang netra suaminya. Ia mengangguk mantap. "Kau adalah ayahnya."

Kepercayaan diri Antonio sedikit meningkat walaupun tidak menghapus perasaan tegang yang menggelayutinya. "Aku harus bagaimana?"

Perlahan, Della menjadikan lengan di dekat lekukan siku Antonio sebagai bantal bagi bayi mereka. Lalu ia mengarahkan agar Antonio membuka lebar kelima jarinya sehingga bisa menopang sebaik mungkin.

Secara naluri, Antonio melingkupi bayi dalam gendongannya dengan lengannya yang lain. Bayi itu sediikit menggeliat, lalu melanjutkan tidur dengan nyaman. Tidak peduli dengan sikap ayahnya yang canggung.

"Begini... sudah benar?"

Della tersenyum dan mengangguk.

Antonio termenung takjub, seolah tidak percaya bahwa ada manusia mungil yang tidak mengenalnya tetapi bisa begitu memercayainya. "Dia... sangat ringan dan lembut."

"Dan manis," tambah Della lalu mengusap halus kening bayi yang baru ia lahirkan dua belas jam yang lalu. "Aku suka bentuk hidung dan bibirnya. Mirip seperti milikmu."

Kedua mata Antonio mengerjap setuju. Ia juga bisa melihat kemiripan yang dimaksud Della. Seperti sedang melihat dirinya di cermin, dengan sentuhan feminin.

"Aku takut kehilangan─"

"Kau tidak akan kehilangan siapa pun," tukas Della tajam. "Bukankah aku sudah mematahkan apa yang kau sebut kutukan itu?"

"Tapi dia... sangat kecil. Bagaimana kalau aku tidak bisa melindunginya?"

"Kau pasti bisa. Bahkan kau sudah menyaksikan sendiri aku menang melawan maut," tambah Della dengan nada tidak ingin dibantah. "Dan sekarang aku ada di sini. Bersamamu. Bersama putri kecil kita. Apa lagi yang membuatmu ragu?"

Antonio terkunci pada sepasang netra yang menatapnya tajam. Kedua alis yang melengkung di atas mata itu menegak tegas.

Bayangan akan perjuangan mereka di ruang bersalin, terputar kembali dalam benak Antonio. Wajah Della yang meringis saat menahan sakit, seruan instruksi dari doker, cengkeraman kuat di bahunya, hingga akhirnya suara tangisan nyaring menjadi akhir dari itu semua.

Air mata Antonio menitik deras saat ia menempelkan keningnya ke kening Della yang tersenyum. Ia tidak peduli kalau dokter dan para perawat di ruangan itu akan mengejeknya cengeng atau tidak jantan. Beragam emosi yang teraduk dalam hatinya membutuhkan pelepasan beban.

Untuk sesaat, ia merasa akan kehilangan Della. Ketika gadis itu memejamkan matanya dan seolah tidak akan bangun lagi. Tetapi sekarang kedua mata itu sedang bersitatap dengan dirinya, menunjukkan keberadaannya.

Tatapan Della perlahan melembut saat menyadari perasaan yang tergambar di kedua mata abu-abu suaminya. Lelaki itu kini mengalihkan pandangan pada gendongannya dan lengkungan senyumnya merangkak naik. Perlahan, ia merunduk maju hingga keningnya menempel di kening Della. Sama seperti saat di ruang bersalin.

"Terima kasih," bisiknya lirih. "Terima kasih."

Della bisa mendengar itu dengan jelas. Hingga ungkapan syukur itu menyelimuti hatinya dengan kehangatan. "Omong-omong, kau belum memilihkan nama untuknya."

Antonio terdiam sejenak. "Mireia," ucapnya seolah sedang merapalkan doa. "Namanya Mireia Alvarez."

Kepala Della mengangguk setuju. "Boleh kutambahkan 'Vanellia' sebagai nama tengahnya?"

Binar memancar di sepasang netra milik Antonio. Tanpa berpikir lagi, tentu saja ia langsung menyepakati. Itu pasti penggabungan dari nama ibu mereka. Vanesha dan Rallia.

Selama sisa hidupnya, Antonio akan memastikan ia tidak kehilangan dua manusia paling berharga baginya ini. Ia harus menjaga dengan baik hadiah yang diberikan Tuhan untuknya.

~e n d~

Rabu, 24 Agustus 2016

Unlock Your Heart XVII: Reception (2)


Antonio Alvarez pantas terbenam di dasar neraka.

Lelaki itu mengenakan setelan biru gelap. Sama seperti groomsmen lainnya─Manuel, Miguel, dan Romero. Namun pesona yang terpancar dari sosok Antonio lebih memikat daripada lelaki lain di ruangan ini. Bahkan sanggup menyelubungi pesona sang pengantin pria yang seharusnya menjadi bintang utama hari ini.

"Aku benar-benar iri padamu, Della."

Kalau saja Neysa tidak menyebut namanya, Della tidak akan menyadari kalau sahabatnya itu sedang berbicara padanya. Sepasang netra gadis itu terpaku ke depan. Pada sepasang pengantin dan empat orang groomsmen yang tengah mengabadikan momen dalam jepretan kamera.

"Kau  bisa tetap bertahan pada satu lelaki. Padahal ada empat lelaki lain yang tidak kalah tampan di dekatmu." Neysa menggeleng-geleng. "Kalau aku pasti akan bimbang."

"Hei," tegur Della. "Satu dari para lelaki itu sudah resmi menjadi suami hari ini."

"Astaga." Neysa menggeleng sambil meniru suara cecak. Tangannya tertangkup di dada, menyesali dosa.

"Della, Neysa," panggil Diana yang berdiri tiga langkah di depan mereka. "Ayo."

Della dan Neysa mengangguk, lantas mengekor Diana dan Andrea berhampiran dengan mempelai perempuan. Sesi foto bersama groomsmen dam bridesmaid pun dimulai.

Hari ini Della mengenakan longdres serupa dengan yang dikenakan Neysa dan juga kedua sahabat Allenia─Andrea dan Diana. Sang pengantin memesan itu secara khusus. Keempat longdres itu sama-sama berwarna candy pink. Yang membedakan hanya bentuk kerahnya.

Setelah beberapa foto diambil, fotografer meminta pertukaran formasi. Della bersama tiga gadis lainnya meninggalkan sisi Allenia. Saat berpapasan dengan para lelaki, Della menerima sapaan berbeda-beda. Miguel membisikkan kata 'cantik' dan mengedipkan satu mata. Manuel tersenyum tipis sambil menatap Della. Romero mengangkat satu alis padanya.

Sementara Antonio?

Lelaki itu tidak melakukan apa-apa. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangannya lurus ke depan─mungkin helai-helai rambut Romero lebih menarik ketimbang penampilan Della. Seolah kehadiran gadis itu seperti acar di nasi goreng.

Ada dan tiada, tidak ada bedanya.

Habis-habisan Della meredam kekesalannya. Mungkin sekarang Antonio mulai menyesali keputusannya untuk meminta Della kembali.

Della baru bisa bernapas lega saat fotografer menyingkirkan empat lelaki bersetelan biru gelap itu. Hingga sesi foto selesai, indra penglihatannya masih bisa menangkap kehadiran Miguel, Manuel, dan Romero di ruangan itu. Tetapi tidak dengan Antonio.

Sepasang netranya mengerling. Ke mana lelaki itu?

Ah, sudahlah. Untuk apa ia peduli? Mungkin saja lelaki bermata abu-abu itu sudah benar-benar terbenam di dasar neraka. Menjadi iblis paling seksi di sana. Dalam hati, Della terkikik pada pujian dalam umpatan itu.

Della hendak kembali bergabung dengan teman-teman SMA-nya saat ponsel dalam tas tangannya bergetar.

Sebuah pesan datang dari 'Beer Hug'.
***

Pesta pernikahan Allenia Alvarez menjadi ajang reuni bagi teman-teman sekolahnya yang hadir. Dalam sekejap, mulai terdengar dengung percakapan penuh nostalgia. Della pasti menyesal kalau tidak datang hari ini.

Setelah menemukan waktu yang tepat, Della menyelinap keluar dari kerumunan. Ada seseorang yang menyadari gelagatnya. Gadis itu menyikut perlahan lengannya.

Andrea. Della mendebas lega. Syukurlah, bukan Neysa yang penuh rasa ingin tahu.

"Mau ke mana?" tanya gadis tomboi itu.

Della enggan menjawab. Ia hanya menyunggingkan senyum lalu cepat-cepat pergi dari sana.

Sesuai instruksi yang diberi Antonio, Della keluar melalui pintu berkaca sebelah barat. Kemudian ia melangkah pada jalan setapak yang dibentuk dari batu-batu pipih. Di sisi kanan dan kiri ada lampu jalan yang cantik. Della bisa membayangkan betapa indah pemandangan di sini ketika malam.

Jalan setapak itu berujung pada sebuah naungan yang disangga empat batang kayu. Bukan genting yang melapisi atapnya, melainkan pohon anggur. Tanaman merambat itu tumbuh dengan cara yang anggun. Sekumpulan anggur ungu yang berkilap meruntai seperti ornamen pohon natal.

Di bawah naungan itu ada meja kecil yang dilapisi taplak satin abu-abu. Della melangkah lebih dekat. Di atas meja itu terdapat buket lobularia. Bunga kesukaannya.

Della bisa merasakan seseorang menyeringai di dekatnya. Jenis senyuman puas atas reaksi Della melihat keindahan di depannya. Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu itu siapa.

Antonio mendekat dan mengambil buket bunga dari atas meja. Ada kebahagiaan terpancar di sepasang netranya. Ia menghidu sekumpulan lobularia itu sebelum memberikannya pada Della.

"Untukmu."

"Terima kasih." Della mendekatkan bunga ke hidung demi menghirup wangi yang manis.

"Aku senang kau menyukai ini," ujar Antonio penuh percaya diri.

"Aku tidak bilang begitu," sahut Della berpura-pura ketus.

Antonio hanya melengkungkan bibir penuh makna. Kedua matanya menatap intens pada Della.

Salah tingkah, Della melipat kedua tangan di depan dada. "Memangnya ada apa?"

"Aku hanya sedang ingin memonopolimu dari reuni dengan para lelaki dari masa remajamu."

"Kenapa?" Kedua mata Della terpicing. "Cemburu, ya?"

Salah satu sudut bibir Antonio terangkat, sengaja tidak menjawab tuduhan Della. "Aku justru senang bisa melihatmu. Pasti dulu kau cukup populer."

"Mungkin." Della mengangkat bahu. "Tapi kurasa Nina, maksudku Allenia jauh lebih populer. Kau tahu julukannya? High School Princess."

Antonio terkekeh singkat. "Jadi, kapan kau bersedia menerimaku kembali?"

Della mengangkat telapak tangannya yang terbuka. "Sabar di sana, lelaki tampan. Aku masih punya tiket emas yang belum kugunakan."

"Kalau begitu, cepat katakan saja keinginanmu."

"Apa kau memaksa?"

"Tidak. Aku hanya menyarankan untuk kebaikanmu."

Della mengeluarkan tiket emas itu dari tas pestanya. "Aku ingin kau yang menggunakan ini," ujarnya sambil menyerahkan lembaran itu kepada Antonio.

Alis Antonio terangkat. "Untuk apa?"

"Itu tiket emas di mana permintaan tidak boleh ditolak, kan?"

"Ya."

"Jadi, kau bisa menggunakan itu untuk memintaku, hem, misalnya yang berkaitan dengan gaun dan cincin." Della mengusap-usap dagu sambil melempar pandangan ke lantai. "Bagaimana, ya, aku mengatakan ini?" gumamnya pada diri sendiri.

"Kalau kuminta kau untuk meninggalkanku, apa itu berarti kau akan mengabulkannya?"

Della mengangkat wajah. Kedua tangannya terhempas ke sisi tubuhnya. Pandangan mereka beradu. Ia mencari keseriusan pada sepasang netra berwarna abu-abu itu. "Ayolah, kurasa kau lebih pintar dari ini."

Bibir Antonio berkedut karena senyum tertahan.  "Karena menurutku, kalau untuk pertanyaan yang itu, aku tidak butuh tiket ini untuk mendapat kawaban 'iya'."

"Wah, wah." Della memasang raut tersinggung. Kedua tangannya jatuh ke sisi tubuhnya. "Percaya diri sekali."

"Tentu saja." Antonio merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak beledu berwarna abu-abu ke hadapan Della. Ada frasa 'fourgive me' tercetak timbul di permukaannya. "Apalagi kalau aku membawa ini."

Bola mata Della nyaris menggelinding keluar. Kotak itu terbuka untuknya. Sebuah cincin dengan berlian berbentuk persegi berkilau tertimpa cahaya. Namun dengan cepat ia mengusai diri. Jangan sampai tampak terlalu antusias. Ia mendengkus sambil berusaha membuat senyum dan lirikannya tampak sinis. "Kau mau membuatku terlihat seperti perempuan materialistis?"

Antonio menggeleng ringan. "Kau pantas mendapat yang terbaik."

"Tapi ini pernikahan adikmu."

Antonio mengernyit.

"Kau tidak mau memilih hari lain sebagai hari istimewa kita?"

Antonio menyimpan kembali kotak itu. "Baiklah. Aku akan memilih hari untuk kita."

"Kalau begitu," Della mengerucutkan bibir sambil menganggut-anggut. "Aku akan mempertimbangkan jawabanku sampai hari itu tiba."

"Tapi kurasa, aku sudah bisa menebak dengan tepat apa jawabanmu."

Della tertawa kecil. "Jangan sok pintar."


Unlock Your Heart XVII: Reception (1)


Antonio menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruang rapat. Ia keluar dari ruangan besar itu dengan langkah lebar. Tanpa menduga bahwa Della sedang menunggunya di koridor.

"Selamat siang, Pak," sapa Della dengan gaya formal yang dibuat-buat.

Alis Antonio terangkat. "Siang."

"Boleh saya rapikan dasi Anda, Pak?"

Della langsung bergerak maju setelah mendapat anggukan dari Antonio.

"Permainan apa lagi ini?" Antonio menatap turun pada mantan sekretarisnya itu. "Kau sengaja mencari kesempatan untuk menggodaku, ya?"

Della hanya menjawab dengan senyum forma yang tidak menyentuh matanya. Perhatiannya pagi ini merupakan hadiah atas keberanian Antonio untuk mengunjungi makam ibu dan mantan calon istrinya.

"Dengan jarak seperti ini, aku bisa saja menciu─uhuk!" Spontan, Antonio menepuk-nepuk punggung tangan Della.

Tanpa menurunkan senyumnya, Della melonggarkan jeratan dasi agar Antonio bisa bernapas lega. "Selesai," ujarnya sambil mundur dua langkah. "Lain kali, jaga sikap saat leher Anda berada di tangan orang lain."

"Kau senang sekali mengerjaiku."

"Makan siang sudah saya titipkan pada sekretaris Anda. Selamat menikmati."

"Bagaimana dengan makan malamnya?" tanya Antonio untuk mencegah Della berpaling darinya.

Della memiringkan kepala, berlagak bingung. "Anda bisa memesan di salah satu restoran."

"Apa kau tidak berencana makan malam bersamaku?"

Della mengerucutkan bibir. "Entahlah. Saya tidak bisa berjanji. Tergantung apakah bos saya memberi tambahan pekerjaan atau tidak," ujarnya lantas berbalik meninggalkan Antonio yang menggeleng-gelengkan kepala heran.
***

"Della, bisa tolong lihat bagian ini?" tanya Rachel sambil mengklik sesuatu di layarnya. Dalam sekejap, draf berkas yang sama muncul di layar Della. "Sepertinya ada yang perlu kita diskusikan lagi dengan bagian perencanaan."

Della menganggut-anggut lalu menanyakan beberapa hal lain yang kurang ia pahami. Ada beberapa poin lain yang ganjil dan perlu dikoreksi ulang. "Kalau begitu, biar saya yang menangakan terkait SOP-nya, Bu Rachel."

Tepat saat itu, tiba-tiba pintu ruang General Manager dibuka tanpa peringatan.

"Mammieeeeeellll!"

"Hei, anak nakal! Apa yang kau lakukan di sini?" gerutu Rachel sambil mengulum senyum. Ia bangkit dari balik meja demi menyambut pelukan anak bungsunya.

Della yang sudah selesai dengan dokumen-dokumennya ikut beranjak dari kursinya. Mengabaikan kunjungan mendadak dari Miguel. "Bu Rachel, saya permisi dulu."

"Kau masih marah, ya?" cegat Miguel menghadang jalan Della.

Sekuat tenaga Della menahan keinginannya untuk memukul kepala Miguel dengan gulungan map. Hingga bibirnya melengkungkan senyum canggung. "Untuk apa aku marah?"

"Karena makan malam itu," jawab Miguel cepat. "Sudah kukatakan, aku di bawah tekanan. Nino yang memaksa untuk menggantikanku. Asal kau tahu, aku menunggu-nunggu makan malam itu."

"Sudah. Tidak apa-apa."

"Bagaimana caraku menebusnya?"

"Kalian pergi makan siang saja sekarang."

Itu bukan suara Della, bukan juga suara Miguel. Melainkan suara Rachel.

"Eh? Tapi, Bu─"

"Tidak apa. Biar aku yang urus dokumen-dokumen itu," potong Rachel sambil mengibaskan tangannya. "Kalian berdua pergi saja."

Miguel langsung memeluk dan mengecup pipi ibunya penuh suka cita. Ia tahu Della akan kesulitan menolak permintaan Rachel. "Terima kasih, Mammiel. Nanti kubawakan oleh-oleh."
***

"Kau ini benar-benar licik," geram Della sambil melipat tangan ke depan dada.

"Kenapa kau mengatakan hal jahat seperti itu?" tanya Miguel sambil menekan tombol lift.

"Kau sengaja, kan, bicara seperti itu tadi supaya Bu Rachel menyuruh kita pergi makan siang?"

"Della! Della! Tunggu!"

Serentak, Della dan Miguel menoleh pada Allenia yang setengah berlari ke arah mereka. Apa yang terjadi sampai membuat gadis itu kehilangan sikap tenangnya?

"Apa ada masalah dengan bekal makan siang Pak Antonio?"

Allenia menggeleng-geleng sambil mengatur napas sementara Miguel justru tertarik dengan ucapan Della.

"Kau membuatkan bekal untuk Nino? Kapan kau buatkan untukku?"

Allenia mencengkeram kerah jas Miguel, seolah seluruh hidupnya bergantung pada benda itu. "Tolong... antar... aku."
***

"Kami mohon maaf. Tapi kalau mencetak ulang dengan jumlah sebanyak itu dalam dua hari, kami tidak menyanggupi."

"Mana tanggung jawab kalian?" Allenia meradang. "Kalian tahu, temanku ini pengacara," pungkasnya sambil mengarahkan ibu jarinya ke samping.

Merasa ditunjuk, Miguel menegakkan posisi duduknya. Jelas sekali, ia membubuhkan sedikit wibawa dan kebanggaan di sana.

"Nama calon suamiku itu 'Oliver', bukan 'organ dalam penghasil empedu'," tutur Allenia sambil menunjuk undangan di atas meja. Udara yang berembus dari pendingin ruangan tampaknya tidak sanggup menyejukkan emosi gadis itu. "Dan namaku itu 'Allenia', bedakan dengan 'paragraf'!"

Lembut, Della menyentuh lutut Allenia. Tanpa kata-kata, ia meminta gadis itu untuk tenang. Sang calon pengantin itu memang tidak membentak atau meninggikan intonasi, tetapi nada bicaranya tajam dan mengisyaratkan kekesalan tingkat neraka. Bagaimana tidak? Undangan yang harus disebar dua hari lagi malah bermasalah.

"Berapa yang sanggup kalian cetak dalam dua hari?"

"Hem... sekitar 100."

Della memicingkan mata sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Itu sudah maksimal?"

Kedua  staf itu saling berpandangan. "Kami bisa mengusahakan sampai 250."

"Baiklah," sahut Della yang mengundang tatapan protes dari Allenia. "Untuk mengganti sisanya, tolong buatkan undangan digital berupa video animasi. Besok kami akan datang kembali ke sini untuk memeriksa hasilnya."

"Ah, kalau untuk itu... kami harus bertanya dulu dengan animatornya."

"Silakan bertanya, kami akan menunggu di sini."

Salah seorang staf berseragam beige itu meninggalkan ruangan dengan tergesa.

"Dan untuk itu, kami juga meminta soft copy undangan. Siapa tahu ada percetakan lain yang sanggup menyelesaikan sisanya."

"Eh, kalau itu─"

"Jam berapa Manager kalian kembali dari makan siang?" Miguel yang sejak tadi diam, mendadak bersuara.

Staf itu menelan ludah, mau tidak mau menuruti permintaan Della.
***

"Della, terima kasih, ya."

Sejak mereka meninggalkan kantor percetakan tadi, Allenia berulang kali mengucapkan kalimat itu. Seakan-akan ia adalah robot yang sudah diatur dari pabriknya. Bahkan ketika mereka bertiga makan siang hingga Miguel mengantar mereka kembali ke kantor, gadis itu masih belum bosan dengan dialog yang sama.

"Iya. Sampai kapan kau mau mengatakan itu?"

Allenia terkikik bersamaan dengan pintu lift yang menutup di belakang mereka. Gadis bersetelan hijau pupus itu melenggang kembali ke ruang sekretaris, meninggalkan Della yang menghela napas panjang. Sebaiknya, ia juga segera kembali ke ruangannya. Ada banyak pekerjaan yang menunggu.

"Sepertinya kau baru saja membuat adikku senang."

Della mengangkat bahu pada kemunculan Antonio yang tiba-tiba. "Mungkin."

"Kebetulan sekali aku sudah menyiapkan hadiah untukmu."

Della mengerling demi menemukan seringai di bibir Antonio.

"Makan malam denganku."
***

"Tempat yang bagus," ujar Della sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pada akhirnya, ia tidak bisa menolak 'hadiah' dari Antonio. Begitu segala urusan di kantor selesai, lelaki itu langsung menjemput Della di ruangannya.

"Kau suka?"

Della mengerucutkan bibir dengan gaya menyebalkan. "Lumayan."

"Sepertinya mulutmu sedang kesulitan mengungkap pujian, ya?"

Della hanya mengangkat bahu. "Lalu bagaimana dengan gadis itu?"

"Siapa?"

"Apa dia lenyap begitu saja dari hubungan kita?"

Antonio tersenyum saat mengerti siapa yang dimaksud oleh Della. "Emery menitip salam untukmu."

Salah satu alis Della terangkat.

"Dia seorang Psikolog, kau tahu?" ucap Antonio membuat alis Della kini berkerut. "Dia mendengarkan ceritaku, memberiku beberapa jenis terapi hingga akhirnya aku lepas dari bayang-bayang Nadira."

"Jadi, kau sudah melupakan Nadira?"

Antonio menggeleng. "Seperti katamu, Nadira tetap berada di salah satu sisi hatiku. Dalam kotak berlabel kenangan."

"Wah," desah Della dengan gaya sarkastik alih-alih kagum. Ia juga menepukkan kedua telapak tangannya tanpa suara. "Terima kasih pada Emery."

"Terima kasih padamu," ralat Antonio sambil mengusap punggung tangan Della. "Kau yang membuka hatiku yang terkunci. Lalu kunci itu hilang. Dan Emery yang membantuku untuk menemukannya."

Perlahan, Della menarik tangan dari sentuhan Antonio lalu berdeham. Ia harus mengalihkan perhatian karena kedua pipinya mulai terasa hangat.

"Aku mau menggunakan tiket perak ini."

"Apa permintaanmu?"

"Hadirlah di pernikahan adikmu."
***

Rabu, 03 Agustus 2016

Unlock Your Heart XVI: Repetition (2)


"Aku menyesal sempat berpikir bahwa kau manis karena merencanakan kencan ke Fairy Dreamland," ucap Antonio lantas mengembuskan napas yang dibebani sesal.

Dengan raut tidak bersalah, Della tersenyum riang. "Bukankah sangat manis kencan dengan menaiki wahana bersama?"

"Ya. Tapi bukan wahana seperti ini─"

Kalimat Antonio terputus dan langsung disambung teriakan menggelegar yang terpantul ke langit karena roller coaster yang mereka naiki tiba-tiba menukik turun. Sementara Della yang duduk di sampingnya malah terbahak sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menikmati kebebasan. Saat Antonio memejamkan mata, gadis itu malah berteriak seru karena jalur rel yang semakin menanjak lalu meliuk seolah melemparkan jantung mereka ke angkasa.

Setelah sembilan puluh detik terlama dalam hidup Antonio sudah berakhir, tetapi ia masih bisa merasakan lonjakan yang mengguncang seluruh organnya. Beruntung, Della mau berbaik hati membimbingnya ke kursi terdekat dan memberi sebotol air mineral.

Tawa kecil tertahan dari Della terdengar menyebalkan di telinga Antonio. "Seharusnya kau tidak perlu menyewa tempat ini secara khusus."

Antonio melirik tajam bersamaan dengan tetes air terakhir menyentuh tenggorokannya. "Kau pasti senang mempermalukanku."

"Bukan begitu. Hanya saja, setiap kali kau berteriak panik, itu membuatmu terdengar lebih... manusia."

"Lalu selama ini kau kira aku apa? Vampir?"

Della mengangkat pundak. "Entahlah. Mungkin dewa dengan ketampanan abadi atau robot pekerja keras yang tidak akan menua. Tapi melihatmu begini, kau tampak lebih hidup."

"Aku tidak mau hidup abadi kalau harus merasakan kehilangan," gumam Antonio sambil menatap pada puncak trek roller coaster yang tadi mereka naiki. Sebelum suasana berubah melankoli, cepat-cepat ia mengalihkan pandangan pada Della. "Selanjutnya kau mau naik apa? Karosel?"

"Membosankan."

"Istana hantu?"

Samar, raut wajah Della mengernyit ngeri selama sedetik. "Membosankan."

Antonio bisa melihat perubahan ekspresi itu dengan jelas walaupun Della berusaha menyembunyikannya. Tanpa menunggu lagi, ia meraih pergelangan tangan Della dengan keputusan bulat. "Kita ke istana hantu."
***

"Sampai kapan kau mau memeluk lenganku seperti itu?"

Tergeragap, Della melepas belitan lengannya pada Antonio lalu membuka matanya yang terpejam. "Oh, akhirnya kita keluar juga," ujar Della berlagak tenang. "Di dalam sangat gelap. Apa wahana ini sering menunggak tagihan listrik?"

"Memang sulit, ya, mengakui bahwa kau juga punya rasa takut."

"Kau sendiri, kenapa pura-pura berani?" balas Della menolak kalah.

"Aku memang tidak takut. Justru selama bertahun-tahun, aku berharap semoga makhluk seperti itu memang ada. Supaya aku tetap bisa berkomunikasi dengan─"

"Ibumu dan Nadira." Della menyelesaikan kalimat Antonio. "Tapi aku ke sini bukan untuk mengenang masa lalu."

"Aku tahu."

Keheningan mendesak masuk di antara mereka selama beberapa jenak.

"Omong-omong, kau punya berapa pakaian dengan tulisan seperti itu?" tanya Della seraya menunjuk dada kiri Antonio. Di atas polo shirt lelaki itu tercetak frasa 'fourgive me', seolah itu adalah merek pakaian tersebut. Serupa hoodie hitam yang dikenakannya tempo hari.

"Sebanyak yang kau mau," jawab Antonio bangga. "Aku tinggal memesannya. Seperti ketika kau memintaku untuk mengenakan warna biru muda untuk kencan kita hari ini."

Della hanya ternganga, tidak bisa berkata-kata.

"Mungkin bagimu tampak sepele, tapi ini caraku untuk menunjukkan bahwa aku sungguh-sungguh menyesal."

"Bukan begitu caranya menunjukkan penyesalan."

Kening Antonio berkerut. "Lantas?"

Senyum jail terbit di wajah Della. "Temani aku naik karosel dengan kecepatan seratus kilometer per jam."

Ekspresi Antonio berubah mual. "Isi perutmu akan tumpah sebelum benda itu berhenti berputar."

"Tidak apa-apa." Della tergelak karena wajah Antonio semakin ngeri. "Asal aku selalu berpegangan padamu."

Senyum miring yang menyebalkan kini muncul di bibir Antonio. Lelaki itu merunduk hingga wajahnya berhadapan dengan Della. "Aku akan mengizinkanmu berpegangan padaku, kalau hari ini kau kembali ke sisiku."

Semburat kemerahan menyebar cepat di kedua pipi Della. Ia mengulurkan tangan untuk menjadi penghalang di antara mereka. "Tidak semudah itu. Aku masih punya tiga tiket lagi sebelum mengambil keputusan," ucap Della dari balik punggung tangannya.

Setelah berkata begitu, Della berbalik dengan cepat dan menjauhi Antonio. Bahkan ia tidak sempat mencuri pandang pada wajah tampan itu.

Antonio yang tertinggal di depan pintu keluar Istana Hantu menegakkan tubuh sambil terkikik geli. Lalu, ia berjalan mengikuti Della sambil memandangi punggung gadis itu dengan raut bahagia.
***

"Selamat pagi."

Tersentak, Allenia langsung bangkit dari kursi putarnya. Bahkan ujung kukunya nyaris patah terbentur tuts papan tik begitu mengenali siapa yang berkunjung ke kubikel kerjanya hari ini.

"Kau kembali?" tanya Allenia tidak percaya bisa kembali melihat Della dalam setelan formal.

Della mengangguk tersenyum sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Jadi, kakakku berhasil meluluhkanmu lagi?"

"Tidak juga." Della mengangkat pundak. "Aku setuju kembali bekerja. Tapi kalau untuk kembali ke sisinya, itu nanti dulu."

"Jadi kau sedang bermain hard-to-get?"

Della hanya menjawab dengan kekehan kecil. "Oh, ya, ini untukmu. Maaf atas sikap menyebalkanku waktu itu."

"Seharusnya kau tidak perlu repot-repot," ujar Allenia seraya melongok ke dalam kantung yang berisi kotak putih persegi panjang dengan nama toko bertinta emas. "Ini kue?"

Della mengangguk. "Bolu gulung stroberi. Entah kenapa saat melihat permukaan lembut yang dilapisi krim putih, parutan keju, dan potongan stroberi segar membuatku langsung teringat pada calon pengantin."

Allenia tersenyum redut. "Seharusnya kau memberiku bridal eyeshadow palette dari Avrodiz. Bukannya bolu gulung Cakewalkers. Aku punya tugas menjaga berat badan agar ukuran gaunku tidak bertambah."

"Mempersiapkan pernikahan juga memerlukan banyak energi. Jangan sampai kau terlalu kurus."

"Ya, ya. Terserah kau saja."

"Seharusnya kau bilang 'terima kasih'."

"Ya, oke. Terima kasih."

"Terdengar tidak ikhlas. Tapi tidak apa-apa," ucap Della sambil tersenyum maklum. "Omong-omong, hari ini jam berapa saja jadwal kakakmu kosong?"

Allenia membungkuk pada layar komputer sambil menggeser tetikus. "Setelah rapat jam sepuluh, jadwalnya kosong sampai jam makan siang. Kenapa?"

"Aku mau mengajaknya ke suatu tempat."

"Kurasa, kencan sebaiknya dilakukan di akhir pekan."

Della menggeleng. "Aku tidak mau bermain hard-to-get terlalu lama."
***

Della memandangi kedua tangan Antonio yang mencengkeram kuat roda kemudi. Ia tahu, lelaki itu sedang berusaha menyembunyikan gemetar yang melanda sekujur tubuhnya.

"Kalau kau tidak siap, kita bisa pergi ke tempat lain," saran Della memecah keheningan. Mesin mobil sudah dimatikan sejak kendaraan itu berhenti di bahu jalan. "Di tiket perunggu ini tertulis bahwa kau boleh menolak dan menyarankan permintaan lain."

Antonio menyandarkan tengkuknya ke jok mobil, lalu menggeleng. "Beri aku waktu. Sebentar lagi."

Della mengerti dan memutuskan untuk ikut berdiam diri. Ia melempar tatapan pada gapura bertuliskan 'Svarga Memorial Park and Funeral Home' yang berada di seberang jalan. Di sanalah tujuan mereka. Tempat Vanesha Alvarez dan Nadira di makamkan.

Tadi, Antonio memang terkejut ketika Della mengutarakan permintaan keduanya. Dengan cepat, ia mengendalikan diri. Bahkan, dengan penuh kesadaran menyetir untuk datang ke tempat ini. Ia berharap seiring waktu berjalan dan jarak yang terkikis, keberaniannya akan terbit.

Nyatanya, memori akan kehilangan justru merayapi punggungnya dengan beban.

"Boleh aku tahu alasanmu?" tanya Antonio setelah beberapa waktu tidak ada suara di antara mereka. "Bukankah kau membenci Nadira?"

Della menoleh pada Antonio. "Aku tidak membencinya. Bagaimanapun, Nadira adalah seseorang yang berharga untukmu. Begitu juga dengan ibumu. Sampai kapan pun, mereka selalu punya tempat istimewa di  hatimu. Dalam kotak berlabel kenangan."

"Apa kau tidak takut aku akan terjebak masa lalu?"

Della menggeleng yakin. "Masa lalu akan selalu berada di belakangmu. Tidak perlu dihapus. Kau hanya perlu menerimanya."

Antonio kembali terdiam, meresapi kata-kata Della.

"Tapi, seperti yang tadi kubilang, kau boleh menolak. Kita bisa datang lagi saat kau siap," tambah Della. "Tiket ini bukan lampu ajaib dan kau bukan jin pengabul keinginan."

Seolah mencari kekuatan tambahan, Antonio meremas dasinya. Kain yang tergantung di kalarnya itu memiliki motif garis-garis. Tetapi kalau dilihat lebih saksama, garis-garis itu sebenernya merupakan barisan frasa 'fourgive me'. Dengan tekad bulat, Antonio menyalakan  mesin. Ia menggerakkan persneling lalu menginjak gas.

Begitu mobil kembali bergerak, Della tersenyum seperti ibu yang bangga melihat anaknya bisa mengendarai sepeda tanpa terjatuh. Ia dan dua buket bunga di pangkuannya tahu bahwa Antonio mampu mengatasi ketakutannya.
***

Unlock Your Heart XVI: Repetition (1)


Perlahan, Della menolehkan kepala. Tetapi ia tidak bisa langsung menemukan orang yang dimaksud Neysa.

"Dia yang memakai kemeja biru dongker. Namanya Ibel. Hampir seluruh perempuan di sini jatuh hati padanya. Karena selain tampan, dia juga ramah dan pekerja keras. Tapi yang kudengar, katanya dia sudah punya pacar."

Alis Della menegak saat mendapati sosok itu. Satu-satunya lelaki yang tidak menggulung lengan kemejanya hingga siku di antara gerombolan karyawan yang tengah menikmati istirahat siang. Penampilannya juga tampak rapi dengan kemeja dan celana yang seolah baru saja disetrika. Rambutnya disisir rapi dan dagunya licin tanpa jerawat maupun bakal janggut yang membayang.

Della juga pernah mengenal seorang lelaki yang selalu berpenampilan rapi dengan setelan jasnya. Pakaiannya tidak pernah kusut walaupun dikenakan sehari penuh. Aroma tubuhnya selalu wangi dan tentu saja ia seorang pekerja keras.

Tunggu sebentar. Sejak kapan ia mulai membandingkan orang seperti ini?

Ketika kening Della mulai mengernyit tidak nyaman, Neysa sudah menunjuk karyawan lain yang diklasifikasikan sebagai lelaki tampan. Untuk menghargai kebaikan sahabatnya, Della membuka mata lebar-lebar untuk memerhatikan sekelilingnya.

Tetapi... di mana para lelaki tampan yang dimaksud Neysa? Walaupun Neysa  menjelaskan seolah sedang menunjukkan ginseng berkualitas super, yang dilihat Della hanyalah jahe yang bisa ia temui di pasar mana pun. Tidak ada yang istimewa. Sehingga lidahnya kesulitan untuk mengungkapkan persetujuan.

"Tapi dari semua lelaki tampan di kantor ini, tentu saja tidak bisa mengalahkan ketampanan Pak Archie."

"Oh, ya?"

Kelopak mata Neysa memicing curiga. "Aneh sekali. Seharusnya, kau sudah bertemu dengannya. Lagi pula, tadi aku melihat beliau masuk ke ruang interviu mengenakan setelan jas warna terakota dan dasi abu-abu atau perak."

Sosok lelaki yang tadi duduk di tengah dan berhadapan langsung dengannya muncul dalam benak Della begitu mendengar deskripsi Neysa. "Ah, yang itu. Tadi dia mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup sulit menurutku."

Tatapan Neysa semakin menyipit, pertanda ia sedang tidak tertarik membahas pertanyaan yang dimaksud Della. "Sekarang, kau yang aneh. Apa radar-lelaki-tampan milikmu sedang tidak berfungsi? Jelas-jelas, kau harus segera berkenalan dengan lelaki tampan yang berpotensi menjadi kekasihmu."

Della menggeleng dengan kuat saatwajah Antonio yang sedang tersenyum muncul kembali di benaknya. "Entahlah. Bukan tidak menghargai tawaranmu, tapi aku tidak tertarik."

"Astaga. Kau sudah sakit parah rupanya." Neysa menutupkan tangan ke mulut dengan gaya dramatis. Lalu ia memanjangkan tangan untuk menepuk bahu Della. "Biar dokter Neysa mengobatimu."

Della meringis tidak nyaman. "Tapi aku sedang tidak ingin belanja─"

"Siapa bilang kita akan belanja? Pengobatanmu harus dilakukan dengan bantuan alam."
***

Di bawah langit Minggu pagi yang cerah, Della dan Neysa berdiri di dalam barisan bersama tiga puluh orang lainnya. Mereka berdiri di depan sebuah lahan seluas lapangan basket dengan penampilan serupa. Overal yang melapisi kaus lengan panjang, topi ber-visor lebar, sarung tangan karet, dan sepatu bot. Masing-masing orang dibekali perlatan berupa garpu tanah, sekop, sudip, dan gembor dengan ukuran yang mudah digenggam satu tangan.

Binar semangat meletup-letup di raut wajah Della. Kontras dengan Neysa di sampingnya yang sibuk mengipaskan tangan ke wajah yang mulai basah karena keringat. Heran, padahal justru gadis itu yang menyarankan kegiatan ini sebagai sarana penyembuh patah hati Della. Sekarang ekspresinya malah seperti ingin cepat-cepat pulang.

Seorang wanita berusia setengah abad dengan usia semangat tiga puluh tahun lebih muda menjelaskan rincian kegiatan kelompok berkebun hari ini. Setelah kata-kata pendahuluan diakhiri dengan salam, peluit ditiup sebagai aba-aba untuk menuju lahan yang sudah disediakan. Dengan mudah, Della menemukan papan kayu bertuliskan namanya tepat di dekat sudut siku-siku yang dibentuk pagar pembatas.

Della lantas berjongkok dan mulai menggaruk tanah menggunakan garpu. Dalam sekejap, ia sudah tenggelam dalam kegiatan barunya. Pergi bersenang-senang dengan Neysa, mengikis permukaan kesedihan yang mengeras karena ia menyendiri di flatnya. Menghabiskan waktu dengan haiking berhasil menumpahkan isi bejana kekecewaannya. Dan sisa kerak penyesalannya akan ia ubah menjadi energi untuk mengantar bibit kehidupan baru ke dalam tanah yang dipijaknya.

Ketika Della mulai mengeduk ke dalaman satu inci, tiba-tiba ujung sekop yang dipegangnya membentur sesuatu yang keras. Ia mencungkil benda seperti batu itu dengan ujung sekop tetapi tidak berhasil.

"Butuh bantuan?"

Suara perlahan yang muncul dari sampingnya secara tiba-tiba itu otomatis membuat Della berteriak kaget. Ia sukses terjungkal setelah mengenali siapa yang dilihatnya.

Dengan sigap, sosok berbahu lebar dan berdada kekar itu membantu Della untuk berdiri. Sambil menepuk-nepuk overalnya yang terkena noda tanah, Della melirik sedikit demi melihat ukiran sempurna bak patung dewa Yunani di bawah bayang-bayang topi bisbol. Alis, hidung, bibir, dan terutama sepasang netra abu-abu yang membuat para ahli bahasa harus menemukan kosakata baru untuk menggambarkan keindahan parasnya.

Della sadar, ini bukan saatnya untuk kagum. Setampan apa pun Antonio, lelaki itu tetap saja sudah mematahkan hatinya. Tidak hanya menjadi dua, melainkan berkeping-keping hingga ia tidak bisa lagi melihat bentuknya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Antonio sambil melongokkan wajah khawatir. Lelaki itu baru saja membersihkan bagian punggung dan siku Della.

"Pertanyaan macam apa itu?" balas Della dengan sinis.

Antonio mengernyit lalu mengusap tengkuk yang digelayuti perasaan bersalah. "Maaf sudah membuatmu kaget."

Della mendelik. Untuk apa lelaki itu meminta maaf pada kesalahan kecil sementara ada sesuatu yang lebih besar terjadi di antara mereka? "Ah," geram Della sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Sepertinya aku benar-benar kehilangan selera humorku. Tolong beri tahu aku kalau sudah waktunya untuk tertawa."

"Aku tidak sedang bercanda."

"Sudah kubilang, jangan ganggu aku lagi," ucap Della setengah hati sambil kembali berjongkok dan meraih sekop mininya.

Antonio ikut berjongkok di samping Della yang kini sibuk menyingkirkan penghalang di tempat ia akan menanam.

"Sebaiknya, kau pergi sebelum ada yang mengusirmu. Ini area khusus wanita," ujar Della jengah karena Antonio hanya terus memandanginya tanpa mengucapkan apa-apa.

"Tidak akan ada yang mengusir penggagas kegiatan ini." Nada angkuh dan tegas selalu melekat di setiap kalimat lelaki itu, walaupun ia tidak bermaksud begitu.

Leher Della berputar cepat. "Kau merencanakan semua permainan licik ini?"

Antonio menggeleng. "Kurasa ini lebih mirip strategi bisnis yang saling menguntungan antara para karyawan yang menginginkan akhir pekan di tempat perawatan kecantikan." Ia menunjuk gerombolan perempuan yang berlagak sibuk dengan kegiatan berkebun.

Della memicingkan mata. Ketika ia membayangkan overal dan kaus lengan panjang sebagai seragam hari ini berganti menjadi setelan formal, wajah-wajah itu berangsur terasa familier. Wanita yang menjadi pengarah acara hari ini sepertinya salah satu ketua divisi yang sering ia temui saat rapat.

Telunjuk Antonio berpindah pada Neysa yang sedang mengaduk-aduk tanah dengan serampangan, beberapa petak di depan. "Perempuan yang menginginkan sepasang Stevany edisi terbatas."

Sial. Neysa sampai berpihak pada Antonio hanya demi sepasang sepatu? Della benar-benar merasa dikhianati.

Terakhir, telunjuk Antonio menjuju pada dirinya sendiri. "Dan lelaki yang ingin mendapatkan cintanya kembali."

"Kau tidak akan mendapat apa pun," gumam Della ketus sambil sekuat tenaga menarik batu yang sejak tadi mengganjal itu. Entah karena kekesalan yang menggumpal atau apa, ia jadi memiliki tenaga tambahan hingga berhasil mengeluarkan benda keras yang  terbungkus plastik hitam itu.

"Bukalah," ucap Antonio cepat-cepat saat menyadari gelagat Della yang hendak melempar benda itu jauh-jauh.

Kernyitan curiga muncul di kening Della. Tetapi entah mengapa, ia menurut saja. Bagaimana kalau isinya petasan? Atau mungkin granat? Brutal, Della merobek plastik itu sebelum kraniumnya meledak karena spekulasi.

Sebuah kotak cincin abu-abu berbahan beledu berada di balik plastik. Della menoleh pada Antonio yang langsung mengangguk sebagai isyarat agar gadis itu membuka kotak yang dipegangnya. Begitu dibuka, kernyitan di kening Della malah semakin dalam.

Tidak ada apa pun di dalam kotak itu.

"Kosong," ucap Antonio lalu membuang napas seolah sedang melepas beban. "Seperti itulah perasaanku setelah berpisah denganmu."

"Ha, jangan memutar balikkan fakta." Della menarik tangan Antonio dan menyelingkit kotak cincin ke genggaman lelaki itu. "Kau yang meninggalkan aku."

Dengan lembut, Antonio mencengkeram pergelangan tangan Della untuk menarik gadis itu berdiri berhadapan dengannya. "Untuk itulah aku meminta maaf," ucapnya sambil menunjuk tulisan 'fourgive me' di hoodie-nya.

Della menarik tangannya dan tersenyum miring. "Aku hampir tersentuh. Tapi ternyata kau membuat tulisan itu dengan setengah hati."

Antonio menggeleng, lantas menampilkan senyum pongah seolah ia sudah menduga dengan tepat apa yang akan diucapkan Della. "Aku memang sengaja menyisipkan huruf U berwarna abu-abu di antara huruf lain yang berwarna putih. Mana mungkin orang dengan kemampuan berbahasa sepertiku melakukan kesalahan konyol seperti ini." Antonio berdecak-decak heran. "Ini pesan tersembunyi."

Della melipat tangan di depan dada, menunggu.

"Four tickets and forgive me." Antonio mengeluarkan empat kertas persegi panjang yang mirip tiket film dengan warna-warna berbeda. Tembaga, perunggu, perak, dan emas. "Aku memberimu empat tiket istimewa ini. Kau bisa meminta apa pun dariku, asal itu bisa menjadi bahan pertimbangan bagimu untuk kembali ke sisiku."

Della memandangi keempat tiket yang kini berada di tangannya. Benaknya berputar cepat. "Apa pun?"

Antonio mengangguk. "Semakin tinggi tingkatan tiket yang kau pilih, semakin aku tidak boleh menolak. Jadi, gunakan dengan bijak."

Della menyelipkan bibir diantara giginya selama ia berpikir. "Aku mau menggunakan tiket tembaga," putusnya kemudian. "Untuk kencan yang tidak terlupakan."

Antonio menelan ludah saat menyimpan tiket pertama kembali ke sakunya. "Cepat juga kau mengambil keputusan."

"Aku tidak mau perjuanganmu sia-sia."

Antonio menganggut-anggut. "Oke. Bungee jumping lagi?"

Di luar dugaan, Della menggeleng. "Aku mau ke taman bermain."
***


Rabu, 27 Juli 2016

Unlock Your Heart XV: Rejection (2)



 Kedua kakinya terasa lelah dan kulitnya  lengket karena keringat tetapi Della merasa awan hitam yang membebani hatinya perlahan sedikit menghilang. Besok ia bisa menata ulang kehidupannya. Senyum tipis di ujung bibir mendampingi langkahnya.

Tidak sampai empat puluh delapan jam ia pergi, siapa sangka koridor menuju unit flatnya kini menjelma kebun bunga. Bunga dari berbagai jenis dan warna dibentuk menjadi buket cantik yang terikat pada sebuah cagak. Gelas sampanye raksasa menopang cagak itu dengan kokoh. Semua bunga itu ditata berderet-deret di samping dinding. Tingginya tepat di bawah hidung Della, sehingga ia bisa dengan mudah menghidu wangi lobularia saat berhenti sejenak di depan bunga kesukaannya itu.

Saat itulah, melalui ekor mata, Della melihat seseorang muncul dari balik buket bunga yang diletakkan paling ujung. Orang itu berjalan dengan langkah mantap, seolah ia adalah Pangeran Musim Semi di antara bunga-bunga setinggi bahunya.

Sepasang netra abu-abu miliknya terarah langsung pada Della. Dan seketika itu juga, angin musim dingin berembus dan mengantarkan gumpalan mendung kembali ke hati Della.

Kini, tiga langkah di hadapan Della, berdiri manusia dalam urutan terakhir yang ingin ia temui di bumi.

Della ingin menanyakan alasan lelaki itu berada di sini. Tetapi ia tahu, sedikit saja ia membuka hati maka semua usahanya untuk bangkit dari kesedihan akan hancur menjadi pasir. Ia menaril napas panjang untuk memantapkan hati, lalu berjalan dengan langkah lebar. Masa bodoh, ia terus melangkah seolah Antonio adalah sosok yang tidak kasatmata.

Tidak ingin kesempatannya hilang, Antonio meletakkan tangannya di bahu Della. Gadis itu menahan langkahnya.

"Apa maumu?" tanya Della ketus. Sekuat tenaga ia menahan nyeri yang menusuk pangkal tenggorokannya.

"Aku mau meminta maaf padamu."

"Tidak perlu ada yang dimaafkan. Aku senang kau bahagia."

Kening Antonio mengernyit pilu. "Jangan mengatakan hal yang menyedihkan begitu."

"Lantas apa yang kau harapkan?" tanya Della sengit. "Terima kasih atas semua bunga-bunga cantik ini. Aku harap kita tetap bisa menjaga hubungan baik ini, walaupun aku sudah mengabaikanmu demi perempuan yang mirip mantan kekasihku." Nada bicaranya sarkastis dibalut pemanis palsu. "Berhentilah berharap. Perasaanku tidak sebercanda itu."

"Aku tahu itu." Suara Antonio berubah serak. "Semua bunga ini wujud dari penyesalanku. Aku sudah sadar, kepadamulah seharusnya hatiku kuberikan."

Della mendengus. "Ini bukan hal besar bagi lelaki kaya sepertimu. Kau bisa saja membeli berhektar-hektar kebun bunga tapi tetap bisa makan dengan layak keesokan harinya."

"Della," mohon Antonio sambil menatap kedua mata Della yang mulai memerah. Ia tahu, gadis itu sekuat tenaga menahan tangis. "Maafkan aku dan kita bisa kembali berbahagia."

"Aku sudah memaafkanmu," tandas Della dengan suara tercekat. "Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi."
***

Tadi Della sudah mengganti gaun hitamnya dengan gaun paling cerah yang ia miliki. Tetapi itu semakin mempertegas raut muramnya. Maka, pilihan akhirnya jatuh pada sebuah gaun berwarna abu-abu. Gaun berkerah shanghai itu tetap memperlihatkan lekuk pinggangnya yang sudah berkurang beberapa sentimeter. Dan juga mengingatkan Della pada warna mata lelaki itu.

Della menggeleng dan berfokus pada bayangannya di cermin. Tidak ada waktu untuk kembali berganti pakaian. Suasana hatinya sedang buruk. Maka pakaian apa pun tetap terlihat menyedihkan baginya. Lagi pula ia tidak ingin membiarkan Miguel menunggu lama. Lelaki itu sudah berbaik hati menyelesaikan satu masalahnya.

Tidak banyak yang Della lakukan pada wajahnya. Hanya concealer untuk menutupi bagian bawah matanya yang menghitam, bedak, dan lipstik berwarna persik segar.

Setelah memeriksa penampilannya sekali lagi, Della meninggalkan flatnya.

Ketika taksi yang Della tumpangi memasuki pelataran parkir restoran yang dimaksud Miguel, ponselnya berdering.

"Ya, Miguel? Aku sudah sampai."

"Della, maaf. Bisa tolong tunggu sebentar?"

Kening Della mengernyit. "Apa ada masalah?"

"Ada klien yang sedikit rewel," bisik Miguel. "Masuk saja dulu. Bilang saja, reservasi atas nama Miguel Vennochio."

"Apa lebih baik kubatalkan saja?" tawar Della. "Kita atur jadwal lagi lain waktu."

"Jangan," cegah Miguel. "Ini hanya terlambat sedikit."

"Oke." Della melirik jam tangannya. "Lima belas menit. Kalau kau tidak datang, aku pulang."

"Lima belas menit itu cukup. Tunggu, ya," sahut Miguel sebelum memutus sambungan.

Della mengembuskan napas kesal sambil menyimpan ponselnya. Ia membayar ongkos taksi lalu bergegas memasuki restoran yang tampak lengang.
***

Api di puncak lilin dalam gelas itu bergoyang-goyang. Beberapa helai lobularia berguguran ke lantai kayu yang dihiasi lampu menyerupai tali.  Birai setinggi meja seolah berusaha menghalanginya agar tidak melompat ke danau yang mulai menggelap. Semilir angin membelai langsung pipi dan puncak hidungnya.

Dasar. Lelaki itu benar-benar hendak pamer, rupanya.

Terdengar ketukan langkah yang membuat Della menoleh. Seorang lelaki dengan setelan abu-abu dan buket lobularia di tangannya berjalan mendekat. Senyum di bibirnya, membuat Della ingin mengumpat.

Sial. Della tertawa remeh pada dirinya sendiri. Ia memutar bola mata sambil berdecak kesal. Lain kali, tolong ingatkan ia untuk menendang bokong Miguel.

"Untukmu."

Della hanya memandangi bunga itu tanpa minat. Bisa-bisanya Miguel melakukan hal licik seperti ini padanya?

"Aku senang melihat pilihan warna gaunmu," ucap Antonio lantas duduk di hadapan Della tanpa tahu malu. "Menurutmu, apa itu berarti sesuatu?"

"Menurutku," ujar Della dengan nada tajam. "Sebaiknya kau pergi dari hidupku. Bukankah kau sudah bahagia bersama Nadira? Berhenti mengusikku!"

"Della," panggil Antonio saat melihat gadis itu bangkit dari kursi. "Dengarkan aku dulu."

"Maaf, aku berbeda dari seseorang yang hatinya mudah goyah hanya karena bertemu gadis yang mirip mantan kekasihnya."

"Kau boleh memakiku sesuka hati," kata Antonio sambil berusaha meraih pergelangan tangan Della. "Jadi, tetaplah di sini. Setidaknya tunggu sampai hidangannya datang."

Keras hati, Della berpaling cepat meninggalkan pengatakan romantis itu. Langkahnya lebar dam gusar.

Antonio mengadang jalan Della. "Aku aku antar kau pulang."

Sekuat tenaga, Della mendorong bahu Antonio untuk menyingkir. Kedua mata yang memerah dan bibir yang terkunci itu memberi jawaban jelas untuk Antonio.

Namun, ia tidak akan menyerah.
***

Kewaspadaan Della meruncing. Kedua matanya melirik ke kanan dengan tajam lalu bergerak untuk mengawasi bagian kiri. Dengan hati-hati, ia menoleh sambil berharap punggungnya bisa mengintai  bagian belakang.

"Della!"

Seruan yang disertai guncangan di tangannya itu langsung memutus siaga yang dibangun Della sejak pagi. Ia menatap dengan raut maaf kepada Neysa yang berbalas binar prihatin di kedua mata sahabatnya itu.

"Apa... kau masih memikirkan mantan, hem, bosmu?"

Della mengembuskan napas berat sambil menunduk sendu. "Bagaimana aku bisa tidak memikirkannya? Dia muncul di mana-mana! Bahkan aku tidak akan kaget kalau dia muncul di sini."

"Dia menguntitmu?" tanya Neysa dengan hidung mengernyit.

Della mengangguk geram, cengkeramannya mengetat pada garpu di tangannya. "Dia berlari di sampingku saat aku joging pagi, tiba-tiba menggantikan kasir supermarket tempatku mengantri, bahkan dia muncul saat aku sedang membuang sampah."

"Apa yang dia katakan padamu?"

"Tidak ada." Della menggeleng. "Dia cuma memastikan kalau aku menyadari keberadaannya. Setelah kami saling pandang, dia tersenyum lalu pergi begitu saja."

Neysa mengerjap, lantas memandang Della seolah kewarasan gadis itu lenyap. "Kau yakin itu bukan bagian dari khayalanmu? Maksudku, hem, kau tahu, beberapa orang seolah-olah melihat semua wajah berubah menjadi seseorang yang mereka rindukan?"

Della menatap Neysa tajam, lalu mengalihkan pandangan seraya mendebas keras. Melihat otot-otot tangan sahabatnya yang menonjol keluar karena menggenggam garpu terlalu erat, Neysa melirik piringnya yang sudah kosong. Benda pipih itu mungkin bisa jadi perisai kalau-kalau ada garpu melayang ke arahnya.

"Kalau aku melihatnya lagi, akan aku pastikan kalau dia nyata," tekad Della dengan sepasang netra membara.

"Hem, mau es krim?" Neysa mendorong minumannya ke hadapan Della.

Bara di kedua mata Della perlahan meredup. Ia meletakkan garpu kembali ke atas piring, lalu mengambil sendok teh bergagang panjang untuk menyendok es krim cokelat yang mengapung di atas jus stroberi yang masih utuh itu. Diam-diam, Neysa mengembuskan napas lega saat pengalihannya berhasil.

"Jadi, bagaimana interviumu tadi?"

Della mengangkat bahu, pandangannya tertuju pada es krim yang sedikit meleleh dan bercampur dengan jus. "Entahlah. Doakan saja aku lolos."

"Tentu saja. Kau pasti senang bekerja di sini."

Della menganggut-anggut. "Di sini ada kau dan kantinnya menyediakan makanan lezat."

"Kau belum menyebutkan bagian terbaiknya."

Della mengigit ujung sendok karena bingung. "Apa?"

Tubuh Neysa condong ke depan dan telunjuknya mengisyaratkan agar Della melakukan hal yang sama. "Di sini banyak karyawan-karyawan tampan," bisiknya lantas terkikik kecil. "Salah satunya sedang duduk di arah jam sembilanmu."

Unlock Your Heart XV: Rejection (1)



"Kau tampak cantik dengan gaya rambut baru," puji Niken sambil menyambut kedatangan Della. Mereka saling mempertemukan pipi masing-masing sebelum Della berganti menjabat tangan Reza sebagai bentuk ucapan selamat.

Della tidak datang sendiri, tentu saja. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan. Ada Neysa yang bersedia menemaninya.

Bukan bunga atau pita yang mendominasi dekorasi pernikahan Niken dan Reza, melainkan foto. Kentara sekali pasangan itu sangat menghargai kenangan yang mereka miliki. Semua itu tercetak dalam lembar-lembar yang disusun layaknya tirai. Foto-foto lain yang lebih terkonsep dipajang dalam pigura-pigura di atas meja.

"Omong-omong, apa kau bergurau saat berkata kalau berpacaran dengan Pak Antonio?"

"Ha?" Della enggan menjawab topik itu.

"Waktu kita ketemu di Cakewalkers." Niken berusaha mengingatkan, keliru menangkap kebingungan Della.

"Kami sudah berakhir," ucap Della dingin.

Glabela Niken berkerut. "Secepat itu?"

Della tidak menjawab.

"Kau tahu tidak? Tadi Pak Antonio datang ke sini. Aku sampai terkejut."

Sepasang netra Della melebar. Ia bahkan masih bisa melihat keterkejutan itu tersisa di wajah Niken.

"Yang lebih mengejutkan lagi, gadis yang datang bersamanya sangat mirip dengan mantan tunangannya."

Della mengerjap. Benar-benar tidak ada celah baginya untuk memenangkan hati lelaki itu.
***

"Kenapa lewat jalan yang susah kalau ada yang mudah?" tanya Miguel sambil berusaha menyejajarkan langkah dengan Della.

"Yang mudah tidak selalu menyenangkan."

"Pemerintah sudah berbaik hati mengelola tempat ini agar mudah dilewati wisatawan. Di sebelah sana, ada tangga-tangga dengan pemandangan alam yang indah. Lebih romantis daripada jalanan terjal di sini."

"Kalau begitu, kau saja yang lewat jalur itu─" Tahu-tahu, Della menahan gerak kakinya demi tersenyum langsung kepada Miguel. Bukan senyum manis, tentu saja. Melainkan senyum ejekan saat ia menyelesaikan kalimatnya. "─Princess Miguelita."

"Ah, sial. Aku benci nama itu."

"Aku bisa memanggilmu begitu selamanya."

"Omong-omong, aku suka gaya rambutmu yang baru." Miguel mengalihkan topik.

"Kau sudah mengatakannya tadi."

"Benarkah? Itu pasti karena aku benar-benar menyukainya."

Tidak ada lagi yang bersuara setelah itu. Della dan Miguel sama-sama menikmati pemandangan di sekeliling mereka. Pohon-pohon pinus yang menjulang. Wangi embun yang membelai indra penciuman. Angin lembut yang berembus tenang. Sesekali mereka harus tetap memerhatikan langkah agar tidak tersandung batu atau pun sulur akar pohon.

Dari kejauhan, mulai terdengar gemercak air yang memanjakan telinga. Lebih indah daripada musik klasik mana pun. Kedua kaki Della semakin bersemangat saat mereka bergerak menanjak.

"Aku tidak menyangka kau mau menyanggupi ajakanku yang mendadak," ucap Della ketika tanah yang ia pijak mulai landai.

"Tidak ada kucing yang menolak kalau disodori ikan." Miguel mengerling pada Della yang cemberut. "Apalagi kalau ikannya secantik putri duyung."

Della hanya mendengkus. Sama sekali mengabaikan gombalan Miguel. Ia terus berjalan sambil mengusap keringat di keningnya dengan punggung tangan. Lalu tiba-tiba, entah bagaimana, langkahnya terselip hingga apa yang dipijaknya mendadak longsor. Beruntung, tubuhnya tertahan sesuatu hingga tidak terperosok bebas.

Della mengatur napas yang sempat tertahan akibat syok. Untuk beberapa detik, lututnya terasa lemas seperti terbuat dari kapas. Ia menatap ngeri pada semak-semak yang mungkin menyembunyikan baruh di baliknya.

"Kau tidak apa-apa?"

Suara Miguel memulihkan kesadaran Della. Detik yang sama, ia mendapati tangan lelaki itu melingkar di pinggangnya.

"Terima kasih," ucap Della sambil melepaskan diri.

"Sampai detik ini, aku masih berharap kalau ajakanmu hari ini tercipta karena kau berniat membuka kesempatan untuk kita berdua."

"Jangan mimpi." Della mengibaskan tangan di depan wajah Miguel dan kembali berjalan ke tujuan mereka. "Menerima kembali lelaki yang sudah menolakku itu sama saja dengan mengunyah kembali permen karet bekas yang sudah jatuh ke lumpur."

Miguel meringis keki di samping Della. "Analogi yang buruk. Aku tidak suka disamakan dengan permen karet bekas."

"Begitu juga denganku. Aku tidak suka disamakan dengan ikan." Della melirik sinis. "Dan kukira kau cukup cerdas untuk tidak menyamakan dirimu dengan kucing yang tidak berakal."

"Lalu kenapa kau tiba-tiba meneleponku tadi pagi?"

"Untuk berjaga-jaga."

"Dari apa?"

"Dari diriku sendiri." Della mengangkat pundak. "Ada begitu banyak tebing curam di sini. Aku hanya ingin memastikan aku bisa pulang dalam keadaan hidup."

"Hei, hei. Kau tidak mungkin seputusasa itu hanya karena Nino, kan?"

Della kembali menghentikan langkah dan tersenyum muram. "Jadi, berita itu sudah diketahui semua orang, ya?"

"Ya." Miguel mengangguk dengan tidak enak hati. "Dia mengenalkan 'Nadira' pada keluargaku."

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Della setelah itu. Gadis itu hanya terus berjalan seolah suara air sudah menghipnotisnya. Begitu tiba di hadapan air terjun, ia langsung berseru senang. Tidak peduli pada beberapa pasang mata yang menatap heran padanya. Mereka yang sampai ke sini tanpa tetesan keringat, tidak akan memahami perasaan seperti baru saja menjadi juara lomba memasak setelah bersaing dengan koki-koki kelas dunia.

Ia berharap, semakin lebar senyumnya, semakin menipis lapisan kesedihan yang menumpuk karena Antonio.
***

Della memanggul kembali ransel yang tadi ia letakkan di atas batu besar yang kering. Ia menyempatkan diri untuk berterimakasih pada Miguel yang berbaik hati menjaga tas itu untuknya sementara ia asyik bermain air.

"Kau tidak berfoto?"

Della menggeleng. "Aku tidak membawa ponsel atau pun kamera."

"Kau bisa pakai ini," ujar Miguel sambil menawarkan ponselnya.

Sekali lagi, Della menggeleng. "Aku tidak bermaksud mengabadikan momen apa pun hari ini.

"Oke." Miguel menyimpan kembali telepon genggamnya. "Setelah ini, kita mau ke mana?"

Tanpa suara, Della hanya mengarahkan telunjuknya ke bagian atas air terjun.

Kedua mata Miguel yang terarah pada ujung jari Della langsung melebar. "Kau sungguh berniat naik sampai puncak?"

Della tersenyum dan menganggut-anggut.

"Apa kau gila? Air terjun ini punya tujuh tingkat."

"Kau bukan yang pertama mengatakan itu, Princess Miguelita," gerutu Della. "Ayo, jalan."

"Memangnya kau tidak bekerja besok?"

"Aku sudah mengundurkan diri," jawab Della ringan.

"Apa? Ya, Tuhan. Kau benar-benar sudah gila!"

"Itu keputusan terbaik yang bisa kupilih saat ini." Della menggenggam erat tali ransel yang menggantung di kedua bahunya. "Untuk itu, hari ini aku ingin melepaskan semua perasaan. Supaya besok aku bisa memulai hidupku kembali."

"Kau bisa mengajak aku menjadi bagian dari hidup barumu," ucap Miguel sambil tersenyum miring. "Obat terbaik untuk patah hati adalah menemukan cinta yang baru."

"Terima kasih atas tawarannya. Tapi aku sedang tidak ingin mencintai siapa pun selain diriku sendiri."

"Kau ini kejam sekali," ujar Miguel dengan gaya merajuk. "Aku menolakmu satu kali dan kau menolakku tiga kali. Kurasa itu keterlaluan. Aku bukan pewaris perusahaan. Tapi setidaknya aku sukses, tampan, dan seksi. Di mana lagi kau bisa menemukan lelaki sepertiku?"

Lagi-lagi, Della hanya menjawab dengan senyum. Mungkin kunci yang pernah menutup rapat hati Antonio, kini juga mengunci hatinya.
***

"Apa kau yakin?" Miguel mengalihkan tatapannya dari kertas menuju wajah Della. "Ini jumlah yang banyak. Apalagi saat ini kau sedang tidak bekerja."

Delle mengangguk sambil mengencangkan tali sepatu. "Aku kasihan padanya. Tapi aku tidak mau dia datang menemuiku lagi. Jadi, kurasa ini harga yang pantas untuk itu."

Miguel termenung sejenak di atas batu besar yang didudukinya sebelum kemudian mengangguk setuju. "Baiklah. Aku akan mengurus semua ini. Akan kupastikan ayahmu tidak akan melanggar perjanjian."

Senyum lega terbit di wajah Della yang berlumur keringat. "Kau yang terbaik, Miguel. Terima kasih. Akan kutransfer biayanya."

"Tidak perlu."

"Santai saja. Tabunganku masih cukup untuk membayarmu."

"Aku tidak menerima uang untuk ini."

Della menaikkan satu alisnya.

"Bagaimana dengan makan malam?"
***

Angin pantai membelai helai rambut panjangnya. Membuat ujung gaunnya berkibar-kibar. Langkahnya sesekali terbenam dalam pasir saat ia menghampiri seorang lelaki.

Pandangan lelaki itu terlempar jauh hingga batas horizon. Kedua tangan tersimpan dalam saku celana selututnya.

"Nino."

Lelaki itu menoleh dan tersenyum. Suara yang berpadu merdu dengan angin.

"Semua sudah selesai?"

Antonio mengangguk. "Terima kasih sudah membukakan hatiku yang terkunci, Emery."

***

Rabu, 20 Juli 2016

Unlock Your Heart XIV: Dejection (2)


Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, akhirnya Della muncul di ruang makan. Allenia langsung tersenyum. Ia bangkit untuk menyiapkan mangkuk dan sendok.

"Minumlah dulu teh madunya," kata Allenia dari hadapan panci di atas kompor. "Aku memasak bubur ayam dan sup jamur."

Della melirik cepat pada dapurnya yang bersih dan rapi. Keadaan yang membuat ia yakin bahwa memang Allenia yang memasak. Karena kalau Neysa yang berada di dapur, suasananya akan lebih mirip kapal pecah.

Allenia menghidangkan dua mangkuk untuknya dan dua mangkuk untuk Della.

"Kuharap ini bukan makanan yang kau benci."

Della menyendok sup lebih dahulu. Kuah bening yang gurih dan hangat melewati kerongkongannya. Jauh lebih lezat daripada sup yang tadi dipesankan Neysa dari restoran cepat saji. Begitu juga dengan bubur yang lembut menggugah selera.

"Jadi, kenapa kau bisa ada di sini?" Della mengulang pertanyaannya begitu ia dan Allenia selesai dengan hidangan masing-masing.

Allenia mereguk air mineral sebelum memulai pembicaraan dengan Della. "Tadi siang aku ke sini. Neysa yang membukakan pintu."

"Kau tidak masuk kerja?"

Allenia melirik pada ujung sendok. "Tidak. Hem, bos sedang ke luar kota. Untuk cek lokasi."

Della tersenyum keki, lantas menyesap teh madunya. "Ke Mandalika dan Wakatobi?"

Sepasang netra Allenia melebar. "Iya."

"Kau tidak mendampinginya?" Della berusaha keras menahan agar mulutnya tidak menanyakan sesuatu yang jawabannya hanya akan berbalik menyakitinya. "Atau sudah ada orang lain yang mendampinginya ke sana?"

Allenia tersentak lalu mengangguk lirih.

"Jadi, dia pergi bersama Emery, ya." Della langsung menarik kesimpulan.

"Aku sudah bertemu perempuan itu. Dia memang mirip dengan Nadira. Tapi mereka benar-benar orang yang berbeda─"

"Jadi, kau ke sini hanya untuk membahas pacar baru Kakakmu?" sela Della tajam.

Allenia mengatupkan bibirnya dan menggeleng. "Aku ingin menanyakan tentang pengunduran dirimu. Apa itu serius?"

"Iya. Aku tidak punya alasan lagi untuk bekerja di sana."

"Itu berarti kau juga menyerah tentang Kakakku?"

"Maksudmu, kau mau menyalahkan aku?"

Allenia menggeleng. "Ini hanya... terasa seperti bukan dirimu."

"Lalu seperti apa 'diriku', menurutmu? Dia yang meninggalkanku, kau tahu?"

"Ya. Tapi aku tidak menyangka kalian akan berakhir seperti ini. Lagi pula kurasa Kakakku hanya sedang terbuai nostalgia palsu. Cepat atau lambat, dia akan sadar kalau tidak mencintai perempuan itu."

"Dan kau ingin aku menunggu sampai dia sadar." Della merasakan air mata mulai menusuk-nusuk matanya. "Seperti orang bodoh?"

Allenia bungkam. Takut salah bicara. Kendali emosi Della saat ini mirip jembatan gantung yang kayunya sudah lapuk. Ia tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanya saja, ia takut kedua orang itu akan kehilangan kebahagiaan mereka.

"Atau kau takut Kakakmu tidak jadi hadir di pernikahanmu karena putus denganku?" tebak Della mengawur. "Tenang saja, itu tidak akan terjadi, Nina. Kalau memang itu yang kau pikirkan, silakan pergi dari rumahku. Pembicaraan ini tidak ada gunanya."

"Della... bukan begitu maksudku." Allenia berusaha menyentuh tangan Della di seberang meja, berharap temannya itu akan meredakan amarah.

"Keluar!" bentak Della sambil menepis kasar tangan Allenia.

Tanpa kembali berusaha menjelaskan, Allenia bangkit dan menyambar tasnya. Ia mengambil langkah-langkah lebar dan berhenti sejenak di belakang pintu. "Selamat malam," ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan Della yang sudah terisak dengan wajah terbenam pada lengan yang terlipat di atas meja.
***

"Kau yakin itu tidak terlalu pendek?"

Della memandangi Neysa lewat cermin salon lalu menggeleng. Ia justru merasa lebih segar dan bersemangat. Bahkan dunia yang beberapa hari ini terlihat muram, kini mulai dihujani berkas cahaya.

Memang ironis. Berulang kali Antonio meminta ia untuk memotong rambutnya. Tetapi tidak ia lakukan. Kini, ketika hubungan mereka sudah kandas, Della malah tanpa ragu memotong rambut sepunggungnya menjadi model pixie lob.

Neysa mendekat ke sisi Della hingga mereka berbagi cermin yang sama. Ia menatap puas pada rambut hitamnya yang tampak lebih halus dan bervolume setelah berbagai macam perawatan. Ujung-ujungnya sudah dipotong lurus menjadi lebih rapi.

Hari ini Neysa mengajak Della untuk 'menggila'. Mereka berbelanja, makan, dan bersenang-senang seolah hari esok tidak akan tiba.

"Setelah ini, kita mau ke mana?"

Neysa melirik jam tangannya. "Masih cukup waktu untuk menonton film dan karaoke. Kau mau yang mana lebih dulu?"
***

"Sinting! Nanti malam aku pasti insomnia," keluh Neysa sambil mengusap tengkuknya yang masih menggeriap walaupun mereka sudah keluar dari teater.

Della hanya menanggapi dengan tawa kecil sambil membuang wadah popcorn dan gelas soda yang sudah kosong.

"Kau tidak ingin menginap di rumahku malam ini, Della?" tanya Neysa saat mereka berjalan ke loker penitipan untuk mengambil kantung-kantung belanjaan. "Daripada sendirian di flatmu. Bisa saja hantu itu muncul dari kolong tempat tidurmu."

Alih-alih takut karena ucapan Neysa yang sengaja dibuat bernada seram, Della malah tersenyum lebar hingga menyentuh telinganya. "Kurasa hantunya lebih suka muncul dari dalam lemarimu. Hati-hati kalau kau mendengar bunyi ketukan─"

"Della!" potong Neysa buru-buru, tidak mau mendengar lebih. "Ah, sial. Kalau tahu kau akan memilih film horor, seharusnya tadi  kita menonton dulu baru ke karaoke. Jadi, aku punya waktu untuk melupakan wajah hantu itu sebelum pulang ke rumah."

"Tenang, kita masih ada jadwal makan malam, kan?"

Neysa mengangguk sambil mengamati raut wajah Della yang terlihat lebih jelas karena potongan rambutnya. Sudah tampak rona kemerahan yang menyemburat di kedua pipi gadis itu. "Bagaimana? Apa perasaanmu jauh lebih baik sekarang?"

Sebagian dari diri Della masih terasa kosong. Tetapi tidak mungkin ia menggelengkan kepala. Tentu itu akan menyakiti hati sahabatnya. "Ya. Terima kasih. Kau selalu ada setiap kali aku terpuruk."

"Kenapa kau tiba-tiba jadi melankoli begini?"

"Maaf, karena kau harus selalu meminjamkan bahumu untukku."

"Bukan masalah. Asal kau rutin membayar sewa setiap kali menangis di bahuku."

Della terkekeh kecil. "Apa itu boleh dicicil?"

Neysa mengangguk dengan raut yang dibuat serius. "Kau harus mencicilnya dengan persahabatan seumur hidup."
***

Taksi yang mereka tumpangi berhenti di sebuah restoran yang menyajikan makanan western. Bangunan itu berdinding batu bata oranye tampak serasi dengan sinar kekuningan dari lampu dalam corong alumunium yang menggantung pada kabel yang menruntai dari langit-langit teras. Melalui jendela bening besar bisa dilihat kursi-kursi dan meja-meja kayu berkaki pipa besi yang tertata rapi. Beberapa pengunjung duduk di sana sambil menikmati hidangan. Entah itu spageti bersaus napolitan, ayam panggang keju, atau sekadar salad sayur bercampur saus thousand island.

"Kau ingin makan apa?" tanya Neysa saat mereka melangkah beriringan memasuki area restoran. Pintu masuk masih jauh di depan sana tetapi aroma kelezatan sudah menguar di udara.

Della mengangkat bahu. "Mungkin semua yang ada di menu dan sanggup ditampung perutku."

Neys terkekeh. "Kau benar-benar 'menggila' rupanya."

"Lebih dari 'menggila'. Ini bisa disebut sebagai balas dendam," sahut Della lantas ikut tertawa.

Sayangnya, tawa itu tidak berlangsung lebih lama. Bersamaan dengan langkahnya yang terhenti. Otomatis membuat Neysa ikut berhenti beberapa langkah di depannya.

Neysa berbalik dan kembali ke samping Della. Tanpa bertanya, ia mengikuti arah tatapan sedu yang membeku di mata sahabatnya.


Ia tidak bisa memercayai apa yang dilihatnya. Bagaimana tidak? Neysa melihat Antonio sedang melingkarkan lengannya di pinggang seorang gadis berambut panjang menuju pintu masuk restoran. Mereka berdua saling melempar tatapan penuh cinta dan tersenyum bahagia.

"Um... sepertinya kita makan di tempat lain saja. Aku baru ingat di sini... banyak nyamuknya. Kita pindah saja, ya?" ucap Neysa salah tingkah.

"Mereka bahagia. Syukurlah," gumam Della lirih. Tatapannya masih tertuju pada satu titik, tidak terpengaruh pengalihan yang diusahakan Neysa. Hingga pasangan itu menghilang ke dalam restoran.

"Jadi, itu perempuan yang bernama─siapa? Seledri?"

"Emery," ralat Della dengan suara tercekat.

"Nah, iya. Itu maksudku. Kemiri." Neysa mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi. "Sekarang bagaimana kalau kita makan kue dulu? Cakewalkers, mau?"

Della menggeleng. Selera makannya berhamburan di atas tanah. "Kita pulang saja."

Bahu Neysa merosot lemas. Ia menyimpan kembali ponselnya lalu merengkuh sahabatnya dalam keheningan.

"Boleh, ya, aku menginap di rumahmu? Aku takut sendirian. Kau tahu, kan, mungkin saja ada hantu muncul─"

Neysa mengangguk kuat-kuat di lekukan leher Della. Tidak perlu lagi ia mendengar suara memelas dari alasan palsu yang diucapkan sahabatnya yang kembali patah hati.



Unlock Your Heart XIV: Dejection (1)


Della tidak biasanya seperti ini. Bahkan ia sampai tidak lagi mengenali dirinya sendiri.

Sosok berpenampilan rapi dan terawat yang biasa membalas tatapannya di cermin, kini lenyap. Seseorang dengan rambut kusut yang diikat asal, wajah pucat, dan hidung merah yang sesekali meneteskan ingus menggantikan sosok itu. Ia juga belum mandi selama lima hari terakhir, sehingga wujudnya semakin menyedihkan.

Dan Della tidak peduli. Sungguh-sungguh tidak peduli. Entah influenza atau makhluk luar angkasa yang menyerangnya, tidak ada bedanya.

Keadaan tempat tinggalnya juga tidak jauh berbeda dari penampilannya. Flat yang biasa dalam keadaan bersih dan wangi itu kini telah tiada. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari televisi yang menyala tanpa suara. Meja dan lantainya dipenuhi kemasan makanan cepat saji, kotak piza, dan botol-botol soda.

Setelah menutup pintu kamar mandi, ia kembali menuju sofa yang menjadi singgasananya. Ia tidur dan makan di atas sofa panjang itu. Dan hanya pergi untuk buang air atau mengambil makanan yang diantarkan kurir.

Tidak ada lagi wangi bebungaan yang menyembur dari pengharum ruangan. Yang tersisa hanya bau keju busuk dan nasi basi. Bukan masalah besar bagi Della karena hidungnya tersumbat. Ia seharusnya bersyukur karena masih bisa bernapas.

Sepasang netra Della menatap kosong pada film bergenre komedi di televisi. Humor yang biasa membuat ia tertawa, kini terasa hambar. Bibirnya bahkan  sedikit pun tidak terangkat naik.

Ini bukan patah hatinya yang pertama. Berkali-kali ia menerima harapan palsu dan perasaan yang tidak berbalas. Ternyata semua pengalaman patah hati itu tidak membantunya untuk melewati saat-saat seperti ini.

Della kembali merebahkan diri di atas sofa. Memang tidak semewah sofa suite saat ia menginap di Bali. Tetapi ini sudah menjadi tempat ternyaman untuk ia beristirahat.

Tangan Della hendak menarik selimut untuk melingkupi dirinya saat tiba-tiba terdengar bunyi gedoran di pintu flatnya.

Ia memutuskan untuk mengabaikan gedoran itu lalu bergelung di dalam selimut.

Gedoran itu terdengar lagi. Kali ini, lebih keras.

Dan lagi. Diikuti teriakan khas yang sudah sangat dikenalnya.

"Della! Buka pintunya! Aku tahu kau di dalam!"

Itu Neysa, tentu saja.

"Della, kau mendengarku?"

Alih-alih menyambut tamunya, Della malah menarik bantal yang menyangga kepalanya untuk menutupi telinganya yang berdenging.

"Kalau kau tidak mau membukanya, aku akan mendobrak pintu ini!" rengek Neysa dibumbui sedikit ancaman. "Kau tahu, aku tidak main-main!"

Susah payah, Della membawa tubuhnya bangkit kembali dari sofa. Ia menyeret langkah gontainya di atas lantai yang seolah dipenuhi duri. Semoga saja para tetangga flatnya sudah berangkat ke kantor masing-masing sehingga tidak perlu muncul rumor bahwa salah seorang penghuni di sini memiliki utang ratusan juta.

Della membuka pintu sambil memaksakan senyum malas. Sekilas, ia memerhatikan penampilan Neysa yang mengenakan kemeja putih, rok span hitam selutut, dan sepasang sepatu hak tinggi berwarna hitam. Tas tangan hijau keberuntungannya tersampir di lengannya.

"Astaga!" Hanya pekikan ngeri yang keluar dari bibir Neysa. "Apa yang terjadi padamu?"

Della tidak menjawab. Ia tidak memiliki energi untuk itu. Tanpa berusaha menunggu Neysa masuk, ia membiarkan pintu terbuka dan berbalik kembali pada sofanya.

Seluruh wajahnya terbenam di bantal, tetapi Della masih bisa mendengar langkah kaki Neysa memasuki flatnya. Ia bisa membayangkan ekspresi prihatin di wajah sahabatnya saat melihat semua ini.

"Della?" panggil Neysa dengan kekhawatiran yang menyelimuti suaranya. Della bisa merasakan sofa yang terpisit saat Neysa duduk di sampingnya. Setelah beberapa detik tidak mendapat tanggapan, suaranya kembali meninggi. "Astaga, Della! Kenapa kau tidak menghubungiku dan menceritakan apa yang terjadi? Apa kau sudah tidak menganggapku sebagai sahabat?"

Mendengar nada frustrasi di akhir kalimat Neysa, membuat Della mendongakkan kepalanya yang terasa berat. "Aku hanya sedang flu."

"Itu bukan alasan," ucap Neysa lalu detik berikutnya ia sadar ini bukan saatnya untuk menghakimi. "Jadi, karena itu kau tidak masuk kerja?"

Della menggeleng. "Aku sudah mengundurkan diri."

Neysa menatap seolah Della sudah tidak waras. Tetapi lagi-lagi ia berusaha mengendalikan diri. Tidak ingin mengantarkan badai pada kapal yang nyaris karam. Hal semacam itu bisa dibahas lain kali. Yang terpenting saat ini adalah keadaan sahabatnya.

"Apa yang kau lakukan?" pekik Della saat Neysa bangkit dari duduknya dan langsung menuju jendela yang tertutup kelambu.

"Kuharap kau belum berubah menjadi vampire," jawab Neysa lantas menarik kain penutup itu ke samping.

Spontan, Della langsung menutup matanya dengan tangan.

"Sekarang pergilah mandi air hangat. Yang lama. Sampai semua kesedihanmu mengalir jauh ke selokan," ucap Neysa sambil mengutip botol-botol soda ke dalam kantung plastik yang entah sejak kapan terkepal di dekat kaki meja.

Della bergeming. Ia hanya memandangi Neysa yang sesekali mengernyit karena aroma tidak sedap dari tumpukan kekacauan yang diciptakan Della.

"Kau mau aku menggendongmu ke kamar mandi?" tanya Neysa saat melihat Della masih belum beranjak dari sofa.

Della tertawa kecil dan singkat. Hingga hanya menyisakan senyum miris. Ia bahkan lupa rasanya tertawa.

Sebelum Neysa melemparkan omelan lagi, Della berdiri dan melangkah ke arah kamarnya. Beberapa senti di depan pintu, ia berhenti.

"Neysa," panggilnya tanpa menolehkan kepala tetapi ia tahu sahabatnya mendengar walaupun tidak menjawab. "Terima kasih, ya."
***

Perlahan, kedua kelopak mata Della terbuka. Kepalanya sudah tidak terasa  berat walaupun pening masih tersisa. Perasaannya jauh lebih baik sekarang. Ia tidak sedang berbaring di sofa melainkan tempat tidurnya. Selimut yang baru diambil dari lemari menutupi tubuhnya hingga batas leher dan kepalanya disangga bantal empuk.

Della memiringkan tubuhnya lalu bangkit untuk duduk di tepi tempat tidur. Ia meneguk air dari gelas di atas nakas. Ponselnya diletakkan di samping gelas dalam keadaan menyala dan baterai terisi penuh. Sambil berusaha melenyapkan harapan, ia menekan tombol yang membuat layarnya menyala. Angka 19.25 terpampang menunjukkan waktu. Tetapi tetap saja tidak ada notifikasi pesan atau panggilan dari kontak yang ditunggunya.

Senyum sedu muncul di bibir Della. Ia melempar benda pipih itu ke atas tempat tidur. Seharusnya, ia sadar kalau sudah dilupakan.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka penuh kehati-hatian. Perlahan membawa serta sinar lampu dari ruang tengah. Ia mengira akan melihat Neysa. Tetapi yang muncul malah Allenia Alvarez.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Della ketus. Ia sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun yang akan mengingatkannya pada Antonio.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Allenia lembut, mengabaikan sikap Della yang seperti induk kucing baru melahirkan.

"Di mana Neysa?"

"Sudah pulang tadi sore. Katanya, dia mau mempersiapkan diri untuk panggilan interviu besok pagi."

Hening merambat cepat dalam keremangan kamar Della.

"Apa kau sudah lapar? Makan malam sudah siap," ucap Allenia berusaha mengisi kekosongan.

Della tidak menjawab.

"Aku akan menunggumu di ruang makan," pungkas Allenia kemudian meninggalkan kamar dalam keadaan pintu tetap terbuka.
***


Rabu, 13 Juli 2016

Unlock Your Heart XIII: Neglection (2)



 "Sudah buat janji?"

Della merasakan tatapan penuh selidik dari petugas keamanan di hadapannya. Bukan salah pria itu. Dengan hoodie kebesaran dan tudung yang menutupi kepalanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Apalagi jika ia mengunjungi rumah yang lebih cocok disebut istana ini.

"Belum."

"Ada keperluan apa dengan Pak Antonio?"

Della mengangkat kantong kertas yang ia bawa. "Cuma mau mengembalikan barang."

Waspada, pria berusia setengah abad itu mengulurkan tangan. "Biar saya periksa dulu."

Tepat saat itu, seberkas sinar panjang menyoroti mereka dari arah belakang. Della menoleh dan mendapati sebuah mobil berhenti di depan gerbang.  Sedan bergaya elegan yang biasa dikendarai Antonio. Satpam di hadapannya bergegas masuk ke pos jaganya. Perlahan, gerbang tinggi itu bergerak membuka.

Mobil itu tidak bergerak maju. Pintu bagian pengemudi justru terbuka. Seseorang turun dari kendaraan mewah itu.

"Della?"

Bukan Antonio, melainkan Allenia.

"Oh. Hai, Nina," sahut Della sambil mengangkat tangannya setinggi dada. Setengah malas, setengah kecewa.

Ini sudah malam. Namun penampilan Allenia sama seperti yang biasa Della lihat dikantor. Setelan mewah, rambut digelung rapi, dan parfum beraroma stroberi berpadu vanili. Yang tidak biasa hanya kedua mata yang berbinar khawatir.

"Apa kau sakit sampai tidak masuk hari ini?"

Jantung Della berdebar kuat di dalam rongga dadanya. Ia mengangkat tatapannya dari ujung Stevany yang dikenakan Allenia. "Apa kau pulang bersama Antonio?"

Allenia melirik mobil di belakangnya. "Tidak. Aku sendiri. Kakakku sudah pulang lebih dulu menggunakan mobil lamanya."

Napas Della berembus berat. "Bisa tolong suruh dia keluar? Aku perlu bicara."

"Dia tidak pulang ke rumah."

Kelopak mata Della mengerjap tidak mengerti.

"Kemarin Kakakku pulang larut malam. Waktu kutanya, dia bilang baru saja dari apartemen bersama Nadira."

Ekspresi Della membeku. Begitu mudah Antonio mengajak gadis itu ke apartemennya. Tempat yang tidak sanggup Antonio datangi. Bahkan bersama Della. Karena tempat itu penuh dengan kenangan bersama Nadira.

Allenia menggigit bibir. "Apa 'Nadira' itu bukan kau?"

Della tersenyum miris, lantas menggeleng. "Lebih baik aku ke apartemennya sekarang."

"Biar aku antar."

Lagi, Della menggeleng. "Taksiku menunggu."
***

Di depan pintu lobi apartemen itu, keberanian Della menyusut.

Ia sedikit menyesal sudah menolak tawaran Allenia. Ternyata merenung sendiri di kursi penumpang sama sekali tidak menjernihkan pikirannya. Berbagai spekulasi yang mampir justru mengecilkan nyalinya.

Gelisah, ia meremas udara kuat-kuat. Namun Della malah merasakan tubuhnya gemetar. Entah karena kekhawatiran pada probabilitas Antonio akan mengusirnya atau semata karena lapar.

Benar juga. Della menyentuh perutnya yang terasa kosong. Kapan kali terakhir ia makan?

Della bersandar pada dinding marmer yang dingin. Ia memainkan ponsel untuk mengumpulkan keberanian saat tiba-tiba sesuatu mengirimkan solusi ke benaknya.
***

Pengecut.

Della memaki dirinya sendiri. Tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan tindakannya kali ini.

Alih-alih mendatangi langsung apartemen Antonio, Della malah menghubungi nomor kurir yang menyerempetnya tempo hari. Meskipun risikonya, Della tidak bisa menuntut penjelasan langsung dari lelaki itu.

Della ingin mendengar Antonio mengatakan langsung di hadapannya. Bahwa lelaki itu tidak mencintainya. Bahwa Antonio kini bahagia bersama Nadira-nya. Bahwa sebaiknya Della menyingkir dari pandangannya.

Namun ia terlalu takut mendengar suara seksi Antonio mengucapkan hal menyakitkan seperti itu. Terutama jika teringat Antonio yang mengabaikannya pada hari di mana mereka bertemu dengan 'Nadira'.

Nyeri di hati Della menggelinding secepat bola salju yang menuruni bukit. Semakin lama, semakin banyak duri yang berkumpul pada gumpalan itu. Menyiksanya dari dalam.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Serta merta membuat Della menegakkan punggung dari tiang lampu tempat ia bersandar. Sinar terang di pelataran parkir itu menyorot ke bawah. Tepat pada Della dan vespa berwarna french rose milik gadis bernama Ruri itu.

"Bagaimana?" tanya Della ambigu. Ia membiarkan rasa penarasan terlalu mendorongnya.

"Sudah saya antar, Kak," jawab Ruri sambil mengangkat kedua ibu jarinya.

"Siapa yang menerima?"

"Seorang perempuan berambut panjang."

Della merasa oksigen di sekitarnya menipis. "Bukan laki-laki bermata abu-abu?"

Ruri mengerjap. Ia memastikan bahwa daya penglihatannya masih berfungsi normal. Tidak mungkin ia keliru membedakan sosok perempuan dan laki-laki. Detik berikutnya, gadis itu menggeleng hingga helm catok di kepalanya ikut bergoyang─yang mulai longgar akibat busanya menipis. "Dia tadi juga menyebut namanya."

"Siapa?"

"Emery."

Emery. Napas Della berembus berat. Berusaha ikhlas. "Sekarang antar aku pulang, ya."

"Eh, maaf, Kak." Ruri menyengir maaf. "Sesuai yang tertulis di kartu nama, saya tidak menerima pengantaran makhluk hidup."

"Aku bukan makhluk hidup," ucap Della dingin. "Manusia tidak bisa hidup dengan hati yang hancur."

Della tidak tahu, seseorang yang pernah menghancurkan hatinya sedang menunggu di depan pintu flatnya.
***

"Kau tidak pesan apa-apa?" tanya pria yang duduk di hadapan Della setelah menyesap kopi.

Della hanya menggeleng.

"Papa dengar, kau bekerja di Alva Nation Development. Apa posisimu di sana? Pasti gaji bulananmu sangat besar, ya."

Senyum tipis membayang di bibir Della. Ia tidak menyangka justru kalimat itu yang muncul di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. Pasti ada alasan khusus mengapa jumlah pendapatan Della jauh lebih penting daripada keadaannya.

"Jadi, ada apa?"

"Papa tidak menyangka kau masih bisa mengenali Papa setelah sekian lama kita terpisah." Kedua mata pria itu berbinar-binar. "Padahal sudah lebih dari dua puluh tahun, ya."

"Ada apa?" ulang Della, mengabaikan basa-basi ayahnya.

Binar di mata ayahnnya meredup. "Sifatmu persis Mamamu. Tidak sabar."

"Mama tirimu─" Ayahnya melirik ragu pada Della sebelum melanjutkan ucapannya yang terputus. "Dia menikah dengan Papa, jadi dia juga Mamamu."

Della berdecak.

"Dia pergi." Ayahnya mengusap wajah dengan kasar. "Dia meninggalkan Papa."

Detik-detik bergulir dalam keheningan yang terasa panjang. Setidaknya, bagi Della.

Della mengigit ujung lidahnya yang terasa gatal. "Apa Anda mencintai dia?"

"Sangat." Ayahnya menunduk dalam. "Papa rela meninggalkan kalian demi dia."

Della tersenyum. Getir. "Sekarang apa yang Anda rasakan? Sedih?"

Pria itu terdiam. Lama. Seolah pertanyaan yang diajukan Della berasal dari kertas ujian.

"Lebih dari itu," jawab ayahnya pada akhirnya. "Papa merasa kacau. Apalagi saat ini, usaha Papa sedang menurun karena ditipu karyawan. Dan Mama tirimu ternyata memiliki utang besar atas nama Papa."

Kepala Della menganggut-anggut, paham ke mana arah pembicaraan ini. Ia mengangkat tangan hingga waitress berseragam nuansa pelangi menghampirinya. Bukan kopi atau teh yang ia minta, melainkan kertas dan pulpen.

Kebingungan merambati wajah ayahnya. Bahkan ketika Della meletakkan alat tulis itu ke hadapannya.

"Tulis nomor dan rekening Anda di sini," pinta Della.

Ayahnya menurut.

"Berapa yang Anda butuhkan?" tanya Della sambil menyimpan kertas itu ke dalam saku celananya.

"300... eh, 100 juta saja cukup," ujar ayahnya. "Dan cobalah untuk memanggilku 'papa'. Kita bisa memperbaiki semua dari awal."

Lagi-lagi, Della membuang napas panjang. Ia bangkit dari duduknya. Ayahnya mengikuti gerakan itu.

"Kau mau ke mana?" Ayahnya mencengkeram pergelangan tangan Della.

"Minggu depan pengacara yang akan mengurus ini semua."

"Pengacara?" Ayahnya mendelik. Terkejut. Genggamannya di tangan Della mengetat. "Kau mau menuntut Papa kandungmu sendiri?"

Della menggeleng. Ia menarik tangannya dari cengkeraman telapak tangan yang terasa kasar itu. "Papa harus menandatangani surat perjanjian."

"Kau tidak percaya pada Papamu sendiri? Papa pasti kembalikan uangmu."

"Anda boleh ambil uangnya, tapi tolong jangan temui saya lagi," ucap Della, dingin.

Lemas, kedua tangan ayahnya terkulai di sisi tubuh.

"Permisi."

Della baru akan melangkah saat tiba-tiba ia mendengar gumaman ayahnya.

"Mamamu membesarkanmu dengan buruk. Tidak menyesal aku meninggalkan kalian─"

"Tolong berhenti bicara buruk tentang ibu saya kalau Anda masih butuh uangnya."

"Memang benar, kan? Mamamu ridak mengajarimu cara menghormati papa."

"Anda sendiri apa pernah hadir sebagai ayah dalam hidup saya?" Della menatap turun pada pria itu. "Selama hidup saya, Anda tidak pernah ada. Dan akan begitu untuk seterusnya."

Unlock Your Heart XIII: Neglection (1)


Setengah berlari, Della tergesa-gesa kembali ke kantor. Tadi ia sudah separuh perjalanan saat tiba-tiba menyadari bahwa ponselnya tertinggal di Cakewalkers─tempat ia menghabiskan jam makan siangnya bersama Niken. Pendahulunya itu mengajak bertemu untuk memberikan undangan pernikahan.

Della terpaksa berjalan kembali menuju toko kue itu. Beruntung, ia berpapasan dengan Niken yang hendak mengantarkan benda itu ke kantor. Memahami kesibukan Della, calon pengantin itu tidak menahannya lebih lama setelah Della berucap terima kasih.

Sambil melirik jam tangan, Della berbelok ke kanan. Ia memasuki jalan yang lebih kecil dari jalan utama yang dilalui banyak orang. Ini adalah jalur tercepat antara kantornya dan Cakewalkers yang diberitahukan Niken padanya.

Berbeda dengan jalan utama yang selalu dipadati kendaraan-kendaraan seperti mobil pribadi maupun mobil perusahaan, jalan ini hanya sesekali dilewati motor yang terkadang dipacu melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan. Itu membuat ia harus ekstra hati-hati dan tidak boleh terlena dengan kenyamanan yang ditawarkan tetumbuhan yang menghiasi tepi jalan.

Della mengisi paru-parunya dengan banyak oksigen segar di sekitarnya saat tiba-tiba ia mendengar suara serupa rengekan. Ternyata itu berasal dari seekor anak kucing yang meringkuk di tengah jalan. Kucing kecil itu kembali mengeong dengan suara parau. Sepertinya tadi makhluk mungil itu hendak menyeberang tetapi terkejut karena motor yang tiba-tiba melintas.

Mengabaikan spekulasinya sendiri, Della menoleh ke kanan lalu ke kiri. Setelah memastikan jalanan akan terus lengang selama beberapa menit ke depan, ia bergegas mengangkat kucing itu dan membuai dalam genggaman. Tepat saat itulah teriakan menggema di antara ranting dan dedaunan.

"Awas, awas! Minggir!"

Tidak terelakkan, skuter berwarna french rose itu memelesat ke arah Della yang terpaku pada aspal tempatnya berdiri.
***

Tirai biru muda yang membatasi Della dengan apa pun di luar sana, tiba-tiba diselak dengan kasar hingga beberapa kait terlepas dari relnya. Seseorang menghambur masuk dengan raut pucat seperti habis melihat hantu.

"Oh, hei, Beer Hug."

Alih-alih menyusutkan kepanikan di wajah tampan itu, sapaan ringan dan santai yang dilontarkan Della malah membuat Antonio semakin khawatir.

"Apa kau baik-baik saja?" Sepasang netra Antonio memindai cepat, mencari-cari bekas luka di seluruh permukaan kulit Della. "Bagian mana yang terasa sakit?"

Bukannya menjawab, Della malah terkekeh geli. "Kau benar-benar mengkhawatirkanku, ya?"

Kedua alis tebal Antonio berkerut tidak senang. "Aku harus menemui dokter. Kau harus dirontgen, juga CT scan─"

Cepat-cepat Della mencekal pergelangan tangan Antonio yang hendak melaksanakan niatnya.

Sentuhan lembut itu membuat Antonio menghentikan langkah dan berbalik. Della sedang mengurai senyum penuh makna.

"Aku tidak apa-apa. Sungguh."

Ketegangan di seluruh tubuh Antonio meluruh. Ia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Della yang duduk di tepi tempat tidur.

"Hanya ada lecet-lecet sedikit." Della menunjukkan kulitnya yang tadi tergesek aspal. Lalu memperlihatkan pangkal ibu jarinya. "Dan luka cakaran karena kucing yang kupegang terkejut dan ketakutan."

Antonio mengamati semua luka itu, memastikan tidak ada infeksi atau sesuatu yang serius.

"Hanya luka kecil. Dicium juga sembuh."

Sekilas, Antonio melirik naik untuk menatap ekspresi Della yang penuh humor. Tanpa dinyana, ia kemudian menunduk dan mengecup luka-luka yang diperlihatkan Della.

Della merasa jantungnya memompa seluruh darah ke wajah. Ia menelan luda. Gugup.

Antonio kembali menatap Della. "Sudah kucium tapi tidak sembuh."

"Keliru. Seharusnya kau mencium di sini," ujar Della sambil menunjuk bibirnya.

Alis Antonio terangkat sebal. "Jangan membodohiku."

Tawa Della semakin melebar. "Ah, sial. Tidak seru."

"Apa kau baru saja mengumpat?" Antonio menarik napas.

Sekejap, Della mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Sepertinya kau salah dengar," elak Della. "Omong-omong bagaimana kau bisa ada di sini?"

"Naik mobil," jawab Antonio acuh tidak acuh. Ia sibuk memandangi ujung telunjuknya yang membelai lembut punggung tangan Della.

"Maksudku," ralat Della dengan kekesalan yang tertahan. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"

"Bu Rachel yang memberitahuku."

Della menganggut-anggut mengerti. Tadi ia memang mengirim pesan singkat kepada Rachel. Permohonan maaf bahwa ia tidak bisa kembali tepat waktu. Sebenarnya, tadi ia berniat langsung kembali ke kantor, tetapi dokter dan perawat dengan penuh perhatian memintanya untuk beristirahat sejenak. Sehingga ia memutuskan untuk mengirim pesan tambahan yang menyatakan bahwa ia harus beristirahat setelah mengalami kecelakaan.

"Di mana orang yang menabrakmu?"

"Aku menyuruhnya pulang," jawab Della ringan. "Dia bekerja sebagai kurir dan ada paket yang harus diantarnya tepat waktu."

Antonio bersedekap tidak tenang. "Kau ini naif sekali."

"Lagi pula sebenarnya, dia yang mengalami kerugian lebih banyak. Motornya lecet, jam kerjanya terpotong karena ia mengantarku ke sini, dan tadi kulihat ia jalan terpincang-pincang."

"Itu tidak bisa menjadi alasan kau membiarkan dia lari dari tanggung jawab."

"Dia juga memberiku kartu namanya."

Antonio memegang kartu itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Alisnya terangkat sangsi menatap huruf-huruf dan angka-angka yang ditulis secara manual itu. "Ini bisa saja palsu," ujarnya lantas mendebas keras. "Ayo kuantar kau pulang."

"Pulang? Ini masih siang. Seharusnya kita kembali ke kantor."

Antonio menggeleng lalu bangkit dari kursi. "Kau harus istirahat."

"Aku baik-baik saja. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."

Antonio menggelangan jemarinya pada tangan Della. "Kau bisa menyelesaikannya besok."

"Aku bukan lagi sekretarismu. Sekarang aku asisten General Manager," tukas Della sambil menarik kuat tangannya.

"Aku tidak mengatakan ini sebagai bosmu. Tapi sebagai kekasihmu."
***

"Pernikahan Niken sebentar lagi, kan?" tanya Antonio sambil menarik keluar salah satu troli yang tersusun rapi sebelum pintu masuk.

"Kau mau datang?" tanya Della sambil memandang iri pada pegangan troli yang digenggam erat Antonio.

Entah sejak kapan, Antonio baru menyadari kalau supermarket bisa jadi salah satu tempat yang menyenangkan. "Kau tidak ada sesuatu yang ingin dibeli?" balasnya tanpa menjawab.

"Mungkin kado," sahut Della sambil berhenti di depan rak yang menampilkan peralatan makan berbahan keramik.

Kening Antonio berkerut. "Kau tidak butuh gaun atau sepatu?"

"Aku punya banyak gaun dan sepatu cantik yang dihadiahkan seseorang padaku," jawab Della sambil mengerling penuh makna. Ia menunjukkan kepalan tangannya. "Harga yang pantas untuk tulang-tulang jariku."

"Mereka pasti lelah, ya, mengetik nominal besar dan kontrak-kontrak skala internasional."

Della menurunkan tangannya dengan canggung karena Antonio ternyata tidak menggengam tangannya seperti yang ia harapkan. "Bukan mengetik tapi mengetuk."

"Mengetuk pintu saja kau protes?"

"Tidak. Kalau aku tidak perlu menghafalkan sepuluh kode ketukan. Syukurlah, Allenia cepat menghafal itu."

Secara tiba-tiba, Antonio berhenti melangkah. Roda troli berhenti berputar. Waktu di sekeliling Della seolah berhenti berputar. Hingga tanpa sadar membuat ia menahan napas.

Hingga kemudian tawa Antonio menggema di koridor rak-rak minuman dalam kemasan. Beberapa perempuan yang berada dalam radius terdekat langsung menoleh dan tanpa sadar menyunggingkan senyum. Kontras dengan bibir Della yang merengut.

"Jadi, kau selama menjadi sekretarisku menghafalkan sepuluh jenis ketukan sebelum masuk ke ruanganku?" Antonio meringkas keluhan Della dalam satu kalimat, lalu kembali tertawa saat gadis di sampingnya mengangguk.

Biasanya, Della merasa senang setiap kali mendengar Antonio tertawa. Tetapi saat ini ia benar-benar ingin menyumpal bibir seksi itu dengan botol-botol plastik berisi teh yang berjajar pada rak di depan mereka. Sebenarnya, apa yang lucu?

"Padahal itu hanya keusilanku saat masih menjadi Wakil Direktur," jelas Antonio sambil menahan-nahan tawanya. "Aku sengaja ingin mengerjai Manuel yang menjadi sekretarisku waktu itu."

"Ha?" Mulut Della menganga dengan kesal.

"Aku tidak menyangka kalau dia menjadikan itu warisan turun temurun kepada sekretaris-sekretaris selanjutnya."

"Ah, sial," geram Della saat wajah Manuel yang sedang tersenyum miring muncul di benaknya.

Tiba-tiba terdengar bunyi kelontang dari rak yang berhadapan dengan punggung mereka.

"Aduh. Ya, ampun," keluh seseorang dengan suara sopran yang lembut.

Pemilik suara itu tampak terbungkuk-bungkuk mengejar kaleng minuman bersoda yang menggelinding setelah tergelincir dari genggamannya. Gadis itu tampak mendesah lega saat kaleng yang dikejarnya tertahan roda troli di depan Della.

Antonio memungut kaleng itu dari lantai dan menyerahkan kepada gadis yang mengenakan jumpsuit panjang berbahan sifon itu. Senyum muncul di wajah gadis itu saat ia menegakkan tubuh dan menerima kaleng berwarna magenta yang membuat ia bertingkah konyol.

"Terima kasih," ujarnya penuh syukur untuk sesaat. Detik berikutnya, ia merasa ngeri karena dua orang yang berdiri di belakang troli itu malah menatapnya dengan kedua mata membeliak. Seolah ia adalah hantu gentayangan.

Della menelan ludah. Sosok yang selama ini hanya dilihatnya dari lembar-lembar foto dan artikel, kini muncul secara nyata. Tentu bukan hanya ia yang terperangah, lelaki di sampingnya menunjukkan reaksi yang jauh lebih dari sekadar terkejut.

"Nadira?"
***